Kamis, 02 Juni 2011

H5-6JUK: Selamat Datang di Taman Jaya!

pantainya pas di pinggir jalan
Kegundahan tertepis begitu memasuki Taman Jaya. Seperti memandangi desktop komputer. Segala mual lenyap seiring dengan bergantinya kegersangan dengan hamparan pantai tepat di pinggir jalan. Gerinjil bebatuan dan seliweran debu menggantikan aspal nan mulus namun berkelok-kelok. Mengingatkan pada jalanan di Getas namun yang ini tidak lebih parah. Ah. Jadi ingin menceritakan hebohnya kami saat menjajaki jalanan tersebut dengan truk tapi kapan ya? Oase yang sesungguhnya terhampar di depan kantor seksi II Handeuleum.

Sebelumnya, kami berangkat dari kantor Balai Taman Nasional Ujung Kulon pukul tujuh pagi ++ dengan elf Pak Muhammad. Ia ditemani oleh seorang kenek. Diiringi lagu-lagu lawas (Panbers, "Kemesraan", lagu-lagu dari bikinan orang sekampung Ucoklah!), kami melewati SPBN (terletak di pinggir perairan dan fungsinya untuk mengisi solar pada perahu), spanduk penawaran kerja jadi PRT dan baby sitter di Jakarta, Pasar Panimbang, dan seterusnya...

Saya sempat ingin beli ikat pinggang di pasar. Pak Muhammad mengizinkan. Tapi teman-teman ingin cepat sampai. Ucok menawarkan ikat pinggang miliknya yang kemudian ia berikan dan saya tinggalkan di kantor seksi. Heu. Ucok, maaf.

Di kantor seksi, kami disambut oleh Pak Otong. Wajahnya mengingatkan saya pada seorang teman sekelas saya waktu SMP, Luthfi. Saya kira bapaknya tapi mestinya bukan karena keterangan Pak Otong tentang keluarganya tidak mengindikasikan demikian. Karena Pak Otong ada tamu, maka kami dilepas ke dermaga (sebenarnya ia hanya menyuruh kami istirahat dulu sih).

salah satu sisi halaman depan kantor seksi



Yeah. Tepat di depan kantor seksi adalah dermaga. Yang memisahkan adalah hamparan rumput serata padang golf dengan kambing-kambing berkejaran. Sebelah kiri adalah pemukiman penduduk yang dirimbuni vegetasi, sebelah kanan adalah bangunan lain kantor seksi dan mungkin hutan pantai (saya tak memerhatikan), dan di tepi bentang daratan nan menenteramkan hati ini adalah sebuah dermaga. Lokasi kantor seksi II Handeuleum Taman Nasional Ujung Kulon adalah lokasi yang bakal diinginkan siapa pun untuk jadi tempat tinggalnya!

Jangan bayangkan dermaga kumuh dengan kapal-kapal besar karatan berjejer di tepinya. Tidak ada pula riuh calon maupun mantan penumpang berwajah lusuh. Hanya ada satu dermaga berkayu yang dibangun di atas hamparan separuh pasir putih dengan karang dan koral mati berserakan serta air bening yang menampakkan ikan-ikan kecil berkeliaran...

ternyata suka ada buayanya lo...
Jalan berkayu ini bercabang. Kedua cabang menghadapkan kami pada jalur hijau berkelok yang membentang di sepanjang pantai hingga menjelma siluet. Seketika hati menjadi lapang. Awan begitu baik menghalangi mentari menyampaikan teriknya. Di ujung cabang kanan, saya merebahkan diri. Memejamkan mata. Membukanya lagi. Mereka-reka seperti inikah rasanya surga. Udara sedang tak begitu panas pula. What a... Subhanallah. Alhamdulillah.

Lalu teman-teman semakin banyak yang berdatangan. Dan foto-foto. Dan ada kapal kecil menepi lalu menurunkan para penumpang yang pada kelihatan seperti kiai (mungkin mereka peziarah Sang Hyang Sirah). Saya biarkan insting kewartawanan saya tumpul dengan tidak menanya-nanyai siapapun dari kapal itu. Lalu kami kembali ke kantor seksi. Bikin minum. Bercengkerama dengan Pak Otong nan gokil di teras kantor sembari minum-minum dan satu per satu kami bergiliran solat zuhur.

Singkat cerita, kelompok Resort Legon Pakis dibawa mobil patroli ke Legon Pakis sementara beberapa orang dari kelompok satunya disuruh Pak Otong sowan ke rumah penduduk tempat kami akan menumpang selama kurang lebih seminggu. Jadilah saya dan Rijal yang menunaikannya. Pak Otong menyuruh Teh Desi dan Teh Lilis mendampingi kami. Mereka berdua adalah penduduk Taman Jaya yang dipekerjakan pihak taman nasional untuk urusan penerimaan pengunjung.


Rumah Bunda

Tahun lalu, sekelompok mahasiswa UGM KKN di kawasan Ujung Kulon. Kalau tidak salah, masing-masing sub unit ditempatkan di Cigorondong, Legon Pakis, dan Taman Jaya. Kiranya sebelumnya sudah ada yang KKN di desa ini dari perguruan tinggi-perguruan tinggi lain, namun menurut Bapak--suami Bunda, pemilik rumah--yang dari UGM-lah yang paling berkesan. Saya mengenal sebagian dari para anggota sub unit Taman Jaya tersebut. Salah satunya adalah kakak angkatan sejurusan saya, Mas Yunan.

Baru beberapa hari lalu Mas Yunan dan teman-teman KKN-nya itu main ke desa ini. Bersama beberapa warga, mereka tamasya ke Pulau Peucang. Sebelum kembali ke Jogja, Mas Yunan menitipkan kami pada Bu Euis dan Pak Oyok. Bu Euis inilah yang disebut Bunda oleh sekian banyak orang yang dikenalnya.

Mulanya, Mas Yunan mengirim sms pada kami bahwa kami--kelompok yang kebagian Resort Taman Jaya--sudah ia titipkan pada Bu Euis dan Pak Oyok. Saya kaget saat Senin pagi sebuah nomor tak dikenal menelepon saya. Malah saya reject. Panggilan kedua baru saya angkat. Ternyata Bunda langsung menghubungi saya.

Setelah ditelepon, saya jadi amat terkesan dengan sikapnya itu. Kami yang butuh, kok malah beliau yang menghampiri dulu. Setelah itu, sesekali saya dan beliau smsan. Katanya, "orang sana" itu sukanya menelepon. Sementara ponsel suka saya silent. Jadilah beberapa kali panggilan Bunda saya lewatkan.

Saya baru bertemu Bunda langsung pada petang ini. Sebelumnya, beliau mengantar putri sulungnya SNMPTN dan mengurus berbagai hal di Labuan. Biar berperawakan kecil, Bunda enerjik dan dikenal orang-orang di sekitarnya sebagai wanita yang periang dan kocak. Saya kagum bagaimana seseorang bisa dikenal begitu menyenangkan.

Pertama kali melintas di depan rumah Bunda dengan elf yang membawa kami ke kantor seksi, saya sudah merasakan kesan homy. Bagian depannya penuh dengan berbagai tanaman meski kebunnya sendiri terletak di samping. Dinding bagian depan rumahnya dicat kuning. Pagar kayu bagian depan dicat putih.

Pertama kali kami menginjakkan kaki ke terasnya, kami disambut oleh Bapak. Perkenalan. Mengobrol ke sana ke mari. Lalu kami kembali ke kantor seksi untuk mengambil barang-barang sekaligus para anggota lain kelompok kami. Ganti Abah--bapaknya Bunda--yang menyambut kami. Hari pertama di Taman Jaya kemudian kami habiskan dengan istirahat di rumah ini sedang malamnya sowan ke rumah kepala desa. Sehabis sowan, saya tepar.


Hutan Ujung Kulon

Rijal sudah menghubungi Pak Edi, kepala resort Taman Jaya. Yang ditelepon menitipkan kami pada Pak Heri atau Pak Pudin.

Sekitar pukul sembilan pagi, kami ke kantor Resort Taman Jaya yang lokasinya ternyata tidak jauh dari rumah Bunda. Kami langsung bertemu Pak Pudin yang sedang menyapu kebun.

Kami kemudian mengobrol di teras kantor resort yang tampaknya berupa bangunan semi permanen--sebagian kayu sebagian dinding. Di samping kantor resort yang kiranya hanya terdiri dari 3-4 ruangan kecil ini, terdapat bangunan serupa. Di samping lainnya, ada bangunan krem yang di pinggirnya terdapat mesin pembuat biodiesel dari nyamplung. Beberapa lama, datanglah Pak Heri dengan motornya yang weow. Di luar singletnya, Pak Heri memakai jaket cukup tebal yang bikin saya heran karena udara yang panas.

Dari Pak Heri, kami mendapat keterangan lebih banyak tentang Resort Taman Jaya karena Pak Pudin cukup pendiam. Kami juga mendapat laporan bulan Februari dan Mei tahun ini yang sepertinya bakal sangat berguna. Dalam laporan tersebut, ada data perjumpaan dengan owa jawa yang memang jadi target penelitian kami. Beberapa tempat seperti Cilimus, cimenteng, atau Ciburuluk terlalu jauh untuk ditempuh sehingga hari itu kami minta diantar Pak Pudin ke Cibiuk saja.

Untuk menuju ke sana, kami melewati permukiman penduduk lalu persawahan yang jadi kenikmatan sendiri saat melihatnya. Umumnya rumah penduduk terbuat dari kayu atau bambu. Sebagian rumah memiliki kolong di bawahnya tapi ada juga yang tidak. Pada beberapa rumah yang kami lewati biasanya sedang ada ibu-ibu menyusui, anak-anak kecil, dan atau nenek-nenek di "teras" rumah. Teras yang saya maksud di sini umumnya semacam bale-bale atau panggung dan terbuat dari bambu. Setiap melihatnya membuat saya jadi ingin merebahkan diri. Iri sekali setiap melihat ada kucing mengaso di sana. Setiap melewati warga juga kami berusaha bersikap seramah mungkin. Mereka juga ramah dan sering kami ditanyai mau ke mana. Ada juga sih rumah tembok dengan teras terbuat dari keramik.

Di sini kami lebih banyak menemui kambing daripada anjing. Kucing yang saya temui umumnya bermotif hitam-putih seperti sapi atau hitam saja. Tapi ternyata ada juga yang bercampur oranye atau bermotif lurik-lurik.

Lepas dari pemukiman, kami menyusuri kali dengan lebih banyak batu ketimbang air di sisi kanan sedang di sisi kiri seingat saya ada kali juga sih dan bambu. Ada ibu-ibu mencuci di kali sebelah kiri. Lalu sampailah kami ke persawahan. Tepat di persimpangan, kami menemukan pal batas kawasan. O o, kiranya persawahan ini juga masuk ke dalam kawasan...

Sebelumnya, sewaktu masih di kantor resort, Pak Heri sudah bercerita mengenai kegiatan pemasangan pal batas yang baru-baru ini dilakukan. Bukannya belum ada pal batas sebelumnya. Pal batas yang lama banyak digeser, dirobohkan, atau hilang dan ditengarai pelakunya adalah masyarakat. Pemasangan pal batas pun kembali dilakukan dengan pal batas baru berukuran lebih besar dan terbuat dari beton. Perbandingannya lumayan juga.

bercermin di air sawah
Pemandangan di persawahan luar biasa cantiknya. Bagai lukisan. Bayangkan, sebuah saung di tengah hamparan sawah hijau. Latarnya adalah rimbun hutan dengan siluet perbukitan di atasnya. Rumpun bambu menjadi bingkai yang menambah tentram suasana hati kala melihatnya. Rasanya saya belum pernah melihat sawah dengan air sebening itu. Kalau biasanya jalanan sawah hanya berupa gundukan tanah sehingga mempertaruhkan keseimbangan kala menapakinya, jalanan kali ini cukup lebar sehingga kalau mau berlari pun aman saja. Tapi sesekali kami harus menginjak pipa karena jalanan tahu-tahu putus oleh aliran air yang bermuara pada bening yang menggoda diri untuk mencebur.

Sampailah kami ke perbatasan antara persawahan dengan hutan. Biar ada jalan setapak, namun hutan yang kami masuki begitu rimba. Beberapa hari sebelum perjalanan ini, di kos, saya sempat ada perasaan gentar kalau harus memasuki hutan. Entah mengapa. Padahal harusnya sudah biasa ya. Kegentaran ini menyesap lagi. Tapi saya harus terus berjalan. Belum berapa lama berjalan, rombongan yang dituntun oleh Pak Pudin ini berhenti di dekat sebuah shelter kayu bercat hijau. Tercium bau solokan dan memang ada semacam solokan tepat di depan shelter. Seseorang menyadarkan saya bahwa yang kami hirup adalah bau belerang dan "solokan" di depan kami adalah SUMBER AIR PANAS CIBIUK. Wew.

yak, beginilah kondisi sumber air panasnya...
Sejak sebelum perjalanan, dalam bayangan kami sumber air panas Cibiuk adalah sebuah kolam yang cukup besar bagi para pengunjung untuk mandi di dalamnya dengan diamati owa jawa-owa jawa dari balik pepohonan. Ternyata. Kendati airnya bening, namun dasarnya tampak buluk seperti limbah solokan. Ya mungkin itu belerangnya. Heran juga, katanya "Pegunungan" (sebetulnya lebih tepat disebut perbukitan) Honje tidak aktif. Lalu mengapa tahu-tahu ada belerang? Sumber air panas? Bagaimanapun juga, tangan tercelup untuk merasakan nikmatnya air panas. Biarpun udara begitu membikin tubuh lengket, namun hasrat untuk mandi air panas muncul jua. Sepertinya bakal segar sekali... Tapi kalau sumber air panasnya hanya sebesar ini... Hm.

ngaso dulu di shelter
Owa jawa diketahui ramai beraktivitas saat pagi dan sore. Saat kami ke sana, hari sudah menjelang siang. Meski demikian, dari shelter kami ternyata masih bisa melihat primata beraktivitas di kejauhan--pada tajuk sebuah pohon yang tampaknya berbunga-bunga pink. So langsung jongkok menghadap sana sambil pegang binokuler. Rijal mereka-reka potensi wisata apa yang ada di sekitar sini. Desta... istirahat. Pak Pudin menunggui kami tidak jauh dari shelter. Saya enggak jelas. Hanya Cah yang sampai agak jauh mengamati jenis-jenis pohon yang ada. Sesekali ia bertanya pada Pak Pudin mengenai nama-nama pohon yang ditemukannya. Yang dicarinya adalah pohon yang menghasilkan buah untuk pakan owa.

perkenalkan, si kodok mancung!
Lama-lama menghirup bau belerang tidak baik. Untung ransel saya dibawa dan ada masker bekas erupsi Merapi November lalu di dalamnya. Desta ternyata membawa lebih banyak masker--bersih pula. Saya, Desta, dan Rijal malah foto-foto enggak jelas kemudian. So entah ngapain. Cah, si pawang herpetofauna, menemukan seekor kodok mancung yang kemudian kami jadikan objek foto kami.

Setelah Cah mendapatkan beberapa jenis untuk dilacak lagi status perlindungannya, kami turun. Sempat ada rencana ke Pantai Paniis, tapi katanya jauh. Saat sudah memasuki permukiman penduduk lagi, rombongan kami sempat terpisah. Saya tertarik memotret sebuah tempat penyimpanan kayu bakar tapi tidak tahu bagaimana mengembalikan mode kamera saku Desta dari video ke kamera--tadi Cah sempat bikin video-videoan. Rijal menunggui saya dan Desta. Lalu kami bertiga kembali ke kantor resort yang tertutup. Lama menunggu, kami bertiga memutuskan kembali ke rumah Bunda duluan. Tepar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain