**
dari BIP ke Jalan Terusan Pasir Koja
Baru beberapa minggu lalu ia berusaha untuk tidak tertarik
lagi pada Zia. Tapi saat teringat suara nyaring gadis itu pada pimred di sekre
persma (“Yang kalian anggep sebagai masalah tuh yang kayak gimana sih? Masak
kejadian kayak gini enggak bisa dianggep masalah penting?!”)—sesuatu yang biasa
mengisi telinganya di masa awalnya aktif di UKM tersebut, ia jadi agak tergugah
lagi.
Apalagi ia dan Zia masih saja kontinyu tukaran buku meski
selera mereka seringnya berlawanan. Salah satu kegemaran Ali adalah sejarah. Ia
menempel banyak gambar para tokoh dunia di dinding kamarnya—salah satunya
adalah poster Bung Karno yang sangat besar. Setiap perhatiannya tertuju pada
satu gambar, ia menguji wawasannya akan tokoh dalam gambar tersebut. Sementara
itu selera Zia lebih berwarna—mulai dari yang lucu, alay, sampai horor.
Menurut Ali, Zia sebetulnya punya potensi untuk jadi bagian
dari kalangan anak gaul nan hedon. Tapi gadis itu lebih suka menghindari tren
dan tampil seadanya. Ia kutu buku tapi vokal. Ingin eksis tapi inkonsisten.
Energinya seakan tidak pernah habis. Ali sadar Zia bukan cewek bermutu.
Berkali-kali ia bilang itu pada mamanya. “Tapi kamu tetep suka dia,” simpul
mamanya. Apakah ini yang dinamakan…
“Eh, ngomong-ngomong pamerannya di mana ya?” suara Ali.
Mereka sudah mengitari lantai bawah. Tidak ada tanda-tanda keberadaan pameran
perangko.
Zia memandangnya seakan baru menyadari sesuatu. “Bentar, kita
cek dulu.” Ali mengikuti gadis itu ke luar bangunan mal. Di pagar, mereka
menemukan baliho yang berisi pengumuman pameran yang dimaksud. Benar, tanggal
3-9 Oktober, hari ini termasuk rentang waktu tersebut. Lokasinya di lantai 1.
“Berarti harusnya kita naik satu lantai lagi,” kata Ali.
Mereka kembali memasuki mal dan mencari eskalator. Setelah sampai di lantai 1,
dari kejauhan mereka bisa melihat sekat-sekat putih berdiri dengan tulisan
MITRA BINAAN PT. POS INDONESIA di atasnya. Ada beragam jenis makanan dibungkus
plastik dijajakan di bawahnya dan dijaga seorang mbak-mbak. Langkah mereka
makin cepat.
Ternyata yang dipamerkan bukan hanya perangko, tapi juga uang
kuno. Ali ingat, waktu ia masih SD dulu, ada yang suka jualan perangko bekas
untuk koleksi di dekat Taman Lansia. Seorang pemuda dan seorang pria tua yang
kiranya ayah dari pemuda tersebut berjualan dengan menggunakan mobil. Namun
sudah sejak lama pula, ketika ia melewati kawasan itu lagi ia tidak melihat
mereka.
Ali kira Zia memiliki ketertarikan besar pada filateli dan
numismatik. Namun ternyata Zia tidak memerhatikan koleksi yang dijajakan setiap
stan sampai sebegitunya. Gadis itu hanya lewat, memerhatikan sekilas—tidak
hanya apa yang dijajakan, tapi orang-orang di sekitar stan tersebut.
Setelah memutari area tersebut, Ali mengekor saja, Zia
berhenti di sebuah papan informasi. Ada beberapa papan di situ. Masing-masing
menjelaskan hal berbeda. Zia mengamati informasi mengenai sejarah perangko yang
berkaitan dengan kepramukaan sambil sesekali menggigit roti. Ali mengamati
papan di sebelahnya. Tapi sesekali ia memerhatikan juga apakah Zia masih
menjatuhkan remah-remah rotinya ke bawah. Benar saja, gadis itu sedang
mengusap-usap bagian atas dadanya. Ali mengalihkan pandangan.
Mereka bergeser pelan-pelan ke kiri. Ketika hampir sampai di
ujung, Zia memecahkan perhatian Ali pada beragam warna perangko yang memuat
separuh wajah ratu Belanda. “Eh, itu wartawan bukan?” Ali mendengar bisikan Zia
dari samping bahunya.
Ia menoleh dan melihat seorang wanita berjilbab yang cukup
gaya sedang bertanya pada seorang pria sambil memencet-mencet ponsel Qwerty
putih. “Tujuan dari acara ini apa, Pak?” tanya wanita dengan pakaian serba
bernuansa ungu itu. Kata pria dengan kartu pengenal menggantung di depan
dadanya itu, “Tanya aja sama yang punya acara. Itu yang lagi duduk di sebelah
sana, namanya Pak Pi.”
Begitu wanita itu pergi, Zia bertanya lagi pada Ali dengan
antusias. “Itu wartawan bukan?”
“Enggak tahu, Zia. Kayaknya bukan deh.” Ali tidak melihat
kartu pers pada pakaian wanita tersebut. Pun, mengapa yang wanita itu pegang
bukan alat perekam biasa melainkan sekadar ponsel? Zia sudah bergerak lagi.
Setelah mengitari hampir setengah area, Ali tahu kalau Zia sepertinya hanya
ingin mengecek perkataannya.
“Mungkin dia penulis freelance,”
kata Zia.
“Yah, mungkin.” Melihat Zia melipat bungkus rotinya, Ali
menegur, “Solat zuhur yuk.”
“Yuk.” Zia berjalan mendahuluinya.
“Bawa minum enggak?” tanya Ali, yang kemudian agak
disesalinya. Semoga Zia tidak ngeh betapa Ali perhatian padanya. Ali tidak
ingin Zia mengetahui perasaannya yang masih enggan ia pastikan ini.
“Enggak.”
“Enggak beli minum dulu?” Ia tidak dapat menahannya.
Seandainya ia bawa botol air minum, ia tidak tahu apakah ia akan langsung menawarkannya
untuk gadis itu.
“Entar aja aku minum dari keran, sekalian wudu.”
Ali berpikir bahwa ia seharusnya tidak usah kaget dengan
pernyataan tersebut. Lihat saja rambut awut-awutan gadis itu yang hanya diikat
ekor kuda asal-asalan--tidak berubah sejak SMA. Ia jadi tidak menemukan alasan mengapa ia harus menyukai
gadis itu. Mengapa ia masih membersamainya? Ali bersyukur kadar perasaannya
jadi agak menyurut.
Setelah solat, sambil mengikat tali sepatu, Ali bertanya pada
Zia yang duduk di sebelahnya. “Tadi jadi minum air keran?”
“Lumayan, seteguk.”
Ali diam saja setelah itu. Baru setelah mereka mencapai
lantai dasar, ia bertanya lagi, “Habis ini mau ke mana?”
“Kamu mau ke mana?”
“Kosong sih.” Ali sudah tidak kuliah lagi. Ia tinggal
menunggu waktu wisuda. “Entar ada rapat di Nangor jam tiga.”
“Masih ke sana aja…”
“Iya, bantu ngurusin dikit-dikit.”
“Kalau gitu, bisa dong nganterin aku ke Tegallega…”
“Mau ngapain lagi?”
“Mau balikin buku. Janjiannya di sana.”
Pinjam buku ke siapa
aja sih ini anak?
“Ya udah… Tapi saya enggak hapal jalan ke Tegallega.”
“Ih, udah berapa lama sih tinggal di Bandung?”
“Tapi kamu hapal kan?”
“Enggak!”
“Hah? Kamu udah berapa lama sih tinggal di Bandung?”
Zia memanyunkan bibir. Mereka telah sampai di pelataran BIP.
Gadis itu mempercepat langkahnya ke arah pintu depan sebuah angkot Kalapa-Dago
yang sedang menunggu penumpang. Ali kira gadis itu akan meninggalkannya begitu
saja tanpa mengucap terima kasih padahal sudah diantar jalan-jalan sampai ke
mari. Ternyata Zia kembali lagi. “Entar ikutin angkot Kalapa-Dago aja. Katanya
lewat Tegallega kok.”
“Oh…” Ali termangu. “Oke.”
Dan motor yang diparkir pun telah diambil. Mereka melaju
ikuti rute yang dilalui angkot Kalapa-Dago. Mereka melewati SMAN 3 Bandung,
Taman Lalu Lintas, perlintasan kereta api, terus ke Jalan Tamblong…
“Apa tadi namanya, yang suka koleksi uang itu, nutismatika?”
“Numismatik.”
“Denger kata itu aku jadi kebayang motor matic di atas penggorengan dengan sedikit minyak…”
“Hahaha…” Ali sungguhan tertawa.
“Aku pikir yang ngedatengin pameran tadi kayaknya cuman
kolektor aja deh, orang yang bener-benar minat dan punya duit buat ngoleksi. Eh
Ali, kenapa sih kamu pinter banget di bahasa?”
Tentu saja. Sudah bertahun-tahun ia bercokol dalam
jurnalistik—dengan aksara malah sudah hampir sepanjang hidupnya. Ali tersenyum
bangga, selain karena ia sudah punya akses untuk bekerja di harian terbesar di
Indonesia.
“Tapi kamu enggak pinter ngarang fiksi ya?”
Zia selalu berhasil membuatnya jatuh setelah mengangkatnya.
“Beda dong ah.” Ali sebal Zia tidak berkomentar lagi setelah
itu.
Ali tidak sadar ia sudah melewati jalan apa saja sampai ia
mendengar celetukan Zia. “Sekolahnya ijo banget…” Ali melirik ke sebelah kanan.
Jelas saja hijau. Selain ditumbuhi pepohonan di halamannya, bangunan SDN
Ciateul yang barusan dikomentari Zia tersebut memang dicat hijau.
Angkot Kalapa-Dago menjebak mereka dalam kemacetan di suatu
jalan di mana di situ ada SMPN 3 Bandung yang ternyata berseberangan dengan
SMPN 10 Bandung. Ramai benar di depan SMPN 3, sedang SMPN 10 tampak sepi-sepi
saja—mungkin ini bagian belakangnya, pikir Ali. Ia jadi ingat sesuatu. Kalau
tidak salah, seorang cewek dari SMPN 3 pernah jadi juara umum alias mendapat
NKU tertinggi se-Kota Bandung. Saat itu tahun 2005 ketika cewek tersebut
melanjutkan pendidikan di SMAN 3 Bandung, masuk aksel, dan kini kuliah di STEI
ITB. Sudah lulus apa belum ya?
Ketika sampai di seberang ITC Kebon Kalapa, Ali berhenti. Ia
tidak begitu menguasai kawasan ini. “Sekarang ke mana, Zia?”
Zia turun dari motor. “Sebentar ya?” Lagi-lagi cewek itu
mendekati sopir angkot Kalapa-Dago. Dan kembali lagi. Ia menunjuk arah di
belakang Ali. “Katanya ke arah situ. Ikutin angkot kuning aja.” Setelah Zia
duduk lagi di belakangnya, Ali memutar arah motornya.
Ketika melihat Jalan Astana Anyar di sisi kanan, Ali sempat
berpikir apa mungkin ke sana arah Tegallega. Tapi Zia tidak memberi petunjuk
apa-apa. Yang dikatakan gadis itu malah, “Aku penasaran kenapa Tegallega
disebut Tegallega. Ada hubungannya sama Kota Tegal enggak ya?” Perkiraan Ali,
Zia pasti sedang melihat kehadiran warteg di sisi kanan jalan sebagaimana
dirinya.
Dari tulisan di papan toko di sepanjang jalan yang sesekali
matanya tangkap, mereka sudah melewati Jalan Pasir Koja dan sekarang mereka
berada di Jalan Terusan Pasir Koja. Jalan ini seolah tiada ujung. Berkurangnya
pepohonan pengisi jalan di kawasan ini membuat Ali jadi ingin tahu bagaimana
penataan kawasan di Kota Bandung. Seingatnya, suatu kota besar biasanya dibagi
menjadi beberapa kawasan. Asal saja sebagai misal, kawasan Bandung utara yang
banyak pohonnya adalah kawasan resapan air sedang kawasan agak gersang yang
tengah mereka masuki ini merupakan kawasan industri. Padahal siang itu matahari
tidak terik. Udara Kota Bandung juga tidak begitu menggerahkan. Tapi Ali merasa
pikirannya mulai kacau.
Mendekati pom bensin, Ali berhenti lagi. “Saya enggak yakin
ini arahnya terus ke Tegallega.” Ia bahkan tidak yakin kalau mereka masih
berada di Kota Bandung. Kalau jalan terus, bisa-bisa mereka tembus ke Cimahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar