Ibu selalu melarangku main ke taman kota. Di sana banyak orang gila. Maka setiap kali aku melewati taman kota, aku hanya dapat memandang kehijauan tersebut dari jauh. Ketika aku menangkap sosok-sosok manusia, mereka pasti orang gila.
Aku belum pernah memasuki taman kota, sejak kecil.
Sampai sekarang, sampai aku semakin stres berada di rumah.
Di usiaku yang sekarang, aku merasa malu untuk
menggunakan uang orangtuaku. Seharusnya aku sudah memiliki penghasilan sendiri.
Tapi aku terantuk tugas akhir. Aku tidak bisa ke mana-mana dulu. Aku harus
menyelesaikannya. Aku membutuhkan tempat untuk berkonsentrasi memikirkan itu.
Rumah bisa jadi tempat yang nyaman, tapi keluarga tidak selalu. Maka sumber
kebahagiaan adalah sesuatu yang mutlak dimiliki untuk melipur lara. Kamu harus
memilikinya di mana-mana.
Salah satu sumber kebahagiaanku adalah Irene. Dia
gadis berambut pendek ikal dengan wajah klasik. Tawa riangnya menghiasi
hari-hariku. Kami suka bersepeda bersama. Suatu kali kami berhenti sebentar di
seberang jalan tepi taman kota. Ia memandangi kehijauan itu dan berkata, “Aku
pingin skripsi di sana.”
Saat itu aku tak peduli. Ia memang mahasiswi Fakultas
Biologi. Mungkin saja kali lain ia akan berubah pikiran.
Tapi tidak. Di suatu hari yang cerah, ketika aku menjemputnya
di kampusnya, di lorong yang benderang itu ia menghampiriku sembari mendekap
map biru. Matanya bercahaya saat ia bilang bahwa judul skripsinya sudah tembus.
Ia akan segera mengadakan penelitiannya di taman kota. Skripsinya tentang
keanekaragaman hayati di taman kota. Serasa ada halilintar membayangku dalam
kegelapan.
“Irene, jangan ke taman kota!” kataku.
“Kenapa?”
“Di sana banyak orang gila. Kalau kamu kenapa-kenapa
gimana?”
Ia terperangah. Lalu melewatiku begitu saja. “Kalau
enggak mau bantu, ya sudah.”
Aku menoleh lantas memandangi punggungnya yang mulai
menjauh. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengejarnya.
Aku menjadi marah pada diriku sendiri sesudah itu.
Mengapa aku begitu takut untuk mendekati taman kota? Dengan energi kemarahanku
itu, kukayuh sepeda ke arah taman kota. Begitu sampai, aku hanya bisa terpekur
di tepinya. Aku melihat seorang pria berambut gimbal. Ia berjalan tanpa memakai
kain sehelai pun. Segera aku mengalihkan pandang ke sisi lain taman. Aku
melihat keluarga gelandangan sedang bercengkerama di atas rumput. Mengapa harus
ada tempat seperti ini—penampungan warga yang tidak diinginkan?
Aku menjauh dari tempat itu dengan hati yang tidak
puas. Aku mencemaskan Irene-ku. Ia bilang ia akan mulai mengambil data minggu depan
bersama teman-temannya. Lagipula kalau aku tidak ikut membantunya pun tidak
mengapa, katanya, karena aku mahasiswa teknik yang tidak mengerti apa-apa soal
lingkungan hidup.
Sembari mengayuh sepeda kembali ke rumah, pikiranku
bertanya-tanya lagi. Mungkin bukan salah taman kotanya. Taman kota mungkin bisa
menjadi tempat yang aman bagi Irene. Tapi mengapa harus ada orang gila di
dalamnya? Mengapa orang gila suka berada di sana? Benar kata ibuku. Taman kota
adalah tempat orang gila! Semoga Irene dan teman-temannya baik-baik saja.
***
Suatu kali Irene mengajakku jalan-jalan. Ia ingin ke
taman kota bersamaku, tapi tidak untuk mengambil data. “Jangan ke sana, Irene.
Ada orang gila,” kataku.
“Ah, mereka enggak ngapa-ngapain kok,” sergah Irene.
“Kamu penakut sekali.”
Aku diam saja hingga kami sampai di sana. Begitu
sampai, Irene langsung duduk di salah satu bangku sementara aku mengawasi
keadaan di sekitar. Ada orang gila yang itu lagi. Ada juga seorang wanita yang
duduk di tepi kali. Tampaknya ia stres. Tidak sedikit pula orang-orang yang
tampak seperti gelandangan. Aku merasa was-was.
Akhirnya aku ikut duduk di sampingnya. “Aku lagi
butuh ketenangan,” katanya. Ia menengadah dan tampak cantik sekali. Namun itu
tidak cukup untuk mengusir kewaspadaanku. Aku tetap awas terhadap sekeliling
kami. Begitu ada orang tak beres yang mendekat, aku akan langsung menyeret
Irene ke luar.
Irene bercerita mengenai skripsinya yang membuatnya
stres. Ia mempunyai suatu gagasan untuk meningkatkan jumlah pengunjung taman
kota, namun pemerintah kota ternyata tidak mempunyai kebijakan untuk itu.
Semangatnya untuk menggarap skripsi entah mengapa jadi surut. Ia malah jadi
lebih bersemangat untuk mengkaji kebijakan mengenai pengelolaan taman
kota—padahal itu bukan disiplin ilmunya. “Mana bisa meningkatkan jumlah
pengunjung kalau di taman kota banyak orang yang mengkhawatirkan seperti ini?”
kukatakan itu dalam hati saja. Sekarang memang aku sudah berhasil untuk tidak
menyalahkan taman kotanya. Aku masih tidak habis pikir mengapa orang-orang
stres suka sekali berada di sini?!
Sore itu berakhir dengan baik-baik saja. Tidak ada
seorang gila pun yang mendekati kami. Irene tersenyum padaku sebelum ia bangkit
dari tempat duduknya. Mungkin ia senang karena akhirnya aku mau juga diajak
masuk ke dalam taman. Ia mengajakku untuk ke sini kali berikutnya untuk
membantunya mengambil data.
Aku agak susah menolaknya. Bagaimanapun ia sudah
membuktikan bahwa kami aman saja selama beberapa jam di sana. Bahkan kami
sempat mengitari kali yang membelah taman
ini. Dan tidak terjadi apa-apa pada kami. Setiap orang tampak sibuk
dengan dirinya masing-masing saja. Namun aku tetap waspada kalau tahu-tahu ada
yang mendekati kami dan bertingkah yang tidak-tidak.
Pada hari yang dijanjikan, aku sampai duluan. Aku
duduk di bangku tempat kami pernah duduk dulu. Aku sudah siap dengan topi pet
kalau-kalau terik sinar matahari bakal mengganggu penglihatanku. Namun tajuk
pepohonan yang menaungi taman ini rupanya cukup lebat untuk menghalangi
sengatan sinar matahari. Memang masih terlihat titik-titik cahaya menerobos
celah-celah tajuk, namun itu tidak mengganggu.
Aku lihat arlojiku. Sudah lima belas menit aku
menunggu Irene. Aku menoleh kanan dan kiri karena tahu-tahu kecemasanku akan
orang gila datang lagi. Tapi setiap orang tampak di tempatnya masing-masing.
Ketika ada yang berjalan mendekat, aku menyiapkan pertahanan diriku. Namun ia
lewat begitu saja tanpa mengacuhkanku.
Tidak ada yang bisa aku lakukan selain memainkan
ponselku. Mengapa Irene lama sekali? Jangan-jangan ia diculik orang gila di
tengah jalan? Sebuah sms yang datang kemudian menjawab tanyaku. Irene tidak
jadi bisa mengambil data hari ini. Ia harus menemani orangtuanya ke salon.
Sesaat aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku
pun bangkit. Dan tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Mungkin aku akan
mengitari kali saja—seperti yang aku dan Irene lakukan dulu. Pulang ke rumah
bukan pilihan yang bagus karena keluargaku berisik sekali. Aku sedang
bermasalah dengan ibuku juga. Pergi ke kampus malah hanya akan mengingatkanku
akan tugas akhir yang aku belum sudi lagi menyentuhnya. Yang aku butuhkan
sebetulnya pergi ke suatu tempat di mana aku bisa menenangkan diri!
Maka aku berjalan menyusuri tepi kali. Aku melihat
ada seorang wanita mencuci pakaian di belakangku. Aku juga melihat beberapa
orang—secara terpisah—tidur-tiduran di bangku taman. Ketika melihat
gelandangan, aku memlih jalan yang lain. Tidur di atas bangku menjadi sesuatu
yang menggiurkan. Aku pun mencari bangku yang kosong dan cukup panjang untuk
menyelonjorkan tubuhku.
Ketika berbaring, aku melihat titik-titik cahaya pada
tajuk pepohonan di atasku. Tidak menyilaukan sama sekali. Angin sejuk semilir
di atas wajahku dan kuhirup segarnya dalam-dalam. Cicitan burung-burung
melenakanku—seolah mengantarku ke alam lain. Aku pun tertidur tanpa bermimpi.
Sedikit-sedikit aku merasa terjaga hanya untuk merasakan buaian angin dan suara
alam. Ketika bangun, aku gelagapan. Kutengok arloji. Baru setengah jam aku
lelap padahal, tapi serasa sudah lama sekali.
Aku putuskan untuk kembali ke rumah dan mengerjakan
tugas akhirku. Entah mengapa pikiranku terasa plong sehingga aku siap untuk
itu. Aku mungkin akan menghadapi keluargaku yang rewel sesampainya di rumah,
namun pikiranku tidak lagi mempermasalahkan itu.
Aku rasa aku tahu mengapa para orang gila, orang
stres, dan gelandangan itu senang berada di dalam taman kota. Ya, itu bisa jadi
karena mereka tidak punya rumah—sebuah bangunan kotak-kotak dengan berbagai
barang buatan manusia menyesakinya. Tapi untuk apa mereka punya rumah kalau
mereka tidak menemukan tempat di mana pikiran mereka dapat beristirahat?
Sepertinya itulah yang kami semua butuhkan untuk dapat meredam kerasnya tekanan
hidup.
Mungkin aku akan ke sana lagi untuk menyegarkan
pikiranku kali lain aku butuh.
2 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar