Kamis, 08 September 2011

Orang Gila di Taman Kota

                 Ibu selalu melarangku main ke taman kota. Di sana banyak orang gila. Maka setiap kali aku melewati taman kota, aku hanya dapat memandang kehijauan tersebut dari jauh. Ketika aku menangkap sosok-sosok manusia, mereka pasti orang gila.

                Aku belum pernah memasuki taman kota, sejak kecil. Sampai sekarang, sampai aku semakin stres berada di rumah.

                Di usiaku yang sekarang, aku merasa malu untuk menggunakan uang orangtuaku. Seharusnya aku sudah memiliki penghasilan sendiri. Tapi aku terantuk tugas akhir. Aku tidak bisa ke mana-mana dulu. Aku harus menyelesaikannya. Aku membutuhkan tempat untuk berkonsentrasi memikirkan itu. Rumah bisa jadi tempat yang nyaman, tapi keluarga tidak selalu. Maka sumber kebahagiaan adalah sesuatu yang mutlak dimiliki untuk melipur lara. Kamu harus memilikinya di mana-mana.

                Salah satu sumber kebahagiaanku adalah Irene. Dia gadis berambut pendek ikal dengan wajah klasik. Tawa riangnya menghiasi hari-hariku. Kami suka bersepeda bersama. Suatu kali kami berhenti sebentar di seberang jalan tepi taman kota. Ia memandangi kehijauan itu dan berkata, “Aku pingin skripsi di sana.”

                Saat itu aku tak peduli. Ia memang mahasiswi Fakultas Biologi. Mungkin saja kali lain ia akan berubah pikiran.

                Tapi tidak. Di suatu hari yang cerah, ketika aku menjemputnya di kampusnya, di lorong yang benderang itu ia menghampiriku sembari mendekap map biru. Matanya bercahaya saat ia bilang bahwa judul skripsinya sudah tembus. Ia akan segera mengadakan penelitiannya di taman kota. Skripsinya tentang keanekaragaman hayati di taman kota. Serasa ada halilintar membayangku dalam kegelapan.

                “Irene, jangan ke taman kota!” kataku.

                “Kenapa?”

                “Di sana banyak orang gila. Kalau kamu kenapa-kenapa gimana?”

                Ia terperangah. Lalu melewatiku begitu saja. “Kalau enggak mau bantu, ya sudah.”

                Aku menoleh lantas memandangi punggungnya yang mulai menjauh. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengejarnya.

                Aku menjadi marah pada diriku sendiri sesudah itu. Mengapa aku begitu takut untuk mendekati taman kota? Dengan energi kemarahanku itu, kukayuh sepeda ke arah taman kota. Begitu sampai, aku hanya bisa terpekur di tepinya. Aku melihat seorang pria berambut gimbal. Ia berjalan tanpa memakai kain sehelai pun. Segera aku mengalihkan pandang ke sisi lain taman. Aku melihat keluarga gelandangan sedang bercengkerama di atas rumput. Mengapa harus ada tempat seperti ini—penampungan warga yang tidak diinginkan?

                Aku menjauh dari tempat itu dengan hati yang tidak puas. Aku mencemaskan Irene-ku. Ia bilang ia akan mulai mengambil data minggu depan bersama teman-temannya. Lagipula kalau aku tidak ikut membantunya pun tidak mengapa, katanya, karena aku mahasiswa teknik yang tidak mengerti apa-apa soal lingkungan hidup.

                Sembari mengayuh sepeda kembali ke rumah, pikiranku bertanya-tanya lagi. Mungkin bukan salah taman kotanya. Taman kota mungkin bisa menjadi tempat yang aman bagi Irene. Tapi mengapa harus ada orang gila di dalamnya? Mengapa orang gila suka berada di sana? Benar kata ibuku. Taman kota adalah tempat orang gila! Semoga Irene dan teman-temannya baik-baik saja.

***

                Suatu kali Irene mengajakku jalan-jalan. Ia ingin ke taman kota bersamaku, tapi tidak untuk mengambil data. “Jangan ke sana, Irene. Ada orang gila,” kataku.

                “Ah, mereka enggak ngapa-ngapain kok,” sergah Irene. “Kamu penakut sekali.”

                Aku diam saja hingga kami sampai di sana. Begitu sampai, Irene langsung duduk di salah satu bangku sementara aku mengawasi keadaan di sekitar. Ada orang gila yang itu lagi. Ada juga seorang wanita yang duduk di tepi kali. Tampaknya ia stres. Tidak sedikit pula orang-orang yang tampak seperti gelandangan. Aku merasa was-was.

                Akhirnya aku ikut duduk di sampingnya. “Aku lagi butuh ketenangan,” katanya. Ia menengadah dan tampak cantik sekali. Namun itu tidak cukup untuk mengusir kewaspadaanku. Aku tetap awas terhadap sekeliling kami. Begitu ada orang tak beres yang mendekat, aku akan langsung menyeret Irene ke luar.

                Irene bercerita mengenai skripsinya yang membuatnya stres. Ia mempunyai suatu gagasan untuk meningkatkan jumlah pengunjung taman kota, namun pemerintah kota ternyata tidak mempunyai kebijakan untuk itu. Semangatnya untuk menggarap skripsi entah mengapa jadi surut. Ia malah jadi lebih bersemangat untuk mengkaji kebijakan mengenai pengelolaan taman kota—padahal itu bukan disiplin ilmunya. “Mana bisa meningkatkan jumlah pengunjung kalau di taman kota banyak orang yang mengkhawatirkan seperti ini?” kukatakan itu dalam hati saja. Sekarang memang aku sudah berhasil untuk tidak menyalahkan taman kotanya. Aku masih tidak habis pikir mengapa orang-orang stres suka sekali berada di sini?!

                Sore itu berakhir dengan baik-baik saja. Tidak ada seorang gila pun yang mendekati kami. Irene tersenyum padaku sebelum ia bangkit dari tempat duduknya. Mungkin ia senang karena akhirnya aku mau juga diajak masuk ke dalam taman. Ia mengajakku untuk ke sini kali berikutnya untuk membantunya mengambil data.

                Aku agak susah menolaknya. Bagaimanapun ia sudah membuktikan bahwa kami aman saja selama beberapa jam di sana. Bahkan kami sempat mengitari kali yang membelah taman  ini. Dan tidak terjadi apa-apa pada kami. Setiap orang tampak sibuk dengan dirinya masing-masing saja. Namun aku tetap waspada kalau tahu-tahu ada yang mendekati kami dan bertingkah yang tidak-tidak.

                Pada hari yang dijanjikan, aku sampai duluan. Aku duduk di bangku tempat kami pernah duduk dulu. Aku sudah siap dengan topi pet kalau-kalau terik sinar matahari bakal mengganggu penglihatanku. Namun tajuk pepohonan yang menaungi taman ini rupanya cukup lebat untuk menghalangi sengatan sinar matahari. Memang masih terlihat titik-titik cahaya menerobos celah-celah tajuk, namun itu tidak mengganggu.

                Aku lihat arlojiku. Sudah lima belas menit aku menunggu Irene. Aku menoleh kanan dan kiri karena tahu-tahu kecemasanku akan orang gila datang lagi. Tapi setiap orang tampak di tempatnya masing-masing. Ketika ada yang berjalan mendekat, aku menyiapkan pertahanan diriku. Namun ia lewat begitu saja tanpa mengacuhkanku.

                Tidak ada yang bisa aku lakukan selain memainkan ponselku. Mengapa Irene lama sekali? Jangan-jangan ia diculik orang gila di tengah jalan? Sebuah sms yang datang kemudian menjawab tanyaku. Irene tidak jadi bisa mengambil data hari ini. Ia harus menemani orangtuanya ke salon.

                Sesaat aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku pun bangkit. Dan tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Mungkin aku akan mengitari kali saja—seperti yang aku dan Irene lakukan dulu. Pulang ke rumah bukan pilihan yang bagus karena keluargaku berisik sekali. Aku sedang bermasalah dengan ibuku juga. Pergi ke kampus malah hanya akan mengingatkanku akan tugas akhir yang aku belum sudi lagi menyentuhnya. Yang aku butuhkan sebetulnya pergi ke suatu tempat di mana aku bisa menenangkan diri!

                Maka aku berjalan menyusuri tepi kali. Aku melihat ada seorang wanita mencuci pakaian di belakangku. Aku juga melihat beberapa orang—secara terpisah—tidur-tiduran di bangku taman. Ketika melihat gelandangan, aku memlih jalan yang lain. Tidur di atas bangku menjadi sesuatu yang menggiurkan. Aku pun mencari bangku yang kosong dan cukup panjang untuk menyelonjorkan tubuhku.

                Ketika berbaring, aku melihat titik-titik cahaya pada tajuk pepohonan di atasku. Tidak menyilaukan sama sekali. Angin sejuk semilir di atas wajahku dan kuhirup segarnya dalam-dalam. Cicitan burung-burung melenakanku—seolah mengantarku ke alam lain. Aku pun tertidur tanpa bermimpi. Sedikit-sedikit aku merasa terjaga hanya untuk merasakan buaian angin dan suara alam. Ketika bangun, aku gelagapan. Kutengok arloji. Baru setengah jam aku lelap padahal, tapi serasa sudah lama sekali.

                Aku putuskan untuk kembali ke rumah dan mengerjakan tugas akhirku. Entah mengapa pikiranku terasa plong sehingga aku siap untuk itu. Aku mungkin akan menghadapi keluargaku yang rewel sesampainya di rumah, namun pikiranku tidak lagi mempermasalahkan itu.

                Aku rasa aku tahu mengapa para orang gila, orang stres, dan gelandangan itu senang berada di dalam taman kota. Ya, itu bisa jadi karena mereka tidak punya rumah—sebuah bangunan kotak-kotak dengan berbagai barang buatan manusia menyesakinya. Tapi untuk apa mereka punya rumah kalau mereka tidak menemukan tempat di mana pikiran mereka dapat beristirahat? Sepertinya itulah yang kami semua butuhkan untuk dapat meredam kerasnya tekanan hidup.

                Mungkin aku akan ke sana lagi untuk menyegarkan pikiranku kali lain aku butuh.

 

2 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain