***
dari Jalan Terusan Pasir Koja ke Taman Tegallega
Zia turun lagi dari motor. “Bentar ya.” Seperti dugaan Ali,
Zia menyetop sebuah angkot Elang-Gedebage hanya untuk menanyakan ke mana arah
Tegallega. Setelah angkot itu berlalu, kata Zia, “Kata mangnya, angkot tadi
yang ke arah sebaliknya lewat Tegallega.”
“Oke, berarti kita muter lagi ya…” Ali tidak mengerti mengapa
ia masih bertahan dengan mau gadis ini. “Jadi ikutin angkot biru tadi?”
“He-eh!”
Mereka kembali menyusuri jalan yang sudah mereka lewati,
namun dengan arah berbeda, cukup jauh juga ternyata. Ketika lewat Jalan Astana
Anyar, angkot biru yang ia ikuti tidak berbelok ke sana melainkan lurus terus.
Dekat ITC, angkot itu belok kanan. Ali baru ngeh jalan yang dimasuki kemudian
adalah Jalan Otista. Rasanya ia sering ke jalan ini. Kok ia bisa sampai tidak hapal
ya? Pasti karena pikirannya ke mana-mana…
“Itu kelapa sawit!”
Tadi ada yang
keliatannya kayak salak. Kelapa sawit… Kok
berasa di Kalimantan atau Sumatra gini… Ia cukup rajin mengikuti berita
tentang konversi lahan di kedua pulau tersebut. Ali mendongak untuk mengetahui
apa yang sedari tadi diamati Zia.
Papan besar dengan latar berwarna kuning pudar itu memuat
foto pejabat pemerintah dengan judul “KETENTUAN-KETENTUAN DAN TATA TERTIB
MEMASUKI KAWASAN KONSERVASI TAMAN TEGALLEGA.” Skimming, Ali menyorot kata kunci dari setiap poin aturan.
Pemungutan retribusi ternyata sesuai dengan Perda nomor 11 tahun 2008.
Pengunjung wajib menjaga kawasan tersebut, dilarang kasih makan hewan, dilarang
bertempat tinggal dan bermalam, dilarang berjualan—hei, ia pernah menemani
mamanya jalan-jalan ke area ini menjelang Lebaran tahun lalu. Bukankah waktu
itu banyak yang berjualan di sini? Mamanya waktu itu membeli banyak makanan
untuk adik-adik Ali. Ali sendiri penasaran dengan yang jualan golok sebab ia
ingin tahu golok khas Tasik itu rupanya seperti apa. Mamanya lalu mengajaknya
masuk ke dalam area yang banyak pohonnya. Tapi baru jalan beberapa meter, Ali
sudah tidak betah karena ia menemukan banyak cacing, atau mungkin lintah,
menggeliat di permukaan jalan yang basah.
Ali mengusir ingatan yang kurang menyenangkannya itu. Ia
lanjut membaca. Taman Tegallega ternyata sebuah kawasan konservasi. Taman ini
dibuka dari jam 6 sampai 18 dan ditutup untuk umum tiap Senin kecuali untuk
acara pemerintah. Ali berasumsi jangan-jangan tiap Senin adalah waktunya
pemeliharaan taman.
“Aku baru tahu loh ada kawasan konservasi di tengah kota. Aku
kira adanya cuman di pedalaman aja, kayak taman nasional atau cagar alam gitu,”
sahut Zia.
“Ali, ini Acil dari SMA kita juga loh…” Tangan Zia mengarah
ke yang berambut keriting. Tampaknya anak itu memang adik kelasnya dulu saat
SMA. Ali menjabat tangannya lalu yang lainnya sambil kenalan. Kata Zia lagi,
“Mereka ini LASKAR RAMLI…”
Perempuan yang berkacamata tergelak. Melihat tampangnya,
tampaknya ia paling tua di antara lain—paling stabil. Mungkin satu angkatan,
sangka Ali. Tangan Zia mengarah juga ke perempuan tersebut disertai komentar,
“Ini Candra. Udah punya cowok tapi…”
Ali melirik Zia dengan isyarat tertentu namun Zia tidak
melihat. Transaksi buku antara Zia dengan Acil sudah mulai. Zia ternyata punya
ketertarikan juga terhadap lingkungan hidup, pikir Ali ketika melihat judul
buku di tangan Zia. Ah, Zia kan tertarik
sama apa aja tapi enggak ada yang ditekunin bener-bener…
Sementara Zia mengobrol dengan Acil, Ali menegur para anggota
laskar yang lain. “RAMLI itu RAMah LIngkungan bukan?” tebaknya.
“Haha, bener banget,” Candra kembali tergelak. Ketiga orang
itu mulai meributkan siapa yang memberi nama.
“Eh, biasanya kalian berlima. Ke mana si Monang?” tanya Zia
sembari mengunci ranselnya lagi.
“Tadi sih pergi sama pacarnya ke stasiun. Enggak tahu jadi
mau nyusul apa enggak ke sini,” jawab Acil.
Kawanan tersebut tampaknya hendak bergerak lagi. “Kita ikut
mereka jalan-jalan yuk,” ajak Zia. “Sayang udah bayar retribusi enggak
dimanfaatin.”
“Setuju banget,” sambut Ali. Mereka berdua mengekor kawanan
tersebut. Ali menangkap pembicaraan mereka.
“Heran deh ya, kawasan konservasi kok diisi sama kelapa
sawit. Padahal fungsi ekologisnya kan enggak lebih baik dari pohon,” kata
Candra.
“Yaa… Biar estetis aja kali,” jawab Acil.
“Emang kelapa sawit itu bukan pohon ya?” tanya Ali.
“Bukan. Kalau pohon itu mengalami pertumbuhan sekunder,
tumbuhan kayak kelapa sawit enggak. Dia masuknya herba,” kata Candra.
“Pertumbuhan sekunder emang apa?” Ali tidak mengerti.
“Jadi simpelnya sih pohon itu mengalami pertumbuhan primer
dan pertumbuhan sekunder. Kita bisa bilang pertumbuhan primer itu pertumbuhan meninggi
sementara pertumbuhan sekunder itu pertumbuhan melebar. Diameter pohon bisa
bertambah karena ada sel kambium kan…”
“Emang kelapa sawit tumbuhnya enggak melebar juga?”
“Bedaa…”
Ali ingin bertanya lebih jauh tapi perhatian Candra keburu
teralih. Kali ini Tatang, laki-laki selain Acil, yang bicara, “Pohon-pohon di
sini kayaknya ditanamnya bersamaan ya?”
Ali jadi mendongak ke atas. Naungan area berpohon terasa
tidak lebih gelap ketimbang naungan kelapa sawit. Kata De, perempuan yang
berjilbab, “Penutupan tajuknya belum terlalu rapat.”
“Tapi tumbuhan bawahnya cuman rumput ini aja yah. Rapi juga,
kayak rajin dipangkas.”
“Cuman sersah sama sampahnya aja ini berceceran.”
“Padahal tempat sampah kayaknya banyak loh.”
Canda menggelengkan kepala sambil berdecak-decak. “Miris…”
Beberapa meter jauhnya di depan, Ali melihat ada sehamparan
lahan dengan balok-balok bersemen pada jarak tertentu. Semula ia mengira kalau
itu adalah nisan—kuburan. Mungkin Taman Tegallega ini sebetulnya Taman Makam
Pahlawan juga—kan sama-sama taman, seperti yang ada di Cikutra. Namun ternyata
itu bukan. Mereka mendekati salah satu balok. Salah satu permukaannya dilapis
ubin hitam dengan tulisan yang menandakan nama lokal dan nama latin jenis pohon
yang ada di sampingnya. Juga siapa yang menanam yang sepertinya perwakilan dari
negara-negara dunia—ada dari PBB juga. Semua pohon yang ada di area ini
dilabeli seperti itu dan tanggalnya sama. Sepertinya pada waktu itu ada
penanaman pohon serentak dalam rangka konferensi tingkat dunia. Peringatan KAA yang besar-besaran itu tahun
kapan ya? Ali mengingat-ingat.
“Yang ditanam ini jenis fast
growing semua bukan sih?” celetuk De.
“Fast growing itu
artinya cepet tumbuh. Biasanya pohon yang digunain buat penghijauan itu dari
jenis yang cepet tumbuh,” terang Candra pada Zia. Rupanya mereka larut dalam
obrolan sejak tadi. Ali ikut menyimak. “Tapi biasanya jenis fast growing itu ya fast growong juga—gampang bolong-bolong soalnya kualitas kayunya
enggak sebagus yang tumbuhnya lama.”
Pohon-pohon ini memang tampak damai sekali berdiri di sini,
Ali mengedarkan pandang ke sekelilingnya. Menciptakan kedamaian juga baginya.
Lepas dari area tersebut, ia melihat ada sebuah bangunan
tingkat dua yang bentuknya tampak berbentuk prisma. “Itu apa ya?” tanya Ali,
berharap Zia menjawab, tapi malah De. Ternyata itu toilet. Banyak juga ternyata WC umum di sini, tadi di dekat jalan masuk juga
ada, bersih enggak ya? Dan di muka toilet itu ada seorang ibu-ibu yang
tampaknya bukan sekadar menjaga toilet, ada rak berisi makanan dan minuman juga
di sana. Sudah jelas itu untuk dijual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar