Terwujud juga keinginan saya untuk
menjelajah bagian dalam Baksil (baca: Babakan Siliwangi) pada Sabtu (10/04/12). Saya jadi lebih
memahami arti keberadaan sebuah hutan yang sebagiannya dikepung bangunan ITB
ini.
Hutan ini sangat potensial untuk
dimanfaatkan sebagai lokasi outbond bagi anak-anak SD. Sekadar tracking saja
sudah seru, apalagi sambil mengenali jenis-jenis tumbuhan yang ada. Topografinya
beragam, landai hingga curam, sebagaimana pengertian dari penamaannya. Dalam
bahasa Sunda, “babakan” berarti lembah. Tegakannya tidak begitu rapat sehingga
menyediakan beberapa ruang terbuka namun tetap ternaungi tajuk. Ditambah banyak
jalur setapak nan mengundang untuk ditelusuri, aneka jenis dan warna
tetumbuhan, mata air, arena adu domba yang bisa dijadikan arena mengaso, dan
lain-lain… tempat ini menurut saya benar-benar asyik!
Arena devide et impera. Di sini para raja kita diadu Belanda. |
Ada banyak akses untuk merambah Baksil. Dari
Jalan Taman Sari, kita bisa melalui gerbang yang langsung menuju Sabuga, pagar
yang bolong, jembatan dekat tempat penyimpanan sepeda, gerbang yang langsung
menuju Saroga, maupun dari dalam Saroga itu sendiri! Akses yang terakhir
tepatnya melalui belakang kantin Saroga, dekat terowongan menuju kompleks
kampus ITB. Ada lembah di belakang kantin tersebut—itu Baksil! Kita naiki saja
jalan setapak atau lembah kecil berumput yang relatif landai itu dan sampailah
kita pada zona yang patut dijelajahi :D. Saya bertanya-tanya apakah ada
mahasiswa ITB yang suka melakukannya. Kalau saya mahasiswa ITB, ini adalah
tempat yang akan cukup sering saya kunjungi di sela perkuliahan yang padat
untuk melepas penat.
Anak ITB, main ke atas sini yuk... |
Sungguh Baksil merupakan oase di tengah
bising kota, meski kita tidak bisa sama sekali menafikan kehadiran berbagai
aktivitas manusia di sekitarnya. Meski tidak renggang amat, jarak antar pohon
memungkinkan kita untuk melihat lalu lalang kendaraan di jalan di atas lembah.
Sudah begitu, arena adu domba rupanya titik yang amat memadai untuk mengintip
aktivitas di kolam renang di bawahnya, apalagi kalau pakai binokuler. Padahal
dari kolam renang saya hanya bisa lihat “rimbun”nya hutan saja, tanpa menyadari
bahwa ke”rimbun”an itu masih memungkinkan siapapun di dalamnya untuk
menyaksikan saya berbaju renang. Bukan panorama indah sih. Tapi secara saya
pernah tahu ada bule pakai bikini di kolam renang itu… ya… lumayan juga…
Ternyata selama ini aku bisa diintip dari sini... |
Kami juga menemukan banyak anakan pohon
dengan label berlogo P*rt*m*n*, plus Dinas Pemakaman dan Pertamanan, yang bisa
ditemukan pula di TPU Pandu dekat Pasteur. Menurut Pak Tatang, perawat tanaman
di Baksil, penanaman anak-anakan pohon ini dilakukan beberapa bulan lalu oleh
anak-anak. Pemeliharaan tanaman di Baksil kemudian diserahkan pada PT EGI.
Salah satu contoh label yang ternyata ada di mana-mana... |
Pada salah satu ruang terbuka, ada
beberapa tumpuk gelondong kayu yang mengingatkan saya pada perencekan yang
biasa dilakukan masyarakat desa-hutan ataupun penimbunan kayu ala Perhutani.
Saya belum mencari tahu tumpukan gelondongan kayu ini untuk dimanfaatkan suatu
pihak menjadi sesuatu atau sekadar perapihan dari aktivitas pemeliharaan hutan
ini.
Mending ini dimanfaatkan jadi apa ya? (#polapikiranakkehutanan) |
Meski penjelajahan saya, Rizkita, dan Eva
dari sekitar menjelang jam sembilan hingga menjelang jam sebelas itu cukup
meriakan dan bikin keringatan, namun ada beberapa hal yang sangat kami
sayangkan dari Baksil nan wow ini.
Saat kami menyusuri jembatan, ada dua
titik tempat sampah yang tidak enak dilihat karena titik di sini berarti titik
ceceran sampah. Jembatan pun tampak kusam. Mengingat cerita tentang pondasi
jembatan yang mulai rawan karena dibikin hanya dalam waktu singkat sebagaimana
Sangkuriang bikin danau untuk Dayang Sumbi, mendengar suara “gretek, gretek”
saat melangkah di jembatan jadi sensasi tersendiri.
Ngeunah teu ningalina? (baca: enak enggak liatnya?) |
Ceceran sampah tidak hanya ditemukan di
jembatan, tapi juga di beberapa titik di kawasan di bawahnya. Bahkan ada satu
tempat di mana kata “tercecer” jadi semakin tidak tepat untuk digunakan. Ukuran
benda-benda yang dianggap sampah itu lebih besar, lebih banyak, dan sepertinya
memang sengaja ditaruh di sana. Entahlah.
Mata air merupakan titik yang paling
saya incar dalam penjelajahan ini. Syahdan, bertemulah kami dengan dua titik
mata air yang terletak berseberangan antar satu sama lain. Keunikan di lokasi
tersebut adalah adanya pancang-pancang dengan pesan lingkungan yang konon pembuatannya diselenggarakan oleh Sanggar Olah Seni (SOS).
Mereka bertebaran di sekeliling mata air.
Salah satu titik mata air. Arti tulisan di papan: "jangan buang sampah di sini dong." |
Namun tidak hanya itu yang kami temukan,
melainkan pula seorang wanita berusia lanjut yang hanya mengenakan bra dan rok
dalam. Ia sedang mencuci pakaian. Sumber air yang ia gunakan memancar melalui
pipa kecil yang kemudian ditampung dalam bak persegi panjang. Air dalam bak
tersebut jernih sedang air yang telah digunakan melimpas ke sebuah kolam dan
tampak kekuningan. Kami sempat bertukar cakap dengan wanita itu. Ia mengaku
berasal dari Kebumen, bekerja di sebuah badan negara atau apa, sedang suaminya
sudah meninggal… saya tidak menangkapnya dengan jelas. Berhubung Rizkita dan
Eva sudah ingin meninggalkan tempat tersebut, sedang saya sendiri risi berbincang
dalam situasi seperti ini, kami pun pamit. Sebetulnya saya ingin memotret
sumber air tersebut secara keseluruhan, tapi tidak etis kalau saya membiarkan
wanita itu dalam keadaan demikian masuk dalam jepretan saya.
Jadi kami kembali ke lokasi tersebut
setelah berkeliaran hingga ujung hutan, dan, pemandangan yang kami temui di
sana lebih bikin kaget lagi. Kami buru-buru balik kanan begitu penglihatan kami
menangkap sosok pria muda sedang jongkok di tepi kolam dalam keadaan bugil.
Buset dah.
Akhirnya bisa kepotret juga setelah tiga kali melewati tempat ini. Berasa sumber airnya lagi didemo yak. |
Penjelajahan kami kiranya menimbulkan
ketidaknyamanan antara kami sebagai pengunjung dengan orang-orang yang kami
tengarai sebagai penghuni kawasan tersebut, maupun dengan orang-orang yang
hendak melakukan perbuatan yang kami tidak ingin ketahui.
Saat kami memasuki arena adu domba, ada
sepasang pria-wanita duduk di pojok salah satu bangunan untuk penonton. Tak
lama di situ, mereka pergi.
Ada jemuran dan gerobak menutup ruang di
bawah bangunan tersebut. Mulanya kami lihat seorang pria tua, lalu seorang pria
muda, lalu seorang wanita muda, lalu seorang berjilbab merah yang kami tengarai
sebagai wanita pencuci pakaian di sumber air tadi. Ketika kami berada di
sekitar sana, maupun sekadar lewat, yang tua melongok-longok ke arah kami
sedang yang muda cuek saja.
Perhatikan: ada secuil jemuran dalam foto ini |
Ini mengingatkan saya pada beberapa
berita mengenai Baksil mulai tahun 2008. Aparat pemerintah kota memang pernah melakukan
pembersihan semak dan sampah sekaligus penertiban gubuk liar di kawasan ini.
Jadi saya kira dulu ada lebih banyak orang seperti mereka menempati lebih
banyak gubuk di Baksil. Di taman kota-taman kota lain di Kota Bandung,
pemandangan semacam ini juga umum ditemui. Enak ya mereka, tinggal
bersinggungan dengan alam. J
Sewaktu Baksil baru diresmikan sebagai
Hutan Kota Dunia oleh UNEP PBB, di dekat tempat penyimpanan sepeda (fungsi
lain: tempat pantat mendarat) ada tulisan “.bdg” biru besar
(#apanamanyayainstalasikah?). Tapi sudah berbulan-bulan ini entah ke mana
rimbanya ia, mungkin bersama orang yang telah beri alamat palsu pada Ayu Ting
Ting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar