Jumat, 08 Juni 2012

Komedi Aksi Fantasi Indigo



Judul : Biru Indigo
Pengarang : Putra Perdana
Penerbit : Voila (PT Mizan Publika), Jakarta, 2010

Saya pertama kali mengetahui “Biru Indigo” (selanjutnya BI) dari ulasan tentangnya di blog fiksi fantasi Indonesia. Sejak itu saya acap tertarik sama novel ini begitu melihatnya di toko buku, tapi ragu pula untuk membeli. Untung ada teman yang punya hehehe.

Sekiranya “Garuda 5 Utusan Iblis” (selanjutnya G5UI) punya andil dalam membikin saya bertanya pada sang teman apa ia mau meminjamkan BI pada saya. G5UI sukses membuka minat saya pada dunia fantasi, apalagi yang produksi dalam negeri. Seketika BI terlintas dalam kepala sebagai novel-berikut-yang-pingin-dibaca, karena agaknya ini novel unik seperti G5UI. Kentara lokal, dan tidak berseliweran nama-nama asing yang bakal sulit dihapal. Dan begitulah adanya!

Lalu setelah G5UI, BI, serta berbagai ulasan di blog fiksi fantasi Indonesia, saya yang awam akan fiksi fantasi sampai pada pemahaman kalau dunia fantasi bisa dibangun berlandaskan kepercayaan atau fenomena tertentu. Kebanyakan fiksi fantasi yang dibuat orang Indonesia agaknya menggunakan produk khayali antah-berantah, sedangkan eksplorasi dunia lokal barangkali dianggap tak berkualitas, syirik, murahan, dan sebagainya. Menurut saya sih, pengemasan yang oke bisa jadi malah meningkatkan harkat mistisme lokal. Contohnya, baik G5UI maupun BI ditulis dengan gaya yang sangat menghibur, sekaligus “berisi”. Di G5UI, cerita dibangun berdasarkan konsep Islam berikut dunia metafisika. Di BI, fenomena anak-anak dengan bakat khusus yang dikembangkan. Biarpun fenomena dalam BI ini tak hanya berlaku di Indonesia, tapi situasi-situasi dalam novel ini sangat realistis sehingga terasa lebih dapat menyentuh pembaca lokal. Saya ingin membaca lebih banyak novel semacam G5UI dan BI nih.

Ubek-ubekan

Cerita dalam BI dituturkan oleh tiga karakter, yaitu Elang, Amel, dan Rikko. Semuanya menggunakan sudut pandang orang pertama, dan tiap karakter dapat menunjukkan kekhasannya masing-masing. Gaya bahasa Elang, pembunuh bayaran berusia 30-an tahun yang berkedok sopir taksi, cenderung kaku. Gaya bahasa Amel menunjukkan kepolosan dan kekenesannya sebagai remaja putri berseragam SMA. Gaya bahasa Rikko, mahasiswa kedokteran lagi pemadat, mengesankan ia sebagai orang yang linglung sekaligus waras.

Bahasa pada kalimat tak langsung nyaris tak ubah dengan kalimat langsung, yaitu bahasa lisan, sehingga saya merasa lebih dekat dengan karakter. Narasinya juga simpel saja, tanpa banyak deskripsi yang makan halaman. Karena sudah enak dengan gaya bercerita pengarang, saya abaikan saja keanehan dalam penggunaan tanda baca dan sebagainya dalam novel ini hehehe.

Dan biarpun memiliki karakter berbeda, ketiganya lucu. Rikko yang paling lucu. Contoh yang lucu menurut saya, meski kalau ditulis penggalannya doang di sini kelucuannya jadi tak terasa lagi.

·         Tiap kali Rikko menganggap Elang sok keren.
·         Dialog Rikko sama Elang ketika mereka mau menerobos penjagaan pabrik di mana Amel diculik.
Rikko : “Tapi sekarang kan gelap, kita bisa aja masuk ngendap-ngendap. Mereka kan nggak bisa liat kita karena gelap.”Elang : “Tapi kita juga nggak bisa ngeliat mereka kalau kita turun ke situ.” (hal. 193)
·         Idem di atas, tapi ini adegan sebelumnya dan dituturkan dari sudut pandang Elang.
Kuambil ancang-ancangBerlari, lalu melompat. Aku mendarat di atap setelah melompat-lompat secara zig-zag di antara tembok belakang pabrik dengan tembok rumah dua lantai itu.“Wuih, hebaaat! Kayak Jackie Chan!”Rikko dengan komentar bodohnya.“Sambil bawa senapan lagi, padahal itu kan panjangnya lebih tinggi dari anak umur 7 tahun…”“Kamu harus selalu berisik seperti itu, ya? …Ayo naik!” (hal. 191 – 192)
·         Amel dengan sang papa. Jadi ceritanya Amel ini suka pingsan karena punya kelainan jantung.
Papa : “Duuh Amel… Kamu pingsan lagi, ya? …Kenapa sih pingsannya di sini?”
Amel : “Ah, Papa. Amel kan nggak tahu kapan Amel pingsan, jadi mana bisa milih-milih tempat.” (hal. 29)

Karakter-karakter di G5UI juga memiliki kekhasan masing-masing, tapi semuanya pandai melucu. Connie Willis dalam tulisannya, Learning to Write Comedy. or Why It’s Impossible and How toDo It.”, mengatakan bahwa, “Characters in comedy expound and chatter and banter and orate and prattle, bringing far more energy and enthusiasm to their conversations than is probably necessary, with the delightful that their dialogue ranges from rambling to witty.” G5UI dan BI seakan jadi pembuktian bagi kata-kata Connie Willis ini.

Tak hanya karakter sebetulnya. Dalam BI, hal seperti nama teman Amel yang hampir mirip (Sara dan Sarah), pria kekar bernama Nuri (ini semacam nama kode dalam kelompok pembunuh bayaran, sekaligus kayak nama cewek), dan bagaimana Elang menguntit Amel karena terobsesi itu ya, lucu saja.

Ya begitulah. Senang saja karena banyak menemukan kelucuan. Kiranya ada saja yang bikin saya senyum, mendengus, atau nyaris ketawa di tiap halaman. Novel ini begitu menghibur!

Kehidupan Elang sebagai pembunuh bayaran, sekaligus mantan direktur perusahaan apa-itu-saya-tidak-ingat, membuka wawasan saya akan dunianya yang saya awam, lagi tak minat, tapi bikin saya kagum sama sang pengarang. Saya jadi tahu apa itu game Splinter Cell, Dragunov, gerakan-gerakan tae kwon do, dan sebagainya. Begitupun dengan Rikko, tuturannya diselipi berbagai istilah dalam dunia junkies sekaligus kedokteran. Di penghujung, misteri di balik keanehan-keanehan terkuak dan itu bikin saya ingin tahu lebih banyak tentang fenomena indigo dan sanguin. Novel ini memperluas wawasan!

Namun biarpun karakternya mengena, hiburannya oke, dan wawasannya luar biasa, novel ini tidak begitu menakjubkan jika ditinjau dari keutuhan cerita dan penataan alur (*bahasanya aja kayak gini, saya sendiri kalo bikin cerita masih seenaknya :p).

Cerita berakhir dengan menuai banyak tanda tanya. Jadi apakah Awan, Petir, dan Luna itu alter ego Rikko dan Amel di dunia astral? Keberadaan dunia astral telah terungkap, tapi hubungan di antara ketiga orang itu masih belum jelas. Pun hubungan antara Andi Vatar—tokoh “jahat” yang berperan di balik masalah dalam cerita—dengan Maya—nenek Amel. Lalu apa yang menyebabkan papanya Amel tahu-tahu tidak setuju anaknya pacaran dengan Rikko? Apa sebenarnya cairan biru yang disuntikkan pada Amel dan Ristya, pengaruhnya? Seharusnya peran Ristya, yang ternyata cukup signifikan itu, lebih dieksplorasi enggak sih? Terus apa sih maksudnya “biru” dalam “Biru Indigo”, memang siapa yang cakranya biru? Dan seterusnya. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini barangkali luput dari pembacaan saya, atau memang baru akan terjawab di sekuel (kalau ada), tapi bagi saya ini malah bikin BI terkesan sesungguhnya belum siap untuk diterbitkan. Akhiran menggantung itu lumrah, tapi ya tidak dengan meninggalkan ketidakjelasan yang begitu banyak juga...

Mana ada permasalahan yang belum selesai pula. Bisa-bisanya Amel menghidupkan lagi Andi Vatar setelah Elang berjerih payah membunuh orang itu. Setelah Andi Vatar dikabarkan hidup lagi, tahu-tahu Elang ditangkap polisi atas dugaan pembunuhan Andi Vatar! Bingung. Tapi halaman selanjutnya sudah bukan cerita lagi, melainkan tentang penulis. Piye iki, Jal?

Selain itu saya heran juga. Amel kan dua kali diculik, sekali oleh Leon—teman SMA-nya—dan sekali lagi oleh anak buah Andi Vatar. Penculikan kedua, saya tidak ingat bagaimana caranya. Tapi saat penculikan pertama, saya ingat betul kalau Amel kok mau saja digiring oleh Leon cs begitu mentang-mentang Rikko lagi tak berkutik. Saya bayangkan seharusnya Amel bisa lebih berdaya, teriak-teriak kek, cari Pak Nasir kek, gulang-guling kek. Tapi ya sudah saya biarkan saja, soalnya saya lebih menikmati gaya bertutur cerita ini yang sedikit-sedikit menggelitik.

Mengenai penataan alur, cerita BI kan dituturkan oleh tiga sudut pandang. Sering kali sudut pandang kedua mengulang apa yang sudah disampaikan oleh sudut pandang pertama dari sudut pandangnya, belum lagi kalau di bagian selanjutnya sudut pandang ketiga melakukan yang serupa. Pengulangan bisa jadi menarik, karena memperjelas apa yang tidak diketahui oleh sudut pandang sebelumnya. Tapi kadang pengulangan ini tidak penting, malah membosankan, dan memperlambat tempo membaca. Emosi yang sudah diregang di bagian sebelumnya, jadi kendur lagi begitu ada pengulangan adegan di bagian selanjutnya. Emosi pembaca tak tergarap dengan optimal.

Hikmah

Kadang saya mengidentikkan diri dengan Rikko. Ini kata Rikko, dan ini saya banget.

Aku suka jalan kaki, karena kalau lagi jalan kaki aku punya banyak waktu untuk berpikir. Sebenarnya ini suatu kontradiksi, karena kalau terlalu banyak berpikir aku malah jadi pusing. (hal. 11)

Paling tidak novel ini bikin saya berspekulasi, apa kalau saya madat juga bakat indigo saya bakal keluar sebagaimana Rikko dan Ristya? Hehehe. Cakra alias pintu energi Rikko kan baru terbuka setelah ia mengonsumsi kokain (hal. 330). Ristya juga bisa menuliskan ramalan tentang Awan, Petir, Luna, dan lain-lain saat ia menghisap ganja. Satu lagi yang saya anggap lelucon dari pengarang, justru dari hal yang dianggap buruk itu jati diri seseorang akan muncul.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain

  • Tempo Nomor 20/XXXI/15 – 21 Juli 2002 - ISSN : 0126-4273 Rp 14.700 Dalam edisi ini, sedikitnya ada 3 kumpulan artikel yang menarik buat saya. Yang pertama adalah… Read more Tempo Nomor 20/XXXI/1...
    4 minggu yang lalu
  • Berkata Tidak - Aku dapat berkata tidak. Ketika aku masih anak-anak, aku takut berkata tidak. Aku melihat orang tuaku menyurutkan cinta dan perhatian mereka bila aku tidak...
    1 tahun yang lalu
  • Tentang Stovia - Tulisan berjudul "Stovia yang Melahirkan Kebangsaan" (*Kompas*, 28/5) telah menyadarkan kita tentang arti penting nilai-nilai kebangsaan yang dibangun para...
    6 tahun yang lalu