Judul : The Joshua Files: Invisible City--Kota yang Hilang
Pengarang : M. G. Harris
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009
Sudah lewat jauh dari masa SD-SMP, di mana saya cukup doyan baca buku macam begini. ketika Mas Ashif merekomendasikan buku ini dan saya jadi tergugah untuk meminjamnya dari perpustakaan kota (lagi!). Katanya, ini adalah cerita fantasi yang ada blognya (?).
Novel ini bukan sekadar cerita fantasi yang ada blognya, bagaimanapun juga. Ketimbang fantasi, saya lebih menganggapnya sebagai cerita petualangan ala Spy Kids atau FTV-FTV Disney. Tapi ternyata tidak juga...
Bermula dari berita meninggalnya sang ayah, Josh Garcia mulai menyelidiki misteri di balik peristiwa tersebut. Dia melacak email-email sang ayah, mendapat mimpi aneh, melakukan penelusuran di perpustakaan, mengalami perampokan, dan lain-lainnya... Namun berkat melaporkan pemikiran dan hasil penyelidikannya itu di bloglah sebuah petualangan seru akhirnya melanda. Wow. Makanya ngeblog! Coba kalau dia hanya menuliskannya di atas kertas dan menyimpannya untuk dirinya sendiri, dia mungkin enggak bakal ketemu sama orang-orang yang bakal membantunya kelak. Meski akibat dari publikasi melalui blog itu pulalah, dirinya jadi incaran.
Bersama teman capoeiranya, Tyler, dan seorang cewek kece yang baru dikenal, Ollie, ia pergi ke Meksiko--lokasi di mana ayahnya ditemukan tewas. Sampai bertemu dengan Camilla, saya masih merasa ini sebuah cerita petualangan biasa. Sampai adegan menyentuh antara kakak-adik-ketemu-gede, ketertarikan saya kian terpancing. Sampai sang kakak malah tewas juga padahal mereka belum banyak menciptakan momen bersama, wow, sepertinya ini enggak main-main.
Hati-hati, spoiler.
Pengarang--yang ternyata seorang perempuan--terus menggiring Josh ke dalam situasi-situasi berbahaya yang bikin saya berpikir, "Aduh... Setelah ini apa?" Jika saya yang berada dalam situasi demikian, mungkin saya akan lekas mencari penyelesaian yang paling aman meski sepertinya kepanikan besar bakal lebih menelan saya. Josh juga mengalami kepanikan, namun dia terus jalan. Dan secara tidak dinyana, ada saja yang akhirnya menyelamatkannya--dan membawanya ke situasi yang lebih rawan lagi!
Bayangkanlah rimba kala gulita di mana berbagai jenis satwa liar mematikan mungkin sedang mengintipmu di balik pepohonan. Bajumu basah kuyup, kotor, dan jiwamu masih shock akibat peristiwa sebelumnya yang memacu adrenalin. Belum beban mental karena kamu belum lama ditinggal orang-orang yang kamu sayang. Maka tanpa sadar matamu mengucurkan air meskipun kamu tidak ingin. Lalu pergelangan kakimu dipatuk ular berbisa atau kamu sudah terlalu lelah untuk bertahan di tengah gelombang sementara kemungkinan ada hiu sedang berputar-putar di bawah tubuhmu. Rasanya begitu dekat dengan kematian.
Enggak nanggung-nanggung.
Semula saya berprasangka kalau sang ayah dan Camilla mungkin sebenarnya masih hidup--ada saja yang menyelamatkan mereka sebagaimana ada saja yang menyelamatkan Josh. Namun sampai akhir novel, hm, sepertinya saya harus baca sekuelnya. Kehadiran Ollie juga sebenarnya masih merupakan misteri...
Seperti pakem cerita fantasi pada umumnya, sebut saja Star Wars, Harry Potter, Hunter X Hunter, sampai Naruto, ayah tokoh utama memegang peran penting yang kemudian menentukan nasib tokoh utama. Kalau dalam novel ini, sang ayah ternyata keturunan Bakab, semacam orang penting dalam kebudayaan Maya begitu, yang tidak berhasil menuntaskan misi sehingga misi itu diwariskan pada anaknya.
Dan sang anak tentu saja mewarisi potensi besar yang memungkinkannya untuk dapat mengatasi segala bahaya yang menghadang. Keberanian adalah prasyarat mutlak. Selebihnya adalah "sesuatu" yang membawa tokoh utama meniti jalan yang benar hingga menemukan apa yang ia cari. Meski pada akhirnya apa yang ia cari itu harus ia lepaskan lagi, namun suatu perubahan telah terjadi dalam dirinya. Ia menjadi seseorang yang lebih kuat, tentu saja.
Saya pernah terpikir untuk menganalogikan alur cerita semacam ini dengan sesuatu yang lebih realistis: pengembangan potensi diri. Setiap tokoh utama dalam cerita semacam ini dibekali oleh potensi khas yang membawanya pada nasib tertentu. Potensi yang seringkali tidak disadari pada mulanya atau malah diingkari dan butuh proses untuk dapat menerimanya. Berbagai rintangan menghadang dan seringkali justru dengan potensinya itulah ia bisa menghadapi bahaya terbesar dalam hidupnya. Alur cerita semacam ini adalah perjalanan menemukan jati diri dalam kemasan kreatif. Mungkin saja kita di dunia nyata ini sebetulnya mengalami alur semacam itu juga dalam pencarian jati diri kita?
Seperti kata Vigores dalam halaman 267, "Ingatlah apa yang dikatakan para penyair: setiap kehidupan dibentuk dari satu momen: momen ketika seseorang mengetahui, sekali dan untuk selamanya, siapa dirinya sesungguhnya. Kau beruntung sekali karena bisa mengetahui hal itu sejak dini."
Lanjutnya lagi yang mungkin bisa jadi motivasi, "Percayalah pada dirimu seperti kami percaya padamu, Josh. Rangkullah petualanganmu. Karena yang akan terjadi nanti, di atas segalanya, memang akan menjadi petualangan."
Saya kira setiap orang memiliki alur "cerita fantasi"nya masing-masing. Ular berbisa yang menjerat bisa diibaratkan tugas-tugas akademis yang mengikat. Kamu bisa berharap tahu-tahu ada pawang datang membawa penawar bisa atau kemurahan hati dosen untuk enggak membantaimu saat melakukan kesalahan.
Ayahmu mungkin bukan seorang hokage, hunter, penyihir yang bermasalah dengan tokoh antagonis dalam hidupmu kelak, maupun Darth Vader. Tapi tanpa dia, kamu pun enggak bakal ada di dunia. Dan ya, kamu enggak bisa memungkiri kalau kamu juga mewarisi sifat-sifatnya. Mungkin kamu dan ayahmu sama humoris, cerdas, tapi perhitungan dan tidak bisa lihat makanan mubazir.
Terlepas dari berbagai unsur cerita yang bisa saja dianalisis kelemahan-kelemahannya maupun maksud tersembunyi di baliknya namun saya enggak ingin memusingkannya, pengarang berhasil menyuguhkan suspensi dengan gaya bahasa yang lugas. Josh menceritakan apa yang ia alami dengan bahasa yang lempeng saja padahal kalau diresapi apalagi dialami betulan mungkin bakal bikin jantung enggak bisa berhenti deg-degan. Membuat saya terinspirasi bahwa sebetulnya saya bisa membikin cerita semacam berdasarkan latar belakang saya di kehutanan--misteri perburuan harta karun di Taman Nasional Ujung Kulon, mungkin?
Juga menyuntikkan ketakutan dalam benak saya akan bahaya badai matahari 2012 yang berpotensi menuai perang dunia ketiga di muka bumi... Naudzubillah. Ya, plot novel ini berangkat dari ramalan bangsa Maya akan berakhirnya kehidupan pada tahun 2012. Kiamat yang terjadi mungkin bukan semacam semua gunung mendadak meletus, semua samudra tahu-tahu mengamuk, hingga semua manusia bagai anai-anai yang bertebaran. Tidak. Bencana tersebut hanya akan menyebabkan matinya sistem komputerisasi yang telah sedemikian membangun peradaban kita. Dikatakan bahwa peradaban kita akan mundur dua abad dengan populasi tetap seperti sekarang, membeludak. Apa yang akan terjadi? Survival of the fittest mungkin ya. Oh, semoga ini semua hanya hoax belaka. Amin.
Kalau dalam cerita ini sih, Josh akhirnya berhasil mendapatkan codex yang konon berisi rahasia bagaimana menyelamatkan ingatan dunia saat bencana itu terjadi. Tentu saja kisah ini fiksi. Untuk solusi nyata, kita tetap harus memikirkannya sendiri. Novel ini menyampaikan pesan tersirat pada kita semua agar memikirkan apa yang bisa kita persiapkan dalam menyongsong ancaman badai matahari.
Apa yang akan terjadi setelah 20 Desember 2012 masih jadi misteri. Saya harap enggak bakal separah yang diungkapkan dalam novel ini dampak dari peristiwa itu bakal terjadi--suatu peristiwa yang di luar kekuasaan kita. Bagaimanapun juga, seburuk apapun jadinya nanti, hanya kepada Allah SWT-lah kita kembali.
Semoga cukup kuat jadi pengingat saya untuk enggak lagi terus-terusan subuh kesiangan, enggak memikirkan macam-macam pas solat, dan enggak melalaikan solat malam kalau kebetulan terbangun di dini hari... Hehe... :p
sumber gambar
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009
Sudah lewat jauh dari masa SD-SMP, di mana saya cukup doyan baca buku macam begini. ketika Mas Ashif merekomendasikan buku ini dan saya jadi tergugah untuk meminjamnya dari perpustakaan kota (lagi!). Katanya, ini adalah cerita fantasi yang ada blognya (?).
Novel ini bukan sekadar cerita fantasi yang ada blognya, bagaimanapun juga. Ketimbang fantasi, saya lebih menganggapnya sebagai cerita petualangan ala Spy Kids atau FTV-FTV Disney. Tapi ternyata tidak juga...
Bermula dari berita meninggalnya sang ayah, Josh Garcia mulai menyelidiki misteri di balik peristiwa tersebut. Dia melacak email-email sang ayah, mendapat mimpi aneh, melakukan penelusuran di perpustakaan, mengalami perampokan, dan lain-lainnya... Namun berkat melaporkan pemikiran dan hasil penyelidikannya itu di bloglah sebuah petualangan seru akhirnya melanda. Wow. Makanya ngeblog! Coba kalau dia hanya menuliskannya di atas kertas dan menyimpannya untuk dirinya sendiri, dia mungkin enggak bakal ketemu sama orang-orang yang bakal membantunya kelak. Meski akibat dari publikasi melalui blog itu pulalah, dirinya jadi incaran.
Bersama teman capoeiranya, Tyler, dan seorang cewek kece yang baru dikenal, Ollie, ia pergi ke Meksiko--lokasi di mana ayahnya ditemukan tewas. Sampai bertemu dengan Camilla, saya masih merasa ini sebuah cerita petualangan biasa. Sampai adegan menyentuh antara kakak-adik-ketemu-gede, ketertarikan saya kian terpancing. Sampai sang kakak malah tewas juga padahal mereka belum banyak menciptakan momen bersama, wow, sepertinya ini enggak main-main.
Hati-hati, spoiler.
Pengarang--yang ternyata seorang perempuan--terus menggiring Josh ke dalam situasi-situasi berbahaya yang bikin saya berpikir, "Aduh... Setelah ini apa?" Jika saya yang berada dalam situasi demikian, mungkin saya akan lekas mencari penyelesaian yang paling aman meski sepertinya kepanikan besar bakal lebih menelan saya. Josh juga mengalami kepanikan, namun dia terus jalan. Dan secara tidak dinyana, ada saja yang akhirnya menyelamatkannya--dan membawanya ke situasi yang lebih rawan lagi!
Bayangkanlah rimba kala gulita di mana berbagai jenis satwa liar mematikan mungkin sedang mengintipmu di balik pepohonan. Bajumu basah kuyup, kotor, dan jiwamu masih shock akibat peristiwa sebelumnya yang memacu adrenalin. Belum beban mental karena kamu belum lama ditinggal orang-orang yang kamu sayang. Maka tanpa sadar matamu mengucurkan air meskipun kamu tidak ingin. Lalu pergelangan kakimu dipatuk ular berbisa atau kamu sudah terlalu lelah untuk bertahan di tengah gelombang sementara kemungkinan ada hiu sedang berputar-putar di bawah tubuhmu. Rasanya begitu dekat dengan kematian.
Enggak nanggung-nanggung.
Semula saya berprasangka kalau sang ayah dan Camilla mungkin sebenarnya masih hidup--ada saja yang menyelamatkan mereka sebagaimana ada saja yang menyelamatkan Josh. Namun sampai akhir novel, hm, sepertinya saya harus baca sekuelnya. Kehadiran Ollie juga sebenarnya masih merupakan misteri...
Seperti pakem cerita fantasi pada umumnya, sebut saja Star Wars, Harry Potter, Hunter X Hunter, sampai Naruto, ayah tokoh utama memegang peran penting yang kemudian menentukan nasib tokoh utama. Kalau dalam novel ini, sang ayah ternyata keturunan Bakab, semacam orang penting dalam kebudayaan Maya begitu, yang tidak berhasil menuntaskan misi sehingga misi itu diwariskan pada anaknya.
Dan sang anak tentu saja mewarisi potensi besar yang memungkinkannya untuk dapat mengatasi segala bahaya yang menghadang. Keberanian adalah prasyarat mutlak. Selebihnya adalah "sesuatu" yang membawa tokoh utama meniti jalan yang benar hingga menemukan apa yang ia cari. Meski pada akhirnya apa yang ia cari itu harus ia lepaskan lagi, namun suatu perubahan telah terjadi dalam dirinya. Ia menjadi seseorang yang lebih kuat, tentu saja.
Saya pernah terpikir untuk menganalogikan alur cerita semacam ini dengan sesuatu yang lebih realistis: pengembangan potensi diri. Setiap tokoh utama dalam cerita semacam ini dibekali oleh potensi khas yang membawanya pada nasib tertentu. Potensi yang seringkali tidak disadari pada mulanya atau malah diingkari dan butuh proses untuk dapat menerimanya. Berbagai rintangan menghadang dan seringkali justru dengan potensinya itulah ia bisa menghadapi bahaya terbesar dalam hidupnya. Alur cerita semacam ini adalah perjalanan menemukan jati diri dalam kemasan kreatif. Mungkin saja kita di dunia nyata ini sebetulnya mengalami alur semacam itu juga dalam pencarian jati diri kita?
Seperti kata Vigores dalam halaman 267, "Ingatlah apa yang dikatakan para penyair: setiap kehidupan dibentuk dari satu momen: momen ketika seseorang mengetahui, sekali dan untuk selamanya, siapa dirinya sesungguhnya. Kau beruntung sekali karena bisa mengetahui hal itu sejak dini."
Lanjutnya lagi yang mungkin bisa jadi motivasi, "Percayalah pada dirimu seperti kami percaya padamu, Josh. Rangkullah petualanganmu. Karena yang akan terjadi nanti, di atas segalanya, memang akan menjadi petualangan."
Saya kira setiap orang memiliki alur "cerita fantasi"nya masing-masing. Ular berbisa yang menjerat bisa diibaratkan tugas-tugas akademis yang mengikat. Kamu bisa berharap tahu-tahu ada pawang datang membawa penawar bisa atau kemurahan hati dosen untuk enggak membantaimu saat melakukan kesalahan.
Ayahmu mungkin bukan seorang hokage, hunter, penyihir yang bermasalah dengan tokoh antagonis dalam hidupmu kelak, maupun Darth Vader. Tapi tanpa dia, kamu pun enggak bakal ada di dunia. Dan ya, kamu enggak bisa memungkiri kalau kamu juga mewarisi sifat-sifatnya. Mungkin kamu dan ayahmu sama humoris, cerdas, tapi perhitungan dan tidak bisa lihat makanan mubazir.
Terlepas dari berbagai unsur cerita yang bisa saja dianalisis kelemahan-kelemahannya maupun maksud tersembunyi di baliknya namun saya enggak ingin memusingkannya, pengarang berhasil menyuguhkan suspensi dengan gaya bahasa yang lugas. Josh menceritakan apa yang ia alami dengan bahasa yang lempeng saja padahal kalau diresapi apalagi dialami betulan mungkin bakal bikin jantung enggak bisa berhenti deg-degan. Membuat saya terinspirasi bahwa sebetulnya saya bisa membikin cerita semacam berdasarkan latar belakang saya di kehutanan--misteri perburuan harta karun di Taman Nasional Ujung Kulon, mungkin?
Juga menyuntikkan ketakutan dalam benak saya akan bahaya badai matahari 2012 yang berpotensi menuai perang dunia ketiga di muka bumi... Naudzubillah. Ya, plot novel ini berangkat dari ramalan bangsa Maya akan berakhirnya kehidupan pada tahun 2012. Kiamat yang terjadi mungkin bukan semacam semua gunung mendadak meletus, semua samudra tahu-tahu mengamuk, hingga semua manusia bagai anai-anai yang bertebaran. Tidak. Bencana tersebut hanya akan menyebabkan matinya sistem komputerisasi yang telah sedemikian membangun peradaban kita. Dikatakan bahwa peradaban kita akan mundur dua abad dengan populasi tetap seperti sekarang, membeludak. Apa yang akan terjadi? Survival of the fittest mungkin ya. Oh, semoga ini semua hanya hoax belaka. Amin.
Kalau dalam cerita ini sih, Josh akhirnya berhasil mendapatkan codex yang konon berisi rahasia bagaimana menyelamatkan ingatan dunia saat bencana itu terjadi. Tentu saja kisah ini fiksi. Untuk solusi nyata, kita tetap harus memikirkannya sendiri. Novel ini menyampaikan pesan tersirat pada kita semua agar memikirkan apa yang bisa kita persiapkan dalam menyongsong ancaman badai matahari.
Apa yang akan terjadi setelah 20 Desember 2012 masih jadi misteri. Saya harap enggak bakal separah yang diungkapkan dalam novel ini dampak dari peristiwa itu bakal terjadi--suatu peristiwa yang di luar kekuasaan kita. Bagaimanapun juga, seburuk apapun jadinya nanti, hanya kepada Allah SWT-lah kita kembali.
Semoga cukup kuat jadi pengingat saya untuk enggak lagi terus-terusan subuh kesiangan, enggak memikirkan macam-macam pas solat, dan enggak melalaikan solat malam kalau kebetulan terbangun di dini hari... Hehe... :p
sumber gambar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar