Saya terbangun pukul satu dini hari. Kemudian saya terpikir untuk melanjutkan ketikan catatan harian saya. Maka saya ke luar kamar untuk mengambil laptop. Di luar kamar hanya ada Cah. Posisinya tidur menyamping menghadap jendela. Sebelah tangannya menyentuh kibor laptopnya, seakan tahu-tahu tertidur saat sedang mengetik. Saya matikan TV, mengambil laptop, dan kembali ke kamar.
Keinginan untuk mengetik pudar. Saya jadi ingin lanjut tidur saja. Sayup-sayup, saya mendengar suara-suara yang membuat saya mengira Cah sudah terbangun. Terdengar dehamannnya. Belum lama saya terlelap, ada yang mengetuk pintu. Siapa? Buka tidak ya? Saya akhirnya bangkit, memakai baju lengan panjang dan kerudung, dan ketika membuka pintu saya dapati Cah.
Dia tanya apakah saya sudah mengambil laptop saya. Saya iyakan. Lalu saya lupa dia tanya apa lagi. Lalu dia menyuruh saya duduk di hadapannya, beberapa kali, sampai saya menurut. Dia tanya apa saya sudah cukup sadar dan bisa berpikir. "Ya, ada apa?" kata saya akhirnya. Dia menunjuk jendela di seberang kami. "Kamu tahu kenapa itu gordennya kayak gitu?" Gorden di seberang kami agak masuk ke dalam kusen, memperlihatkan sebagian pemandangan kolam eceng gondok di luar. Lalu dia menunjuk jendela satunya. Gordennya tertutup saja. Saya lupa dia ngomong apa. Tapi kemudian perut saya jadi mulas sementara dada berdebar. Saya pindah duduk ke dekatnya.
Lalu dia bercerita. "Tadi ada yang nyemplung kolam." Orang. Lalu dia berdeham. Orang itu kabur. "Tadinya mau kukejar. Tapi enggak enak sama yang punya rumah." Saya hanya bisa tertegun. Perasaan takut bercokol. Ketidaknyamanan kian mencengkeram. Saya sarankan Cah untuk bilang sama pemilik rumah. "Ya, nanti pagi," jawabnya.
Kembali saya ke tempat tidur. Sembari terbaring, saya merindukan saat di mana saya membuka lembaran novel dan menyantap dunia fiksi di dalamnya. Lalu mengguratkan fiksi saya sendiri setelahnya. Dunia saya sebenarnya. Saya kangen rumah. TV kabel yang menayangkan serial 30 Rock di mana saya bisa belajar membuat komedi. Adik-adik saya. Semuanya.
Imaji beralih ke sekarang. Tidak lama lagi saya harus menyeruak kerimbunan rimba Ujung Kulon di mana kemarin saya temukan ulat-ulat bertebaran. Aduh. Dan segala kerepotan lain yang melingkupinya. Tapi semuanya harus saya tempuh atau saya tidak akan mendapatkan apa-apa padahal sudah jauh-jauh ke mari...
Padahal alhamdulillah kami telah mendapatkan tumpangan yang amat homy. Pemilik rumah dan orang-orang di sekitarnya begitu baik pada kami. Meski hawa yang selalu bikin badan lengket tak bisa dipungkiri. Meski pikiran bagaimana meninggalkan kesan baik bagi orang-orang baik ini harus terus digeluti. Dan sebagainya.
Petualangan di alam. Padahal ini dulu yang amat saya idam-idamkan. Setelah berkecimpung di dalamnya, kok? Apa kondisi saya saja yang sedang tidak baik sehingga saya enggan menghadapinya? Ah. Semoga saja lekas lalu dan saya bisa bekerja profesional serta berbaik laku pada orang-orang sini dengan teman-teman saya ini
Pagi, Cah bilang sama Bapak soal kejadian pada dini hari ini. Kata Bapak, itu Agus yang suka bongkar rumah. Nyuri maksudnya. Kok dibiarkan saja? Kata Cah, "Enggak tau. Udah bosen ngasih taunya kali." Ha.
Saya juga mendapat versi lengkap dari cerita ulang Cah pada orang-orang lain. Rupanya bagian bawah gorden bisa berbentuk seperti itu karena tangan si oknum memang sempat masuk berkat jendela yang tidak terkunci. "Mau ngajak salaman kali," ada yang nyeletuk.
Saya juga mendapat versi lengkap dari cerita ulang Cah pada orang-orang lain. Rupanya bagian bawah gorden bisa berbentuk seperti itu karena tangan si oknum memang sempat masuk berkat jendela yang tidak terkunci. "Mau ngajak salaman kali," ada yang nyeletuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar