Selasa, 19 Agustus 2025

Konservasi Biodiversitas: Teori dan Praktik di Indonesia

Gambar dari Gramedia.
Penulis : Jatna Supriatna
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan: 1, Edisi 1, Juli 2018
Tebal : 542 halaman
ISBN : 978-602-433-633-2 (ebook)

Saya mulai membaca buku ini pada Februari 2022 dan baru menamatkannya 3,5 tahun kemudian (^_^); Membacanya sedikit-sedikit, sambil membuat catatan di buku tulis untuk membantu mencerna, kadang mengulang yang baru dibaca sampai merasa agak paham. Bagaimanapun, ini buku tebal yang memperkenalkan banyak istilah baru, materinya tidak begitu ringan. Meski buku ini rada overwhelming, saya kira orang awam sekalipun sebaiknya berusaha memahaminya, atau paling tidak, terbuka akan topik ini, yang menerangkan cara kerja alam yang bukankah manusia termasuk bagian daripadanya, tetapi alih-alih mengembangkan cara hidup yang tidak selaras sehingga mengancam kelangsungan hidupnya sendiri.

Sepertinya saya memang penggemar cocoklogi, suka mencocok-cocokkan antara itu dan ini (mungkin ada kaitannya dengan minat terhadap karya fiksi, terbiasa mencari-cari makna dari setiap detail). Siapa tahu sebenarnya memang ada hubungan, sedangkan untuk membuktikannya secara ilmiah akan makan waktu terlalu lama, daya upaya terlalu besar. Maka pencocok-cocokkan itu hanya suatu hipotesis, spekulasi. Paling tidak, ini suatu cara sementara--yang entahkah benar atau salah--untuk mencoba memahami uraian dalam buku ini, yaitu dengan membuatnya relatable dengan kehidupan manusia yang saya jalani.

Sebagai contoh, mengenai interaksi antara spesies invasif dan spesies pribumi seperti konflik antara pendatang di suatu wilayah yang kemudian menjadi lebih makmur dan dominan dan penduduk setempat termarginalkan. Buku ini menerangkan bahwa persebaran spesies seperti halnya kepunahan adalah proses alami dalam sejarah evolusi. Semua spesies memang harus menyebar dan mengkolonisasi daerah lainnya. Namun, tindakan manusia yang mengintroduksi spesies telah mengacaukan keseimbangan yang ada. Memang hanya sebagian kecil spesies introduksi berhasil hidup di tempat baru, tapi dampak ekologisnya besar. Daerah yang sukses diinvasi pun jadi punya keseragaman tinggi. 

Kemudian ada yang dinamakan habitat-sumber dan habitat-penurunan. Berikut penjelasannya di halaman 272: "Habitat yang mendukung disebut sebagai sumber dan didefinisikan sebagai area di mana kesuksesan reproduksi lokal lebih besar daripada mortalitas lokal. Populasi di habitat sumber menghasilkan kelebihan individu yang harus menyebar keluar dari bercak kelahirannya untuk menemukan tempat menetap dan berkembang biak. Habitat yang tidak mendukung, sebaliknya, adalah area di mana produktivitas lokal lebih kecil daripada mortalitas lokal. Area ini disebut habitat penurunan karena tanpa imigrasi dari area lain populasi di habitat ini akan turun hingga punah." Kalau berupa negara, habitat-sumber ini persis Indonesia yang individunya sudah terlalu banyak sehingga harus menyebar keluar--merantau--untuk penghidupan, sedangkan habitat-penurunan contohnya adalah Jepang karena angka kelahirannya terus menurun sehingga penduduk lokal kebanyakan lansia dan mesti mendatangkan pekerja dari negara-negara lain. Besarnya populasi di habitat-sumber semacam Indonesia ini agaknya disebabkan oleh kondisi lembap daerah tropis, artinya penggunaan energi yang lebih kecil untuk menjaga kondisi tubuh sehingga makin banyak energi yang bisa dialokasikan untuk proses reproduksi (subbab "Kekayaan Hayati dan Energi").

Dalam pembahasan tentang konsep spesies biologis, diberikan contoh mengenai kerang Unio yang morfologinya bervariasi tinggi tetapi dapat saling kawin sedangkan burung meadowlark fenotipenya serupa, distribusi populasi tumpang tindih, tetapi antara western dan eastern pola bunyi kicauannya beda, sehingga tidak saling kawin. Dalam dunia manusia, barangkali ini menunjukkan bahwa jodoh tidak mesti yang penampakannya mirip, yang lebih penting adalah waktu ngobrol bisa klik :v

Jadi rupanya dalam menentukan spesies baru itu ada beberapa konsep. Tampaknya penamaan spesies hanyalah usaha manusia untuk mengidentifikasi keanekaragaman hayati. Salah satu konsep, yakni konsep spesies filogenetik, lebih menghargai keunikan sehingga bisa jadi akan muncul spesies-spesies baru, dengan upaya konservasi yang berlain-lainan pula. Apakah ini juga suatu bentuk "individualisme" yang diterapkan manusia pada biodiversitas? Sebagaimana dalam dunia kesehatan mental, jadi bertambah-tambah jenis gangguan mental "baru", yang pada masa sebelumnya mungkin tidak begitu dianggap.

Di dunia kesehatan mental juga banyak orang merasa tidak bahagia dengan hidupnya, karena tidak dapat mengoptimalkan potensi mereka sepenuhnya. Ini pun suratan alam, sebagaimana dinyatakan dalam halaman 313, "Karena lingkungan tidak dapat mendukung pertumbuhan populasi tak terbatas, tidak semua individu bisa menghasilkan potensi mereka sepenuhnya." Berapa banyak biji yang tersebar di muka bumi, hanya untuk gagal tumbuh, atau layu sebelum berkembang, tidak mendapat cukup cahaya matahari akibat ternaungi oleh pohon-pohon besar dan tinggi yang lebih dulu mencengkeramkan akarnya sampai ke mana-mana? Bagaimanapun, individu yang berhasil tumbuh sampai dewasa, bila keadaan memungkinkan untuk kawin akan kawin dan menghasilkan keturunan sebisa-bisanya, dan tidak semua dari keturunan itu yang mampu bertahan sampai menghasilkan keturunan baru, dan seterusnya.

Dalam kaidah evolusi, perubahan pasti akan terjadi di alam liar. Sudah sepatutnya orang yang bekerja di bidang konservasi berpikir secara konservasionis ketimbang secara preservasionis. Konservasionis memberikan fasilitas agar evolusi tetap berlangsung, dengan cara memperhatikan variasi genetik sebagai bahan dasarnya. Praktik konservasi tidak hanya mengawetkan spesies dengan asumsi populasi tidak akan berubah. Kalau boleh diterjemahkan ke bahasa pengembangan diri, perlu tersedia fasilitas agar perubahan/pertumbuhan tetap berlangsung, dengan cara memperhatikan keragaman potensi atau sumber daya yang ada sebagai modalnya, alih-alih sekadar menjalankan rutin dengan asumsi keadaan tidak akan berubah. Dalam agama, ada istilah istiqamah, yang menurut buku Buat Apa Kita Shalat? sesungguhnya mengandung proses perubahan yang terjadi secara terus-menerus/berkesinambungan menuju kebangkitan, kemajuan.

Dari suatu video di YouTube yang menghadirkan pembicara dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saya mendengar bahwa mereka hanya tukang cuci piring dalam pesta pembangunan, membereskan keporakporandaan yang dibuat kementerian-kementerian lain. Semestinya aspek lingkungan hidup disertakan sedari awal, bukan ketika saatnya bersih-bersih doang. Timbul kesan bahwa pekerja konservasi hanya kepanjangan tangan dari para pembangun yang punya kepentingan. Ada program yang dikembangkan agar masyarakat setempat tidak lagi sepenuhnya bergantung pada hasil hutan. Di sisi lain, ada suatu mindset bahwa alam harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia, dalam arti pengusaha besar global, alih-alih masyarakat setempat yang dampak aktivitasnya tidak seberapa, dengan menyisakan secukupnya untuk dikonservasi. Dengan demikian masyarakat setempat tidak lagi sepenuhnya bergantung pada hasil hutan, sebab dijadikan bergantung pada uang untuk membeli produk hasil usaha-usaha yang mengeksploitasi hutan secara lebih masif itu. Melawan kekuatan tersebut, sekalangan orang berhasrat untuk menghidupkan kembali kebergantungan langsung pada hutan, menjadikannya suatu supermarket gratis. Kalau di daerah subtropis ekosistemnya memang secara alami berupa padang rumput, sabana, belukar, yang terkelola oleh api, salju, dan grazing, sehingga tidak sampai jadi hutan dan cocok untuk jadi lahan pertanian dan peternakan (pantas bila orang sana suka makan keju, roti, dan mentega), tapi bila cara hidup ini mesti diterapkan di daerah tropis, yang hutannya tumbuh lebat alami, semata-mata karena ke Barat lah kita harus berkiblat ...? Maksudnya, apa orang di daerah tropis tidak boleh punya cara hidup sendiri yang lebih sesuai dengan ekosistem alaminya? 

Dalam video YouTube lainnya, Jon Jandai mengherankan kenapa orang harus belajar susah-susah hanya untuk merusak alam (dalam hal ini ilmu teknik), lalu bersusah-susah lagi belajar untuk memperbaikinya (ilmu konservasi). Padahal alam bisa memperbaiki diri sendiri, asal tidak terus-terusan diusik manusia yang selalu memerlukan sesuatu daripadanya. Proses pemulihan alami dirasakan terlalu lama oleh manusia yang masa hidupnya lebih singkat. 


Sisi positifnya adalah dengan mempelajari ilmu-ilmu, betapapun susahnya, kita menjadi pandai dan mengetahui banyak hal. Pemikiran berkembang. Ini suatu kesenangan tersendiri. Adalah kepentingan bagi manusia untuk menyenangkan dirinya sendiri. Dengan merusak sesuatu hal, kita menjadi tahu bagian-bagiannya sampai ke yang kecil-kecilnya. Misal, dengan membongkar alat elektronik, kita tahu bagian-bagian apa saja yang ada di dalamnya. Dengan memporak-porandakan alam, kita belajar cara kerjanya. Dengan mengotori jiwa, kita belajar cara membersihkannya. Kata seorang ustaz, dosa adalah katalis agar kita menjadi manusia yang lebih baik. Lagi, demi kepentingan kita sendiri--manusia. Namun, buku ini mengingatkan, restorasi atau pemulihan akan sia-sia jika terus-menerus mengalami gangguan (subbab "Teknik-teknik Restorasi"). Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi sumber gangguan? 


Sudah sepantasnya wacana degrowth diinisiasi negara-negara maju, sebab negara-negara kurang-maju cenderung mengekor saja. Kita belum lagi merasakan martabat sebagai bangsa maju sudah disuruh mundur saja, tak sempat beranjak dari kuli dan babu. Memang menyederhanakan hidup tidak mudah karena harus menundukkan ego dan hawa nafsu. Bagaimana manusia akan jadi khalifah bagi seluruh alam jika mengelola jiwanya sendiri saja tidak bisa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain