Kamis, 16 Juni 2011

Tak Ada Tempat Lain

Sudah lama aku tak melihatnya menyambangi angkasa, latar biru di mana ia dapat meluncur anggun. Angin berusaha mendekapnya. Terlalu lincah, ia selalu luput. Lenggak-lenggoknya memesona. Sayang ia terkurung dalam kotak. Dikendalikan oleh simbol-simbol yang dipencet jemari cekatan, bukan lagi ketangguhan genggaman. Telapak tangan tak lagi berbekas tarikan kenur, diganti ujung jari kapalan.

Aku ingin memainkannya. Aku belum pernah tahu ada game ini sebelumnya, The Kite Runner—sepertinya memang dicatut dari judul film yang satu itu.

Namun sepertinya tak ada celah bagiku untuk mengambil alih kibor. Sang kakak saja sudah habis sabar menunggu gilirannya bermain. Sang adik keasikan. Ketika ia memencet tuts “O”, layang-layang dalam layar tipis itu berputar melingkar. Layang-layang lain mendekat tangkas, lekas ia menarik mundur jagoannya dengan tuts “V”. Kekuatan ekstra, tekan “Ctrl + P + /”, tash! Angka-angka dalam kotak pojok kiri bawah berkelebat cepat hingga paduan bilangan yang lebih besar tertera di sana.

Sang kakak nyengir, menyangka sang adik akan sadar diri untuk menyerahkan kendali kibor padanya. Namun tidak. Sungutan. Dengusku tertahan. Cetusku pada sang kakak, setengah berbisik, “Entar gua minta yah, itu, game-nya...” Ia menoleh. “Eh, udah mau balik?” Aku mengacungkan sebundel tipis fotokopian di tangan kananku—bahan untuk tugas yang harus dikumpulkan esok pagi. “Udah, ini aja. Makasih ya…”

Setidaknya kekesalan sang kakak teralih. Ia mengikutiku berjalan ke pintu depan. Masih terang di luar. Sepuluh tahun yang lampau, pada jam segini, aku akan tergoda untuk bolos TPA. Ketimbang mengambil Iqra, aku lebih memilih untuk menarik-ulur kenur di lapangan terdekat. Girang dengan angin yang bertiup kencang. Kutahankan leherku untuk menengadah sekian lama. Juga tak hirau akan perih di tangan. Yang penting layang-layangku terbang! Dan menang! Aku ingat ketika aku dan sang kakak bekerja sama melawan si Hitam milik anak RW sebelah. Pulang ke rumah, sebelah tangan menenteng pahlawan. Hati puas kendati selanjutnya muka pias dimarah ibunda, plus telinga merah karena dijewer sepanjang ruang depan. “Main layang-layang terus, ngajinya kapan?!” Sungguh kenangan manis.

Aku tak main layang-layang lagi sekarang. Mungkin karena aku sudah besar, tapi mungkin juga karena lain alasan. Beberapa tahun lalu adikku membawa ke luar layang-layang. Baru beberapa meter dari pintu rumah, sahutan ibu kami menahan langkahnya, “Mau main di mana? Jangan di jalan, entar ketabrak!”

“…ganggu orang lewat juga,” timpal ayah kami yang sedang membaca koran di teras.

“…nanti kalau nyangkut di tiang listrik gimana? Bisa kesetrum kamu, Dek!”

Adikku menggaruk kepala dengan raut muka bingung yang sesaat dihiasi binar. Ia menunjuk ke atas. “Di atap boleh, Ma?”

“Nggak boleh! Nanti kalau jatuh dari atap gimana? Udah, sini, bantu Mama beresin rumah!”

Pada saat itu, lapangan kompleks kami sedang dibongkar. Rencananya akan dibangun menjadi arena futsal.

Sekarang arena futsal itu sudah jadi, dilengkapi kafe dan fasilitas hiburan lain—maklum, kompleks kami dekat jalan raya. Aku menyisihkan uang sakuku setiap hari agar bisa ikut patungan bayar sewa main di sana. Padahal sebelum seseorang dengan insting bisnisnya yang mengagumkan datang dan menemukan peluang, kami bisa main bola gratis di sana. Kalau tidak sedang dipakai untuk main bola, ya menerbangkan layang-layang.

Selepas magrib, aku akan mengayuh sepedaku ke sana. Aku akan bertemu dengan para tetanggaku. Mereka rata-rata sudah kuliah di jurusan berbeda. Ada Planologi, Teknik Lingkungan, Kehutanan—para calon pengelola lingkungan hidup, serta jurusan-jurusan lainnya. Kami biasa menghabiskan akhir minggu kami di atas hamparan rumput sintetis tersebut dengan sukacita. Entah pernah terbersit dalam pikiran mereka juga apa tidak, seharusnya kami bisa mendapatkan kesukacitaan ini dengan gratis. Tak hanya itu, adik-adik kami pun akan tahu rasanya memegang benang layang-layang, merasakannya menjadi tegang, setegang perasaan mereka kala mendapati layang-layang mereka sedang jadi incaran.

Alur-alur jingga mulai merona di atas kepala. Tak kulihat selembarpun kertas minyak sempoyongan di sana. Layang-layang kesayanganku dulu berwarna hijau. Sehijau rumput arena futsal, tanpa tanah yang akan menghisap cucuran keringatmu, tanpa tanah yang akan menggesek kulit dan membuat ibumu mengeluarkan Betadine ketika kamu pulang ke rumah. Kusadari bahwa semakin hari aku semakin jarang menginjak tanah.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain