Lagi-lagi dia minta semangat. Aku raih tangannya. Aku tepukkan telapak tanganku ke telapak tangannya. “Nih, aku kasih SEMANGAT!” Dia menarik tangannya lagi dan menatapku hampa. Aku tersenyum—berpura-pura kalau aku memang bersemangat. Barangkali kepura-puraan positif memang berdampak nyata. Bagaimanapun, aku mengerti bahwa semangat adalah modal vital dalam menghadapi semester baru yang sepertinya bakal sangat bikin rebek ini. Betapa akan sangat tersiksa jiwa ini kalau harus menjalankan sesuatu tanpa semangat.
Dia menghela nafas, menopang dagunya dengan kepalan tangan, sembari melepas pandang ke orang-orang.
“Enggak apa-apa kalau kamu enggak punya semangat, Ta,” kataku. “Aku pernah main ke museum TNI di Jogja. Di sana ada tulisan tentang I Gusti Ngurah Rai.” Dengan ejaan lawas, isi tulisan tersebut kira-kira sebagai berikut, “Almarhum I Gusti Ngurah Rai itu, meskipun badannya kecil, pembawaannya lemas dan tidak bersemangat, tapi cita-citanya tinggi dan besar…” Aduh, aku lupa kelanjutannya, namun, “Akhirnya beliau berhasil mengusir tentara Belanda dari Bali.”
Sepertinya dia tidak terkesan dengan ceritaku. Aku pikir lagi, apa gunanya kita bercita-cita tinggi kalau tidak punya semangat untuk mewujudkannya?
Selanjutnya kami malah mengomentari orang yang menarik perhatian kami.
“Lihat tuh, si Diana. Dia yang kemarin baru dapet penghargaan dari kampus—“
“Beuh… IPK-nya, dewa abis…”
“Enggak cuman itu Ta, dia juga ikut yang simulasi PBB itu loh, sering ke luar negeri…”
Lewat lagi yang lain.
“Eh, itu si Sansan, baru dari Ceko kemarin.”
“Katanya dia sempet main ke negara-negara lainnya juga gitu ya?”
“Iya, aku udah denger,” kataku dilanjutkan mengabsen sejumlah negara di Eropa yang berdekatan dengan Ceko.
“Beuh, udah mah mahasiswa berprestasi fakultas…”
“PKM-nya juga menang kemarin…”
Lewat lagi yang lain.
“Itu tuh, si Anggi, besok mau ke Kalimantan. Penelitian dua bulan gitu katanya.”
“Oh ya, dia juga dulu pas masih tingkat awal ke Turki terus dapet penghargaan apa gitu ya?”
Lewat lagi yang lain.
“Eh, itu tuh si Dara. Dia penghasilannya banyak loh… Kerja sambilan di macem-macem tempat loh dia. Kayaknya asik gitu kerjaannya dia.”
“Oh iya? Oh pantes… Aku pernah denger dia beli mobil pakai uangnya sendiri gitu.”
Sementara menunggu orang yang patut dibicarakan lagi, aku terpikirkan akan nasibku dengan temanku itu. Entah kapan IPK kami bisa mencapai cum laude—mungkin jatah waktu kami di perguruan tinggi ini keburu habis sebelum itu terjadi. Kami belum pernah ke luar pulau sama sekali untuk kepentingan akademis—boro-boro ke luar negeri. Kami tidak begitu aktif berorganisasi karena jadwal kuliah dan praktikum saja sudah cukup menyita perhatian kami. Kami optimis lulus empat tahun lebih. Kami tidak pernah sempat ikut kompetensi penelitian. Kami juga tidak cukup punya waktu dan keterampilan untuk mencari tambahan uang saku.
“Kalau kamu jadi mereka, kamu bakal lebih bersemangat enggak, Ta?”
“Ng? Enggak tahu. Kamu gimana?”
“Mungkin iya. Kalau aku lebih pinter, berprestasi, bisa ngehasilin banyak uang dari usaha sendiri, kan jadi banyak hal yang bisa aku banggain dari diri aku,” jawabku spontan saja. Kataku lagi, mengutip entah kalimat Sponge Bob atau Patrick dalam episode Sponge Bob-bau-mulut, “Kan ada kekuatan pada rasa bangga. Kekuatan itu sama kayak semangat enggak sih?”
Dia hanya memandangku sebentar. Lalu lepas lagi matanya ke samudra mahasiswa.
“Eh, liat itu si Ananda…”
Aku mengangkat daguku. Terlihat seorang cewek bertubuh pendek. Jalannya santai dan bibirnya membentuk senyum.
Aku tidak ingat dia pernah menorehkan prestasi apapun. Sepertinya dia termasuk kasta mahasiswa biasa-biasa saja macam kami. Fisiknya tidak begitu rupawan, keluarganya juga bukan dari kalangan menengah ke atas. Memang sih, setahuku, IPK-nya sedikit lebih tinggi dari punyaku. Selebihnya, aku tidak tahu apa lebihnya ia dariku. Badanku bahkan lebih tinggi dari dia!
“Seneng deh liat si Nanda,” suara teman di sebelahku lagi.
“Kenapa? Kayaknya dia enggak sehebring orang-orang yang tadi kita omongin deh.”
Tapi tetap saja ada yang bisa kami bicarakan tentang seseorang. Aku jadi merasa geli dengan persamaan kami, para mahasiswa sekasta. Kami sama-sama jarang jadi asisten praktikum. Kami sama-sama pernah coba ikut PKM dan gagal. Kami sama-sama kerap asik dengan dunia sendiri hingga melalaikan organisasi. Kami sama-sama tidak piawai membuat esai untuk mengikuti konferensi apapun. Kami sama-sama tidak berprestasi. Entah kapan kami bisa membanggakan negeri.
Pikiran ini jadi kian menyurutkan semangatku. Mendadak geliku sirna juga. Tapi teman di sebelahku ini malah jadi kelihatan tambah bersemangat berkat membicarakan Ananda.
“Seneng aja liat dia. Kayaknya orangnya semangat terus deh.”
Aku ingat-ingat… Ya, aku memang jarang lihat muka lusuh Ananda.
Akhirnya aku lihat senyum lebar memaniskan wajah temanku lagi. “Hebat ya?”
“Kenapa?” Aku menoleh padanya hingga kami saling bertatapan.
Lanjutnya,” Ya kayak kata kamu tadi. Kalau kamu udah punya macem-macem terus semangat, ya itu biasa, tapi kalau kamu enggak punya apa-apa tapi bisa tetep semangat, rasanya hebat aja.”
Aku tercenung. Mendadak temanku bangkit sambil menarik tanganku. “Yuk ah, deketin yang semangat yuk. Siapa tahu aja semangatnya nular…”
13 September 2011
Terinspirasi dari kutipan “Kalau kau punya ‘apa-apa’ dan segala-galanya lalu hidup semangat, apa hebatnya? Tapi bila kau tak punya ‘apa-apa’ lalu hidup semangat, itu yang keren.” (Pidi Baiq)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar