Di
Jogja, kebiasaan saya jalan kaki sering jadi perkara.
Dua
tahun pertama kuliah di Jogja, saya tinggal di rumah Bulik. Di tahun kedua,
saya mulai keranjingan jalan kaki.
Saya
butuh paling tidak 50 menit untuk jalan kaki dari rumah Bulik sampai kampus
saya di Fakultas Kehutanan UGM. Itu medium
mode. Kalau fast mode, saya bisa
hemat setidaknya 10 menit.
Ketika
jembatan yang menghubungkan Pogung dengan Jalan A. M. Sangaji selesai dibangun,
saya bisa memangkas waktu perjalanan jadi 30 menit saja. Menyenangkan sekali
menyusuri jembatan tersebut sambil mata menyapu pemandangan di bawahnya.
Memang
panas benar badan saya begitu sampai tujuan. Tapi pada periode itu jadi suka
ada lagu mengalun dalam kepala saya. Maka saya pun jadi pengarang lagu. Kalau
tidak begitu, maka orang-orang imajiner yang mengisi kepala saya. Kalau tidak
begitu, saya paling menikmati jalan kaki di bawah hujan yang tidak begitu
deras.
Dengan
kebiasaan yang hampir tiap hari begitu, dua kali sehari malah, kalau saya absen
maka saya akan bangun pagi dengan kram yang amat menyakitkan sepanjang tungkai
kaki saya.
Kebiasaan
ini jadi perkara ketika para tetangga Bulik yang mengenali saya, dan melihat
saya jalan kaki, komplain pada Bulik. Mereka kira Bulik tidak mengurus saya
dengan baik.
Selain
itu, memang saya rada mbeling. Saya tidak malu pakai rok yang bolong bagian
bawahnya. Saya juga tidak kunjung mahir mengemudikan motor dan mobil padahal
sudah difasilitasi. Saya tidak begitu berminat ditawari sepeda listrik. Tidak
niat sih. Jalan kaki sudah cukup, lebih fleksibel, dan tidak merepotkan!
Jelas
saya terusik dengan komplain ini. Yang
capek juga siapa, pikir saya waktu itu. Saya pikir toh kebiasaan ini sangat
menyehatkan meski bikin muka gosong dan sepatu bolong.
Bahkan
sampai ada tetangga Bude saya—yang rumahnya masih cukup dekat dari rumah Bulik,
menawarkan saya untuk naik motor bersamanya saja pada hari dan jam tertentu.
Waktu
saya cerita sama teman-teman kampus saya, seorang teman saya bilang kalau
memang begitulah orang Jogja. Mereka sangat perhatian pada orang lain. Terlalu
perhatian! Mungkin para tetangga itu kasihan melihat saya yang sudah lusuh,
panas-panas, jalan kaki jauh pula. Padahal saya sendiri melakukan ini dengan
senang hati.
Teman
saya itu sendiri adalah orang Jogja. Kalau kami bertemu di jalan dalam
perjalanan ke kampus, dia akan mengajak saya naik motornya. Pas benar, kalau
saya sedang mengejar kuliah jam 7.10!
Tahun
ketiga dan tahun keempat kuliah, saya kos di lokasi yang jauhnya sekitar 10
menit jalan kaki dari kampus. Sejak ini hingga sekarang, saya tidak lagi
kejatuhan lagu-lagu dalam kepala.
Sesekali
saya jalan kaki tak tentu arah di sekitar kos selama kurang lebih sejam. Kalau
ada acara di Rumah Cahaya FLP Yogyakarta waktu itu, saya jalan kaki. Begitupun
saat saya jadi sukarelawan untuk Balai Bacaan Srigunting, saya jalan kaki ke
sana. Keduanya berlokasi di Nandan. Dan tentu saja saya jalan kaki kalau mau ke
Perpustakaan Kota. Saya juga pernah sengaja jalan kaki sampai Malioboro.
Sekarang
saya tinggal di rumah Bude—yang berdekatan dengan rumah Bulik itu. Seperti
dulu, kalau sudah waktunya pulang dan saya tidak kebagian angkutan umum biasa
yang hanya edar sampai menjelang magrib, maka saya naik Trans Jogja. Kalau naik
yang satu ini, saya turun di Jombor. Dari Jombor, saya jalan kaki sekitar 20
menit sampai rumah Bude.
Mengetahui
ini, Bude suka khawatir kalau saya pulang malam—apalagi kalau sudah magrib saya
belum telepon. Beliau bersyukur kalau ada yang mengantar saya pulang.
Pakde
suka bilang, saya telepon beliau saja kalau saya sudah sampai Jombor. Nanti
beliau jemput. Ini tidak pernah saya lakukan sebab saya tidak ingin tambah
merepotkan. Tapi saya pernah begini sama Bulik karena beliau menyuruh. Pakde juga
suka menawarkan diri untuk mengantar saya.
Tapi
saya tidak pernah lagi jalan kaki dari rumah sampai kampus. Saya takut hal yang
sama terjadi saat saya masih tinggal di rumah Bulik.
Saya
bayangkan, seandainya almarhum Mbah Surip adalah pakde saya, tentu beliau tidak
akan menjemput saya dengan kijang oranyenya. Beliau punya cara lain yang jadi
andalan.
“Tak gendong ke mana-mana… Enak dong? Mantep
dong? Daripada kamu jalan kaki, kepanasan, mendingan tak gendong tho, enak tho,
mantep tho, hayo, mau ke mana? Tak gendong ke mana-mana. Tak gendong ke
mana-mana. Enak tau!”[1]
Where
are you going? Ok, I am walking!
[1] Mbah Surip – Tak Gendong
(dengan sedikit modifikasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar