Norwegian Wood cetak ulang! Masih ada sisa
duit (yang sekarang tidak lagi)!
Pada pembacaan kali ini, novel di tanganku adalah milikku
pribadi (yang dibeli dengan duit orangtua tentu saja haha *tawakering). Jadi
aku bisa menandai bagian-bagian tertentu dengan pensil. Beberapa poin pikiran
yang muncul pada pembacaan kedua sebetulnya relatif sama dengan pembacaan pertama. Tapi ada beberapa hal pada pembacaan pertama yang belum aku sampaikan
di blog, pun beberapa hal yang baru
aku sadari pada pembacaan kedua.
Dalam artikel tentang proses kreatifnya, Haruki Murakami
berkata, “Saat menjelaskan sesuatu kepada pembaca, saya harus pelan-pelan dan
menggunakan kata-kata yang tidak sulut dicerna, metafora yang masuk akal,
alegori yang baik. … Saya harus menyampaikan cerita dengan hati-hati dan bahasa
yang jelas.”
Barangkali itu sebabnya ketika membaca Norwegian Wood aku seperti mendapat semacam ketenangan. Seolah apa
yang kukutip itu terbukti. Setiap habis membaca bagian demi bagian dari novel
ini, aku seakan terpengaruh untuk menuliskan secara jelas dan rinci apapun yang
melintas di kepalaku. Dalam seminggu selagi membaca novel ini, aku menghabiskan
tiga puluh lebih halaman A4 untuk cacatan harian (plus 24.000 kata draf
CampNaNoWriMo-Juli-2013). Biasanya tidak sebanyak itu. Interaksi di antara Toru
dengan Midori juga kadang-kadang menyegarkan.
Aku masih terkesan dengan karakter Toru Watanabe selaku
protagonis dalam novel ini. Kali ini yang aku soroti adalah cara pandangnya, seolah
tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Walau perkuliahan membosankan, tapi ia
menganggapnya sebagai latihan menghadapi kebosanan. Sementara bagi Midori
aturan conditional dalam bahasa
Inggris dan trigonometri itu tidak penting, Toru menganggapnya sebagai latihan
untuk berpikir sistematis. Seperti yang ia bilang pada Naoko, saat cewek itu
membayangkan kemungkinan buruk apabila mereka bersama, pada dasarnya ia orang
yang optimis.
Aspek menarik lain dari novel ini adalah seksualitasnya. Aku
bisa menulis panjang-lebar terkait ini, tapi untuk kenyamanan satu sama lain monggo dibaca saja artikel ini. Lucu
saja ketika ada yang menyebut karya Haruki Murakami ini sebagai pornografi—sensitive-dude-pornography. Setelah
membaca artikel tersebut dan membaca lagi Norwegian
Wood, aku pikir-pikir, Iya juga sih.
Kenikmatan pembacaanku sebetulnya terusik dengan adanya unsur
romance—cinta-birahi-semacam-itu.
Tapi bukannya Norwegian Wood memang
novel romance? Cinta segitiga antara
Toru-Naok0-Midori. Toru mencintai Naoko yang mengidap gangguan jiwa. Karena itu
pulalah Naoko merasa dirinya tidak layak dicintai. Di sisi lain, Toru didekati
Midori yang begitu periang. Toru tidak bisa serta-merta berpaling pada Midori
karena cintanya pada Naoko. Tapi toh Naoko meninggal juga. Midori pun sudah
tidak cocok dengan cowoknya. Apa sebetulnya yang diupayakan Toru ini? Novel ini
lebih merupakan suatu revelation
alih-alih resolution. Aku lebih suka
memahami novel ini sebagai slice of life.
Penggalan kehidupan yang acak dan kompleks. Ada problem yang lebih dari sekadar
romance. Problem mendasar.
Ada beberapa momen dalam novel ini yang kuidentifikasi
sebagai problem eksistensial. Di awal, Naoko meminta Toru untuk tidak
melupakannya. Di tengah, Toru merasa bersalah karena ingatannya pada Kizuki
memudar sekaligus sadar kalau ingatan manusia memang terbatas. Di akhir, lewat
telepon Midori bertanya Toru sedang di mana namun Toru tidak bisa menjawabnya.
Sekarang aku di mana?
Sambil tetap memegang gagang telepon, aku mengangkat muka, dan menebarkan
pandangan ke sekeliling. Aku sekarang berada di mana? Tapi aku tak tahu di mana
itu. Juga tak bisa mengira-ngiranya. Sebenarnya di manakah aku ini? Yang tampak
di mataku hanya sosok tubuh orang-orang yang tak terhitung banyaknya sedang
berjalan entah menuju ke mana. Aku terus memanggil-manggil Midori dari
tengah-tengah tempat entah di mana. –halaman 426[1]
Seandainya aku mahasiswa Filsafat, mungkin ini bakal jadi
tema skripsiku. He.
Tapi ada juga beberapa orang yang merasa tidak mendapatkan
pesan moral dari cerita ini, maupun mengeluhkan nuansanya yang kelewat muram.
Sebetulnya ada bagian di mana Toru menyatakan sikapnya terhadap bunuh diri,
yang bisa dikatakan sudah merupakan suatu pesan moral (menurut seseorang di
suatu forum berbahasa Indonesia tentang Haruki Murakami). Selain itu kukira ada
semacam “kekebalan” bagi orang yang sudah terbiasa larut dalam kemasygulan,
sehingga yang lebih mengena baginya dari novel-suram semacam Norwegian Wood ini justru sisi hiburan dan
pemikiran.
Pada akhirnya memang optimisme Toru berangsur-angsur pudar
hingga ditutup dengan kegalauan. Ketimbang terseret dalam suasana itu terus,
mending aku ingat-ingat saja kutipan berikut darinya. Mungkin berguna.
Jangan terlalu serius
memikirkan segala sesuatu… —halaman 35
…menjadi serius tidak
selalu sama dengan mendekati kebenaran. –halaman 36
… “… Di dalam masyarakat
ada orang yang suka memeriksa jadwal waktu kedatangan dan keberangkatan alat
transportasi, seharian ia terus memeriksa jadwal itu. Juga ada orang yang mau
membuat perahu sepanjang satu meter dengan menyambung-nyambungkan batang korek
api. Jadi tak aneh bukan kalau di masyarakat ada juga orang yang mau memahami
aku?” –halaman 209
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar