Edel
menurunkannya tepat di depan pusat reservasi tiket.
“Aku
baru tahu kalau di Bandung ada yang ginian juga,” kata Monang. Ia pernah ke
pusat reservasi tiket di Stasiun Tugu, Jogja, waktu ia mau pulang ke Bandung
dalam suatu liburan. Selama ini kalau ia mau beli tiket kereta sebelum hari
keberangkatan, ia akan membelinya di loket stasiun yang halamannya menghadap ke
loko-lokoan.
Edel
mengangkat bahu. Kaca mobil naik hingga menutupi pemandangan Edel memonyongkan
bibir. Monang memandang kepergian mobil perak itu sampai hilang di belokan.
Ia
menuju bangunan yang didominasi warna oranye itu lalu tersenyum pada satpam
yang membukakan pintu—seakan ia sudah biasa ke sana. Begitu menemukan meja
dengan kertas pemesanan di atasnya, ia langsung duduk di bangku kuning meja
tersebut. Lodaya pagi. Jumat, tanggal 7 Oktober 2011. Bisnis. Tiga orang. Ini yang pesen siapa, yang mau berangkat
siapa... gerutu Monang.
Hanya
ada satu orang wanita berjilbab di depan meja pemesanan. Sembari menunggu
urusan wanita tersebut selesai, Monang mengamati informasi harga tiket. Lodaya
pagi, bisnis, tanggal 7 Oktober, Rp 120.000,-? Seingatnya dulu harga tiket
Lodaya bisnis hanya Rp 90.000,-. Naik
terus!
Ke
luar dari pusat reservasi tiket, terik matahari menjelang zuhur menyengat
Monang. Namun udara terasa tidak begitu panas di badannya—setidaknya ia belum
berkeringat.
Kawan-kawannya
sudah berada di Taman Tegallega. Mereka pernah bilang kalau taman kota
menyimpan harta karun. Mungkin mereka sedang mencarinya di sana. Mereka juga
sudah pernah ke Taman Lansia, Taman Ganesha, dan berbagai taman lainnya di Kota
Bandung namun Monang belum pernah lihat rupa harta karun itu seperti apa.
Mungkin sebaiknya ia ke sana sekarang untuk membantu mereka. Barangkali mereka
memang akan menemukannya di taman yang satu itu.
Monang
merogoh-rogoh bagian dalam tas selempangnya, lalu saku celananya. Alamak. Jalan
kaki saja ke sana biar sehat dan ramah lingkungan, pikirnya. Padahal ia tidak
menemukan uang untuk ongkosnya naik angkot.
Monang
berjalan menyusuri jalan di depan halaman utara Stasiun Bandung. Ketika belok
ke kanan, ia menemukan jalan yang teduh karena sisi kanan dan sisi kirinya
ditumbuhi oleh pepohonan rindang. Ia melihat bangunan Kereta Api Health Center
di jalan itu. Ia baru tahu kalau ada PT. KAI punya pusat kesehatan juga.
Hampir
sampai di ujung jalan yang berbatasan dengan rel kereta yang melintang, ia
menyeberang. Hampir sampai di ujung jalan lagi, ia kembali menyeberang. Sebuah
taman kecil menyambutnya. Taman kecil itu mengingatkannya pada taman
kecil-taman kecil lain yang ia lihat selama perjalanan menuju pusat reservasi
tiket dengan menggunakan mobil Edel tadi.
Ia
pernah baca kalau Kota Bandung memiliki 600 taman. Sepertinya tidak mungkin
kalau ke-600 taman tersebut luasnya seperti Taman Lansia atau Taman Pramuka
atau taman-taman yang cukup besar dan terkenal lainnya di Kota Bandung. Mungkin
jumlah taman di Kota Bandung bisa mencapai 600 karena taman kecil seperti ini
masuk hitungan, pikirnya.
Ia
menapaki trotoar berlantai merah di tepi taman kecil itu namun kemudian
tertarik untuk berjalan di dekat Sungai Cikapundung. Lagi, ia menyeberang.
Dibatasi
pagar besi putih, air Sungai Cikapundung di bawah sana tampak keruh. Monang
mengerutkan kening karena mengira warna air agak keabu-abuan. Banyak sampah di
sana. Padahal ia pernah berkali-kali membaca atau mendengar aksi membersihkan
Sungai Cikapundung, baik oleh pemerintah maupun anak SD. Mengapa sampah selalu
ada?
Puncak
kepala yang sedari tadi disinari matahari jadi terasa adem ketika ia melewati
bagian bawah jembatan rel. Pantas saja enak bagi para gelandangan itu untuk
tidur di bawah sini, pikir Monang.
Monang
menyadari bahwa ia tidak tahu di mana letak Taman Tegallega. Namun ia yakin
taman tersebut berada di dekat alun-alun. Di kejauhan, ia lihat dua menara
kembar masjid agung. Ia jadikan itu sebagai patokan arah. Di dekat masjid agung
ada kawasan Palaguna yang katanya akan dijadikan RTH. Ia ingin meninjau ke sana
juga.
Ketika
menyeberang jalan lagi, ia ingat pada sebuah novel yang kemarin ia tamat baca:
“Fetussaga”, karangan Jamal. Dalam novel itu disebutkan bahwa membuang sampah
sembarangan adalah kebiasaan orang desa yang terbawa ke kota. Orang desa bisa
membuang sampah di mana saja, termasuk di sungai, karena sampah mereka sedikit
dan terbuat dari bahan alam. Lagipula penduduk desa tidak sebanyak penduduk
kota. Monang jadi ingat tentang dampak urbanisasi yang pernah diajarkan di mata
pelajaran IPS saat SD.
Monang
masih berjalan di seberang Sungai Cikapundung yang dipagari. Ia melihat Sungai
Cikapundung yang kali ini dirimbuni oleh pepohonan di kanan-kirinya. Sepertinya
asik kalau bisa melihat dari dekat, namun Monang enggan karena ruang di tepi
pagar dipenuhi oleh PKL sampai sungai tidak terlihat lagi karena tertutup
bangunan.
Ketika
menyeberang, Monang bertemu dengan serombongan orang. Salah satu wanita
berjilbab dalam rombongan tersebut mengatakan sesuatu tentang hutan lindung
pada pria di sebelahnya. Monang jadi tertarik untuk mengetahui isi pembicaraan
mereka selanjutnya namun bising pendengaran menutupi pendengarannya.
Monang
memasuki kawasan Braga. Ada seruas jalan di kawasan ini yang permukaannya
seperti bukan dari aspal. Batu kali apa ya? pikir Monang. Ruas jalan ini biasa
dijadikan tempat foto-foto dengan dekornya yang unik. Bangunan bernuansa kuno
yang berupa toko-toko berjejer di sisi kanan dan sisi kiri ruas jalan ini.
Di
sepanjang jalan itu, Monang bertemu dua buah toko buku yang mungkin akan ia
kunjungi kapan-kapan bersama kawannya yang cukup intelektual. Ia menyadari
bahwa sedikit-sedikit ia melewati pajangan lukisan-lukisan. Mestinya
lukisan-lukisan ini dipajang untuk menarik minat calon pembeli yang melewati
jalan ini, pikirnya. Lama-lama ia jadi menikmati kehadiran lukisan-lukisan
tersebut. Seperti berjalan di lorong sebuah pameran lukisan—hanya saja ini
pameran di ruangan terbuka.
Monang
juga melewati bagian depan Braga City Walk alias Brawalk. Monang jadi
membayangkan pakaian dalam wanita yang bisa berjalan. Ia pernah nonton film di
21 mal tersebut. Ada yang bilang harga tiket di situ paling murah. Tapi itu
sudah lama sekali. Monang lupa, selain 21, ada apa saja di dalam area mal
tersebut. Melihat Brawalk dari depan membuat Monang menerka kalau konsep mal
ini serupa Ciwalk alias Cihampelas Walk. Mungkin juga Paris van Java—tapi
Monang juga sudah lupa seperti apa bagian dalam Paris van Java.
Baik
Brawalk, Ciwalk, maupun mal sejenisnya yang ada di Kota Bandung yang mungkin
ada lagi tapi Monang tidak tahu, memiliki konsep memadukan mal dengan ruang
terbuka. Bagus kalau ruang terbukanya hijau, hijau banget dan rimbun sampai jadi kayak hutan, pikir Monang. Ia
pernah pulang malam dari Ciwalk dan melihat tajuk pohon besar di depan mal
tersebut disorot oleh lampu dari bawahnya. Siluet dahan yang bergelombang-lombang
disinari cahaya temaram memberikan kesan estetis yang menggetarkan hati Monang
saat itu. Indah.
Selama
ini ada kalangan masyarakat yang memprotes makin banyaknya bangunan komersil di
Kota Bandung yang menggerus lahan yang padahal potensial untuk jadi ruang
terbuka hijau (RTH). Kepentingan lingkungan hidup masih saja kalah oleh
kepentingan lain yang lebih menghasilkan secara ekonomi. Monang membayangkan
kesengitan perkara ini bisa dikurangi jika setiap bangunan dibuat dengan konsep
ramah lingkungan—ya dengan mengadakan RTH di sekeliling atau sela-selanya.
Setelah
melewati ruas jalan dengan permukaan yang khas itu, Monang mengambil jalan ke
kanan. Hampir di ujung jalan, ia melihat ada beberapa penjaja majalah bekas di
trotoar kiri jalan. Tadinya ia ingin melihat-lihat tapi tidak jadi karena
terhalang banyaknya kendaraan parkir. Setelah melewati Bale Sumur Bandung, ia
menyeberang ke kanan jalan sementara di seberang jalan yang lebih besar
terdapat kawasan Palaguna.
Ia
ingin melihat kawasan yang dipagari seng itu dari dekat. Menyeberang di jalan
besar agak membuatnya malas. Lagipula ada jembatan penyeberangan di atasnya.
Monang merasa, sebagai warga negara yang baik ia harus memanfaatkan fasilitas
yang ada. Jembatan besar itu menuai penasaran.
Ia
tapaki anak tangga jembatan tersebut. Setelah sampai di puncak tangga, ia
terkesima karena jembatan itu ternyata terdiri dari dua tingkat! Tingkat
pertama tampak suram. Ia lebih
tertarik menaiki tangga satunya yang membawanya ke tingkat yang lebih tinggi.
Sesampainya
di puncak tangga, lagi-lagi ia terkesima karena ia menemukan sebuah ruang yang
cukup luas. Ia sering membaca protes mengenai kurangnya ruang publik bagi
masyarakat di Kota Bandung ini. Konteks ruang publik yang dimaksud sebetulnya
lebih mengarah pada RTH—karena yang ia baca adalah artikel-artikel terkait itu.
Namun bukan berarti ruang di tengah jembatan penyeberangan ini tidak bisa
dimanfaatkan juga!
Yang
ada dalam pandangan Monang sekarang adalah lantai yang kotor dan dinding kumuh
penuh coretan. Ia membayangkan seandainya ruang yang cukup luas tersebut ditata
dan dibersihkan. Lalu sekelompok anak muda dari suatu komunitas datang lalu
mengisi salah salah satu sudut untuk duduk melingkar dan berdiskusi. Tidak
hanya komunitas itu saja yang bertandang, tapi ada juga yang lainnya. Mungkin
pojok satunya bisa diisi oleh stan penjualan minuman yang dijaga oleh mbak-mbak
cantik. Mungkin pot-pot tanaman hias bisa mengisi beberapa sisi ruangan. Maka
ruang yang cukup luas ini akan memiliki manfaat lebih, bukan hanya tempat
tinggal bagi gelandangan saja.
Monang
menempelkan tubuhnya ke pagar pembatas. Dari sana ia bisa melihat kawasan
Palaguna secara keseluruhan. Kawasan itu terdiri dari bangunan tinggi yang
sudah tidak terurus dengan kaca berlubang-lubang serta hamparan rumput tinggi
di depannya. Ia ingat pernah menonton film Mr. Bean di bioskop di bangunan itu
bersama sepupunya waktu ia masih kecil. Saking banyaknya yang menonton, mereka
tidak kebagian bangku sehingga mereka duduk di karpet. Entah mengapa bangunan
tersebut tidak berfungsi lagi sebagai kawasan komersil. Monang juga tidak
terbayang bagaimana pihak yang berwenang akan mengubah lahan ini jadi RTH yang
layak kunjung.
Dengan
rumput sedemikian lebatnya, sebenarnya lahan tersebut sudah berfungsi sebagai
RTH. Rumput pun bisa menghasilkan oksigen dan menyerap air. Namun tentu saja
hanya sekadar rumput tidak membuat fungsi ekologis lahan tersebut optimal.
Apabila memang tidak akan dimanfaatkan lagi, bangunan tersebut bisa
diruntuhkan. Kalaupun tidak, lahan hijau di depannya tampaknya sudah cukup
untuk dirombak menjadi sebuah taman. Tentu saja yang diharapkan adalah taman
yang apik seperti taman-taman lainnya di Kota Bandung.
Sewaktu
dalam perjalanan bersama mobil Edel tadi, Monang melewati sebuah lahan di
samping Gasibu yang juga dipagari. Ada papan yang menginformasikan kalau lahan
tersebut milik pemerintah. Ada sebuah kolam besar di tengah lahan tersebut.
Itukah kolam yang katanya berkedalaman 10 m? pikir Monang saat melihatnya. Ia
mengamati luas lahan yang tersisa di tepi kolam tersebut dan menimbang-nimbang
apakah pohon besar muat tumbuh di situ. Ia pernah baca kalau ada area di dekat
Gasibu yang hendak dijadikan RTH juga. Mungkin lahan itu yang dimaksud.
Bagus
apabila RTH di Kota Bandung tambah banyak—apalagi kalau jadinya seperti
taman-taman yang sudah ada, tinggal perawatannya saja. Masalahnya, kapan
penataan ini akan diwujudkan?
Dari
artikel-artikel yang ia baca juga ia tahu kalau pemerintah kekurangan anggaran
dan SDM sehingga pengelolaan tidak bisa dijalankan dengan ideal. Ia ingat
seorang kawannya yang beberapa bulan lalu praktek di Taman Nasional Ujung
Kulon. Masalah yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan konservasi tersebut juga
serupa: kurangnya anggaran dan SDM. Kalau tidak salah moratorium PNS pun karena
masalah demikian pula. Padahal kalau salah satu masalahnya adalah kurang SDM,
maka tentu saja jumlah SDM perlu ditambah. Masalahnya, anggaran untuk menggaji
SDM itu yang tidak ada! Begitu bukan ya? Monang bertanya-tanya karena
sesungguhnya ia tidak begitu suka baca koran. Apa yang ia baca selama ini ialah
apa yang kawan-kawannya memang lagi gandrung baca.
Monang
jadi terilhami untuk menulis sesuatu di media sosialnya. Ia mengambil ponsel
lalu memencet-mencet dengan gemas.
“Wahai
para koruptor, kembalikanlah uang yang telah kau korupsi agar badan pemerintah
tidak lagi kurang anggaran dan SDM dalam melayani kebutuhan masyarakat!”
Seorang
pria memegang gayung terpekur saja di dekat pagar pembatas tangga satunya.
Monang cuek saja melewati pria tersebut ketika hendak menuruni anak tangga. Ia
palingkan kepalanya ke hamparan hijau di tanah Palaguna itu. Ada beberapa
gelandangan lagi ia temukan di sana. Juga beberapa tumpukan sampah. Kalau
kawasan ini dibenahi, mereka akan tinggal di mana? Monang jadi bertanya-tanya
lagi.
Saat
menuruni anak tangga, Monang mencium sesuatu yang tidak sedap namun ia tidak
acuhkan saja. Lepas dari sana, ia memasuki jalan di samping masjid agung. Ia
menyeberang agar bisa berjalan lebih dekat dengan masjid. Namun ia tidak
berniat solat zuhur di sana meski azan zuhur sudah berkumandang dari beberapa
waktu lalu.
Sampai
jalan itu habis, ia lihat di seberang masjid agung ada sebuah taman lagi. Kali
ini tamannya cukup besar, ada pagar besar yang terbuka sedikit, serta dibatasi
oleh tembok. Monang menyeberang agar bisa melihat area tersebut lebih dekat. Ia
ingat pernah bermain dengan air mancur di suatu taman di dekat sini—inikah
taman dalam kotak memorinya tersebut? Ia ragu area yang dijuduli “Pendopo” di
tembok depannya itu dibuka untuk umum. Dalem Kaum 56, catat Monang dalam hati.
Sambil
berjalan, ia mengintip apa yang ada di balik dinding tembok ini melalui
lubang-lubang yang ada. Tidak semua lubang bisa diintip karena tertutup oleh
entah apa. Sampai akhirnya tidak ada lagi lubang yang bisa diintip.
Sekarang
yang ada di sekitar Monang hanyalah bangunan-bangunan toko. Sasaran
perhatiannya beralih pada orang-orang yang dipapasnya. Bertemu dengan
orang-orang yang dikiranya merupakan kalangan menengah ke bawah entah mengapa
membuatnya merasa beruntung—lebih baik. Sebelumnya yang ada di kepalanya
hanyalah kawan-kawannya, para mahasiswa di kampus ternama, yang seakan dinanti
masa depan cerah. Ia sendiri tidak yakin akan bernasib sama dengan
kawan-kawannya itu karena ia selalu merasa dirinya berbeda dari mereka. Ia
berada di jalur informal. Namun kini ia merasa hal itu bukanlah masalah. Ada
begitu banyak macam orang di dunia ini. Dunia tidak hanya diisi oleh orang macam
kawan-kawan bergengsinya itu saja. Dunia bukan hanya untuk mereka. Dan setiap
orang memiliki tempatnya masing-masing.
Ngebolang gini
pikiran awak jadi ke mana-mana, batin Monang. Di sisi lain ia merasa
tentram. Mungkin ngebolang-ria kayak gini
bakal lebih manfaat kalau awak enggak sendiri tapi bersama orang-orang
berpengetahuan. Ia penasaran akan sejarah Palaguna hingga sampai terlantar
seperti itu, muasal konsep Bandung sebagai kota taman, hingga tempat apakah
sebetulnya Dalem Kaum 56 itu.
Monang
tahu ada sebuah komunitas di Kota Bandung yang suka mengadakan acara jalan
bersama setiap minggu. Bukan sekadar jalan bersama, namun ada juga pertukaran
pengetahuan dan informasi akan tempat-tempat yang dilewati. Monang merasa harus
bergabung dengan komunitas tersebut supaya acara ngebolangnya lebih berarti. Awak ingin tahu lebih banyak tentang kota
awak tinggal sekarang...
Monang
jadi ingat kalau tujuannya semula adalah Taman Tegallega. Tapi ia tidak tahu ke
mana arah menuju taman tersebut! Setiap kali ia lihat di kejauhan ada rimbun
pepohonan, ia kira mungkin saja itu taman. Namun setelah dekat, ternyata itu
hanya pohon pengisi jalan biasa.
Monang
akhirnya sampai ke Jalan Pungkur. Ia mencari tempat di mana ia bisa duduk
sejenak dan menyelonjorkan tungkai kakinya yang lelah. Setelah dapat, ia lepas
sepatu agar kakinya lega kena udara. Tak disangka, ketika mencopot sepatu
sebuah lipatan uang jatuh. Apa sebab awak
taruh uang di sini? Monang sama sekali tidak ingat. Ia buka lipatan uang
tersebut. Lima ribu rupiah, lumayan.
Ia
jadi kepikiran untuk berkunjung ke kos temannya saja, Ganian. Katanya Ganian
itu singkatan dari GAnteng NIAN. Yah, orangtua boleh kasih anaknya nama apa
saja. Monang berencana untuk bertemu Ganian di kampusnya, ITB. Dari sana mereka
bisa bareng ke kos Ganian di Kanayakan. Begitu angkot Dago-Kalapa tampak,
Monang cepat-cepat memakai sepatu kembali lalu loncat ke jalan untuk menyetop
angkot tersebut.
Ke
Taman Tegalleganya besok sajalah, pikir Monang. Tidak usah ada harta karun
betulan pun, taman sudah memberi harta karun berharga dalam bentuk lain yang
tak kasat mata. Dengan sekian banyak kendaraan beserta emisinya menjejali kota
seperti ini, dari mana lagi penduduk kota bisa menghirup udara bersih?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar