Sabtu, 01 Oktober 2011

Hutan Kota di Bandung bukan hanya Babakan Siliwangi

jalur hijau di sepanjang Babakan Siliwangi
Ada banyak definisi tentang hutan kota. 


Mulai dari yang rinci macam milik Society of American Forester (1974):

Hutan kota adalah sebidang lahan sekurang-kurangnya 0,4 hektar untuk vegetasi pepohonan dengan kerapatan minimal 10% (jarak antar pohon terjauh 10 meter) dalam suatu komunitas kompak.

Atau menurut Peraturan Pemerintah nomor 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota:

Hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.

Lebih lanjut lagi menurut peraturan ini, luas hutan kota dalam satu hamparan yang kompak paling sedikit 0,25 (dua puluh lima per seratus) hektar. Persentase luas hutan kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat.


Sedang menurut UU nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, luas RTH alias ruang terbuka hijau dalam suatu wilayah setidaknya 30% dari keseluruhan wilayah tersebut.

Definisi paling efektif menurut saya adalah dari Fandeli (2001; 2004):

Hutan kota adalah sebidang lahan dalam kota atau sekitar kota yang ditandai atas asosiasi jenis tanaman pohon yang kehadirannya mampu menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan yang ada di luarnya.

Dahlan (1992) menawarkan sudut pandang yang lebih menarik mengenai hutan kota. Kita bisa menganggap hutan kota sebagai sesuatu yang terbentuk di sebagian ruang tertentu dalam kota, atau, hampir seluruh kota merupakan hutan pada mulanya sehingga hutan kota yang ada di kota merupakan sisa dari hutan kota yang lama.

Mau definisi yang lebih sederhana? Ini kata Anas, mahasiswa Konservasi Sumber Daya Hutan UGM angkatan 2009 sewaktu masih jadi mahasiswa baru, “Hutan kota adalah hutan yang ada di kota.”

Jika suatu lahan berpohon-banyak baru boleh disebut sebagai hutan kota apabila luasnya minimal 0,25 ha, kita ambil definisi menurut PP no. 63 tahun 2002, maka hutan kota di Kota Bandung bukan hanya Babakan Siliwangi—yang baru tanggal 27 September lalu diresmikan sebagai hutan kota. Menurut Pemerintah Daerah Kota Bandung nomor 25 tahun 2009 tentang Hutan Kota, sudah ada beberapa lokasi hutan kota yang jadi wewenang pemerintah kota untuk melindungi dan melestarikan mereka—sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bandung, antara lain Taman Tegalega (19,0 ha), Taman Maluku (2,4 ha), Taman Cilaki (3,3 ha), Kebun Binatang (14 ha), Taman Lalu Lintas (3,2 ha), Eks TPA Pasir Impun (4,5 ha), Eks TPA Cicabe (4,2 ha), Taman Pramuka (1,3 ha), Kawasan Hutan Kota Pindad (37 ha), dan lain-lain yang dalam dokumen tersebut tidak disebut luasnya.

Saya kira selama ini deretan taman-taman yang telah saya sebut itu lebih dikenal sebagai taman kota. Padahal secara luas dan fungsi mereka ternyata layak juga disebut hutan kota! Namun sepertinya memang baru Babakan Siliwangi yang disebut sebagai “Hutan Kota Dunia”. Saat saya hendak mencari tahu di Google mengenai konsep “World City Forest” ideal, saya temukan setiap link dari halaman 1 hingga 26—halaman di mana Google meminta untuk melanjutkan pencarian dengan menggunakan kata kunci yang… bla-bla-bla—merujuk hanya pada Hutan Kota Babakan Siliwangi. Memang saya tidak mengecek satu per satu ke-26 halaman tersebut—hanya beberapa halaman awal lalu langsung loncat ke halaman akhir saja. Jadi mungkin tepat kalau dikatakan bahwa Babakan Siliwangi sebagai “the first world city forest in the world”. Sebab, istilah yang umum digunakan untuk hutan kota-hutan kota lain di seluruh dunia adalah: “urban forest”.

Entah penamaan ini suatu hal penting apa bukan—apalagi jika momentumnya pas dengan perhelatan Tunza International Children and Youth Conference on the Environment 2011, tentu butuh sesuatu yang membuat momen ini tambah “wah”.

Bagaimanapun, hutan kota di Kota Bandung ternyata bukan hanya Babakan Siliwangi. Babakan Siliwangi, dengan luas 3,8 ha yang konon akan menyusut jadi 2,5 ha apabila rencana pembangunan rumah makan Sunda di kawasan ini jadi dilaksanakan, hanyalah pendatang baru dalam daftar. Eh sebentar, kita harus tunggu sampai perda mengenai ini telah diperbarui.


Bagaimana sekumpulan pepohonan di atas sebidang lahan dapat mengatasi berbagai masalah

Apabila Babakan Siliwangi kelak ditata—misalnya diberi bangku dan jalur pedestrian, mungkin kawasan ini akan terlihat sama sebagaimana taman kota-taman kota lain di Kota Bandung. Apa perbedaan antara taman dengan hutan, dalam konteks ini, saya kira juga bukan hal penting selama kawasan tersebut dapat memenuhi berbagai fungsi dan manfaat yang diharapkan. Selengkapnya mengenai tujuan, fungsi, dan manfaat hutan kota lebih lengkap bisa dilacak dalam Perda Kota Bandung no. 25 tahun 2009 ini.

Dalam bahasa saya sendiri, keberadaan hutan kota adalah untuk menyingkirkan banyak hal tidak menyenangkan yang acap kita alami di perkotaan seperti,

Panas

Iklim mikro adalah iklim di dalam hutan atau permukaan bumi yang disebabkan oleh adanya penutupan vegetasi (Grey dan Deneke, 1986). Ini menjelaskan mengapa kita merasa lebih sejuk dan nyaman ketika berada di bawah pohon ketimbang terik matahari. Menurut Sulistyantara (2005), iklim mikro sangat berpengaruh terhadap kinerja (produktivitas) penduduk kota. Kondisi iklim yang tidak nyaman bagi masyarakat dapat menimbulkan pengeluaran energi tambahan. Manakala persediaan energi tambahan tersebut tidak memadai, maka menyebabkan kemalasan dalam beraktivitas.

Menurut Dahlan (1992), salah satu manfaat hutan kota adalah menurunkan suhu udara dan menaikkan kelembaban sehingga lingkungan kota jadi lebih nyaman. Suatu lingkungan dikatakan nyaman apabila perbedaan antara suhu minimum dan suhu maksimum tidak berbeda jauh dan mempunyai tingkat kelembaban relatif tinggi.

Polutan

Secara fisiologis, tumbuhan—beserta tanah dan mikroorganisme di sekitarnya—memiliki kemampuan untuk menyerap dan menjerap berbagai benda tak kasat mata di udara. Mikroorganisme dan tanah pada lantai hutan berperan baik dalam menyerap karbon monoksida. Proses fotosintesis mengubah karbon dioksida menjadi oksigen yang selalu kita butuhkan. Partikel yang melayang-layang di udara seperti timbal dan debu sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun—khususnya yang kasar dan berbulu, sebagian lagi masuk ke stomata—maupun kulit pohon, cabang, dan ranting. 

Bising

Pohon dapat meredam suara dengan mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang, dan ranting. Jenis yang paling efektif untuk fungsi ini adalah yang memiliki tajuk tebal dengan daun yang rindang. Penanaman berbagai jenis tanaman dengan berbagai strata yang cukup rapat dan tinggi dapat mengurangi kebisingan—khususnya kebisingan yang sumbernya berasal dari posisi di bawah tajuk pohon.

Bau

Hutan kota dapat bermanfaat sebagai penyekat dan penyerap bau.

Stres

Dengan beberapa manfaat yang telah disebutkan, bagaimana tidak sebuah hutan kota dapat menurunkan stres? Komposisi vegetasi dengan strata bervariasi, penataan tajuk, efek “menghaluskan” bangunan perkotaan yang cenderung bersifat kaku, bebungaan dan bebuahan yang berwarna-warni, hingga suara khas akibat gesekan daun,  menimbulkan kesan estetis tersendiri yang dapat menjadi hiburan bagi indra yang lelah.


Tiga hari setelah Babakan Siliwangi diresmikan sebagai Hutan Kota

Yang jelas, 3,8 ha itu jauh lebih luas dari arboretum fakultas saya yang konon hanya 1 ha. Saya kira Hutan Kota Babakan Siliwangi luas sekali hingga menembus Jalan Taman Sari atau Jalan Siliwangi atau jalan manalah itu yang mengeliling Sabuga—terus merambah utara Bandung. Ternyata, luas yang hanya 3,8 ha itu amat patut disyukuri.

pemagaran ini tidak membuat kita menabrak pohon
30 September 2011, perjalanan saya ke sana dimulai dari berjalan kaki menyusuri jalur pedestrian sepanjang tepi kompleks ITB yang bersebelahan dengan Kebun Binatang. Rindang sekali tajuk pepohonan sepanjang perjalanan saya. Mungkin mereka juga bisa disebut sebagai hutan kota berbentuk jalur, meski entah berapa luasnya. Pagar besi hijau membatasi jalur pedestrian dengan tanaman hias di tepi jalan. Bagusnya, ketika bertemu pohon besar, jalur itu membengkok pula sehingga pejalan kaki tidak harus “menabrak” pohon tersebut. Begitulah. Entah sejak kapan jalur ini dibuat, saya kok tidak ngeh ya. Sebelum melewati Sabuga, sembari jalan saya menikmati mural di sepanjang dinding Kebun Binatang. Beberapa menarik, sisanya biasa saja.

silahkan parkir sepeda anda di sini!
Dua kali saya menemukan penunjuk arah akan lokasi diselenggarakannya Konferensi Tunza. Itu membantu saya meyakini bahwa saya telah menapaki jalan yang benar. Cilukba. Saya bertemu tulisan “.bdg” besar dengan besi-besi yang saya kira tempat parkir sepeda membujur di depannya. Di sebelah kiri saya adalah dua orang lelaki, eh, jembatan kayu yang konon dibuat berdasarkan rancangan juara pertama sayembara desain Babakan Siliwangi yang diadakan Bandung Inisiatif beberapa bulan lampau.

masih pada bebersih
Kelihatan benar jembatan itu masih baru. Bukan, bukan karena masih bau kayu. Dari balik pagar jembatan, pemandangan yang terlihat di bawah adalah aliran air rada keruh—hijau—mengalir lancar. Di samping solokan itu adalah bekas aspal yang dikelupas untuk penanaman bibit pohon. Saya tidak tahu jenis apa yang ditanam, mungkin ki hujan (Engelhardia spicata)—seperti yang dilansir artikel yang saya baca di, lagi-lagi, laman tentang Bandung Inisiatif. Tampak para anakan pohon itu ditanam sebagaimana anak Paskibra sedang belajar baris-berbaris. Saya lihat anakan yang baru ditanam sebetulnya tidak hanya berada di dalam Babakan Siliwangi saja. Sebelum sampai sana, tepi jalur pedestrian juga ditanami oleh anakan-anakan.

Entah sampai mana aspal akan dikelupas. Saya tidak memerhatikan secara detail apa yang para petugas kebersihan berseragam kuning itu lakukan di bawah sana dengan gerobak mereka. Loh kok, ada yang berjilbab juga? Benar kata teman, kawasan ini masih sedang dibersihkan.

jembatannya oks deh!
Saya pun menyusuri jembatan yang kemiringannya terus menurun. Di beberapa tikungan terpampang informasi mulai tentang sejarah Bandung, sejarah Babakan Siliwangi, berbagai testimoni mengenai Hutan Kota Babakan Siliwangi, hingga manfaat hutan kota. Jembatan ini terus bercabang. Kita bisa melihat rimbunnya vegetasi yang mengepung jembatan ini. Namun saya lihat masih ada ruang yang tidak tertutup oleh tumbuhan bawah melainkan penuh dengan sersah kecokelatan. Ini menunjukkan penutupan tajuk yang rapat hingga tidak menyisakan celah bagi sinar matahari untuk menumbuhkan tumbuhan bawah.

kok sampahnya masih ada?
Satu hal yang patut disayangkan, ketika berbalik ke belakang, saya lihat masih banyak sampah di sela-sela tanah. Saya kira beberapa waktu lampau sudah dilaksanakan acara bersih-bersih Babakan Siliwangi yang melibatkan puluhan orang. Apa topografi bertanah ini sulit dijamah sehingga menjadi bagian yang dilewatkan? Sayangnya lagi, saya lupa. Jika topografi tersebut cukup landai, tampaknya pembersihan sampah perlu diupayakan lagi. Bidang bersampah itu potensial untuk ditutupi vegetasi yang dapat mencegah terjadinya longsor—apalagi mengingat topografinya yang miring. Mungkin setelah beberapa hari lagi saya ke sana, bagian tersebut sudah bersih dari sampah. Semoga.

Saat saya berada di jembatan tersebut, ada pasangan yang sedang berfoto di salah satu pojok jembatan. Ada juga seorang anak perempuan yang sedari tadi berjalan mondar-mandir menyusuri jembatan. Menyusul kemudian adalah seorang ibu dan seorang anak perempuannya dan entah ada lagi atau tidak dalam rombongan kecil ini. Lalu ada juga beberapa bocah SMP. Mungkin mereka sama penasarannya dengan saya mengenai tempat yang belum lama diberitakan besar-besaran di kalangan warga Kota Bandung ini.

bekas aspal yang dikelupas
Setelah cukup puas, saya meninggalkan jembatan tersebut. Saya masuk lagi ke kawasan Babakan Siliwangi melalui pintu satunya, yaitu yang berada di samping kantor kelurahan. Saya menapaki jalan beraspal yang di bagian atasnya telah dikelupas untuk ditanami. Jalan tersebut menurun. Di sebelah kiri saya adalah hutan Babakan Siliwangi yang bagian tepinya—dekat jalan—berupa lahan yang relatif kosong dari tumbuhan keras. Saya bayangkan lahan ini kelak akan ditanami tumbuhan keras juga namun mungkin saja lahan itu sengaja dikosongkan untuk aktivitas tertentu. Apalagi di seberangnya terdapat Sanggar Olah Seni.

di balik tetumbuhan pisang ini adalah puing-puing bangunan
Saya turun terus hingga menemukan gerbang masuk ke SORGA alias Sasana Olahraga Ganesha. Kali ini di sebelah kanan saya masihlah sebuah lahan terbuka dan cukup ternaungi vegetasi namun dengan sisa-sisa bangunan yang sudah tidak utuh lagi. Apakah ini merupakan bekas rumah makan Sunda legendaris yang konon dulu pernah ada? Saya merasa melihat puing-puing candi. Hendak dijadikan apakah lahan ini? Apakah hendak dibangun rumah makan Sunda lagi—seperti yang direncanakan pemerintah kota berdasarkan kerja sama yang telah dibuat dengan PT. EGI?

ada label pohon tapi yang dilabelin enggak ada...
Turun dari lahan bekas bangunan itu, saya menapaki aspal lahan parkir dan sampai lagi pada sebidang lahan kosong—hanya berumput—yang pantas dijadikan tempat parkir. Di bagian bawah lahan kosong tersebut saya kira bagus kalau dirimbuni pepohonan. Di sebelah kiri saya adalah area SORGA sedang beberapa meter jauhnya di sebelah kanan saya ada seorang bocah sedang kencing. Weks.

Aspal kembali saya tapaki. Saya mendekati hutan lagi. Rasa penasaran mengundang saya untuk menjamahnya. Maklum, empat tahun dididik jadi rimbawan—lihat hutan bawaannya ingin nelungsup saja. Berdasarkan pengamatan saya sewaktu masih di atas jembatan, hutan Babakan Siliwangi ini kurang rimbun. Ketika menjelajahinya langsung, ternyata hutan ini memang cukup “terbuka” bagi pejalan kaki. Ada jalan setapak dengan tumbuhan di kanan-kirinya relatif tidak menganggu menurut saya. Bagian bawahnya halus bertanah.

Belum lama berjalan, saya bertemu pohon besar dengan akar gantung yang menjuntai-juntai. Terdapat beberapa gerobak dan meja di bawahnya. Bau aneh menggapai indra penciuman saya. Sampah? Pembusukan sersah? Kalau tidak salah, saya melihat ada jalan setapak lain yang melingkari pohon besar ini. Saya tidak menelusuri lebih jauh ke dalam. Selain merasa kurang aman berjalan sendirian, saya merasa kurang nyaman kalau nanti ditegur para bapak-bapak yang sedang bersih-bersih di atas. Saya harap saya bisa menjelajahi hutan ini lebih dalam lain kali.

Dengan adanya jalan setapak, serta pertumbuhan vegetasi yang relatif tidak mengganggu pejalan kaki, saya kira hutan ini potensial untuk ditata sebagaimana umumnya taman-taman yang ada di Kota Bandung. Meski bisa-bisa kenampakannya nanti lebih tepat disebut Taman Kota Babakan Siliwangi.

Dalam perspektif saya sendiri, suatu lahan disebut taman apabila ada intervensi manusia yang cukup besar di dalamnya. Kita boleh menata taman sebagaimana keinginan kita. Hutan sendiri bukan berarti tidak dipengaruhi oleh intervensi manusia sama sekali. Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan bisa dibedakan sebagai hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Kategori tersebut masih bisa dipecah-pecah lagi dan itu menentukan seberapa besar intervensi manusia yang dimungkinkan di dalamnya. Butuh beberapa dokumen untuk menjelaskan tentang pembagian ini yang akan terlalu panjang jika dijabarkan di sini.

Sebetulnya dengan semakin besar intervensi manusia, semakin berkurang fungsi konservasi dari kawasan tersebut. Lebih lengkap mengenai ini bisa dibaca di buku “Biologi Konservasi” karya Jatna Supriatna. Namun menurut saya fungsi hutan kota lebih ditujukan pada fungsi perlindungan terhadap kelangsungan hidup penduduk kota seperti oksigen, air, edukasi, hingga kenyamanan. Dengan demikian pengelolaan hutan kota tidak harus seketat pengelolaan kawasan konservasi. Bagaimanapun hutan kota juga diharapkan dapat menjadi ruang publik yang dinikmati pengunjungnya sehingga perlu dilakukan intervensi untuk dapat memenuhi itu. Selama fungsi-fungsi yang diharapkan bisa dipenuhi, kita bisa melakukan penataan terhadap hutan kota.

Opsi lainnya adalah membiarkan hutan tersebut tumbuh secara alami. Kita bisa membuatnya tambah rimbun dengan menanami bidang yang masih kosong namun ternaung dengan jenis-jenis toleran (dapat tumbuh di bawah naungan—dyh). Kita tidak melakukan penataan apapun di sana. Kita biarkan pejalan kaki yang memasukinya kelak merasakan sensasi memasuki rimba dengan tumbuhan menggelitik tubuh dari berbagai arah. Kita akan merasakan iklim mikro yang lebih sejuk dan lembab. Lalu salju bau akan mulai menginvasi kawasan ini. Dan nasib Hutan Kota Babakan Siliwangi pun akan sama dengan arboretum fakultas saya di mana pohon-pohon bebas bertumbangan sewaktu-waktu serta ada bagian tertentu yang serba putih keabuan dan berbau amat pesingnya.

Mengingat kawasan ini sangat potensial untuk dimasuki siapapun dan kita tidak ingin mereka celaka, plus adanya jembatan yang harus dipertahankan, sebaiknya kita cegah ketidaknyamanan macam pohon tumbang dan salju bau tadi sebelum terjadi. Kita bisa rutin melakukan pemantauan dan pemeliharaan terhadap pohon-pohon agar tidak tumbang tahu-tahu. Kita juga bisa menghalau burung-burung nakal yang hendak mengecat warna dedaunan dengan bokong mereka. Namun sepertinya sudah lama kawasan ITB tidak lagi kehujanan tahi burung—plus dalam pengamatan kemarin saya tidak lihat ada salju di kawasan hutan kota Babakan Siliwangi.

Lepas dari Hutan Kota Babakan Siliwangi, saya merenungkan permasalahan lingkungan hidup yang ada di Kota Bandung. Mulai dari manajemen sampah hingga kemacetan akibat membengkaknya pemakaian kendaraan pribadi—semuanya berpangkal dari kurangnya kesadaran akan gaya hidup ramah lingkungan. Pemanfaatan hutan kota sebagai ruang publik kiranya termasuk gaya hidup ramah lingkungan yang perlu ditingkatkan. Mulai dari mengenal alamlah, kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan hidup dipupuk.


Keberlanjutan pengelolaan hutan kota

Terkait pemanfaatan hutan kota sebagai ruang publik, Kota Bandung punya banyak komunitas yang berupaya mempersuasi masyarakat untuk itu. Sebut saja Komunitas Aleut dengan acara jalan-jalan di taman kota, Komunitas Taman Kota dengan Sekolah Taman, Ikatan Mahasiswa Arsitektur Gunadharma ITB dengan rujaKota, dan lain-lain.

Saya kira upaya yang telah dilakukan berbagai komunitas ini merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan kota bersama masyarakat. Menurut Perda Kota Bandung no. 25 tahun 2009, salah satu peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan hutan kota ialah berbentuk menjaga, memelihara, dan meningkatkan fungsi hutan kota. Dengan menjadikan hutan kota sebagai tempat bagi eco-edukasi, kita telah berperan dalam optimalisasi fungsi hutan kota.

Lebih lanjut lagi mengenai peran serta dan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan hutan kota bisa dilihat dalam perda tersebut. Ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat adalah perlu dan diharapkan. Tentu saja ini tidak akan terpenuhi apabila tidak ada yang memfasilitasi. Untuk itu, dapat secara rutin diselenggarakan forum terbuka antar berbagai stakeholder terkait mulai dari pemerintah kota, akademisi, komunitas, hingga masyarakat umum. Dalam forum ini, berbagai masukan, potensi, masalah, informasi, saran, pertimbangan, perumusan rencana, maupun pendapat dari berbagai pihak dapat disalurkan untuk kemudian disinergikan. Tidak hanya sekadar forum, lembaga-lembaga yang ada dapat menginisiasi aksi nyata dengan mengadakan lomba, pendidikan lingkungan, penanaman dan pelabelan pohon, dan berbagai bentuk acara lainnya yang dapat menarik minat masyarakat untuk mengunjungi hutan kota. Tak kenal maka tak sayang, bukan? Mari kenalkan hutan kota pada seluruh masyarakat kota!***


3009-011011
persiapan siaran di KLCBS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...