Judul : Negeri 5 Menara
Pengarang
: Anwar Fuadi
Penerbit
: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2010
Sejenis
Laskar Pelangi, tapi kontennya lebih mengena bagi saya. Keduanya mengisahkan kekuatan
semangat mereka yang berasal dari daerah dalam menuntut ilmu.
Memang
sih saya tidak ingat persis di Laskar Pelangi itu ada apa saja. Novel tersebut
bisa saya baca dalam waktu cepat—artinya: rame! Tapi saya tidak ingat juga apa
ada kalimat-kalimat di sana yang bagus untuk dikutip. Selain itu beberapa
bagian saya rasa agak berlebihan, antara lain, kalau tidak salah, saat Lintang
mengerahkan kemampuannya dalam mengalahkan lawan di lomba cerdas cermat.
Kemampuan yang ketinggian.
Novel
ini mungkin bagus untuk menggugah mereka yang berasal dari daerah. Namun saya
sendiri merasa tidak terwakili. Bagi saya tidak baik rasanya membandingkan,
“Mereka saja yang berasal dari daerah bisa, mengapa kita yang terfasilitasi
lebih baik tidak?” Ibaratnya pistol itu punya jenis pelurunya masing-masing dan
saya adalah peluru, maka novel tersebut bukan pistol yang pas buat saya.
Sementara
dalam Negeri 5 Menara, tokoh-tokohnya memiliki warna yang lebih beragam. Tidak
seperti para tokoh dalam Laskar Pelangi yang hanya berasal dari satu daerah,
tokoh-tokoh di N5M berasal dari berbagai daerah. Tidak hanya dari pedalaman
Sumatera Barat, tapi ada juga dari Sumatera Utara, Sulawesi, Madura, Surabaya,
sampai Bandung! Itu mengapa saya merasa lebih kena saja dengan novel ini
ketimbang Laskar Pelangi.
Lagipula,
yang jelas diberikan dalam N5M adalah bagaimana caranya bekerja keras. Setiap
orang bisa memraktekkannya. Tidak mesti anak daerah—tapi juga anak kota yang
tak terfasilitasi dengan baik. Kemampuan dasar bisa saja mempengaruhi, namun
intinya man jadda wa jadda:
kesungguhan.
Gaya
hidup yang diterapkan di Pondok Madani membuat saya iri. Bukannya saya ingin
juga seperti itu—pasti sangat berat. Yang membuat saya iri adalah bagaimana
mereka bisa bertahan dalam situasi yang keras. Saya juga ingin bisa seperti itu
namun dengan cara saya sendiri.
Maka
sementara membaca novel ini, saya beberapa kali menyelipkan pembatas buku pada
halaman tertentu. Tujuannya adalah karena apa yang ada di halaman tersebut amat
bagus untuk dikutip dan dijadikan motivasi. Sebagai contoh adalah berikut.
Halaman
106
“Man shabara zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung. Jangan risaukan penderitaan hari ini, jalani saja dan lihatlah apa yang akan terjai di depan. Karena yang kita tuju bukan sekarang, tapi ada yang lebih besar dan prinsipil, yaitu menjadi manusia yang telah menemukan misinya dalam hidup.”“Misi yang dimaksud adalah ketika kalian melakukan sesuatu hal positif dengan kualitas sangat tinggi dan di saat yang sama menikmati prosesnya. Bila kalian merasakan sangat baik melakukan suatu hal dengan usaha yang minimum, mungkin itu adalah misi hidup yang diberikan Tuhan. …. Temukan dan semoga kalian menjadi orang yang berbahagia.”
Halaman
158
“Dulu aku anak yang sangat pemalu untuk tampil di depan umum, apalagi harus berpidato panjang lebar. Kini, tiga kali latihan pidato dalam seminggu, latihan menjadi imam shalat, belum lagi berbagai kegiatan seperti pramuka, pelan-pelan menambah kepercayaan diriku di muka umum. Kalau dulu tanganku dingin dan suaraku bergetar-getar seperti mau menangis, sekarang tanganku terkepal dan suaraku mulai bisa normal. Perubahan itu terjadi semalam dua malam. Awalnya semua kebiasaan baru ini aku paksakan terjadi. aku buat-buat saja seakan-akan aku orator ulung, mengikuti contoh kawan-kawan dan kakak-kakak yang lebih hebat. Memekik sana memekik sini, mengepalkan tangan di udara, tunjuk sanadan sini sampai menggedor-gedor podium. Ternyata lama-lama kepura-puraan positif ini menjadi kebiasaan dan kenyataan yang sebenarnya. Ajaib!”
Halaman
265
“Jangan dipaksakan untuk menghapal. Kalau sudah tamat sekali, ulangi lagi dari awal sampai akhir. Lalu ulangi lagi, kali ini sambil mencontreng setiap kosa kata yang sering dipakai. Lalu tuliskan juga di buku catatan. Niscaya, kosa kata yang dicontreng di kamus tadi dan yang sudah dituliskan ke buku tadi tidak akan lupa. Sayidina Ali pernah bilang, ikatlah ilmu dengan mencatatnya. Proses mencatat itulah yang mematri kosa kata baru di kepala kita.”“…. Saya baca buku kisah hidup Malcolm X, tokoh The Nation of Islam yang kemudian menjadi muslim sejati. Dia waktu itu masuk penjara. Dalam penjara dia banyak merenung dan ingin menulis. Tapi begitu akan menuliskan pemikirannya, isinya sangat dangkal. Dia frustasi karena dia tak punya kemampuan untuk menggambarkan apa yang ada di kepalanya. Akhirnya dia bertekad untuk membaca kamus, halaman demi halaman. Hasilnya, tulisannya kuat, dalam dan memuaskan.
Halaman
318
“Jangan pernah takut dan tunduk kepada siapa pun. Takutlah hanya kepada Allah. Karena yang membatasi kita atas dan bawah hanyalah tanah dan langit.”
Halaman
396
“Ingatlah nasihat Imam Syafii: Orang yang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang.”
Mohon
izin dan banyak terima kasih kepada pengarang novel ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar