Penulis : Orhan Pamuk
Penerbit : PT Serambi
Ilmu Semesta, 2009
Apa tema kotamu? Orhan Pamuk menjawab, “Kemurungan,” atau
“huzun”, dalam memoarnya ini. Kotanya adalah Istanbul. Menurutnya, huzun bukan
sekadar berarti perasaan kehilangan dan kemurungan spiritual, melainkan juga
memiliki tradisi dan filosofi yang berbeda.
Salah satunya adalah tradisi yang berkembang dari mistisme
Sufi. “Bagi para Sufi, huzun merupakan penderitaan spiritual amat mendalam yang
kita rasakan karena kita tidak bisa cukup dekat dengan Allah, karena kita tidak
dapat melakukan cukup banyak amalan demi Allah di dunia ini.” Lebih lanjut
lagi, “Terlebih lagi, tidak adanya huzun, bukan adanya huzun, yang membuatnya
merasa tertekan. Kegagalannya untuk merasakan huzun itulah yang membuatnya
merasakan huzun; dia menderita karena dia belum cukup menderita…”
Tradisi lainnya adalah, “kita mengalami hal yang disebut
huzun ketika kita terlalu banyak menikmati kesenangan duniawi dan mengumpulkan
harta benda; implikasinya adalah bahwa “jika Anda tidak melibatkan diri terlalu
dalam di dunia fana ini, jika Anda seorang muslim sejati yang baik, maka Anda
tidak akan terlalu memedulikan hilangnya kesenangan duniawi ini.” Disebutkan
bahwa kematian adalah salah satu hal duniawi. (halaman 129)
Yang mana yang mewarnai atmosfer yang dirasakan Orhan dalam
Istanbul?
Ingatan melayang pada apa yang diajarkan buku Sejarah zaman
sekolah menengah. Adalah seorang Ataturk yang melakukan suatu perubahan besar
dalam kehidupan masyarakat Turki: mengubah kiblat peradaban dari timur ke barat.
Melalui cerita Orhan Pamuk tentang dirinya, keluarganya, dan kalangan
pergaulannya, sepertinya “berkiblat ke barat” berarti melepaskan agama juga.
Bukan suatu kewajiban untuk berpuasa di bulan Ramadan maupun solat. Bukan
masalah pula bercinta sebelum menikah dan minum alkohol. Jadi apakah penting
untuk mengetahui bahwa penulis memoar ini adalah seorang muslim atau bukan?
Maka kita diajak penulis menjelajahi masa kecil hingga masa
remajanya dalam lanskap sebuah kota bernama Istanbul—tanpa membandingkannya
dengan kota lain di negara yang sama yang bisa saja mengalami kondisi serupa
atau berbeda. Bagai sebuah tur, kita dibawa menyusuri jalanan kota,
tempat-tempat tertentu yang memberi kesan sesuatu, hingga membaca
literatur-literatur mengenai Istanbul yang ditulis baik oleh orang barat maupun
orang Istanbul sendiri. Kita menyaksikannya lewat mata sang penulis. Dia juga
mengizinkan kita untuk mengenal keluarganya lebih dekat—lengkap dengan
foto-foto zadul. Bayangkan jika kita bertamu ke rumah teman di lain kota. Tidak
hanya diajak jalan-jalan keliling kota, tentu kita juga akan dikenalkan dengan
keluarganya, bukan? Hanya saja kali ini lewat buku yang tidak hanya berisi
huruf tapi juga banyak gambar—sayangnya tak berwarna.
Mari kita ketahui bahwa sebuah kota bisa jadi sangat
menginspirasi. Memoar setebal 551 halaman yang terbagi dalam 37 bab ini hanya
satu contoh literatur yang terinspirasi dari sebuah kota bernama Istanbul.
Untuk kota dalam negeri pun kita punya. Sebut saja “Semerbak Bunga di Bandung
Raya” oleh Haryoto Kunto (1047 halaman, PT Granesia, 1986) dan “Jendela
Bandung: Pengalaman bersama KOMPAS” oleh Her Suganda (423 halaman, KOMPAS,
2008) yang hanya sekelumit contoh literatur mengenai Bandung. Bahkan ada 15
halaman sendiri untuk menuliskan daftar pustaka yang digunakan dalam menggarap
“Semerbak Bunga di Bandung Raya” (halaman 1049-1064). Ingat pula Benny &
Mice dengan “Lagak Jakarta”.
“Pengarang novel Prancis, Claude Simone, menyatakan bahwa
untuk mengumpulkan bahan untuk sebuah novel, sebenarnya cukup hanya dengan
mengitari sebuah blok di kotanya. Setelah pulang, tuliskan apa yang kita lihat,
pikirkan, rasakan, ingat, dan seterusnya,” kata Novakovich dalam “Berguru kepada
Sastrawan Dunia” (Kaifa, 2003) meski menurutnya cara ini terlalu berlebihan. Masih
dari Prancis, saya menemukan kutipan menarik yang diambil Orhan Pamuk dari
kolumnis Istanbul—tertulis tahun 1952 ,
“Pengarang Prancis ternama, Victor Hugo; punya kebiasaan
bepergian dari salah satu sudut kota yang lain di tingkat atas bus penumpang
yang ditarik oleh kuda, hanya untuk melihat apa yang sedang dikerjakan oleh
saudara-saudaranya sesama warga negara. Kemarin kami melakukan hal yang sama,
dan kami menyimpulkan bahwa sejumlah besar penduduk Istanbul tidak begitu
menaruh perhatian pada apa yang sedang mereka lakukan ketika melangkah di
jalanan dan selalu saling bertabrakan, serta membuang karcis, bungkus es krim,
dan kulit jagung ke tanah; di mana-mana ada pejalan kaki yang berjalan di jalan
raya, sedangkan mobil-mobil naik ke trotoar, dan—bukan karena kemiskinan,
melainkan karena kemalasan dan kebodohan—setiap orang di kota ini berpakaian
sangat jelek.”
Waha. Saya penasaran hal-hal menarik apa yang bakal saya dapatkan
jika saja saya lebih perhatian pada apa yang ada di sekitar saya saat saya
jalan-jalan. Contoh lain adalah seperti ini misalnya—tertulis tahun 1997,
“Setelah berusaha mencari tahu berapa banyak uang yang telah
dihamburkan masyarakat untuk pertunjukan kembang api yang konyol dan
gila-gilaan megah yang telah kita saksikan di setiap sudut kota Istanbul,
setiap malam pada musim panas ini, saya harus bertanya pada diri sendiri apakah
orang-orang yang merayakan perkawinan itu tidak akan merasa lebih bahagia—mengingat
kita sekarang memiliki kota dengan penduduk sepuluh juta orang—jika uang
sebanyak itu digunakan untuk pendidikan anak-anak kaum miskin. Saya benar atau
salah, ya?”
Hal yang sama saya tanyakan pada kalangan the have yang membelanjakan uang mereka
untuk segala kesenangan yang bertebaran di Kota Bandung.
Kelak saya ingin seperti mereka yang menulis tentang kota. Nah,
tantangannya adalah bagaimana menumbuhkan perhatian, pelibatan indra,
perenungan, imajinasi, dan perluasan wawasan mengenai kota tersebut. Bukan
muluk-muluk hendak jadi James Joyce dengan Dublin-nya. Saya hanya merasa kota
di mana saya lahir serta tumbuh hingga 16,5 tahun lamanya sungguh berpengaruh
saja buat saya. Dan saya memang sudah kepikiran tema untuk kota tersebut—kreatif
atau individualis ya?
sumber gambar
sumber gambar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar