Sabtu, 16 Agustus 2025

Buat Apa Kita Shalat?

Gambar dari UMS Store.
Penulis : Dr. Ahmad Khairi al-Umari
Penerjemah : Aya Yahya, Masyhari, Tatam Wijaya
Cetakan : I, Desember 2014
Penerbit : Almahira, Jakarta
Tebal : xxii + 490 halaman
ISBN : 978-602-8074-77-3

Buku ini bukanlah segala sesuatu tentang shalat. Buku ini hanya sebuah upaya untuk menjelaskan bahwa apa yang bisa menjadi tiang agama bisa juga menjadi tiang untuk individu, masyarakat, dan peradaban. Buku ini bukan tentang cara praktis khusyuk dalam shalat. Pada kenyataannya, tidak ada cara praktis mencapai kekhusyukan semudah membalikkan telapak tangan. Demikian pernyataan penulis di bab awal. Buku ini hanya sebuah upaya untuk menggali makna dari shalat. 

Akan tetapi, pemikiran tidak selalu mengubah perilaku. Mengubah perilaku lebih sulit daripada mengubah pemikiran. Pasalnya, mengubah perilaku tidak cukup dengan meyakini kebenaran sebuah pemikiran baru saja, tetapi juga harus menghilangkan pikiran negatif yang ada sebelumnya (halaman 7). Tidak mudah karena pemikiran negatif sudah lebih dulu mengakar dan mengendap di alam bawah sadar, sementara pemikiran yang baru masih di alam sadar, belum mengakar jadi pemahaman dan perilaku.  Mengubah perilaku tidak cukup dengan memiliki pengetahuan, ilmu, atau kesadaran. Namun, dibutuhkan keberanian untuk mengambil langkah itu sendiri.

Sebagian faktor penyebab mengakarnya hal negatif bersumber pada konsep-konsep yang tidak berkaitan dengan agama, tetapi dinisbahkan pada agama secara serampangan, atau dinisbahkan pada teks-teks agama, tetapi keluar dari konteksnya, atau dinisbahkan pada tindakan para ulama yang sebenarnya hanya respons atas kejadian sesuai konteks zaman, seiring waktu membaur dengan budaya lokal yang diwariskan turun temurun lalu jadi sakral (halaman 8).

Ada lima alasan populer di masyarakat untuk mengerjakan shalat:
1. Shalat sebagai penebus dosa,
2. Shalat menggugurkan kewajiban,
3. Shalat sebagai penenang jiwa,
4. Shalat sebagai "sarana komunikasi" kepada Allah,
5. Shalat adalah kewajiban, itu sudah cukup!

Alasan 1 seperti dimanfaatkan orang untuk terus melanggengkan dosa, karena akan terhapus oleh shalat, padahal itu tergantung pada jenis dosa dan niat melakukannya (misal sengaja atau tidak, tahu atau tidak). Alasan 2 justru menjauhkan orang-orang yang tidak shalat dari shalat itu sendiri (halaman 25)--apa mungkin karena sekadar menggugurkan kewajiban, maka shalat tidak memberikan efek positif dalam kehidupan seorang muslim, sehingga orang tidak shalat/nonmuslim yang melihatnya makin berpikiran buat apa shalat kalau tidak menampakkan efek positif? Alasan 3, shalat memang menenangkan jiwa atau menjadi tenang hanya karena telah memenuhi kewajiban yang apabila ditinggalkan akan terasa mengganggu? 

Shalat bukan sekadar penggugur kewajiban, bacaan dan gerakan, meskipun sudah naluriah manusia untuk selalu membutuhkan ritual. Hewan-hewan pun mempunyai gerakan khas yang teratur dan terulang-ulang, tapi manusia mempunyai nilai lebih. Dengan mengenyahkan agama, dalam kehidupan sekuler-modern sekalipun, manusia tidak terlepas dari syiar dan ritual. Salah satu contohnya adalah perayaan ulang tahun yang individualistis dan konsumtif. Hanya saja syiar dan ritual dalam kehidupan sekuler-modern itu terbatas dalam dimensi materi dan kekinian. Shalat adalah ritual keagamaan yang dapat membawa manusia melampaui dimensi tersebut, sehingga terhubung dengan yang gaib/nonmateri, jika saja ia menguasai kemampuan abstraksi yang dimilikinya. Secara terminologi, berpikir abstrak adalah kemampuan dasar untuk menemukan inti atau sifat utama dari sebuah perkara dengan menyingkirkan banyak hal yang tidak penting meskipun itu tidak memiliki wujud materi secara langsung (halaman 42). Kemampuan berpikir abstrak hanya dimiliki manusia. 

Menafakuri hadis tentang orang badui yang hanya mau mengerjakan kewajiban (shalat, puasa, zakat) tanpa mengurangi atau menambah, buku ini menyerukan agar jangan menjadikan itu sebagai patokan. Perlu dipahami latar kehidupan badui Arab yang pada masa itu merupakan musuh utama dakwah Islam: mempertahankan keyakinan lama, tidak mau terikat aturan sosial dan kekerabatan, antiperadaban, cara hidupnya dengan merampok orang di jalan. Kalau menyamakan diri dengan mereka, alias mematok standar rendah/minimal/sebatas kemampuan (dalam hal shalat maka sekadar gerakan dan bacaan untuk menggugurkan kewajiban), maka tidak akan berkembang. Daripada memosisikan diri sebagai orang badui yang hanya mau mengerjakan the bare minimum, lebih baik meneladani sosok lain dalam dunia Islam yang berhasil mengangkat diri dan mengubah dunia, salah satunya adalah Umar bin Khattab.

Selanjutnya buku ini mengajak untuk memaknai setiap unsur dari shalat, mulai dari adzan, wudhu, kiblat, niat, sampai pengertian keluarga dalam shalawat kepada Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim dalam bacaan tasyahud akhir. Penulis kerap menggunakan perumpamaan. Contoh: Niat seperti bungkus, yang mungkin bagus, tapi yang tidak kalah penting adalah isinya. Doa istiftah (iftitah?) laksana afirmasi diri sebelum melakukan pertandingan atau menghadapi ujian. Hamdalah ibarat obat penenang (untuk sementara atau menyembuhkan sampai ke akar) dan cara pandang (yang positif). Hidayah umpama cahaya yang tidak mesti besar lagi muncul sekali saja, tetapi bisa pula kecil-kecil yang hanya menerangi beberapa langkah lalu padam, sehingga perlu diminta terus-menerus melalui surah Al-Fatihah yang dibaca berkali-kali dalam sehari saat shalat.

Uraian dalam buku benar-benar menuntut kemampuan berpikir abstrak (^_^); Membacanya perlu sambil mengerahkan imajinasi, bahkan diulang sewaktu-waktu, untuk menghayati secara penuh serta mengingatkan lagi dan lagi akan efek yang semestinya didapatkan dari shalat. Kalau membacanya asal menyapu kata saja, penjelasannya terasa mengawang. 

Buku ini menginsafkan saya bahwa tampaknya perjalanan menuju tauhid masih jauh dan terjal; selama ini berislam karena budaya, lingkungan, pendidikan sekolah, dan kebiasaan saja. Mungkin saya masih terganggu oleh pemahaman-pemahaman yang berselisih dengan satu sama lain, dan pemahaman terhadap Islam hanya satu di antaranya. Mungkin saya masih cenderung melihat kepada manusia-manusia lain yang juga campur aduk pemahamannya, daripada berpegang pada pemahaman Islam saja. Malah, makin bertambah pengetahuan tentang Islam, makin saya merasa memahami perkataan bahwa Islam muncul sebagai sesuatu yang asing dan akan kembali asing pada akhir zaman (kurang lebih begitulah). Nyatanya memang ada konsep-konsep dalam Islam yang sungguh asing untuk diterapkan dalam situasi sekarang, dan ini menjadi ganjalan untuk berislam sepenuhnya bagi yang dibesarkan dalam mentalitas zaman ini.

Sepertinya akan memerlukan seumur hidup untuk mencapai pemahaman Islam yang sepenuh-penuhnya, sedalam-dalamnya; kalaupun tidak sampai-sampai, paling tidak, istiqamah mencicil usaha ke sana. Tapi, bukan berarti dengan menutup diri sama sekali dari pemahaman-pemahaman lain itu. Mengenal sebanyak-banyaknya pemahaman saya kira bagian dari pengamalan perintah untuk membaca, berpikir, dan berjalan-jalan di atas muka bumi untuk melihat kerusakan yang dibuat orang-orang yang menyangka telah melakukan kebaikan. Hanya pengenalan itu perlu disertai dengan kebijaksanaan, kemampuan membedakan mana yang tauhid dan menyangkal yang selainnya. Wallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain