Kamis, 06 Oktober 2011

Suatu Jalan-jalan Ali dan Zia (bagian 4 dari 4)

****

dari Taman Tegallega sampai Jalan Lodaya

Meski ada yang bilang penutupan tajuk pepohonan ini kurang rindang, namun Ali merasa apa yang ada sudah cukup bagi para pengunjung untuk dapat beraktivitas secara nyaman di bawahnya. Ketika melihat beberapa pasangan sedang bermesraan di bawah pohon, ia jadi merasa malu entah mengapa. Mungkin karena Zia sedari tadi berada di dekatnya. Ah, lebih baik ia mengamati yang sedang tiduran saja.

Ali merasa tenteram berada di bawah naungan pohon siang-siang begini. Terhindar dari sinar matahari, jelas. Apalagi kalau ada angin sepoi-sepoi disertai gemerisik dedaunan. Kalau saja pohon-pohon yang ditanam di sini menghasilkan bebuahan, pasti akan menyenangkan sekali jika yang sudah matang boleh diambil untuk dinikmati. Tapi mungkin akan ada orang-orang yang mengambili bebuahan tersebut untuk dijual demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ali kemudian larut dalam kelanjutan pengandai-andaiannya itu. Akhirannya sungguh pelik.

“Sayang juga kalau tempat seenak ini cuman dimanfaatin buat tiduran, pacaran, atau bahkan—“ Mereka baru saja melewatinya, “pijat-pijat. Kalau emang kebutuhan akan ruang publik di kota ini masih kurang, kenapa enggak manfaatin ruang di bawah teduhan ini aja?” celoteh Zia tiba-tiba.

“Pertama, masuk sini harus bayar. Kedua, enggak semua orang mau duduk-duduk di atas sampah—“

“Mereka kan bisa bawa tikar!”

“Kayaknya itu enggak praktis banget deh.”

“Kan bisa ada penyewaan tikar?”

"Itu bapaknya ngapain ya, Li?"
“Ketiga, mungkin aja ada yang sudah manfaatin tempat ini jadi tempat kumpul-kumpul, kayak mereka,” Ali mengerling ke Laskar Ramli. “Tapi mereka lagi enggak ke sini aja. Lagian kayaknya taman ini juga udah cukup dimanfaatkan kok.” Ali mengambil nafas sejenak. “Dan di sini harusnya kan enggak boleh jualan. Apalagi nyewain tikar.”

“Ah iya! Tapi aku liat banyak orang yang jualan tuh.”

“Iya. Ada peraturan dilarang buang sampah pun tetep aja ada yang buang sampah sembarangan.”

Mereka melewati sebuah bangunan prisma dengan atap limas cokelat lagi. “Aku penasaran yang atas itu toilet juga apa bukan. Kayaknya mah bukan,” kata Zia. Ali penasaran juga sebetulnya.

Di sisi area berpohon tampak jalan beraspal yang sesekali melebar lalu menyempit lagi menjadi jalan. Zia berjalan ke arah sana untuk dapat melihat area tersebut dengan lebih jelas. Ada yang membawa motor ke sana.

“Itu apa sih, tempat parkir ya?”

Ali heran mengapa kendaraan bisa sampai masuk ke sana. Bukannya sudah ada tempat parkir di luar? Ia mengira tempat itu mungkin dimanfaatkan untuk event-event tertentu. Senam bersaman atau gig, misal.

Ali baru menyadari kalau mereka berdua terpisah agak jauh dari rombongan di depan mereka. Makanya Zia mengoceh terus padanya. Ia sendiri jarang sekali memasuki taman ini—mungkin baru kali ini ia memutarinya meski sepertinya ia baru separuh jalan. Jauh juga jarak yang harus mereka tempuh untuk dapat mengelilingi taman tersebut. Dan gerak Zia yang cukup aktif membuatnya agak kewalahan ketika hendak mengikuti gadis itu ke mana ia melangkah. Ketika melihat ada tandon air, gadis itu mendekat. Ketika ada pohon dengan banyak buah, gadis itu berjalan ke bawahnya. Belum lagi kalau kucing melintas.

Mereka melihat plastik-plastik hitam gembung bergelimpangan jauh di kiri sana. Lantas Zia menghampiri. Ali mengikuti. Sampai di dekat salah satu plastik, mereka tahu kalau plastik tersebut gembung oleh daun-daun kering dan rumput. “Ini pasti buat kompos deh!” sahut Zia. Selalu saja Ali kalah cepat darinya jika ingin berkomentar tentang sesuatu. “Yang manfaatin ini siapa ya?”

"Ali, tau enggak itu buah apa?"
Mereka berjalan lagi. Zia mendekati sebuah bangunan kotak dengan mural warna-warni menghiasi setiap sisinya. Ternyata itu gardu listrik. Ketika mereka berjalan lebih jauh, sisi taman yang mereka lewati dibatasi oleh bangunan-bangunan dari seng dan anyaman bambu. “Itu apa ya?” Zia berbalik arah.

“Eh, udah entar aja liatnya sekalian balik dari sini,” cegah Ali yang sebetulnya sudah merasa lelah. Keliling taman ini seperti tiada habisnya—sama seperti Jalan Terusan Pasir Koja.

“Yaaah…”

“Kamu ke luar cuman pingin liat itu aja kan? Entar masuknya harus bayar lagi.”

“Ribet ih.” Zia berbalik arah lagi.

Tapi setidaknya mereka jadi tahu kalau lintasan beraspal yang sesekali melebar itu ternyata dipergunakan untuk latihan sepatu roda pelatda Jabar. Ali jadi ingin melihat latihan tersebut kapan-kapan.

Naungan yang mereka tapaki kemudian tampak lebih gelap dari yang sebelum-sebelumnya. Lebih banyak sampah juga. Ali menemukan satu WC umum lagi. Ia memalingkan pandangannya dari seorang pria tua dengan celana kedodoran. Area berpohon ini melingkari jalan beraspal di mana Ali melihat mulai ada beberapa orang yang memanfaatkannya untuk lari-lari. Ali pikir asik juga kalau kapan-kapan ia joging di sini namun kemudian ia ingat kalau ia bukan orang yang suka berolahraga.

Ali memerhatikan terus area terbuka di sebelah kanan. Ia penasaran monumen apa sebenarnya yang ada di tengah itu. Ia sempat melewati sebuah plang putih bertulisan “Blok B” warna biru. O, pantas saja di sini dibikin blok-blok… Ali teringat area di mana ada banyak label pohon itu.

Sisi area berpohon kini berupa pagar yang berbatasan dengan semacam lapangan—entah lapangan parkir atau lapangan olah raga, Ali tak yakin. Ramai anak-anak SMA juga di sana. Sepertinya itu area yang ia kunjungi dengan mamanya di waktu lampau. Ia belum tahu kalau ternyata di kawasan ini berjualan itu dilarang.

Mereka belok kiri dan melintasi semacam jalur dengan tanaman hias di tengahnya. Waktu itu banyak yang berjualan di tepi jalur ini. Zia membawanya ke area berpohon di seberang yang pernah ia hindari. Jalanan di situ tampak gelap, sama seperti saat ia masuki dulu, namun kali ini kering. Dan tidak ada cacing maupun lintah, Ali bersyukur.

Sekali lagi Ali menemukan WC umum. Namun yang kali ini tampaknya kurang terawat. Dan ternyata ada beberapa bangunan terbengkalai lainnya yang mereka temukan. Ada yang tidak jelas berupa apa. Ada kandang besar berbentuk telur dengan perumahan burung di dalamnya—namun tak ada seekor burung pun di sana. Zia menghampiri sisi lain jalan. Ada sebuah jembatan beton beberapa belas meter jauhnya dari tempat mereka berpijak. Di bawah jembatan tersebut ada semacam saluran selebar lebih kurang dua meter. Tapi tidak ada air di sana, melainkan hanya sampah, sersah, dan tumbuhan bawah.

Berjalan lebih jauh lagi, mereka sudah melihat jalanan dan lahan parkir. Tampaknya mereka sudah mencapai hampir satu putaran. Mereka kembali berjalan dekat area kelapa sawit. De bergabung dengan mereka karena ia tertinggal dari rombongan. Gadis itu dan Zia kembali mengobrol.

“Aku punya banyak literatur tentang partisipasi masyarakat terhadap RTH di perkotaan, tapi itu semua terasa cuman teori. Yang kita butuhin aksi.”

“Aksi membersihkan ceceran sampah, dan menanamkan pengertian pada seluruh lapisan masyarakat untuk tidak buang sampah di mana saja tentu saja, bukan cuman buat mereka yang terpelajar, tapi buat siapapun yang ngegunain taman ini,” tambah Ali. Seperti tidak ada gunanya plang hijau bertulisan “BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA” yang ia sempat temui tadi. Atau mungkin persepsi si pembuang sampah, tempat yang dimaksud adalah seluruh taman ini—Ali jadi ingat seloroh Acil.

Perjalanan keliling taman ini jadi menuai minatnya terhadap ruang terbuka hijau di perkotaan—di kotanya sendiri khususnya, Bandung. Ia banyak menemukan ketidaksesuaian antara peraturan dengan kenyataan. Mungkin ia bisa membuat artikel tentang ini. Ia ingin mengonfirmasi permasalahan ini ke pihak yang berwenang. Selain itu, tadi ia sempat dengar dari salah satu anak Laskar Ramli kalau kawasan konservasi sebenarnya bisa dikelola bersama masyarakat—namanya pengelolaan kolaboratif. Ia ingin tahu apakah model tersebut sudah atau hendak diterapkan untuk taman ini. Dan yang terutama adalah, bagaimana tanggapan dari pihak yang berwenang itu sendiri akan pengelolaan taman ini—mulai dari sejarah, pembangunan, pemeliharaan, hingga keterlibatan masyarakat.

Dan tentu saja ia hapal setiap celotehan Zia tadi terkait taman ini. Itu akan masuk daftar pertanyaannya juga. Seperti biasa, daya kritis Zia jadi sumber inspirasinya. Seandainya saja gadis itu bisa lebih mengendalikan diri, mungkin ia bisa bertahan lebih lama di persma.

De bergabung lagi dengan kawanannya. Mereka hendak memunguti sampah. Namun Ali hendak pamit. Ia melirik arlojinya berkali-kali sepanjang jalan tadi. Sudah jam setengah tiga sekarang. Ia ragu bisa sampai Jatinangor tepat waktu meskipun ngebut. Dan lagi, ia malah bertanya pada Zia apakah gadis itu mau sekalian diantar pulang atau tinggal. Zia memilih untuk ikut Ali. Entah mengapa Ali merasa maklum Zia tidak mau ikut mengambili sampah.

Sampai di dekat motor, Zia berkata pada Ali, “Untuk apa aku bayar retribusi kalau nyatanya tempat ini kayak yang enggak terpelihara gini?”

“Ya, kita mesti ngecek berapa banyak yang diperoleh dari retribusi pengunjung ke taman ini, lalu digunakan buat apa uang milik para pengunjung itu.”

“Tapi agak aneh enggak sih? Rumputnya kayaknya lumayan terpelihara. Tapi kenapa mereka enggak mungutin sampah sekalian?”

Mungkin mereka lelah, sama lelahnya sebagaimana ia sekarang, pikir Ali. Tubuhnya sudah keringatan entah sejak kapan. Salahnya juga mungkin karena tidak melepas jaketnya yang hitam. “Mau keliling taman dulu?”

Zia mengangguk. Rasa penasaran itu akhirnya terjawab. Bangunan dari seng dan bilik bambu yang tadi mereka lihat ternyata merupakan tempat penjualan tanaman hias. Ada plang putih dengan tulisan yang sudah tidak jelas di situ. Zia hanya bisa menangkap tulisan “KOPERASI” lalu “TANAMAN HIAS” di bawahnya, dan bahwa tempat itu dibina oleh Yayasan Berhiber. Padahal mulanya Zia mengira itu kebun pembibitan untuk taman di baliknya. Sebelum tempat tersebut adalah Kolam Renang Tirtalega yang dikelola oleh Dinas Pemakaman dan Pertamanan. Ia penasaran seperti apa kolam renang tersebut—apakah ada waktu khusus perempuan? Setelah Taman Tegallega habis dilewati, mereka melihat ada tempat pengumpulan sampah.

“Baguslah ada taman di deketnya. Seharusnya bau sampahnya jadi keredam, ya enggak sih… Eh, anterin aku ke rumah Kang Lutung aja. Masih inget kan?”

“Yang deket BSM tea? Oke…”

Ali memutuskan untuk lewat Kalapa lalu tembus ke Jalan Burangrang. Melihat pepohonan pengisi jalan yang tumbuh rimbun di kawasan sana mungkin bisa sedikit mengusir penatnya. Sudah memasuki Jalan Lodaya ketika ia merasa sesuatu menyentuh punggungnya. Jantungnya jadi berdebar kencang. “Zia, jangan tidur,” katanya sembari menggoyangkan punggung agar kepala Zia pergi dari sana. Tampaknya Zia lekas sadar lantas mengangkat kepala.

Perasaannya lagi-lagi tak karuan. Zia, gadis yang menggemari apapun yang berbau anti kemapanan, informal, dan di luar kotak. Ia ingin bisa menggenggam isi kepala gadis itu dan memilikinya. Aduh. Ali merasa harus menjauhi gadis itu lagi supaya bisa mendapatkan kestabilan hatinya lagi. Seharusnya tadi ia tidak usah bawa helm dua. Seharusnya tadi ia tidak membiarkan gadis itu menumpang. Seharusnya ia tidak usah mengikuti gadis itu ke mana ingin pergi. Semakin dekat jam tiga sekarang. Ia masih tidak mengerti mengapa kekuatan asmara membuat kepentingan lain jadi terasa tidak lebih berarti.

-dan ngebolang hari ini pun selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...