****
dari Taman Tegallega
sampai Jalan Lodaya
Meski ada yang bilang penutupan tajuk pepohonan ini kurang
rindang, namun Ali merasa apa yang ada sudah cukup bagi para pengunjung untuk
dapat beraktivitas secara nyaman di bawahnya. Ketika melihat beberapa pasangan
sedang bermesraan di bawah pohon, ia jadi merasa malu entah mengapa. Mungkin
karena Zia sedari tadi berada di dekatnya. Ah, lebih baik ia mengamati yang
sedang tiduran saja.
Ali merasa tenteram berada di bawah naungan pohon siang-siang
begini. Terhindar dari sinar matahari, jelas. Apalagi kalau ada angin
sepoi-sepoi disertai gemerisik dedaunan. Kalau saja pohon-pohon yang ditanam di
sini menghasilkan bebuahan, pasti akan menyenangkan sekali jika yang sudah
matang boleh diambil untuk dinikmati. Tapi mungkin akan ada orang-orang yang
mengambili bebuahan tersebut untuk dijual demi memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Ali kemudian larut dalam kelanjutan pengandai-andaiannya itu. Akhirannya
sungguh pelik.
“Pertama, masuk sini harus bayar. Kedua, enggak semua orang
mau duduk-duduk di atas sampah—“
“Mereka kan bisa bawa tikar!”
“Kayaknya itu enggak praktis banget deh.”
“Kan bisa ada penyewaan tikar?”
"Itu bapaknya ngapain ya, Li?" |
“Iya. Ada peraturan dilarang buang sampah pun tetep aja ada
yang buang sampah sembarangan.”
Mereka melewati sebuah bangunan prisma dengan atap limas
cokelat lagi. “Aku penasaran yang atas itu toilet juga apa bukan. Kayaknya mah bukan,” kata Zia. Ali penasaran juga
sebetulnya.
“Itu apa sih, tempat parkir ya?”
Ali baru menyadari kalau mereka berdua terpisah agak jauh
dari rombongan di depan mereka. Makanya Zia mengoceh terus padanya. Ia sendiri
jarang sekali memasuki taman ini—mungkin baru kali ini ia memutarinya meski
sepertinya ia baru separuh jalan. Jauh juga jarak yang harus mereka tempuh
untuk dapat mengelilingi taman tersebut. Dan gerak Zia yang cukup aktif
membuatnya agak kewalahan ketika hendak mengikuti gadis itu ke mana ia
melangkah. Ketika melihat ada tandon air, gadis itu mendekat. Ketika ada pohon
dengan banyak buah, gadis itu berjalan ke bawahnya. Belum lagi kalau kucing
melintas.
Mereka melihat plastik-plastik hitam gembung bergelimpangan jauh
di kiri sana. Lantas Zia menghampiri. Ali mengikuti. Sampai di dekat salah satu
plastik, mereka tahu kalau plastik tersebut gembung oleh daun-daun kering dan rumput.
“Ini pasti buat kompos deh!” sahut Zia. Selalu saja Ali kalah cepat darinya
jika ingin berkomentar tentang sesuatu. “Yang manfaatin ini siapa ya?”
"Ali, tau enggak itu buah apa?" |
“Eh, udah entar aja liatnya sekalian balik dari sini,” cegah
Ali yang sebetulnya sudah merasa lelah. Keliling taman ini seperti tiada
habisnya—sama seperti Jalan Terusan Pasir Koja.
“Yaaah…”
“Kamu ke luar cuman pingin liat itu aja kan? Entar masuknya
harus bayar lagi.”
“Ribet ih.” Zia berbalik arah lagi.
Tapi setidaknya mereka jadi tahu kalau lintasan beraspal yang
sesekali melebar itu ternyata dipergunakan untuk latihan sepatu roda pelatda
Jabar. Ali jadi ingin melihat latihan tersebut kapan-kapan.
Naungan yang mereka tapaki kemudian tampak lebih gelap dari
yang sebelum-sebelumnya. Lebih banyak sampah juga. Ali menemukan satu WC umum
lagi. Ia memalingkan pandangannya dari seorang pria tua dengan celana kedodoran.
Area berpohon ini melingkari jalan beraspal di mana Ali melihat mulai ada
beberapa orang yang memanfaatkannya untuk lari-lari. Ali pikir asik juga kalau
kapan-kapan ia joging di sini namun kemudian ia ingat kalau ia bukan orang yang
suka berolahraga.
Ali memerhatikan terus area terbuka di sebelah kanan. Ia
penasaran monumen apa sebenarnya yang ada di tengah itu. Ia sempat melewati sebuah
plang putih bertulisan “Blok B” warna biru. O,
pantas saja di sini dibikin blok-blok… Ali teringat area di mana ada banyak
label pohon itu.
Sisi area berpohon kini berupa pagar yang berbatasan dengan
semacam lapangan—entah lapangan parkir atau lapangan olah raga, Ali tak yakin.
Ramai anak-anak SMA juga di sana. Sepertinya itu area yang ia kunjungi dengan
mamanya di waktu lampau. Ia belum tahu kalau ternyata di kawasan ini berjualan
itu dilarang.
Mereka belok kiri dan melintasi semacam jalur dengan tanaman
hias di tengahnya. Waktu itu banyak yang berjualan di tepi jalur ini. Zia
membawanya ke area berpohon di seberang yang pernah ia hindari. Jalanan di situ
tampak gelap, sama seperti saat ia masuki dulu, namun kali ini kering. Dan
tidak ada cacing maupun lintah, Ali bersyukur.
Sekali lagi Ali menemukan WC umum. Namun yang kali ini
tampaknya kurang terawat. Dan ternyata ada beberapa bangunan terbengkalai
lainnya yang mereka temukan. Ada yang tidak jelas berupa apa. Ada kandang besar
berbentuk telur dengan perumahan burung di dalamnya—namun tak ada seekor burung
pun di sana. Zia menghampiri sisi lain jalan. Ada sebuah jembatan beton
beberapa belas meter jauhnya dari tempat mereka berpijak. Di bawah jembatan
tersebut ada semacam saluran selebar lebih kurang dua meter. Tapi tidak ada air
di sana, melainkan hanya sampah, sersah, dan tumbuhan bawah.
Berjalan lebih jauh lagi, mereka sudah melihat jalanan dan
lahan parkir. Tampaknya mereka sudah mencapai hampir satu putaran. Mereka
kembali berjalan dekat area kelapa sawit. De bergabung dengan mereka karena ia
tertinggal dari rombongan. Gadis itu dan Zia kembali mengobrol.
“Aku punya banyak literatur tentang partisipasi masyarakat
terhadap RTH di perkotaan, tapi itu semua terasa cuman teori. Yang kita butuhin
aksi.”
“Aksi membersihkan ceceran sampah, dan menanamkan pengertian
pada seluruh lapisan masyarakat untuk tidak buang sampah di mana saja tentu
saja, bukan cuman buat mereka yang terpelajar, tapi buat siapapun yang
ngegunain taman ini,” tambah Ali. Seperti tidak ada gunanya plang hijau
bertulisan “BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA” yang ia sempat temui tadi. Atau
mungkin persepsi si pembuang sampah, tempat yang dimaksud adalah seluruh taman
ini—Ali jadi ingat seloroh Acil.
Perjalanan keliling taman ini jadi menuai minatnya terhadap
ruang terbuka hijau di perkotaan—di kotanya sendiri khususnya, Bandung. Ia
banyak menemukan ketidaksesuaian antara peraturan dengan kenyataan. Mungkin ia
bisa membuat artikel tentang ini. Ia ingin mengonfirmasi permasalahan ini ke
pihak yang berwenang. Selain itu, tadi ia sempat dengar dari salah satu anak
Laskar Ramli kalau kawasan konservasi sebenarnya bisa dikelola bersama
masyarakat—namanya pengelolaan kolaboratif. Ia ingin tahu apakah model tersebut
sudah atau hendak diterapkan untuk taman ini. Dan yang terutama adalah,
bagaimana tanggapan dari pihak yang berwenang itu sendiri akan pengelolaan
taman ini—mulai dari sejarah, pembangunan, pemeliharaan, hingga keterlibatan
masyarakat.
Dan tentu saja ia hapal setiap celotehan Zia tadi terkait
taman ini. Itu akan masuk daftar pertanyaannya juga. Seperti biasa, daya kritis
Zia jadi sumber inspirasinya. Seandainya saja gadis itu bisa lebih
mengendalikan diri, mungkin ia bisa bertahan lebih lama di persma.
De bergabung lagi dengan kawanannya. Mereka hendak memunguti
sampah. Namun Ali hendak pamit. Ia melirik arlojinya berkali-kali sepanjang
jalan tadi. Sudah jam setengah tiga sekarang. Ia ragu bisa sampai Jatinangor
tepat waktu meskipun ngebut. Dan lagi, ia malah bertanya pada Zia apakah gadis
itu mau sekalian diantar pulang atau tinggal. Zia memilih untuk ikut Ali. Entah
mengapa Ali merasa maklum Zia tidak mau ikut mengambili sampah.
Sampai di dekat motor, Zia berkata pada Ali, “Untuk apa aku
bayar retribusi kalau nyatanya tempat ini kayak yang enggak terpelihara gini?”
“Ya, kita mesti ngecek berapa banyak yang diperoleh dari
retribusi pengunjung ke taman ini, lalu digunakan buat apa uang milik para
pengunjung itu.”
“Tapi agak aneh enggak sih? Rumputnya kayaknya lumayan
terpelihara. Tapi kenapa mereka enggak mungutin sampah sekalian?”
Mungkin mereka lelah, sama lelahnya sebagaimana ia sekarang,
pikir Ali. Tubuhnya sudah keringatan entah sejak kapan. Salahnya juga mungkin
karena tidak melepas jaketnya yang hitam. “Mau keliling taman dulu?”
Zia mengangguk. Rasa penasaran itu akhirnya terjawab.
Bangunan dari seng dan bilik bambu yang tadi mereka lihat ternyata merupakan
tempat penjualan tanaman hias. Ada plang putih dengan tulisan yang sudah tidak
jelas di situ. Zia hanya bisa menangkap tulisan “KOPERASI” lalu “TANAMAN HIAS”
di bawahnya, dan bahwa tempat itu dibina oleh Yayasan Berhiber. Padahal mulanya
Zia mengira itu kebun pembibitan untuk taman di baliknya. Sebelum tempat
tersebut adalah Kolam Renang Tirtalega yang dikelola oleh Dinas Pemakaman dan
Pertamanan. Ia penasaran seperti apa kolam renang tersebut—apakah ada waktu
khusus perempuan? Setelah Taman Tegallega habis dilewati, mereka melihat ada
tempat pengumpulan sampah.
“Baguslah ada taman di deketnya. Seharusnya bau sampahnya jadi
keredam, ya enggak sih… Eh, anterin aku ke rumah Kang Lutung aja. Masih inget
kan?”
“Yang deket BSM tea?
Oke…”
Ali memutuskan untuk lewat Kalapa lalu tembus ke Jalan
Burangrang. Melihat pepohonan pengisi jalan yang tumbuh rimbun di kawasan sana
mungkin bisa sedikit mengusir penatnya. Sudah memasuki Jalan Lodaya ketika ia
merasa sesuatu menyentuh punggungnya. Jantungnya jadi berdebar kencang. “Zia, jangan
tidur,” katanya sembari menggoyangkan punggung agar kepala Zia pergi dari sana.
Tampaknya Zia lekas sadar lantas mengangkat kepala.
Perasaannya lagi-lagi tak karuan. Zia, gadis yang menggemari
apapun yang berbau anti kemapanan, informal, dan di luar kotak. Ia ingin bisa
menggenggam isi kepala gadis itu dan memilikinya. Aduh. Ali merasa harus
menjauhi gadis itu lagi supaya bisa mendapatkan kestabilan hatinya lagi. Seharusnya
tadi ia tidak usah bawa helm dua. Seharusnya tadi ia tidak membiarkan gadis itu
menumpang. Seharusnya ia tidak usah mengikuti gadis itu ke mana ingin pergi. Semakin
dekat jam tiga sekarang. Ia masih tidak mengerti mengapa kekuatan asmara
membuat kepentingan lain jadi terasa tidak lebih berarti.
-dan ngebolang hari
ini pun selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar