jalur hijau di sepanjang Babakan Siliwangi |
Ada
banyak definisi tentang hutan kota.
Mulai dari yang rinci macam milik Society of American Forester (1974):
Mulai dari yang rinci macam milik Society of American Forester (1974):
Hutan kota adalah sebidang lahan sekurang-kurangnya 0,4
hektar untuk vegetasi pepohonan dengan kerapatan minimal 10% (jarak antar pohon
terjauh 10 meter) dalam suatu komunitas kompak.
Atau
menurut Peraturan Pemerintah nomor 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota:
Hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan
pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah
negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang
berwenang.
Lebih
lanjut lagi menurut peraturan ini, luas
hutan kota dalam satu hamparan yang kompak paling sedikit 0,25 (dua puluh lima
per seratus) hektar. Persentase luas hutan kota paling sedikit 10% (sepuluh per
seratus) dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat.
Sedang menurut UU nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, luas RTH alias ruang terbuka hijau dalam suatu wilayah setidaknya 30% dari keseluruhan wilayah tersebut.
Sedang menurut UU nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, luas RTH alias ruang terbuka hijau dalam suatu wilayah setidaknya 30% dari keseluruhan wilayah tersebut.
Definisi
paling efektif menurut saya adalah dari Fandeli (2001; 2004):
Hutan kota adalah sebidang lahan dalam kota atau sekitar kota
yang ditandai atas asosiasi jenis tanaman pohon yang kehadirannya mampu
menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan yang ada di luarnya.
Dahlan (1992) menawarkan sudut pandang yang lebih
menarik mengenai hutan kota. Kita bisa menganggap hutan kota sebagai sesuatu yang
terbentuk di sebagian ruang tertentu dalam kota, atau, hampir seluruh kota
merupakan hutan pada mulanya sehingga hutan kota yang ada di kota merupakan
sisa dari hutan kota yang lama.
Mau definisi
yang lebih sederhana? Ini kata Anas, mahasiswa Konservasi Sumber Daya Hutan UGM
angkatan 2009 sewaktu masih jadi mahasiswa baru, “Hutan kota adalah hutan yang
ada di kota.”
Jika suatu
lahan berpohon-banyak baru boleh disebut sebagai hutan kota apabila luasnya
minimal 0,25 ha, kita ambil definisi menurut PP no. 63 tahun 2002, maka hutan
kota di Kota Bandung bukan hanya Babakan Siliwangi—yang baru tanggal 27 September
lalu diresmikan sebagai hutan kota. Menurut Pemerintah Daerah Kota Bandung
nomor 25 tahun 2009 tentang Hutan Kota, sudah ada beberapa lokasi hutan kota
yang jadi wewenang pemerintah kota untuk melindungi dan melestarikan
mereka—sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bandung, antara lain
Taman Tegalega (19,0 ha), Taman Maluku (2,4 ha), Taman Cilaki (3,3 ha), Kebun
Binatang (14 ha), Taman Lalu Lintas (3,2 ha), Eks TPA Pasir Impun (4,5 ha), Eks
TPA Cicabe (4,2 ha), Taman Pramuka (1,3 ha), Kawasan Hutan Kota Pindad (37 ha),
dan lain-lain yang dalam dokumen tersebut tidak disebut luasnya.
Saya kira
selama ini deretan taman-taman yang telah saya sebut itu lebih dikenal sebagai
taman kota. Padahal secara luas dan fungsi mereka ternyata layak juga disebut
hutan kota! Namun sepertinya memang baru Babakan Siliwangi yang disebut sebagai
“Hutan Kota Dunia”. Saat saya hendak mencari tahu di Google mengenai konsep
“World City Forest” ideal, saya temukan setiap link dari halaman 1 hingga 26—halaman di mana Google meminta untuk
melanjutkan pencarian dengan menggunakan kata kunci yang… bla-bla-bla—merujuk
hanya pada Hutan Kota Babakan Siliwangi. Memang saya tidak mengecek satu per
satu ke-26 halaman tersebut—hanya beberapa halaman awal lalu langsung loncat ke
halaman akhir saja. Jadi mungkin tepat kalau dikatakan bahwa Babakan Siliwangi
sebagai “the first world city forest in the world”. Sebab, istilah yang umum
digunakan untuk hutan kota-hutan kota lain di seluruh dunia adalah: “urban
forest”.
Entah
penamaan ini suatu hal penting apa bukan—apalagi jika momentumnya pas dengan
perhelatan Tunza International Children and Youth Conference on the Environment
2011, tentu butuh sesuatu yang membuat momen ini tambah “wah”.
Bagaimanapun,
hutan kota di Kota Bandung ternyata bukan hanya Babakan Siliwangi. Babakan
Siliwangi, dengan luas 3,8 ha yang konon akan menyusut jadi 2,5 ha apabila
rencana pembangunan rumah makan Sunda di kawasan ini jadi dilaksanakan, hanyalah
pendatang baru dalam daftar. Eh sebentar, kita harus tunggu sampai perda
mengenai ini telah diperbarui.
Bagaimana sekumpulan pepohonan di atas sebidang lahan dapat
mengatasi berbagai masalah
Apabila
Babakan Siliwangi kelak ditata—misalnya diberi bangku dan jalur pedestrian,
mungkin kawasan ini akan terlihat sama sebagaimana taman kota-taman kota lain
di Kota Bandung. Apa perbedaan antara taman dengan hutan, dalam konteks ini,
saya kira juga bukan hal penting selama kawasan tersebut dapat memenuhi
berbagai fungsi dan manfaat yang diharapkan. Selengkapnya mengenai tujuan,
fungsi, dan manfaat hutan kota lebih lengkap bisa dilacak dalam Perda Kota
Bandung no. 25 tahun 2009 ini.
Dalam bahasa
saya sendiri, keberadaan hutan kota adalah untuk menyingkirkan banyak hal tidak
menyenangkan yang acap kita alami di perkotaan seperti,
Panas
Iklim mikro
adalah iklim di dalam hutan atau permukaan bumi yang disebabkan oleh adanya
penutupan vegetasi (Grey dan Deneke, 1986). Ini menjelaskan mengapa kita merasa
lebih sejuk dan nyaman ketika berada di bawah pohon ketimbang terik matahari.
Menurut Sulistyantara (2005), iklim mikro sangat berpengaruh terhadap kinerja
(produktivitas) penduduk kota. Kondisi iklim yang tidak nyaman bagi masyarakat
dapat menimbulkan pengeluaran energi tambahan. Manakala persediaan energi
tambahan tersebut tidak memadai, maka menyebabkan kemalasan dalam beraktivitas.
Menurut
Dahlan (1992), salah satu manfaat hutan kota adalah menurunkan suhu udara dan
menaikkan kelembaban sehingga lingkungan kota jadi lebih nyaman. Suatu
lingkungan dikatakan nyaman apabila perbedaan antara suhu minimum dan suhu
maksimum tidak berbeda jauh dan mempunyai tingkat kelembaban relatif tinggi.
Polutan
Secara
fisiologis, tumbuhan—beserta tanah dan mikroorganisme di sekitarnya—memiliki
kemampuan untuk menyerap dan menjerap berbagai benda tak kasat mata di udara.
Mikroorganisme dan tanah pada lantai hutan berperan baik dalam menyerap karbon
monoksida. Proses fotosintesis mengubah karbon dioksida menjadi oksigen yang
selalu kita butuhkan. Partikel yang melayang-layang di udara seperti timbal dan
debu sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun—khususnya yang kasar
dan berbulu, sebagian lagi masuk ke stomata—maupun kulit pohon, cabang, dan
ranting.
Bising
Pohon dapat
meredam suara dengan mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang, dan
ranting. Jenis yang paling efektif untuk fungsi ini adalah yang memiliki tajuk
tebal dengan daun yang rindang. Penanaman berbagai jenis tanaman dengan
berbagai strata yang cukup rapat dan tinggi dapat mengurangi
kebisingan—khususnya kebisingan yang sumbernya berasal dari posisi di bawah
tajuk pohon.
Bau
Hutan kota
dapat bermanfaat sebagai penyekat dan penyerap bau.
Stres
Dengan
beberapa manfaat yang telah disebutkan, bagaimana tidak sebuah hutan kota dapat
menurunkan stres? Komposisi vegetasi dengan strata bervariasi, penataan tajuk,
efek “menghaluskan” bangunan perkotaan yang cenderung bersifat kaku, bebungaan
dan bebuahan yang berwarna-warni, hingga suara khas akibat gesekan daun, menimbulkan kesan estetis tersendiri yang
dapat menjadi hiburan bagi indra yang lelah.
Tiga hari setelah Babakan Siliwangi diresmikan sebagai Hutan
Kota
Yang jelas,
3,8 ha itu jauh lebih luas dari arboretum fakultas saya yang konon hanya 1 ha.
Saya kira Hutan Kota Babakan Siliwangi luas sekali hingga menembus Jalan Taman
Sari atau Jalan Siliwangi atau jalan manalah itu yang mengeliling Sabuga—terus
merambah utara Bandung. Ternyata, luas yang hanya
3,8 ha itu amat patut disyukuri.
pemagaran ini tidak membuat kita menabrak pohon |
30 September
2011, perjalanan saya ke sana dimulai dari berjalan kaki menyusuri jalur
pedestrian sepanjang tepi kompleks ITB yang bersebelahan dengan Kebun Binatang.
Rindang sekali tajuk pepohonan sepanjang perjalanan saya. Mungkin mereka juga bisa
disebut sebagai hutan kota berbentuk jalur, meski entah berapa luasnya. Pagar
besi hijau membatasi jalur pedestrian dengan tanaman hias di tepi jalan.
Bagusnya, ketika bertemu pohon besar, jalur itu membengkok pula sehingga
pejalan kaki tidak harus “menabrak” pohon tersebut. Begitulah. Entah sejak
kapan jalur ini dibuat, saya kok tidak ngeh ya. Sebelum melewati Sabuga,
sembari jalan saya menikmati mural di sepanjang dinding Kebun Binatang.
Beberapa menarik, sisanya biasa saja.
silahkan parkir sepeda anda di sini! |
Dua kali
saya menemukan penunjuk arah akan lokasi diselenggarakannya Konferensi Tunza.
Itu membantu saya meyakini bahwa saya telah menapaki jalan yang benar. Cilukba.
Saya bertemu tulisan “.bdg” besar dengan besi-besi yang saya kira tempat parkir
sepeda membujur di depannya. Di sebelah kiri saya adalah dua orang lelaki, eh,
jembatan kayu yang konon dibuat berdasarkan rancangan juara pertama sayembara
desain Babakan Siliwangi yang diadakan Bandung Inisiatif beberapa bulan lampau.
masih pada bebersih |
Kelihatan
benar jembatan itu masih baru. Bukan, bukan karena masih bau kayu. Dari balik
pagar jembatan, pemandangan yang terlihat di bawah adalah aliran air rada
keruh—hijau—mengalir lancar. Di samping solokan itu adalah bekas aspal yang
dikelupas untuk penanaman bibit pohon. Saya tidak tahu jenis apa yang ditanam,
mungkin ki hujan (Engelhardia spicata)—seperti
yang dilansir artikel yang saya baca di, lagi-lagi, laman tentang Bandung
Inisiatif. Tampak para anakan pohon itu ditanam sebagaimana anak Paskibra
sedang belajar baris-berbaris. Saya lihat anakan yang baru ditanam sebetulnya
tidak hanya berada di dalam Babakan Siliwangi saja. Sebelum sampai sana, tepi
jalur pedestrian juga ditanami oleh anakan-anakan.
Entah sampai
mana aspal akan dikelupas. Saya tidak memerhatikan secara detail apa yang para
petugas kebersihan berseragam kuning itu lakukan di bawah sana dengan gerobak
mereka. Loh kok, ada yang berjilbab juga? Benar kata teman, kawasan ini masih
sedang dibersihkan.
jembatannya oks deh! |
Saya pun
menyusuri jembatan yang kemiringannya terus menurun. Di beberapa tikungan
terpampang informasi mulai tentang sejarah Bandung, sejarah Babakan Siliwangi,
berbagai testimoni mengenai Hutan Kota Babakan Siliwangi, hingga manfaat hutan
kota. Jembatan ini terus bercabang. Kita bisa melihat rimbunnya vegetasi yang
mengepung jembatan ini. Namun saya lihat masih ada ruang yang tidak tertutup
oleh tumbuhan bawah melainkan penuh dengan sersah kecokelatan. Ini menunjukkan
penutupan tajuk yang rapat hingga tidak menyisakan celah bagi sinar matahari
untuk menumbuhkan tumbuhan bawah.
kok sampahnya masih ada? |
Satu hal
yang patut disayangkan, ketika berbalik ke belakang, saya lihat masih banyak
sampah di sela-sela tanah. Saya kira beberapa waktu lampau sudah dilaksanakan
acara bersih-bersih Babakan Siliwangi yang melibatkan puluhan orang. Apa topografi
bertanah ini sulit dijamah sehingga menjadi bagian yang dilewatkan? Sayangnya
lagi, saya lupa. Jika topografi tersebut cukup landai, tampaknya pembersihan
sampah perlu diupayakan lagi. Bidang bersampah itu potensial untuk ditutupi
vegetasi yang dapat mencegah terjadinya longsor—apalagi mengingat topografinya
yang miring. Mungkin setelah beberapa hari lagi saya ke sana, bagian tersebut
sudah bersih dari sampah. Semoga.
Saat saya
berada di jembatan tersebut, ada pasangan yang sedang berfoto di salah satu
pojok jembatan. Ada juga seorang anak perempuan yang sedari tadi berjalan
mondar-mandir menyusuri jembatan. Menyusul kemudian adalah seorang ibu dan
seorang anak perempuannya dan entah ada lagi atau tidak dalam rombongan kecil
ini. Lalu ada juga beberapa bocah SMP. Mungkin mereka sama penasarannya dengan
saya mengenai tempat yang belum lama diberitakan besar-besaran di kalangan
warga Kota Bandung ini.
bekas aspal yang dikelupas |
Setelah
cukup puas, saya meninggalkan jembatan tersebut. Saya masuk lagi ke kawasan
Babakan Siliwangi melalui pintu satunya, yaitu yang berada di samping kantor
kelurahan. Saya menapaki jalan beraspal yang di bagian atasnya telah dikelupas
untuk ditanami. Jalan tersebut menurun. Di sebelah kiri saya adalah hutan
Babakan Siliwangi yang bagian tepinya—dekat jalan—berupa lahan yang relatif
kosong dari tumbuhan keras. Saya bayangkan lahan ini kelak akan ditanami
tumbuhan keras juga namun mungkin saja lahan itu sengaja dikosongkan untuk
aktivitas tertentu. Apalagi di seberangnya terdapat Sanggar Olah Seni.
di balik tetumbuhan pisang ini adalah puing-puing bangunan |
Saya turun
terus hingga menemukan gerbang masuk ke SORGA alias Sasana Olahraga Ganesha.
Kali ini di sebelah kanan saya masihlah sebuah lahan terbuka dan cukup
ternaungi vegetasi namun dengan sisa-sisa bangunan yang sudah tidak utuh lagi.
Apakah ini merupakan bekas rumah makan Sunda legendaris yang konon dulu pernah
ada? Saya merasa melihat puing-puing candi. Hendak dijadikan apakah lahan ini?
Apakah hendak dibangun rumah makan Sunda lagi—seperti yang direncanakan
pemerintah kota berdasarkan kerja sama yang telah dibuat dengan PT. EGI?
ada label pohon tapi yang dilabelin enggak ada... |
Turun dari
lahan bekas bangunan itu, saya menapaki aspal lahan parkir dan sampai lagi pada
sebidang lahan kosong—hanya berumput—yang pantas dijadikan tempat parkir. Di
bagian bawah lahan kosong tersebut saya kira bagus kalau dirimbuni pepohonan.
Di sebelah kiri saya adalah area SORGA sedang beberapa meter jauhnya di sebelah
kanan saya ada seorang bocah sedang kencing. Weks.
Aspal
kembali saya tapaki. Saya mendekati hutan lagi. Rasa penasaran mengundang saya
untuk menjamahnya. Maklum, empat tahun dididik jadi rimbawan—lihat hutan
bawaannya ingin nelungsup saja.
Berdasarkan pengamatan saya sewaktu masih di atas jembatan, hutan Babakan
Siliwangi ini kurang rimbun. Ketika menjelajahinya langsung, ternyata hutan ini
memang cukup “terbuka” bagi pejalan kaki. Ada jalan setapak dengan tumbuhan di
kanan-kirinya relatif tidak menganggu menurut saya. Bagian bawahnya halus
bertanah.
Belum lama
berjalan, saya bertemu pohon besar dengan akar gantung yang menjuntai-juntai.
Terdapat beberapa gerobak dan meja di bawahnya. Bau aneh menggapai indra
penciuman saya. Sampah? Pembusukan sersah? Kalau tidak salah, saya melihat ada
jalan setapak lain yang melingkari pohon besar ini. Saya tidak menelusuri lebih
jauh ke dalam. Selain merasa kurang aman berjalan sendirian, saya merasa kurang
nyaman kalau nanti ditegur para bapak-bapak yang sedang bersih-bersih di atas.
Saya harap saya bisa menjelajahi hutan ini lebih dalam lain kali.
Dengan
adanya jalan setapak, serta pertumbuhan vegetasi yang relatif tidak mengganggu
pejalan kaki, saya kira hutan ini potensial untuk ditata sebagaimana umumnya
taman-taman yang ada di Kota Bandung. Meski bisa-bisa kenampakannya nanti lebih
tepat disebut Taman Kota Babakan Siliwangi.
Dalam
perspektif saya sendiri, suatu lahan disebut taman apabila ada intervensi
manusia yang cukup besar di dalamnya. Kita boleh menata taman sebagaimana
keinginan kita. Hutan sendiri bukan berarti tidak dipengaruhi oleh intervensi
manusia sama sekali. Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 41 tahun
1999 tentang Kehutanan, hutan bisa dibedakan sebagai hutan konservasi, hutan
lindung, dan hutan produksi. Kategori tersebut masih bisa dipecah-pecah lagi
dan itu menentukan seberapa besar intervensi manusia yang dimungkinkan di
dalamnya. Butuh beberapa dokumen untuk menjelaskan tentang pembagian ini yang
akan terlalu panjang jika dijabarkan di sini.
Sebetulnya
dengan semakin besar intervensi manusia, semakin berkurang fungsi konservasi
dari kawasan tersebut. Lebih lengkap mengenai ini bisa dibaca di buku “Biologi
Konservasi” karya Jatna Supriatna. Namun menurut saya fungsi hutan kota lebih
ditujukan pada fungsi perlindungan terhadap kelangsungan hidup penduduk kota
seperti oksigen, air, edukasi, hingga kenyamanan. Dengan demikian pengelolaan
hutan kota tidak harus seketat pengelolaan kawasan konservasi. Bagaimanapun
hutan kota juga diharapkan dapat menjadi ruang publik yang dinikmati
pengunjungnya sehingga perlu dilakukan intervensi untuk dapat memenuhi itu.
Selama fungsi-fungsi yang diharapkan bisa dipenuhi, kita bisa melakukan
penataan terhadap hutan kota.
Opsi lainnya
adalah membiarkan hutan tersebut tumbuh secara alami. Kita bisa membuatnya
tambah rimbun dengan menanami bidang yang masih kosong namun ternaung dengan
jenis-jenis toleran (dapat tumbuh di bawah naungan—dyh). Kita tidak melakukan
penataan apapun di sana. Kita biarkan pejalan kaki yang memasukinya kelak
merasakan sensasi memasuki rimba dengan tumbuhan menggelitik tubuh dari
berbagai arah. Kita akan merasakan iklim mikro yang lebih sejuk dan lembab.
Lalu salju bau akan mulai menginvasi kawasan ini. Dan nasib Hutan Kota Babakan
Siliwangi pun akan sama dengan arboretum fakultas saya di mana pohon-pohon
bebas bertumbangan sewaktu-waktu serta ada bagian tertentu yang serba putih
keabuan dan berbau amat pesingnya.
Mengingat
kawasan ini sangat potensial untuk dimasuki siapapun dan kita tidak ingin
mereka celaka, plus adanya jembatan yang harus dipertahankan, sebaiknya kita
cegah ketidaknyamanan macam pohon tumbang dan salju bau tadi sebelum terjadi. Kita
bisa rutin melakukan pemantauan dan pemeliharaan terhadap pohon-pohon agar
tidak tumbang tahu-tahu. Kita juga bisa menghalau burung-burung nakal yang
hendak mengecat warna dedaunan dengan bokong mereka. Namun sepertinya sudah
lama kawasan ITB tidak lagi kehujanan tahi burung—plus dalam pengamatan kemarin
saya tidak lihat ada salju di kawasan hutan kota Babakan Siliwangi.
Lepas dari
Hutan Kota Babakan Siliwangi, saya merenungkan permasalahan lingkungan hidup
yang ada di Kota Bandung. Mulai dari manajemen sampah hingga kemacetan akibat
membengkaknya pemakaian kendaraan pribadi—semuanya berpangkal dari kurangnya
kesadaran akan gaya hidup ramah lingkungan. Pemanfaatan hutan kota sebagai
ruang publik kiranya termasuk gaya hidup ramah lingkungan yang perlu
ditingkatkan. Mulai dari mengenal alamlah, kesadaran masyarakat untuk
melestarikan lingkungan hidup dipupuk.
Keberlanjutan pengelolaan hutan kota
Terkait pemanfaatan
hutan kota sebagai ruang publik, Kota Bandung punya banyak komunitas yang
berupaya mempersuasi masyarakat untuk itu. Sebut saja Komunitas Aleut dengan
acara jalan-jalan di taman kota, Komunitas Taman Kota dengan Sekolah Taman,
Ikatan Mahasiswa Arsitektur Gunadharma ITB dengan rujaKota, dan lain-lain.
Saya kira
upaya yang telah dilakukan berbagai komunitas ini merupakan salah satu bentuk
pengelolaan hutan kota bersama masyarakat. Menurut Perda Kota Bandung no. 25
tahun 2009, salah satu peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan hutan kota
ialah berbentuk menjaga, memelihara, dan meningkatkan fungsi hutan kota. Dengan
menjadikan hutan kota sebagai tempat bagi eco-edukasi, kita telah berperan
dalam optimalisasi fungsi hutan kota.
Lebih lanjut
lagi mengenai peran serta dan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan dan
pengelolaan hutan kota bisa dilihat dalam perda tersebut. Ini menunjukkan bahwa
partisipasi masyarakat adalah perlu dan diharapkan. Tentu saja ini tidak akan
terpenuhi apabila tidak ada yang memfasilitasi. Untuk itu, dapat secara rutin
diselenggarakan forum terbuka antar berbagai stakeholder terkait mulai dari pemerintah kota, akademisi,
komunitas, hingga masyarakat umum. Dalam forum ini, berbagai masukan, potensi,
masalah, informasi, saran, pertimbangan, perumusan rencana, maupun pendapat
dari berbagai pihak dapat disalurkan untuk kemudian disinergikan. Tidak hanya
sekadar forum, lembaga-lembaga yang ada dapat menginisiasi aksi nyata dengan
mengadakan lomba, pendidikan lingkungan, penanaman dan pelabelan pohon, dan
berbagai bentuk acara lainnya yang dapat menarik minat masyarakat untuk
mengunjungi hutan kota. Tak kenal maka tak sayang, bukan? Mari kenalkan hutan
kota pada seluruh masyarakat kota!***
3009-011011
persiapan siaran di KLCBS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar