Rabu, 31 Juli 2013

(10)

TIARACITRA

Refreshing yang kulakukan selama ini akhirnya membuahkan hasil. Senang sekali. Aku sudah mengetik sampai bab tiga, dan aku melakukannya dalam waktu cepat. Begitu ya. Kebosanan berminggu-minggu pun tertebus. Aku sudah mengirim drafku lewat surel pada Pak Bambang, lalu besok kami akan bertemu. Biasa seperti itu. Setelahnya, entah kenapa aku ingin menghubungi Hayat. Kalau ditanya lewat sms pasti ia tidak balas. Kira-kira ia sedang apa ya. Kira-kira bagaimana responsnya kalau aku telepon saja. Paling-paling aku cuman membangunkannya dari tidur. Lagipula ia tidur sudah terlalu lama, atau malah baru bisa tidur.

“Hei, aku udah sampai bab tiga. Besok mau ketemu Pak Bambang. Mau bareng?”

Dari suara-suara yang melatarinya, aku curiga dia lagi main tembak-tembakan.

“Gue udah nyerahin kemarin,” dengan nadanya yang hidup-segan-mati-tak-mau.

Mataku terbelalak. Curang! Padahal selama ini aku memikirkannya, bagaimana TA-nya. Dan dia melaju sendirian tanpa kabar-kabar. Huh! Lain kali peduli amat deh sama dia!

“Terus? Gimana hasilnya punya lo?” tapi aku tidak ingin menyudahi pembicaraan begitu saja…

“Revisi lagi. Itu dosen niat ngelulusin cepet apa enggak sih…”

Karena aku tidak segera merespons, ia berkata lagi, “Lo mau gue temenin ke Pak Bambang?”

…bagaimana ya…

“Ngomong aja, enggak usah gengsi.”

Aku mengernyit. “Enggak usah,” kataku. Kuputus sambungan.

Kulipat lengan di meja. Desahku keluar. Seharusnya aku katakan “iya” saja tadi. Kalau begini kan aku jadi benar-benar tidka punya teman. Kubenamkan dagu di balik lengan. Cewek-sipit itu—Cecilia, bagaimana kabarnya… Kuangkat lagi kepala. Layar ponsel seperti yang menantangku. Katakan saja, Tiaracitra, katakan saja sama cowok itu kalau kamu ingin menjalaninya bersama, sampai tuntas TA. Karena tidak ada orang lain yang cukup dekat untuk diajak, tentu saja. Aku mendesah lagi. Kenapa hidup harus begini sepi. Hiks.

TIARACITRA

Hayat baru terlihat setelah aku keluar dari ruangan Pak Bambang. Ia duduk di bangku di luar ruangan sambil memainkan game di ponselnya.

“Kamu enggak tanya gimana draf punyaku?”

“Gimana?”

“Revisi.”

“Hm.” Ia tersenyum. Aku tebak suasana hatinya masih riang.

“Kamu udah gabung ke grup Bimbingan Pak Bambang?”

“Enggak ah,” sahutnya dengan enggan. Aku terkikih kecil.

Lalu langkah kami sama-sama melambat.

“Ke mana nih?” tanyanya.

Aku juga tidak punya tujuan. Setelah berpikir-pikir sebentar, “Gimana kalau kita coba menu baru di Kantin Gelex? Jus melon-pisang?”

Ia tampak tidak begitu tertarik. Tapi, “ngikut aja deh.”

Kantin Gelex terletak berlawanan arah dari Kantin Barat Daya. Jalan pintas menuju ke sana adalah dengan menembus gedung yang dipakai untuk jurusan lain di fakultas kami. Tapi begitu mendekati pintu utamanya, kusadari Hayat tidak lagi mengiringi langkahku.

“Gue lewat jalan lain aja.”

Yang benar saja. Kalau tahu-tahu ia minggat bagaimana. Akupun urung, lalu kami melewati jalan biasa yang mengitari gedung.

“Kenapa sih?” Ia tidak menjawab. “Ngomong aja, enggak usah gengsi,” aku menirukan nada suaranya yang kemarin. Ia berdecak.

“Ayudh,” katanya pelan. Tanpa memandangku.

Mulutku menyuarakan “O” yang tidak kalah pelan. Aku baru menyadari kalau gedung jurusan yang tadi adalah gedung jurusan Ayudh. Tapi, hei, jadi cowok ini masih saja menyimpan perasaan patah hatinya? Parah. Tapi tampangnya yang jadi suram begitu bikin aku seram, hii, jadi ya sudahlah.

Sudah tidak begitu pagi, tapi juga belum siang. Kantin rada sepi. Hanya beberapa pasang mahasiswa yang nongkrong. Hayat memesan kopi-apa-gitu, sementara aku dengan jus melon-pisang.

“Lu masih inget cewek yang di atap gedung kapan itu?” Melihat ekspresi Hayat, sepertinya sih masih. Aku tahu apa yang bakal aku bicarakan ini mungkin tidak enak juga bagi cowok itu… tapi kupikir harus ada upaya untuk membuat keadaan jadi lebih baik. “Gue liat dia beberapa kali di perpus.” Hayat memberi gumaman, tanda menyimak. Tapi itu membuatku ragu lagi. Kira-kira ini bakal menyinggung tidak ya… Hayat menungguku dengan tatapannya. “…kepikiran aja buat nemenin dia…” hanya itu yang bisa kuucapkan. Tadinya aku mau menyuruh cowok itu buat minta maaf. Tapi nanti saja deh.

“Oke.” Ia mengangguk.

Setelah menuntaskan kudapan masing-masing, kami ke perpustakaan untuk mencari-cari cewek itu. Dari lantai satu, kami beredar ke setiap ruangan—kecuali yang digunakan untuk kantor tentu saja. “Dia biasanya pake sweter,” jelasku, tapi mengingat Hayat juga sudah pernah bertemu cewek itu di sini, aku tidak melanjutkan. Sampai di lantai paling atas, kami tidak juga menemukannya. Kamipun duduk di tepi tangga.

“Dia sebetulnya pingin lo mencegah dia bunuh diri kemarin,” kataku. Ia menyimakku sambil menggigit-gigit ujung jempolnya. Apa sebetulnya yang ingin ia gigiti itu puntung rokok? “Tapi menurut dia, kemarin lo malah pingin dia mati gitu. Kayaknya dia tersinggung.”

“Kalau buat gue sih,” ia lemparkan jempolnya, keseluruhan tangannya, ke depan, matanya tidak langsung melihat padaku, “gue enggak masalah dia mau ngapain. Tapi, ya, gue tertarik liat dia dari deket.”

“Lo mikir enggak sih, kalau dia jatuh beneran, lo bisa dianggap jadi tersangka yang ngedorong dia?”

Hayat mengangkat bahu. “Kenal aja gue enggak. Lagian bisa aja kan gue alasan mau nyelamatin dia. Gue pikir tuh cewek enggak bener-bener mau bunuh diri. Cuman lagi pingin di atap aja. Bawaannya emang kayak orang stres sih.” Aku menantinya berkata-kata terus. “Jadi ya gue datengin aja. Dia kayaknya nyadar gitu ada gue. Dia sempet noleh. Gue tanya, ‘Ngapain euy?’. Dia enggak jawab. Malah kayak makin maju gitu. Gue deketin lagi aja. ‘Lo kayak mau bunuh diri,’ kata gue. Terus dia kayak defensif gitu. ‘Jangan deket-deket!’” Ia diam sejenak, seiring pandangannya yang menerawang ke langit-langit. Mungkin ia sedang mengingat-ingat. “Ini mulai kayak di film-film tau enggak? Dan gue bosen aja sama adegan orang ngelarang orang lain bunuh diri gitu. Ya udah. Gue pikir, bukannya pada umumnya tuh, orang-orang pingin kalau dia meninggal ada seseorang di sisi dia, yang nungguin dia…”

“Jadi lo mau nungguin dia, berada di samping dia ketika dia terjun ke bawah…” Aku seharusnya mengganti kata “terjun” dengan “menjemput kematian” supaya terkesan lebih… dramatis? Tapi terlanjur, ya sudahlah. Memvisualisasikan kata-kataku sendiri barusan bikin aku agak ngeri.

“…bacain syahadat di telinganya…” Hayat terus mengoceh sendiri, “…jadi dia enggak mati sendirian. Lo tau enggak sih gimana rasanya mati kesepian?” Tentu saja aku tidak tahu, aku belum pernah mati!

Entahlah. Terasa janggal bagiku, membacakan syahadat di telinga orang yang hendak bertemu ajal dengan cara… bunuh diri. Apa itu akan membuat dosa-bunuh-dirinya terampuni, dan dia bisa langsung masuk surga, begitu?

“Gue bakal kabarin lo kalau liat dia lagi.”

“Oke.”

Kamipun beranjak, menuruni tangga sampai lupa kalau kami bisa menggunakan lift. “Mau lanjut ngerjain TA?” tanyaku. “Hmhm…” Hayat tersenyum, lalu menggeleng. Di gerbang belakang kami berpisah.

HAYAT

Sesekali Kakak menelepon. Sekadar ingin menceritakan harinya, menanyakan keadaanku. Menganjurkan ini-itu. Selalu berakhir dengan memperdebatkan pandangan-hidupku, pilihanku. Aku merasa seperti boneka marionet yang tertangkap basah lagi masturbasi sambil mengintip cewek mandi, dalam videoklip Unknown Mortal Orchestra, “Swim and Sleep (Like a Shark)”. Salahkan dia karena aku tidak bisa terpejam lagi malam ini. Padahal tenang begitu pekat. Lampu sudah kupadamkan. Tapi jauh, di dasar (apalah yang aku tidak tahu apa namanya), ada sesuatu yang bergolak.

Akhirnya aku nyalakan laptop. Selalu seperti itu. Kali ini aku membuka folder berisi foto-foto yang kuambil saat susur pantai di Gunungkidul, dalam rangka melupakan yang patut dilupakan—itulah. Teman seperjalananku waktu itu bilang langit sedang indah, petang itu. Awan membumbung bagai domba kucel yang meloncat dari gunung berapi, lantas berlari-lari. Jadi seperti ini yang dikatakan indah, pikirku saat itu sembari memotret. Jadi seperti ini yang dikatakan indah, kembali aku bertanya-tanya saat memandangi hasil potretan tersebut, saat ini.

Bahkan membayangkan Tiaracitra pun tidak berasa! Sepanjang sore tadi, berkali-kali. Malam, eh, dini hari ini juga. Bahkan kalaupun ia di sini sekarang, bugil, aku tidak bakal merasakan apapun saat meraba-raba tubuhnya.

Bahkan merasa ingin merokok pun tidak!

Dan aku bakal terlalu lelah untuk hidup di pagi nanti. Tidur saja. Dan malamnya akan kembali seperti ini. Siklus.

[]

Sekiranya ada yang menginjak-injak, Hayat yakin tubuhnya bakal bergemeretakkan. Ia membuka jendela, mendapati Jeki sedang menjemur pakaian di balkon. Jam berapa sekarang, Jek, tegur Hayat diiringi senyum tipis. Matahari dengan hangat menyengat matanya yang setengah terpejam. Jam setengah dua belas, kata Jeki. “Beneran?” Hayat tidak yakin, tapi lalu percaya saja. Ia lanjut ke kamar mandi, membasuh beberapa bagian tubuhnya. Dan salat. Salat apa ini, entah. Yang jelas ia sepenuhnya terlelap sejak dini hari sampai langit benar-benar terang. Seorang teman pernah berkomentar, Hayat salat hanya ketika suasana hatinya sedang baik. Sebab saat kalut ia terlalu sibuk menghujat Tuhan. Kata Hayat, mending begitu. Banyak orang ingat Tuhan hanya ketika susah. Hayat ingat Tuhan saat senang dan susah, caranya saja yang berbeda. Terserah kamulah, Yat. 

Hayat kembali rebah di karpet, meletakkan kepala dalam empuknya guling.

Matahari mulai condong. Setengah sadar Hayat mengecek adakah orang yang menghubungi ponselnya.

Yat, km dmn?!

Sori, gw bru bngun. Bru tdur j4 gw.

Tidur aja selamanya, batin Tiaracitra begitu menerima balasan dari Hayat. Padahal sms yang dibalas Hayat tersebut ia kirim saat berjam-jam lalu. Ia sudah tidak lagi berada di perpustakaan, melainkan berdiri di jalanan depan koperasi mahasiswa. Sebungkus es krim terapit lengannya di bagian tangkai. Ia sedang menimbang-nimbang untuk pulang atau bertahan. Pencariannya akan cewek-sipit itu nihil, lagi-lagi, sudah berhari-hari ini. Bagaimanapun, balasan tersebut membuatnya terkesan. Sori. Sori, katanya, hihi.

Hayat melirik ponselnya yang bergetar. Balasan dari Tiaracitra. Ia tidak meraihnya. Ia bergeming dengan bacaan di tangan. Sebuah novel karangan seseorang saat berusia 17 tahun, atau kurang. Diksi yang bagus, tapi yang dibicarakan tentang mati, mati, dan mati dengan begitu dramatis, sampai-sampai Hayat risi. Padahal ia membacanya dari tengah. Ia memiliki novel itu hanya karena ia pernah kenal dengan pengarangnya, yang cewek, dan lumayan bening. Terpikir cewek-sipit di atap kapan itu, dan dirinya sendiri. Kenapa sih ada saja anak muda yang begitu terobsesi dengan mati. Teringat juga ocehan kakaknya, suatu waktu, belum lama sejak Ayudh memutuskannya, suasana kos hanya membuatnya enek karena sudah dinodai tangisnya di sana-sini, seperti kucing yang mengencingi berbagai sudut untuk menandai teritorialnya, dan ia hanya bergelung berhari-hari di sofa apartemen, “…kamu tuh masih bisa napas, kentut, jalan, lihat, makan, badan kamu masih utuh, enggak kusta, enggak apa…” Entah apa lanjutannya karena saat itu Hayat tidak mau dengar, wanita muda itu terlalu nyinyir. Ia tahu yang kakaknya inginkan hanya melihatnya bangkit, begitu juga dengan keadaannya sekarang.

“Kayaknya lagi bulan Ramadhan di jiwa gue, Kak. Kebaikan apa yang bisa gue lakuin?”

Hayat tidak tahan untuk berbagi pada kakaknya.

Kakaknya bergumam pelan, lalu menjawab, “Minta maaf sama Mama tuh.”

“Masih Ramadhan, Kak, belum Lebaran,” cetus Hayat.

“…kenapa juga kudu Lebaran dulu baru minta maaf… Cepet selesein aja TA, lu, Hayy.”

Jawaban kali ini lebih memuaskannya. Siap!, ucapnya luar-batin. Ia akan melakukannya, mengerjakan TA, mulai besok, mungkin, mungkin besok, kapan lagi yang lebih enak?, moga-moga saja besok pagi cukup kondusif, semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain