Pada hari Kamis kami pulang siang dan kami nyaris tidak melakukan kegiatan terkait praktek lagi sampai Jumatan esok harinya. Dalam waktu itu, dan mungkin sempat pada sebelumnya, saya beberapa kali merasa ragu apakah yang sedang kami jalani ini praktek jurusan atau... "Kayak lagi survei KKN," kata Cah.
Sehabis tepar pada Kamis itu, saya mandi. Sehabis mandi, sementara yang lain ganti bertepar ria, saya malah ngeberesin becek di depan kamar mandi, nimba air untuk bak kamar mandi, menyapu juga mungkin, mencuci baju, sampai akhirnya diajakin makan sawo berlanjut makan siang bareng Fitri dan Atia (bagaimana cara menuliskan namanya yang benar ya?).
Fitri dan Atia adalah dua gadis cilik Taman Jaya yang diperbantukan di rumah Bunda. Rumah Fitri dekat pantai sementara rumah Atia dekat bangunan untuk burung walet dekat rumah. Fitri kelas 1 SMP sementara Atia kelas 5 SD. Mereka berdua adalah murid mengaji Abah--bapaknya Bunda. Mereka selalu berdua ke mana-mana. Bunda menjuluki mereka duo racun.
Sempat ada rencana, agenda setelah survei adalah evaluasi hasil survei lalu ke rumah kepala desa malamnya. Namun sore itu hujan lebat sehingga pemandangan bocah-bocah Taman Jaya bermain bola di bawahnya di area kosong depan rumah Bunda jadi kenikmatan tersendiri. Tidak jadi lihat matahari terbenam di dermaga deh. Petang, kami malah beli dagangannya Vicky. Bocah ini tiap sore terdengar suaranya menjajakan donat dan gorengan keliling kampung. Kelas 1 SMP juga. Saya bayangkan ia sebagai pengusaha sukses di kemudian hari.
Akhirnya juga kami tidak jadi ke rumah kepala desa meski malam sebelumnya kami sudah diperkenalkan oleh Bapak pada keluarga kepala desa (orangnya sendiri sedang tidak ada). Rijal dan Cah tampaknya memanfaatkan waktu untuk merumuskan kembali metode penelitian mereka tapi yang lainnya GJ.
Pada petang itu pula kami untuk pertama kalinya bertemu Bunda secara langsung. Beliau tiba ketika saya sedang menemani Rifda--putri sulung Bunda--masak telor di dapur. Rifda sudah tiba duluan dari Labuan saat hari masih agak terang dengan elf yang memuat barang-barang titipan warga sini. Selama beberapa hari sebelumnya Rifda mengikuti SNMPTN sehingga Bunda menemaninya.
Malam itu pada jam sembilanan malam saja saya sudah lelap. Jam satu dini hari terbangun dan mendapati insiden setelahnya. Lalu saya bangun lagi pukul empat untuk memulai aktivitas. Tapi yang lain baru bangun jam setengah enaman... Malu juga sama yang punya rumah. Saya hanya bisa bantu menyapu sementara itu.
Setelah Rijal dan Desta bangun, akhirnya ada juga yang membantu Bunda masak. Sementara mereka mengurus cumi dan ikan, saya mengurus blog saya, haha, sampai muncul keinginan Cah untuk jalan-jalan pagi. Bapak malah meminjamkan kami kunci motor. Namun akhirnya saya, Cah, dan Soni jalan kaki sampai dermaga. Tujuan kami adalah, selain mengecek dan mengambil ikat pinggang Ucok yang mungkin tertinggal di sana, juga mencari informasi tentang cara berkunjung ke kantor seksi III Sumur. Syukur-syukur kami bisa diantar mobil patroli, he.
Kami melewati penginapan Sunda Jaya saat menuju dermaga dan melihat bule serta mungkin rombongan wisatawan lain di sana. Selama saya menelusur informasi di Google terkait Taman Nasional Ujung Kulon pra perjalanan, saya kira penginapan satu ini cukup terkenal--bahkan mungkin satu-satunya yang ada di Taman Jaya.
Di dekat dermaga, di tepi pantai yang rupanya sedang pasang, sementara saya dan Cah berdiskusi soal misteri penciptaan, rombongan wisatawan di penginapan tadi lewat di belakang kami. Saat kami menemui Pak Otong yang sedang mencabuti rumput halaman kantor seksi, rombongan wisatawan itu tengah menunggu kapal di ujung dermaga. Mungkin mereka mau ke Pulau Peucang.
Ternyata benar ikat pinggang Ucok ada di kantor seksi. Alhamdulillah Pak Otong menyimpankannya. Kami mengobrol ala kadarnya sebagai pengantar untuk membicarakan tujuan kami. Pak Otong harus bersiap karena sebentar lagi ia bakal pergi.
Sebelum minggat, ada seseorang menghampiri Pak Otong. Rambutnya dicukur sedemikian rupa sehingga yang panjang hanya di bagian belakang kepala saja. Pakaiannya agak compang-camping tapi masih agak menutup aurat. orang tersebut melapor pada Pak Otong kalau ada orang tertembak kakinya dan bla bla bla. Widih. Cah menyodorkan ponselnya pada saya. Di sana ia mengetikkan kata "gila". O. Ujung-ujungnya, orang tersebut minta rokok sama Pak Otong dan seterusnya. Selepas kepergiannya, Pak Otong cerita kalau orang tersebut sebetulnya punya perusahaan di Serang. Orang berpunya. Lalu mengapa ia bisa sampai berkeliaran di sini? "Stres," kata Pak Otong. Padahal istri-anaknya sudah menjemput, tapi ia tidak mau. Orang itu kemudian nongkrong di dermaga. Ke sana jualah kami menuju.
Di dermaga, kami melihat ada dua orang ABG memancing hanya dengan kail. Salah seorang anak mendapat seekor ikan bertubuh panjang dengan moncong panjang pula--serta bergigi tajam. Sementara saya memerhatikan rombongan yang sepertinya terdiri dari sebuah keluarga besar dan sepasang bule bulan madu, mereka mendapatkan seekor ikan yang sama lagi. Ikan kacangan, kata Cah.
Sms Rijal datang. Kami disuruh cepat kembali untuk ikut beres-beres rumah, haha. Jadi Jumat itu agenda kami yang terkait praktek baru dimulai sehabis Jumatan. Kami kembali ke sumber air panas Cibiuk dan di sana kami membuat plot untuk Cah sekaligus untuk saya dan Soni. Setelahnya, kami berjalan sejauh kira-kira 200 meteran ke atas untuk membikin plot untuk saya dan Soni. Hari semakin senja. Sms Bunda mengingatkan kami untuk tidak pulang kesorean. Kami sampai kembali di persawahan menjelang magrib. Kami berhenti dulu di sana, di pinggir kali kecil, untuk mencuci bot dan celana sembari menikmati keindahan senja di angkasa. Hari makin gelap tapi kami masih berfoto sementara Kang Pudin tidak terlihat. Rupanya ia menunggu kami di pinggir jalan menuju pemukiman. Ia selalu berjalan lebih cepat, jauh di depan, tapi kami selalu ditungguinya.
Di rumah Bunda, kalau tidak salah saat makan malam, Abah menasihati kami agar tidak pulang kemalaman dari hutan. Beliau cerita kalau dulu pernah ada petugas kehutanan tersesat berhari-hari di sana. Ada semacam tumbuhan hutan yang kalau dilangkahi bakal membikin kita hanya berputar-putar tanpa bisa menemukan jalan ke luar. Petugas kehutanan tersebut bisa melihat tim pencari tapi tim pencari tidak bisa melihatnya. Lo, kok akhirnya bisa ditemukan? "Ya mungkin udah capek juga kali yang nahan," kata Abah. Abah melanjutkan dengan cerita asal-usul kata "pamali". Muasal kata tersebut adalah dari bahasa Arab yang menyatakan kegiatan yang sudah lampau. Saya lupa apa istilahnya. Suatu pamali muncul sebagai pelajaran dari akibat buruk yang didapat karena telah melakukan sesuatu. Sembari cerita begitu, Bapak menyetel serangkaian video karya tugas akhir seorang mahasiswa DKV ITB tentang pamali. Video berbahasa Sunda semacam iklan layanan masyarakat ini membikin kami terpingkal-pingkal sampai Abah sendiri tersenyum dibuatnya. Pesan utamanya adalah: "makanya, nurut ka kolot!"
Setelah itu, kalau enggak salah kami berkunjung ke rumah kepala desa. Bunda, Bapak, dan Rifda menemani kami. Di sana, topik utama perbincangan kami adalah tentang keterlibatan masyarakat Desa Taman Jaya dengan Taman Nasional Ujung Kulon. Kata Bapak, "Pihak taman nasional biasanya sekadar ngasih materi atau ceramah... Bla bla bla bla, kasih duit, bla."
Esoknya, kami kembali mengambil data di hutan dari pagi hingga siang. Pulangnya, kami sempat mampir di suatu warung untuk beli pop ice dan camilan. Saya tidur bersandar pada tiang sambil menunggu pop ice jadi. Sesampainya di rumah, saya sempat mengaso di teras sebelum kemudian mandi, dan seterusnya, sampai tahu-tahu ikut mengudap rujak bersama ibu-ibu di dapur hingga mendengarkan Bunda yang kuat bicara dari ashar sampai menjelang magrib.
Kami menjelajahi hutan Resort Taman Jaya hingga cukup jauh (masuk Cimenteng... Cilimus juga enggak ya?) dengan medan yang relatif wow hari itu sehingga pada sisa hari itu saya merasa amat mengantuk. Hujan turun dengan lebat namun pada malamnya kami ikut Bunda dan Bapak ke Penginapan Sunda Jaya untuk bertemu Pak Komar selaku pengurus koperasi KAGUM. Koperasi ini dirintis oleh Pak Oyok dan Pak Komar sebagai bentuk kerja sama antara masyarakat desa Taman Jaya, WWF, dan Taman Nasional Ujung Kulon. Potongan kecil sampeu nan keemasan menemani malam kami nan rintik itu...
Minggu, kami berangkat lebih siang, menjelang jam sembilan pagi, untuk kembali mengambil data di hutan. Kami ditemani oleh Rifda dan saudara kecilnya, Mutia. Sementara kami plus Kang Pudin memakai bot seperti biasa, dua gadis ini hanya pakai sandal vinil. Cah jadi merasa ada yang salah. Hari ini kami sempat melewati rute berbeda lagi, yaitu ke bawah pohon di mana kami melihat primata bergelantungan pada hari pertama kami singgah ke shelter. Di perjalanan pulang, Cah mengajari saya memakai ikat pinggang Ucok padahal saya akhirnya sudah menemukan ikat pinggang di Desa Taman Jaya dan membelinya... Agak alay tapi saya ingin berbesar hati menganggapnya sebagai oleh-oleh. Cah sendiri mengidam sirsak Taman Jaya sejak kemarin.
Sesampainya di rumah, lagi-lagi saya merasa amat lelah sehingga menjelang sore saya tidur dalam kepanasan. Namun saya betah tidur cukup lama karena dalam beberapa kali kesempatan terbangun saya mendengar suara hujan. Momen yang sangat mendukung untuk melanjutkan tidur. Menjelang magrib, setelah mandi, kami plus Rifda main ke dermaga. Beni, Haris, dan sepupunya sempat menyusul kami tapi mereka tahu-tahu hilang. Lagi-lagi kesempatan sunset Taman Jaya hilang karena mendung menggantung. Awan, menyingkir dong...
Dibandingkan kelompok Legon Pakis yang mendapat tempat menginap di kantor resort ditemani para petugas, harus menginap di saung untuk dapat mengamati owa jawa di pagi dan sore hari sekali karena letak hutan yang jauh dari kantor resort, dan jauh-jauh ke Taman Jaya hanya untuk fotokopi... kami di Taman Jaya ini merasa amat beruntung. Tanpa menafikan plus-minus dari masing-masing keadaan, kami hampir selalu makan cumi di rumah Bunda. Kami dibelikan kangkung, dibikinkan rujak, diberdayakan untuk mengurus foto ijazah para murid Bapak (hanya Soni, Rijal, dan Cah sih), ditemani ke rumah kepala desa dan pengurus koperasi KAGUM, diperkenalkan dengan para tetangga, makan bersama hampir setiap malam dengan wadah-wadah makanan plus piring-sendok-dan sebagainya dibawakan ke ruang kami berkumpul dan seringnya Bunda yang memasakkan kami makanan dengan bumbu cinta (kayaknya karena tahu kami hanya bawa makanan instan), dan masih banyak lagi... pokoknya kami difasilitasi sedemikian rupa sehingga kami merasa banyak makan dan banyak tidur dan sedang di rumah. Wah. Beberapa kali pula kami kecolongan cucian perabot makan. Sebagai balas budi, seharusnya kami yang membersihkan seabrek perabot tersebut--toh kami juga yang bikin kotor. Tapi tahu-tahu saja tumpukannya sudah tidak ada.
Keraguan apakah saya lagi praktek jurusan apa KKN ini sampai bikin saya menelpon Nur di Bandung hingga pulsa telepon tinggal tiga ribu rupiah (enggak tahu juga sih sebelumnya berapa). Yang saya khawatirkan adalah jika keadaan ini sampai bikin kami terlena, jadi tamu yang tidak tahu diri, dan dibantai dosen-dosen di kampus saat presentasi hasil karena kami lebih banyak sosialisasi dengan masyarakat ketimbang praktek--meski yang pertama itu bagus juga kan... Mau dibilang praktek jurusan, kok bercampur dengan masyarakat sampai sebegininya, tapi dibilang KKN juga kita enggak bikin program dan koordinasi dengan LPPM. Sebenarnya ada sebab kegalauan lain sih, tapi demi kemaslahatan diri saya insya Allah tidak akan mengungkapkannya secara gamblang di sini, waha.
Beberapa kali Fitri dan Atia mengajak saya "maraton" (= habis subuh jalan-jalan ke Pantai Paniis atau manalah pokoknya jalan-jalan pagi!) tapi sampai saat saya menulis ini hal itu belum terjadi. Katanya mereka susah bangun subuh. Mereka cerita kalau ada kolam renang bagus di dekat Paniis, namanya Argasari. Namun petang ini Rifda bilang kalau masyarakat sini menyebut "irigasi" dengan "argasi". Jadi? Rifda juga cerita tentang fenomena pinguin bersarung di pinggir pantai Taman Jaya. "Maklumlah, belum semua penduduk di sini punya kamar mandi," katanya.
Begitulah hari-hari kami di Taman Jaya. Begitu bisanya mereka membuat kami merasakan suasana kekeluargaan di rumah yang serasa sudah rumah sendiri padahal baru beberapa hari kami di sini. Semoga kami bisa membalas segala budi mereka. Sebetulnya cerita tentang keluarga ini bisa dijadikan satu tulisan sendiri. Saya membayangkan sosok Pak Oyok atau Bunda atau Abah masuk dalam rubrik SOSOK di koran cetak KOMPAS. Namun kiranya pikiran ini sedang begitu rumit sementara waktu juga sempit untuk merangkaikan kata-kata yang oke.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar