Kota bagi saya adalah sebuah identitas. Saya baru menyadari
ini ketika saya meninggalkan Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke kota lain.
Di Jogja, saya berkenalan dan berbagi dengan teman-teman dari berbagai
daerah—terutama dari DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di sinilah saya memahami kalau kehidupan terjadi tidak
hanya di Bandung. Bersinggungan dengan
mereka yang dengan enteng menyebut diri sebagai anak desa, atau anak kota—tapi
kota kecil, yang tak sungkan mengawali ceritanya dengan, “di desaku sih…” membuat
saya sadar akan perbedaan saya dengan mereka. Tak mungkin saya mengawali cerita
sebagaimana mereka, karena saya mau tak mau harus mengakui, “di kotaku sih…”
Bandung adalah sebuah kota besar, sampai kapanpun saya tak
bisa menyebutnya sebagai sebuah desa. “Bandungnya di sebelah mana?” sering saya
ditanya. “Bandung kota.” Saking besarnya Bandung, wilayah administratifnya
dibagi menjadi Kotamadya Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung
Barat. Bandung yang menjadi domisili saya adalah Kotamadya Bandung, yang
selanjutnya akan saya sebut Bandung saja.
Tak tepat jika menyebut saya mudik ke kampung halaman,
melainkan kota halaman. Letak rumah saya hanya lima belas menit jalan kaki dari
mal (yang dulu pernah jadi) terbesar di Bandung. Toh ketika saya di Jogja pun,
saya bisa dikatakan sudah mudik. Ke sinilah papa saya mengajak mama dan
adik-adik saya bersilaturahmi tiap lebaran dan libur kenaikan kelas. Jogjanya
pun bukan di desa, melainkan hanya sekitar 2 km dari kotamadya.
Saya lahir di Bandung, lalu mengenyam TK, SD, SMP, hingga SMA
di kota itu pula. Enam belas setengah tahun lamanya, jika sepenggal masa batita
saya di Cicurug tak dihitung. Lalu hampir lima tahun setelahnya saya menjadi
mahasiswa Jogja, sense of belonging saya terhadap Bandung tidak tersingkirkan
rupanya. Kebanyakan dari puluhan cerpen yang saya karang selama itu berlatar di
Bandung. Demikian pun kelima novel saya. Bahkan (calon) skripsi saya pun
tentang hutan kota di Bandung. Dan sampai sekarang saya masih bicara dengan
logat Sunda yang kentara.
Betapa sebuah kota dapat memengaruhi proses kreatif
sastrawan. Hal ini saya simpulkan dari membaca beberapa buku, di antaranya
“Tempat-tempat Imajiner, Perlawatan ke Dunia Sastra Amerika” (Michael Pearson)
dan “Istanbul—Kenangan Sebuah Kota” (Orhan Pamuk). Biarpun saya bukan
sastrawan, tapi saya telah mengarang, dan bagaimanapun hasil karangan saya,
proses kreatifnya ternyata tidak lepas dari pengaruh sebuah kota.
Maka secara otomatis buku bertajuk “Sastra Kota – Bunga Rampai Esai Temu
Sastra Jakarta” (Dewan Kesenian Jakarta
dan Bentang Budaya, 2003) pun menarik perhatian saya. Jika dua buku sebelumnya menampilkan sastrawan-sastrawan luar negeri,
maka yang diberitahukan buku kali ini adalah sastrawan-sastrawan dalam negeri.
Tidak seintens buku Pearson dan Pamuk memang, namun lumayan untuk menambah
wawasan mengenai dunia sastra, khususnya di Jakarta.
Kota dalam “Sastra Kota” mengacu pada Jakarta. Sebagai sebuah
ibukota, Jakarta mewakili keberagaman di Indonesia. Saya sendiri tidak familier
dengan Jakarta. Saya ke Jakarta hanya untuk ke Dunia Fantasi dan semacamnya,
atau ke Bandara Soekarno-Hatta, atau transit sebelum mencapai Taman Nasional
Ujung Kulon. Toh tak perlu sampai Jakarta, peta
yang dimiliki pakde saya bilang kalau Bandung pun sedang menuju metropolitan. Bandung
pun memiliki segudang carut-marut bak yang diceritakan Toto Sudarto Bachtiar,
Afrizal Malna, Mochtar Lubis, SM Ardan, hingga Teguh Esha dalam karya-karya
mereka mengenai Jakarta. Tengoklah “Senandung Bandung”, sebagai contoh, di sana
ada Eddy D. Iskandar, Beni Setia, Acep Zamzam Noor, sampai Wilson Nadeak yang mengabarkan
permasalahan Bandung tiga puluh tahun lampau: keadaannya dengan sekarang
ternyata sama saja!
“Sastra Kota” memuat sepuluh esai yang masing-masing ditulis
oleh Agus R. Sarjono (Sastra (dan) Kota), Ahmadun Yosi Herfanda (Kapitalisasi
Sistem Produksi), Eka Budianta (Komunitas Sastra dan Sosiologi Sastrawan: Sisi
Lain Selembar Daun), F. Rahardi (Gaya Militeristik Pejabat Kesenian Kita
(Pengelompokan Sastra Rural, Urban, dan Sub Urban)), Iwan Gunadi (Produk Ketertekanan tanpa Ideologi Bulat),
Maman S. Mahayana (Sistem Penerbitan Sastra di Indonesia), Manneke Budiman
(Konflik Sastra dan Sastra Konflik), Medy Loekito (Perempuan dan Sastra
Seksual), Moh. Wan Anwar (Pendekar Akademis di Jalan Raya Sastra Kita), serta
Zeffry J. Alkatiri dan JJ Rizal (60 Tahun Jakarta dalam Sastra Indonesia).
Melalui buku ini, kita
bisa
mengenal semakin banyak nama dan kiprah para sastrawan dan kritikus (saya
penasaran sama “Piekirans van een
straatslijper – Pikiran seorang tukang keluyuran”-nya Tjalie Robinson!), wadah
apa saja yang tersedia bagi pengembangan mereka (misalnya Taman Ismail Marzuki,
Teater Utan Kayu, Komunitas Sastra Indonesia, Forum Lingkar Pena, Horison, dan
semacamnya), para pengamen puisi di bis, aspirasi para buruh yang tertuang
melalui syair dan cerpen, sejarah penerbitan karya sastra di Indonesia, bagaimana
konflik dalam karya dikemas secara unik (cek “Jakarta, Suatu Ketika”-nya Seno
Gumira Ajidarma dan “SMS”-nya Djenar Maesa Ayu), jor-joran ekspresi seksual
perempuan dalam “sastra wangi” yang justru menurunkan harkat perempuan itu
sendiri, sampai lesunya sastra di dunia akademis.
Tapi apakah sebenarnya
“sastra kota” itu sendiri? F. Rahardi mengatakan bawah pengkotak-kotakkan
sastra menjadi rural, urban, dan suburban dalam pengertian hanya
geografis (teritorial) itu sama bodohnya dengan pengkotak-kotakan sastra
menjadi angkatan-angkatan seperti dalam dunia tentara. Biarpun sastrawannya
tinggal di kampung halaman, dan menulis tentang hal-hal yang “ndeso”, seperti Ahmad Tohari dan D.
Zawawi Imron, tapi yang mengonsumsi karya-karya mereka yang sarat nuansa rural itu justru masyarakat urban.
Sastra modern sebagaimana yang kita kenal adalah bagian dari kultur urban.
Sastra yang sungguhan rural biasanya
bersifat fungsional, contohnya mantra untuk upacara adat atau semacamnya.
Penciptanya pun tidak diketahui, sehingga karya sastra demikian dianggap
komunal.
Menurut F. Rahardi,
pengaruh domisili sastrawan yang di area rural,
urban, atau suburban itu memang
memengaruhi proses kreatif, tapi itu hanya salah satu faktor. Toh di manapun
seseorang tinggal, entah di pelosok Kalimantan maupun di sudut Ngayogyakarto,
ia tetap bisa menulis tentang Jakarta apabila rajin mengamati berita di TV
maupun koran—setiap hari ada saja berita tentang Jakarta, bukan? Barangkali
gaya hidup lebih berperan dalam memengaruhi proses kreatif seseorang.
Jadi agaknya tak mesti
tinggal di “metropolitan” Jakarta atau “kota kreatif” Bandung untuk memicu
proses kreatif. Gaya hidup urban, sekadar TV dan koran, bisa jadi sudah cukup sebagai
pemantik ide-ide dalam membuat karangan. Dan saya kagum dengan mereka yang bisa
seperti itu: menulis tentang hal-hal di luar diri mereka, namun tetap terasa realistis.
Sedang bagi saya, diri sendiri dan apapun yang melingkupinya, termasuk kota
yang telah membentuk identitas dan budayanya, masih menjadi sumber yang belum
habis untuk dieksplorasi. Padahal Bandung sudah terkenal dengan oncom, peuyeum,
mochi, Ma Icih, Amanda, sampai Kartika Sari, kayak tidak ada tempat lain yang
perlu diekspos saja.
Saya pun tidak ingin
menutup diri, insya Allah saya tidak akan menampik apabila ditawari kesempatan
menjelajahi dunia lain. Hanya saja, yang saya yakin semua orang akan amini
ialah: sepanjang hidup adalah upaya mengenali diri sendiri. Bahkan ketika kita
sudah lanjut usia pun, entah karena pikun atau rabun, kita akan mengenali diri
kita sebagai orang yang sudah susah mengenali orang lain. Toh saya pun baru
menyadari ke”urang-Bandung”an saya setelah bertemu orang Pati, Tempel, Gombong,
Wonosobo, Sragen, Malang…***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar