Kamis, 11 Juli 2013

CampNaNoWriMo Juli 2013: Catatan H-7

Aku punya setumpuk bacaan untuk mengiringi CampNaNoWriMo-Juli-2013-ku. Tapi menempelkan tulisan mengenai proses kreatif Haruki Murakami di dinding-atas mejaku (melalui suatu proses yang diakibatkan loncatan-loncatan pikiran) mendorongku untuk membuka novel On a Journey[1]. Novel ini menceritakan tentang seorang perempuan yang patah hati lalu melakukan perjalanan dengan mengendarai sepeda. Di perjalanan dia bertemu dengan seorang pemuda yang seperti Che Guavara masa kini, sekelompok lansia di warung makan, seorang perempuan yang hamil di luar nikah lalu meninggalkan orangtuanya untuk hidup bersama pacarnya, (lalu ia bertemu dengan pacar dan orangtua perempuan itu juga), seorang perempuan yang suka mengumpulkan tiket perjalanan, sampai seorang pemuda yang sama-sama melancong seperti dirinya. Ini novel yang mudah dibaca. Aku menikmatinya di sela-sela menulis ocehanku sendiri, sembari berselonjor di kasur diterangi matahari sore yang akhir-akhir ini cerah (#apasih). (Membaca novel saat mandek menulis ternyata cukup berkhasiat.) Alurnya lurus, sehingga tentunya mudah juga untuk menceritakannya lagi. Bagaimanapun aku senang karena novel ini menceritakan tentang penulis. Aku selalu senang cerita tentang penulis, aku mengumpulkan novel-novel tentang itu sejak The Novelist, The Other Side of Story, The Novel, dan kini On a Journey menambah koleksiku. Dan ada Chuck Palahniuk dan Anais Nïn di sini, wow. Aku belum menelusuri tentang Diavabre maupun Richanara, tempat-tempat bernama semacam itu yang menjadi latar cerita ini. Aku merasa rancu. Aku merasa ini seperti Amerika, tapi kadang yang terbayang olehku adalah jalur mobil yang kulalui kalau menuju Jogja dari Bandung atau sebaliknya (terutama di daerah berbahasa Jawa). Tapi toh William Faulkner pun mengarang daerah bernama Yoknapatawpha di Satoris (1929) (jangan tanya tentang apa soalnya ini hanya informasi yang kudapat sekilas dari suatu buku). Juga ingat Budi Darma dalam Olenka, di mana tokoh-tokohnya berdialek jawatimuran padahal latarnya di Bloomington. Mengingat pembacaan yang baik mestilah personal (ya... teoriku saja sih), aku tidak terbayang bisa berada dalam posisi seperti Rubi Tuesday (nama protagonis dalam cerita ini). Dalam beberapa hal aku merasa ada kesamaan. Menurutku kadang dia bukan pemerhati yang baik, walaupun dia penulis. Maksudku, kadang dia tidak begitu peduli dengan nama-nama (dia tidak mengingat nama motel di mana ia menginap sehingga keruan dia tersesat), dan hal lainnya. Kata siapa penulis mesti detail terhadap segala sesuatu. Aku bisa mengerti, dia mungkin terlalu lelah untuk itu. Dia bahkan tidak peduli dengan orang lain. Dia tidak betah bermalam di rumah seorang wanita tua yang menurutnya cerewet. (Sama, aku juga pernah begitu haha). Aku sempat sebal dengan perlakuannya terhadap si perempuan hamil, Sofi. Walau dari bagaimana sikap Sofi, aku bisa paham juga kenapa Rubi senewen. Hanya buatku pribadi “bukan urusanku” (yang cukup sering dilontarkan Rubi dalam narasinya) bukanlah frasa yang enak untuk didengar. (Ini membuatku berpikir apakah aku sendiri suka berpikir seperti itu ketika teringat atau dihadapkan pada urusan orang lain). Bagaimanapun, bagian yang paling aku suka dari novel ini justru ada di interaksi Rubi-Sofi. Bagaimana Rubi menganalogikan Sofi yang berlagak baik-baik saja saat keadaannya mengkhawatirkan dengan kisah tentang dokter dan wartawan. "Pendarahan itu bukan sesuatu yang serius," kata dokter di halaman 144 yang kemudian mati ditikam orang tak dikenal. Peristiwa dokter yang mati dibunuh orang tidak dikenal itu juga bukan hal yang serius, kata wartawan di halaman 151 yang kemudian dipindah ke bagian gosip selebritis... Kocak sih menurutku. Hei Rubi, kamu tidak seburuk itu dalam membuat analogi. Kalau berada dalam posisi Rubi, dalam artian semisal aku-penulis-dan-aku-patah-hati, aku mungkin tidak akan cukup bernyali untuk melancong dengan sepeda seperti itu (bahkan mungkin aku tidak akan pernah bertemu dengan cowok seperti Stine sehingga aku tidak akan pernah berada dalam posisi tersebut, romance bukan duniaku). Aku akan menghampiri epifaniku di kamar saja. Salut buat Rubi. Aku cukup tersentuh dengan “orasi” Bili yang seakan mengejek Rubi, soal betapa manjanya ia karena melarikan dari dari masalah atau semacam itu. Betapa ia beruntung karena punya kesempatan untuk membuang-buang waktu, sementara Bili punya tanggungan. Seolah secara tidak langsung mendukung pandanganku kalau penulis adalah profesi yang “mewah”. Eh mungkin pikiranku melompat terlalu jauh. Aku agak tidak menyangka kalau beberapa hal dalam novel ini bersinggungan dengan apa yang lagi aku tulis. Tidak persis sih. Hanya di bagian patah hati lalu jalan-jalan (dan pelajaran yang ditemukan tokohku hanya nihilisme) dan bukan itu juga pokok bahasanku, dan betapa manjanya ia (si-anak-kota-besar-dari-kalangan-menengah, tokohku, maksudku). Hal-hal yang tampaknya memang "sangat anak muda sekali", ya enggak sih? Menurutku ini adalah novel yang “positif”, dalam artian, di awal protagonis mengalami hal yang buruk lalu peristiwa demi peristiwa yang menuju ketegangan terjadi padanya hingga di akhir ia memiliki semacam ketabahan, kalau bukan perubahan nasib yang drastis. Pada akhirnya Rubi dapat mengatasi perasaannya pada cowok yang ia pernah suka. Pokoknya ada perkembangan karakter semacam itu. Seolah ada konvensi bahwa setiap penulis berkewajiban untuk menggiring pembaca ke arah positif (memang harus apa lagi?). Sedang pada apa yang aku tulis, seperti kata Haruki Murakami, “…saya mendapat beberapa bayangan, lantas saya menggabungkan bayangan itu menjadi garis cerita,” namun sayangnya sering kali aku tidak punya bayangan untuk mengisi ceruk lebar di antara bayangan-bayangan yang sudah ada, aku juga tidak punya cukup kesabaran untuk menulis narasi yang jelas dan tenang sebagaimana yang aku rasakan di novelnya, Norwegian Wood,  selain itu, “…saya tidak tahu bagaimana cerita itu akan berakhir atau apa yang akan terjadi di halaman-halaman berikutnya. … Saya justru menuliskan cerita tersebut untuk mengetahui siapa pembunuhnya.” Yang aku tulis bukan bunuh-bunuhan sih, hanya jiwa yang mati. Oh tentu saja aku tahu bagaimana cerita ini akan diakhiri, yaitu begitu aku melampaui target 50,000 kata, atau karena sudah tanggal 31. Entah di kata ke-50.000 atau pada tanggal 31 itu tokohku akan mencapai apa. Seperti Rubi, aku merasa lagi on a journey juga. Melancong ke rimba-pikiran. Tidak bisa memastikan apa yang bakal ditemui.



[1] Karya Desi Puspitasari, Cet. Pertama, Januari 2013, diterbitkan oleh Penerbit Bentang, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...