Senin, 26 September 2011

Kotaku, Inspirasiku

Judul : Istanbul—Kenangan Sebuah Kota
Penulis : Orhan Pamuk
Penerbit : PT Serambi Ilmu Semesta, 2009

Apa tema kotamu? Orhan Pamuk menjawab, “Kemurungan,” atau “huzun”, dalam memoarnya ini. Kotanya adalah Istanbul. Menurutnya, huzun bukan sekadar berarti perasaan kehilangan dan kemurungan spiritual, melainkan juga memiliki tradisi dan filosofi yang berbeda.

Salah satunya adalah tradisi yang berkembang dari mistisme Sufi. “Bagi para Sufi, huzun merupakan penderitaan spiritual amat mendalam yang kita rasakan karena kita tidak bisa cukup dekat dengan Allah, karena kita tidak dapat melakukan cukup banyak amalan demi Allah di dunia ini.” Lebih lanjut lagi, “Terlebih lagi, tidak adanya huzun, bukan adanya huzun, yang membuatnya merasa tertekan. Kegagalannya untuk merasakan huzun itulah yang membuatnya merasakan huzun; dia menderita karena dia belum cukup menderita…”

Tradisi lainnya adalah, “kita mengalami hal yang disebut huzun ketika kita terlalu banyak menikmati kesenangan duniawi dan mengumpulkan harta benda; implikasinya adalah bahwa “jika Anda tidak melibatkan diri terlalu dalam di dunia fana ini, jika Anda seorang muslim sejati yang baik, maka Anda tidak akan terlalu memedulikan hilangnya kesenangan duniawi ini.” Disebutkan bahwa kematian adalah salah satu hal duniawi. (halaman 129)

Yang mana yang mewarnai atmosfer yang dirasakan Orhan dalam Istanbul?

Ingatan melayang pada apa yang diajarkan buku Sejarah zaman sekolah menengah. Adalah seorang Ataturk yang melakukan suatu perubahan besar dalam kehidupan masyarakat Turki: mengubah kiblat peradaban dari timur ke barat. Melalui cerita Orhan Pamuk tentang dirinya, keluarganya, dan kalangan pergaulannya, sepertinya “berkiblat ke barat” berarti melepaskan agama juga. Bukan suatu kewajiban untuk berpuasa di bulan Ramadan maupun solat. Bukan masalah pula bercinta sebelum menikah dan minum alkohol. Jadi apakah penting untuk mengetahui bahwa penulis memoar ini adalah seorang muslim atau bukan?

Maka kita diajak penulis menjelajahi masa kecil hingga masa remajanya dalam lanskap sebuah kota bernama Istanbul—tanpa membandingkannya dengan kota lain di negara yang sama yang bisa saja mengalami kondisi serupa atau berbeda. Bagai sebuah tur, kita dibawa menyusuri jalanan kota, tempat-tempat tertentu yang memberi kesan sesuatu, hingga membaca literatur-literatur mengenai Istanbul yang ditulis baik oleh orang barat maupun orang Istanbul sendiri. Kita menyaksikannya lewat mata sang penulis. Dia juga mengizinkan kita untuk mengenal keluarganya lebih dekat—lengkap dengan foto-foto zadul. Bayangkan jika kita bertamu ke rumah teman di lain kota. Tidak hanya diajak jalan-jalan keliling kota, tentu kita juga akan dikenalkan dengan keluarganya, bukan? Hanya saja kali ini lewat buku yang tidak hanya berisi huruf tapi juga banyak gambar—sayangnya tak berwarna.

Mari kita ketahui bahwa sebuah kota bisa jadi sangat menginspirasi. Memoar setebal 551 halaman yang terbagi dalam 37 bab ini hanya satu contoh literatur yang terinspirasi dari sebuah kota bernama Istanbul. Untuk kota dalam negeri pun kita punya. Sebut saja “Semerbak Bunga di Bandung Raya” oleh Haryoto Kunto (1047 halaman, PT Granesia, 1986) dan “Jendela Bandung: Pengalaman bersama KOMPAS” oleh Her Suganda (423 halaman, KOMPAS, 2008) yang hanya sekelumit contoh literatur mengenai Bandung. Bahkan ada 15 halaman sendiri untuk menuliskan daftar pustaka yang digunakan dalam menggarap “Semerbak Bunga di Bandung Raya” (halaman 1049-1064). Ingat pula Benny & Mice dengan “Lagak Jakarta”.

“Pengarang novel Prancis, Claude Simone, menyatakan bahwa untuk mengumpulkan bahan untuk sebuah novel, sebenarnya cukup hanya dengan mengitari sebuah blok di kotanya. Setelah pulang, tuliskan apa yang kita lihat, pikirkan, rasakan, ingat, dan seterusnya,” kata Novakovich dalam “Berguru kepada Sastrawan Dunia” (Kaifa, 2003) meski menurutnya cara ini terlalu berlebihan. Masih dari Prancis, saya menemukan kutipan menarik yang diambil Orhan Pamuk dari kolumnis Istanbul—tertulis tahun 1952 ,

“Pengarang Prancis ternama, Victor Hugo; punya kebiasaan bepergian dari salah satu sudut kota yang lain di tingkat atas bus penumpang yang ditarik oleh kuda, hanya untuk melihat apa yang sedang dikerjakan oleh saudara-saudaranya sesama warga negara. Kemarin kami melakukan hal yang sama, dan kami menyimpulkan bahwa sejumlah besar penduduk Istanbul tidak begitu menaruh perhatian pada apa yang sedang mereka lakukan ketika melangkah di jalanan dan selalu saling bertabrakan, serta membuang karcis, bungkus es krim, dan kulit jagung ke tanah; di mana-mana ada pejalan kaki yang berjalan di jalan raya, sedangkan mobil-mobil naik ke trotoar, dan—bukan karena kemiskinan, melainkan karena kemalasan dan kebodohan—setiap orang di kota ini berpakaian sangat jelek.”

Waha. Saya penasaran hal-hal menarik apa yang bakal saya dapatkan jika saja saya lebih perhatian pada apa yang ada di sekitar saya saat saya jalan-jalan. Contoh lain adalah seperti ini misalnya—tertulis tahun 1997,

“Setelah berusaha mencari tahu berapa banyak uang yang telah dihamburkan masyarakat untuk pertunjukan kembang api yang konyol dan gila-gilaan megah yang telah kita saksikan di setiap sudut kota Istanbul, setiap malam pada musim panas ini, saya harus bertanya pada diri sendiri apakah orang-orang yang merayakan perkawinan itu tidak akan merasa lebih bahagia—mengingat kita sekarang memiliki kota dengan penduduk sepuluh juta orang—jika uang sebanyak itu digunakan untuk pendidikan anak-anak kaum miskin. Saya benar atau salah, ya?”

Hal yang sama saya tanyakan pada kalangan the have yang membelanjakan uang mereka untuk segala kesenangan yang bertebaran di Kota Bandung.

Kelak saya ingin seperti mereka yang menulis tentang kota. Nah, tantangannya adalah bagaimana menumbuhkan perhatian, pelibatan indra, perenungan, imajinasi, dan perluasan wawasan mengenai kota tersebut. Bukan muluk-muluk hendak jadi James Joyce dengan Dublin-nya. Saya hanya merasa kota di mana saya lahir serta tumbuh hingga 16,5 tahun lamanya sungguh berpengaruh saja buat saya. Dan saya memang sudah kepikiran tema untuk kota tersebut—kreatif atau individualis ya?


sumber gambar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain