Senin, 29 Juli 2013

Norwegian Wood: Pembacaan Kedua

Norwegian Wood cetak ulang! Masih ada sisa duit (yang sekarang tidak lagi)!

Pada pembacaan kali ini, novel di tanganku adalah milikku pribadi (yang dibeli dengan duit orangtua tentu saja haha *tawakering). Jadi aku bisa menandai bagian-bagian tertentu dengan pensil. Beberapa poin pikiran yang muncul pada pembacaan kedua sebetulnya relatif sama dengan pembacaan pertama. Tapi ada beberapa hal pada pembacaan pertama yang belum aku sampaikan di blog, pun beberapa hal yang baru aku sadari pada pembacaan kedua.

Dalam artikel tentang proses kreatifnya, Haruki Murakami berkata, “Saat menjelaskan sesuatu kepada pembaca, saya harus pelan-pelan dan menggunakan kata-kata yang tidak sulut dicerna, metafora yang masuk akal, alegori yang baik. … Saya harus menyampaikan cerita dengan hati-hati dan bahasa yang jelas.”

Barangkali itu sebabnya ketika membaca Norwegian Wood aku seperti mendapat semacam ketenangan. Seolah apa yang kukutip itu terbukti. Setiap habis membaca bagian demi bagian dari novel ini, aku seakan terpengaruh untuk menuliskan secara jelas dan rinci apapun yang melintas di kepalaku. Dalam seminggu selagi membaca novel ini, aku menghabiskan tiga puluh lebih halaman A4 untuk cacatan harian (plus 24.000 kata draf CampNaNoWriMo-Juli-2013). Biasanya tidak sebanyak itu. Interaksi di antara Toru dengan Midori juga kadang-kadang menyegarkan.

Aku masih terkesan dengan karakter Toru Watanabe selaku protagonis dalam novel ini. Kali ini yang aku soroti adalah cara pandangnya, seolah tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Walau perkuliahan membosankan, tapi ia menganggapnya sebagai latihan menghadapi kebosanan. Sementara bagi Midori aturan conditional dalam bahasa Inggris dan trigonometri itu tidak penting, Toru menganggapnya sebagai latihan untuk berpikir sistematis. Seperti yang ia bilang pada Naoko, saat cewek itu membayangkan kemungkinan buruk apabila mereka bersama, pada dasarnya ia orang yang optimis.

Aspek menarik lain dari novel ini adalah seksualitasnya. Aku bisa menulis panjang-lebar terkait ini, tapi untuk kenyamanan satu sama lain monggo dibaca saja artikel ini. Lucu saja ketika ada yang menyebut karya Haruki Murakami ini sebagai pornografi—sensitive-dude-pornography. Setelah membaca artikel tersebut dan membaca lagi Norwegian Wood, aku pikir-pikir, Iya juga sih.

Kenikmatan pembacaanku sebetulnya terusik dengan adanya unsur romance—cinta-birahi-semacam-itu. Tapi bukannya Norwegian Wood memang novel romance? Cinta segitiga antara Toru-Naok0-Midori. Toru mencintai Naoko yang mengidap gangguan jiwa. Karena itu pulalah Naoko merasa dirinya tidak layak dicintai. Di sisi lain, Toru didekati Midori yang begitu periang. Toru tidak bisa serta-merta berpaling pada Midori karena cintanya pada Naoko. Tapi toh Naoko meninggal juga. Midori pun sudah tidak cocok dengan cowoknya. Apa sebetulnya yang diupayakan Toru ini? Novel ini lebih merupakan suatu revelation alih-alih resolution. Aku lebih suka memahami novel ini sebagai slice of life. Penggalan kehidupan yang acak dan kompleks. Ada problem yang lebih dari sekadar romance. Problem mendasar.

Ada beberapa momen dalam novel ini yang kuidentifikasi sebagai problem eksistensial. Di awal, Naoko meminta Toru untuk tidak melupakannya. Di tengah, Toru merasa bersalah karena ingatannya pada Kizuki memudar sekaligus sadar kalau ingatan manusia memang terbatas. Di akhir, lewat telepon Midori bertanya Toru sedang di mana namun Toru tidak bisa menjawabnya.

Sekarang aku di mana? Sambil tetap memegang gagang telepon, aku mengangkat muka, dan menebarkan pandangan ke sekeliling. Aku sekarang berada di mana? Tapi aku tak tahu di mana itu. Juga tak bisa mengira-ngiranya. Sebenarnya di manakah aku ini? Yang tampak di mataku hanya sosok tubuh orang-orang yang tak terhitung banyaknya sedang berjalan entah menuju ke mana. Aku terus memanggil-manggil Midori dari tengah-tengah tempat entah di mana. –halaman 426[1]

Seandainya aku mahasiswa Filsafat, mungkin ini bakal jadi tema skripsiku. He.

Tapi ada juga beberapa orang yang merasa tidak mendapatkan pesan moral dari cerita ini, maupun mengeluhkan nuansanya yang kelewat muram. Sebetulnya ada bagian di mana Toru menyatakan sikapnya terhadap bunuh diri, yang bisa dikatakan sudah merupakan suatu pesan moral (menurut seseorang di suatu forum berbahasa Indonesia tentang Haruki Murakami). Selain itu kukira ada semacam “kekebalan” bagi orang yang sudah terbiasa larut dalam kemasygulan, sehingga yang lebih mengena baginya dari novel-suram semacam Norwegian Wood ini justru sisi hiburan dan pemikiran.

Pada akhirnya memang optimisme Toru berangsur-angsur pudar hingga ditutup dengan kegalauan. Ketimbang terseret dalam suasana itu terus, mending aku ingat-ingat saja kutipan berikut darinya. Mungkin berguna.

Jangan terlalu serius memikirkan segala sesuatu… —halaman 35        

…menjadi serius tidak selalu sama dengan mendekati kebenaran. –halaman 36

… “… Di dalam masyarakat ada orang yang suka memeriksa jadwal waktu kedatangan dan keberangkatan alat transportasi, seharian ia terus memeriksa jadwal itu. Juga ada orang yang mau membuat perahu sepanjang satu meter dengan menyambung-nyambungkan batang korek api. Jadi tak aneh bukan kalau di masyarakat ada juga orang yang mau memahami aku?” –halaman 209

[]






[1] Diterjemahkan oleh Jonjon Johana. Cet. Keempat, Mei 2013. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta

Sabtu, 27 Juli 2013

Pertolongan Buaya

http://weeklylibery.blogspot.com/2011_02_01_archive.html

Frannie si Kodok merasa lelah. Tapi ia harus mengarungi arus supaya bisa sampai ke rumah. Buaya tua besar bernama Tex menawarkan tumpangan di punggungnya.
                “Kamu mau memakanku,” kata Frannie.
                “Aku janji aku tidak akan memakanmu, kalau kamu mau mengajari aku caranya membuat suara kroak-kroak yang keren itu,” kata Tex.
                Frannie pun melompat ke punggung Tex lalu dimakan.[]


Amanat: jadi kodok jangan goblok


sekadar ngerjain latihan dari Funny & Fabulous Story Prompts - 50 Reproducible Story Starters To Get Them Writing and Loving It! (Richie Chevat, 1998, Scholastic Teaching Resources), bisa diunduh di sini.

Kamis, 25 Juli 2013

Mimpi Seekor Beruang

http://photography.nationalgeographic.com/photography/photo-of-the-day/sleepy-grizzly-bear/

Pada suatu musim gugur, seekor beruang cokelat besar bernama Growly bergelung di guanya untuk tidur musim dingin yang panjang. Segera ia mulai bermimpi. Di dalam mimpi ia bisa makan madu sepuasnya tanpa harus capek-capek memanjat pohon dan disengat tawon. Di dalam mimpi ia bisa jalan-jalan ke mana saja, mengunjungi saudaranya yang putih bersih di Antartika atau yang kurus kering di Kebun Binatang Surabaya. Di dalam mimpi ia bisa memiliki pacar, bahkan!

Pacar Growly di dalam mimpi bernama Angela. Bulan-bulan musim dingin mereka lalui bersama. Ketika cericit burung mulai terdengar samar-samar, kelinci-kelinci saling seruduk di liangnya, tupai-tupai mengendus hangatnya mentari dengan moncongnya, Growly berkata pada sang kekasih, “Hei, Sayang, kita harus kopi darat.”

Demikianlah. Mereka berjanji untuk bersua di tepi hutan sebelum mentari beranjak ke peraduan, di bawah pohon ara yang dahannya melingkar-lingkar bak lintasan kereta setan di Disneyland. Growly telah menyiapkan beberapa tangkai bunga. Bunga-bunga pertama yang mekar di semak-semak. Salju telah mencair dengan sempurna. Growly berlari-lari kecil sepanjang jalan tanpa sekalipun tersaruk lumpur.

Namun alangkah terkejut ia ketika mendapati sesosok manusia betina yang bersandar di pohon itu. Hanya rambut dan sweter dan celananya yang cokelat. Hanya sweternya yang berbulu lebat. Tidak begitu persis sebagaimana yang biasa ia temui di dalam mimpi!

Namun lebih terkejut lagi manusia itu saat melihatnya. Sampai-sampai tubuhnya yang gempal menggelosor dari sandaran. 

Growly yang kebingungan akhirnya menyeret manusia itu ke tempat yang agak tersembunyi. Beberapa lama ditunggui, manusia itu tidak kunjung sadarkan diri. Growly tidak dapat menahan kantuknya lagi. Ia pun terseret ke dalam mimpi. Angela langsung menyambutnya.

“Growly, oh, Growly, maafkan aku! Aku tidak menyangka ternyata kau begitu besar!”

“Aku pun tidak menyangka ternyata kau manusia!” sahut Growly gusar.

“Di dalam mimpi kita bisa menjadi apa saja!” seru Angela. “Aku tidak suka terus-terusan jadi manusia, maka aku jadi beruang! Tahukah kau betapa sejak dulu aku menyukai Teddy, Yogi, dan Winnie?”

“Tapi bagaimana kita bisa bersama?” tanya Growly muram.

Angela mengguncang-guncang lengan Growly yang nyaris seukuran batang pohon. “Makan aku, Growly! Makan aku! Selagi aku tidak sadarkan diri! Dengan begitu kita bisa bersama selamanya!” Perempuan itu mulai menangis.

Sama sekali Growly tidak menduga Angela hanyalah penjelmaan manusia yang putus asa. Jangan-jangan namanya pun bukanlah Angela. Ia tidak tahu apa yang mesti ia lakukan. Ia ingin melarikan diri. Ia kan vegetarian. Karena tenaganya yang besar, tidak sulit bagi Growly untuk mengempaskan perempuan itu. Namun belum lagi ia menjauh, sosoknya mendadak lenyap.  

Perempuan itu terjaga. Tembakan yang begitu dekat di kupingnya. Di sampingnya terkapar seekor beruang cokelat besar. Beberapa langkah dari situ seorang pria dengan topi pemburu dan mantel berbulu berdiri, menurunkan senapan.

“Hei, Nona. Kau tidak apa-apa? Nyaris saja beruang itu memakanmu.”

Sontak perempuan itu mendekatinya, merebut senapan dari tangannya. “Hei, hei, apa yang kau lakukan?” Perempuan itu mengokang pelatuk, lalu mengarahkan ujung laras ke dahinya sendiri.

Sekali lagi bunyi ledakan teredam pepohonan.[]


sekadar ngerjain latihan dari Funny & Fabulous Story Prompts - 50 Reproducible Story Starters To Get Them Writing and Loving It! (Richie Chevat, 1998, Scholastic Teaching Resources), bisa diunduh di sini.

Jumat, 19 Juli 2013

Lelaki Tua dan Perempuan Tua [Chewing Blackbones]



Dulu, dulu sekali, hanya ada dua orang di dunia: Lelaki Tua dan Perempuan Tua. Sekali waktu ketika mereka berkelana di sekitar bumi, Perempuan Tua berkata pada Lelaki Tua, “Sekarang mari kita buat ketentuan akan beberapa hal. Mari kita tentukan bagaimana manusia akan hidup ketika nantinya mereka di bumi.”

“Baiklah,” jawab Lelaki Tua, “Akulah yang pertama-tama bicara dalam segala hal.”

“Aku setuju denganmu,” kata Perempuan Tua. “Artinya—jikalau boleh aku yang bicara selanjutnya.”

Lalu Lelaki Tua mulai merancang. “Perempuanlah yang memiliki kewajiban untuk menyamak kulit hewan. Mereka menggosokkan otak hewan ke kulitnya untuk menjadikannya halus, dan mengikisnya dengan alat pengikis. Semua ini mereka lakukan dengan sangat cepat, sehingga tidak akan menjadi pekerjaan yang berat.”
               
“Tidak,” kata Perempuan Tua, “aku tidak menyetujuinya. Mereka harus menyamak kulit sebagaimana yang kau katakan; tapi itu mesti menjadi pekerjaan yang berat, supaya mereka menjadi pekerja keras.”
               
“Baiklah,” kata Lelaki Tua, “kita akan membiarkan manusia memiliki mata dan mulut, lurus di bagian atas dan di bagian bawah wajah mereka.”
               
“Tidak,” balas Perempuan Tua, “jangan kita biarkan mereka seperti itu. Kita akan memiliki mata dan mulut di wajah, sebagaimana yang kau katakan, tapi letaknya melintang.”
               
“Baiklah,” kata Lelaki Tua, “manusia akan memiliki sepuluh jari di masing-masing tangan.”
               
“Oh, tidak!” sahut Perempuan Tua. “Itu terlalu banyak. Akan ada empat jari dan satu jempol di masing-masing tangan.”
               
Demikianlah keduanya melanjutkan sampai tersedia segalanya bagi kehidupan manusia.
               
“Bagaimana dengan kehidupan dan kematian?” tanya Perempuan Tua. “Haruskah manusia hidup selamanya, atau haruskah mereka mati?”
               
Perempuan Tua dan Lelaki Tua kesulitan dalam menentukan ini. Akhirnya Lelaki Tua berkata, “Aku akan memberitahumu apa yang akan kita lakukan. Aku akan melempar kepingan tulang banteng ini ke air. Jika ini mengapung, manusia akan mati selama empat hari kemudian hidup kembali; jika ini tenggelam, mereka akan mati selamanya.”
               
Maka ia pun melempar kepingan tulang banteng itu ke air. Benda itu mengapung.
               
“Tidak,” kata Perempuan Tua, “kita tidak akan menentukannya seperti itu. Aku akan melempar batu ini ke air. Jika ini mengapung, manusia akan mati selama empat hari; jika ini tenggelam, mereka akan mati selamanya.”
               
Lalu Perempuan Tua melempar batu ke dalam air. Benda itu tenggelam ke dasar.
               
“Begitulah,” ucapnya. “Lebih baik bagi manusia untuk mati selamanya. Jika tidak, mereka tidak akan berbelas kasihan pada satu sama lain, dan tidak akan ada rasa kasih di dunia.”
               
“Baiklah,” ujar Lelaki Tua, “biarlah begitu saja.”
               
Semasa berlalu, Perempuan Tua memiliki seorang anak perempuan, yang tidak lama kemudian sakit dan meninggal. Sang ibu lantas sangat menyesal, karena mereka telah menentukan bahwa manusia harus mati selamanya. “Mari kita bicarakan sekali lagi,” ia berkata.
               
“Tidak,” jawab Lelaki Tua. “Janganlah kita ubah apa yang telah kita tentukan.”
               
Dan demikianlah manusia mengalami kematian semenjak itu.[] 



Alih bahasa dari mitos Indian Blackfoot yang diceritakan kembali oleh Chewing Blackbones, “Old Man and Old Woman”. Dikumpulkan oleh Ella E. Clark pada tahun 1953 dan dipublikasikan pada tahun 1966. (pg. 538-539, The Harper Anthology of Fiction, ed. Sylvan Barnet, 1991, Harpercollins Publishers Inc.) Sebelumnya pernah diomongin di sini

Senin, 15 Juli 2013

Complexity in Simplicity

“Sunday in the Park”, merupakan judul cerpen yang dikarang Bel Kaufman[1]. Judul yang membuat kita bertanya-tanya, peristiwa apa yang mungkin terjadi pada suatu Minggu di taman? Judul yang bagus untuk dijadikan tema pelajaran mengarang, seperti “Liburan ke Rumah Nenek”.

Bel Kaufman. source
Kita kemudian ditampilkan sebuah situasi yang sangat biasa. Sepasang suami istri pada suatu senja di taman, dengan anak mereka yang berumur tiga tahun bermain pasir. Ada anak lain di kotak pasir itu, yang sekonyong-konyong melempar pasir ke anak mereka. Sang ibu yang mengawasi kontan terkejut, lalu melarang anak itu untuk melakukannya. Tapi anak itu tetap melakukannya. Ia menahan naluri untuk menyelamatkan anaknya, dan menghardik anak yang lain. Ia ingin anaknya membela dirinya sendiri. Selain itu ia juga mencari-cari di manakah gerangan orangtua atau pengasuh anak yang telah berbuat tidak baik pada anaknya itu. Tidak disangka, pria besar yang sedang membaca buku komik di suatu bangku malah menyuruh anak itu untuk melempar-lempar pasir lagi.

You go right ahead, Joe. …. Throw all you want. This here is a public sandbox.”

Keruan ibu tersebut kalut, ia memberi isyarat pada suaminya untuk bertindak. Tapi apa daya. Suami yang ingin menyelesaikan masalah tersebut dengan baik-baik, malah keder dengan tubuh pria yang lebih besar tersebut. Ia pun mengajak istri-anaknya untuk pergi. Si anak pun meronta-ronta, karena sebetulnya masih asyik bermain. Sepanjang jalan ada perasaan yang mengganjal sang istri. Ia sebenarnya ingin suaminya bertindak lebih, walaupun akibatnya mungkin akan konyol. Suaminya pun berpikir demikian. Itu kejadian sepele, yang tidak akan menghasilkan apapun. Namun anak yang tidak berhenti menangis membuat mereka gusar. Di sinilah karakter yang sebenarnya dari suami-istri itu terlihat. Istri yang lega karena perkelahian tidak terjadi, namun di sisi lain kecewa karena anak dan suaminya kurang agresif. Suami yang rasional dan ingin menghindari adu fisik, namun secara ironis ia menunjukkan kecenderungan untuk menghukum anaknya dengan kekerasan.

If you can’t discipline this child, I will,” Morton snapped, making a move toward the boy.

Kita tidak bisa menilai orang hanya dari penampakannya. Keluarga Morton yang tampak baik-baik, dengan Morton berprofesi sebagai pengajar di suatu universitas, membaca Times, dan memiliki cara bicara yang santun, tampak kontras dengan Ayah Joe yang bertubuh besar, membaca buku komik, dan omongannya kasar. Tapi Ayah Joe lebih memiliki perhatian pada anaknya ketimbang Morton. Morton perlu diberi isyarat oleh istrinya dulu, baru bertindak untuk membela anaknya. Sedangkan Ayah Joe yang memang hanya sendirian, tahu-tahu saja menimpali ketika anaknya ditegur oleh istri Morton. Toh barangkali Joe melempar Larry dengan pasir pun karena ingin mendapatkan perhatiannya, ingin berteman. Karena Larry pada mulanya tidak acuh saja, seperti ayahnya. Kemudian setelah meninggalkan area bermain, kita tahu bahwa keluarga Morton pun masih menuai problemnya sendiri.

Menggunakan sudut pandang orang ketiga perspektif istri Morton, informasi yang diberikan cukup jelas. Kita bahkan bisa mengetahui isi pikiran perempuan yang tidak disebutkan namanya itu.

Of all the stupid, despicable bullies, she thought…

If there had been an issue involved, she thought, if there had been something to fight for. …

Kompleksitas dalam kehidupan manusia terkandung dalam situasi yang amat biasa. Konflik-konflik kecil semacam itu, antara Morton dengan Ayah Joe, lalu antara Morton dengan istrinya, yang melaluinya terungkap bagaimana karakter masing-masing. Barangkali relevan dengan perkataan seseorang yang saya lupa, bahwa karya fiksi yang dianggap besar itu justru hanya menampilkan kejadian biasa dalam kehidupan sehari-hari. Satu-dua aspek dalam kehidupan, beberapa detail terkait kita tonjolkan dengan kata-kata. Darinya terletup pemikiran. Kembali saya jadi ingin mengutip kata-kata Harvey Pekar, ordinary life is pretty complex stuff.[]


dari The Harper Anthology of Fiction, ed. Sylvan Barnet, 1991, Harpercollins Publishers Inc. 
beberapa ulasan yang cukup baik mengenai cerpen ini bisa dilihat di sini, sini, dan sini
teks asli bisa dilihat di sini


[1] Pengarang Amerika Serikat keturunan Yahudi yang lahir di Jerman. Ia masih hidup di usia yang melebihi satu abad. Karyanya yang terkenal adalah Up the Down Staircase (1965), kisah tentang seorang guru idealis di sebuah SMA yang konon berdasarkan pengalamannya sendiri. Novel tersebut kemudian difilmkan dengan judul yang sama pada tahun 1967.  

Kamis, 11 Juli 2013

CampNaNoWriMo Juli 2013: Catatan H-7

Aku punya setumpuk bacaan untuk mengiringi CampNaNoWriMo-Juli-2013-ku. Tapi menempelkan tulisan mengenai proses kreatif Haruki Murakami di dinding-atas mejaku (melalui suatu proses yang diakibatkan loncatan-loncatan pikiran) mendorongku untuk membuka novel On a Journey[1]. Novel ini menceritakan tentang seorang perempuan yang patah hati lalu melakukan perjalanan dengan mengendarai sepeda. Di perjalanan dia bertemu dengan seorang pemuda yang seperti Che Guavara masa kini, sekelompok lansia di warung makan, seorang perempuan yang hamil di luar nikah lalu meninggalkan orangtuanya untuk hidup bersama pacarnya, (lalu ia bertemu dengan pacar dan orangtua perempuan itu juga), seorang perempuan yang suka mengumpulkan tiket perjalanan, sampai seorang pemuda yang sama-sama melancong seperti dirinya. Ini novel yang mudah dibaca. Aku menikmatinya di sela-sela menulis ocehanku sendiri, sembari berselonjor di kasur diterangi matahari sore yang akhir-akhir ini cerah (#apasih). (Membaca novel saat mandek menulis ternyata cukup berkhasiat.) Alurnya lurus, sehingga tentunya mudah juga untuk menceritakannya lagi. Bagaimanapun aku senang karena novel ini menceritakan tentang penulis. Aku selalu senang cerita tentang penulis, aku mengumpulkan novel-novel tentang itu sejak The Novelist, The Other Side of Story, The Novel, dan kini On a Journey menambah koleksiku. Dan ada Chuck Palahniuk dan Anais NĂ¯n di sini, wow. Aku belum menelusuri tentang Diavabre maupun Richanara, tempat-tempat bernama semacam itu yang menjadi latar cerita ini. Aku merasa rancu. Aku merasa ini seperti Amerika, tapi kadang yang terbayang olehku adalah jalur mobil yang kulalui kalau menuju Jogja dari Bandung atau sebaliknya (terutama di daerah berbahasa Jawa). Tapi toh William Faulkner pun mengarang daerah bernama Yoknapatawpha di Satoris (1929) (jangan tanya tentang apa soalnya ini hanya informasi yang kudapat sekilas dari suatu buku). Juga ingat Budi Darma dalam Olenka, di mana tokoh-tokohnya berdialek jawatimuran padahal latarnya di Bloomington. Mengingat pembacaan yang baik mestilah personal (ya... teoriku saja sih), aku tidak terbayang bisa berada dalam posisi seperti Rubi Tuesday (nama protagonis dalam cerita ini). Dalam beberapa hal aku merasa ada kesamaan. Menurutku kadang dia bukan pemerhati yang baik, walaupun dia penulis. Maksudku, kadang dia tidak begitu peduli dengan nama-nama (dia tidak mengingat nama motel di mana ia menginap sehingga keruan dia tersesat), dan hal lainnya. Kata siapa penulis mesti detail terhadap segala sesuatu. Aku bisa mengerti, dia mungkin terlalu lelah untuk itu. Dia bahkan tidak peduli dengan orang lain. Dia tidak betah bermalam di rumah seorang wanita tua yang menurutnya cerewet. (Sama, aku juga pernah begitu haha). Aku sempat sebal dengan perlakuannya terhadap si perempuan hamil, Sofi. Walau dari bagaimana sikap Sofi, aku bisa paham juga kenapa Rubi senewen. Hanya buatku pribadi “bukan urusanku” (yang cukup sering dilontarkan Rubi dalam narasinya) bukanlah frasa yang enak untuk didengar. (Ini membuatku berpikir apakah aku sendiri suka berpikir seperti itu ketika teringat atau dihadapkan pada urusan orang lain). Bagaimanapun, bagian yang paling aku suka dari novel ini justru ada di interaksi Rubi-Sofi. Bagaimana Rubi menganalogikan Sofi yang berlagak baik-baik saja saat keadaannya mengkhawatirkan dengan kisah tentang dokter dan wartawan. "Pendarahan itu bukan sesuatu yang serius," kata dokter di halaman 144 yang kemudian mati ditikam orang tak dikenal. Peristiwa dokter yang mati dibunuh orang tidak dikenal itu juga bukan hal yang serius, kata wartawan di halaman 151 yang kemudian dipindah ke bagian gosip selebritis... Kocak sih menurutku. Hei Rubi, kamu tidak seburuk itu dalam membuat analogi. Kalau berada dalam posisi Rubi, dalam artian semisal aku-penulis-dan-aku-patah-hati, aku mungkin tidak akan cukup bernyali untuk melancong dengan sepeda seperti itu (bahkan mungkin aku tidak akan pernah bertemu dengan cowok seperti Stine sehingga aku tidak akan pernah berada dalam posisi tersebut, romance bukan duniaku). Aku akan menghampiri epifaniku di kamar saja. Salut buat Rubi. Aku cukup tersentuh dengan “orasi” Bili yang seakan mengejek Rubi, soal betapa manjanya ia karena melarikan dari dari masalah atau semacam itu. Betapa ia beruntung karena punya kesempatan untuk membuang-buang waktu, sementara Bili punya tanggungan. Seolah secara tidak langsung mendukung pandanganku kalau penulis adalah profesi yang “mewah”. Eh mungkin pikiranku melompat terlalu jauh. Aku agak tidak menyangka kalau beberapa hal dalam novel ini bersinggungan dengan apa yang lagi aku tulis. Tidak persis sih. Hanya di bagian patah hati lalu jalan-jalan (dan pelajaran yang ditemukan tokohku hanya nihilisme) dan bukan itu juga pokok bahasanku, dan betapa manjanya ia (si-anak-kota-besar-dari-kalangan-menengah, tokohku, maksudku). Hal-hal yang tampaknya memang "sangat anak muda sekali", ya enggak sih? Menurutku ini adalah novel yang “positif”, dalam artian, di awal protagonis mengalami hal yang buruk lalu peristiwa demi peristiwa yang menuju ketegangan terjadi padanya hingga di akhir ia memiliki semacam ketabahan, kalau bukan perubahan nasib yang drastis. Pada akhirnya Rubi dapat mengatasi perasaannya pada cowok yang ia pernah suka. Pokoknya ada perkembangan karakter semacam itu. Seolah ada konvensi bahwa setiap penulis berkewajiban untuk menggiring pembaca ke arah positif (memang harus apa lagi?). Sedang pada apa yang aku tulis, seperti kata Haruki Murakami, “…saya mendapat beberapa bayangan, lantas saya menggabungkan bayangan itu menjadi garis cerita,” namun sayangnya sering kali aku tidak punya bayangan untuk mengisi ceruk lebar di antara bayangan-bayangan yang sudah ada, aku juga tidak punya cukup kesabaran untuk menulis narasi yang jelas dan tenang sebagaimana yang aku rasakan di novelnya, Norwegian Wood,  selain itu, “…saya tidak tahu bagaimana cerita itu akan berakhir atau apa yang akan terjadi di halaman-halaman berikutnya. … Saya justru menuliskan cerita tersebut untuk mengetahui siapa pembunuhnya.” Yang aku tulis bukan bunuh-bunuhan sih, hanya jiwa yang mati. Oh tentu saja aku tahu bagaimana cerita ini akan diakhiri, yaitu begitu aku melampaui target 50,000 kata, atau karena sudah tanggal 31. Entah di kata ke-50.000 atau pada tanggal 31 itu tokohku akan mencapai apa. Seperti Rubi, aku merasa lagi on a journey juga. Melancong ke rimba-pikiran. Tidak bisa memastikan apa yang bakal ditemui.



[1] Karya Desi Puspitasari, Cet. Pertama, Januari 2013, diterbitkan oleh Penerbit Bentang, Yogyakarta

Selasa, 09 Juli 2013

Sedikit tentang pembacaan

Aku suka mengaitkan pembacaan secara personal. Aku pikir bagusnya emang gitu sih. Pembacaan itu semestinya berkontribusi terhadap perbaikan diri. Cuman membaca beberapa buku tuh aku jadi kesal sendiri, di antaranya ya Desperately Seeking Paradise [buku yang lagi aku baca pada saat aku menulis ini kali pertama]. Karena aku menerapkan aturan kalau setiap habis baca buku aku harus menuliskan pembacaannya, minimal sekenanya di buku tulis, aku jadi enggak bisa begitu saja melupakan apa yang kubaca (nah justru itu fungsinya) dan beralih ke bacaan lain. Aku jadi seolah “dipaksa” untuk menggali pemikiranku terkait apa yang disampaikan buku itu, yang padahal sebetulnya aku enggak suka memikirkan itu (terus kenapa baca buku terkait?). Kalau buku itu memantik, aku bisa mengembangkan pikiran, menulis agak banyak walau acak-acakan. Sedang kalau lagi males, aku nulis bener-bener seadanya, alias mungkin buku itu enggak begitu memantik, lebih ke unsur hiburan alih-alih pemikiran. Jadi kalau pingin menentukan apakah suatu buku bisa memantik pemikiran atau enggak, bisa dilihat dari panjangnya pembacaan. Tapi bisa jadi pembacaan pendek karena aku enggak ngerti apa yang diomongin buku itu, bukannya buku itu tanpa pemikiran sama sekali.


ditulis dengan tangan 3-7-13

Minggu, 07 Juli 2013

Sedikit tentang seseorang dalam kepalaku

Saat aku kelas dua SMP (atau tiga? Masa-masa itulah), ada telenovela anak berjudul Alegrijes y Rebujos tayang di RCTI. Aku suka dengan antagonisnya yang bernama Ricardo, diperankan oleh Diego Gonzales Bonetta. Sampai-sampai aku ingin menyimpannya dalam kepala. Dan itulah yang terjadi. Ia menjadi semacam aktor untuk cerita-cerita yang kukarang, sampai sekarang. Bahkan kadang karakter rekaan orang lain pun aku bayangkan diperankan oleh "aktor" ini. Baru-baru ini aku iseng mencari-cari tentangnya, Diego Gonzales Bonetta, di Google. Ia sedang menapaki karier di AS. Aku takjub ketika melihat wajahnya, ternyata tidak persis dengan si “aktor” dalam kepalaku. Setelah hampir satu dekade bersama, si “aktor” seperti membentuk wajahnya sendiri, hingga tidak tampak kelatinannya, malah mungkin nyunda? Yang pasti ganteng. (Nah, itu.) Kalau ketemu orang yang wajahnya benar-benar seperti itu, aku bakal gimana ya? Apa aku bakal langsung mendekatinya dan negur, “Hei, kamu keluar dari kepala aku, ya?” Dia pasti terkejut sekali haha. Tapi bagaimana kalau dia bilang, “Iya, aku pingin jalan-jalan dulu nih.” Lalu setelah itu aku takut dia enggak bakal balik lagi. “Jangan lama-lama ya,” aku pesan gitu aja deh. Kalau dia balik lagi (dan tentu saja aku harap begitu), mungkin dia bakal bawa orang baru. Pacar? Eh tunggu dulu. Yang keluar dari kepalaku yang mana nih? Soalnya ada satu lagi yang wajahnya mirip, dan dia hanya bisa jadi dirinya sendiri. Sedang yang satu lagi lebih bisa berakting, dalam artian, karakternya lebih fleksibel untuk dimasukkan dalam berbagai situasi dengan latar belakang berbeda-beda, mungkin yang inilah “aktor”-ku. Yang hanya bisa jadi dirinya sendiri itulah yang mengangguku dengan segala cerita, curhat, galau, nafsu, dan hasratnya, dan secara kami menjalani alam dengan dimensi ruang dan waktu yang berbeda, aku bisa tahu dia kalau udah jadi om-om kayak gimana. Ternyata bergaul dengan om-om bisa sengeri itu hahahaa…


ditulis dengan tangan 28-6-13

Rabu, 03 Juli 2013

India: Kebahagiaan adalah Kontradiksi

Di The Geography of Bliss, saya sempat diajak mampir ke India. Per­temuan dengan India saya perdalam dengan membaca buku se­lan­jut­nya, masih bertema kebahagiaan, Negeri Bahagia[1]. Novel ini se­ma­cam Laskar Pelangi dan Negeri Lima Menara, realita mem­pri­ha­tin­kan yang dituangkan dalam bentuk fiksi. Tapi tentu tidak begitu sa­ja dapat kita bandingkan. Negeri Bahagia tidak melambungkan mim­pi, hanya mengempaskan kita dalam realita yang mengenaskan.

Negeri Bahagia atau Anand Nagar adalah nama perkampungan ku­muh seluas tidak lebih dari dua stadion di Calcutta, berpenduduk se­ki­tar 70.000 orang. Mayoritas Islam, selebihnya Hindu, Kristen, dan ber­bagai kepercayaan lain. Warga Negeri Bahagia yang paling me­nge­sankan saya adalah Stephan Kovalski, seorang pendatang dari Pran­cis yang notabene pastor Polandia. Ia sengaja menempatkan di­ri di tengah kepapaan sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Mu­la-mula hanya sesama penganut Kristen yang simpati padanya, se­bagai pastor ia dicurigai hendak menjalankan misi tertentu. Ma­sa­lah agama sangat penting di India. Namun Kovalski menunjukkan ke­tu­lusannya dalam berbagi, sehingga lingkungannya pun meng­hor­mati.

Selain itu ada Hasari Pal, petani dari Bengali yang terpaksa merantau ke Calcutta bersama istri dan anak-anaknya karena bencana ke­ke­ring­an di desa mereka. Di Calcutta mula-mula mereka tinggal di kaki li­ma, tanpa peneduh, bersama banyak pengungsi lain dari berbagai da­erah. Di bawah sengatan matahari, di tengah kepadatan manusia, di­bekap udara yang amat panas, berhari-hari Hasari mencari nafkah. Ka­dang pekerjaan diperolehnya karena pekerja sebelumnya celaka atau mati—memang risiko dari pekerjaan tersebut. Bahkan pernah ia mendapatkan uang dari menjual darahnya. Sampai akhirnya ia ber­temu dengan seseorang yang sekampung, yang berbaik hati men­carikannya kesempatan untuk menjadi penarik angkong[2]. Men­ja­di penarik angkong tidak berarti lebih baik. Profesi ini meng­a­ki­bat­kan penuaan dini, kerusakan paru-paru, dan menurunkan harapan hi­dup hingga kurang dari usia 40 tahun. Tapi karena sengitnya per­sa­ing­an untuk mendapatkan pekerjaan, Hasari mampu bertahan se­la­ma bertahun-tahun hingga mendapat kesempatan untuk menjadi pen­duduk Negeri Bahagia. Ini berarti ia dan keluarganya akan punya tem­pat tinggal dengan atap.

Di Negeri Bahagia Hasari bertetangga dengan Kovalski. Saat itu ia me­rasa hidupnya tidak akan lama lagi. Tapi sebelum mati ia ingin me­nunaikan kewajibannya sebagai ayah, yaitu menikahkan putrinya. Na­mun untuk itu ia membutuhkan uang yang sangat besar untuk me­nebus mas kawin. Maka ia menjual kerangka tubuhnya seharga 500 rupee (akan diambil begitu ia mati), juga menyuruh seorang anak laki-lakinya untuk memulung, ditambah menjual sisa harta yang dimiliki. Tuntutan mas kawin dari pihak mempelai laki-laki ber­tam­bah-tambah, belum lagi bayaran yang diminta sang pujari—se­ma­cam penghulu yang berperan mengatur pernikahan mulai dari me­nentukan jodoh, tanggal pernikahan, upacara, dan sebagainya. Ba­gaimanapun pernikahan akhirnya berhasil dilanjutkan, namun Ha­sa­ri tidak bisa menikmatinya. Ia malah beringsut ke lain tempat di ma­na meregang nyawa.

Kisah tersebut hanya satu dari berbagai kisah tragis yang di­sam­pai­kan di Negeri Bahagia, yang di antaranya merupakan persinggungan Ko­valski dengan berbagai kalangan—bahkan kalangan bawah pun ma­sih memiliki semacam strata. Semisal saat Kovalski harus terjebak da­lam birokrasi yang berlarut-larut hingga enam minggu di kantor imi­grasi, hanya untuk menjemput serum yang ternyata sudah ke­da­lu­warsa saat berhasil diambil. Ada Sabia, anak penderita tu­ber­ku­lo­sis yang tinggal di samping gubuk Kovalski, yang pada akhirnya me­ning­gal. Ibu Sabia menjual janin yang sedang dikandungnya, sebab uang­nya bisa digunakan untuk memberi makan keluarganya, namun ak­hirnya meninggal akibat pendarahan saat operasi, tanpa ke­lu­ar­ga­nya mengetahui. Ada komunitas pengidap lepra yang memiliki tata hi­dup sendiri karena masyarakat sudah sedemikian meminggirkan me­reka. Ada sekelompok sida-sida yang berperan sebagai kambing hi­tam, penanggung dosa bayi-bayi yang baru dilahirkan. Ada juga god­father, mafia Negeri Bahagia yang mensyaratkan ribuan rupee ke­tika Kovalski hendak membangun klinik untuk pengidap lepra. Dan mun­son, yang bukan siapa-siapa, hanya perubahan cuaca secara eks­trem yang melelehkan sandal di aspal, menewaskan hewan-he­wan, menyungkurkan orang-orang di jalanan, dan tiba-tiba da­tang­lah hujan lebat yang awalnya disyukuri hingga membuat penduduk me­nari-nari, lantas mengungsi ke masjid, ke rumah godfather yang tan­pa terduga masih memiliki hati, karena air kian meninggi, mem­ba­wa segunung kotoran dan bangkai bersamanya.

Pembacaan novel ini agaknya memberi saya semacam ketabahan. Sa­ya disuguhi keadaan di mana orang-orang harus berusaha keras de­mi mendapatkan uang, demi membeli makanan yang hanya cu­kup untuk hari itu. Bagaimanapun kondisi mereka, mereka akan te­rus berjuang sampai fisik benar-benar tidak memungkinkan lagi, sam­pai mati maksudnya. Habis-habisan betul. Dalam novel The White Tiger, keadaan ini diungkapkan secara humoris-satiris, bahkan mung­kin sinis, sementara Negeri Bahagia menyampaikannya de­ngan lebih detail, lembut, dan… menyayat. Sementara The White Tiger cenderung meledek perilaku bangsa India yang korup dan opor­tunis, Negeri Bahagia setelah menuturkan gambaran-gambaran tra­gis seakan selalu berusaha mengimbanginya dengan me­nam­pil­kan sisi positif. Bahwa dalam kultur yang sedemikian sulit, masih ada ka­sih sayang dan kemanusiaan.

Di India kebahagiaan adalah kontradiksi, kata Eric Weiner. Persis se­per­ti yang dikatakannya pula dalam The Geography of Bliss, ikatan so­sial di India sangat kuat. Seburuk apapun keadaan seseorang, se­la­lu ada yang lebih buruk, seolah itu membuat mereka merasa sedikit le­bih baik. Satu sama lain bisa saja saling menindas, menguras, me­ram­pas, dan berbagai kekejian lainnya, tapi dalam situasi lain, ada sa­ja yang tahu-tahu memberikan perhatiannya bahkan menolong. Te­rus-menerus jatuh-bangun seperti itu sampai risiko pekerjaan atau pandemi membunuh mereka.  

Penulis novel ini, seorang Prancis bernama Dominique Lapierre, me­la­kukan riset selama dua tahun terhadap kehidupan slum di Cal­cut­ta, India, lalu menuliskannya selama setahun di kawasan hutan dan per­kebunan yang indah di Prancis Selatan. Novel ini kemudian men­ja­di megabestseller yang diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, ser­ta menarik banyak surat dan donasi. Ia mendirikan Action Aid for Le­pers Children of Calcutta yang diorganisasikan secara kecil-kecilan se­hingga memudahkan pemantauan, antara lain dalam memastikan ban­tuan benar-benar sampai pada yang membutuhkan. Keadaan pun menjadi lebih baik. Perkampungan kumuh tersebut telah di­re­ha­bilitasi dengan berbagai fasilitas, yang justru mendatangkan ma­sa­lah baru hingga kaum papa makin tersingkir. Dengan produk-pro­duk yang muncul selanjutnya seperti novel The White Tiger dan film Slum­dog Millionare, kita tahu bahwa keadaan di India masih bisa bi­kin kita miris. Mungkin seperti perkataan Prodip Pal, ayah Hasari, “arang tidak akan berubah warna walaupun dicuci.”

Omong-omong soal Calcutta, ada videopklip kocak dari era ’90-an.


Juga ada potongan dari film India berjudul Noorie. Film ini di­pro­duk­si pada tahun 1979, yang saya kira semasa de­ngan ketika Kovalski menjejakkan kaki di Negeri Bahagia untuk kali per­tama. Dalam video ditampilkan pemandangan alam yang indah di mana Noorie dan kekasihnya berkejar-kejaran, barangkali seperti itu­lah gambaran pedesaan di India, sebelum disedot habis-habisan oleh para tuan tanah lantas penduduknya melakukan urbanisasi ke ko­ta-kota besar seperti Calcutta, Bangalore, atau manapun. Saya be­lum pernah menonton film ini, hanya dalam satu sumber di­ki­sah­kan bahwa keluarga Noorie kemudian dibantai oleh tuan tanah, se­dang Noorie sendiri diperkosa lalu bunuh diri, lalu kekasihnya balas den­dam.


Terakhir… satu lagi videoklip, iklan sebenarnya. Kali pertama menontonnya, saya terharu. Kali berikutnya, yaitu setelah membaca Negeri Bahagia, saya menangis. Mungkin karena telah paham konteks dalam tayangan tersebut, bahwa keadaan sebagaimana yang ditunjukkan memang nyata adanya. 


Baik Wiener dalam The Geography of Bliss maupun Lapierre dengan Ne­geri Bahagia menyatakan agar pembaca tidak membuat ge­ne­ral­i­sa­si atas gambaran mereka mengenai suatu negara, demikian saya sam­paikan pula. Saya kira memang tidak sepatutnya kita bersyukur karena orang lain lebih menderita. Dengan mengetahui bahwa ada banyak orang dengan penderitaan sedemikian parah, cukuplah bagi ki­ta untuk mengurangi keluhan.[]




[1] Edisi Indonesia yang saya baca diterbitkan oleh BENTANG, Yogyakarta, cetakan pertama, Desember 2004, tebal 799 halaman, diterjemahkan oleh Wardah Hafidz
[2] Semacam becak yang ditarik oleh manusia, berasal dari Jepang

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain