Sabtu, 02 Juli 2011

(akhir kegalauan)

Kemarin hari ulang tahunnya yang ke separuh abad. Aku sudah mengirimkan ucapan selamat dan doa ke surelnya. Ia adalah seseorang yang pernah kuanggap sebagai ayahku sendiri sebagaimana ia sudah menganggapku sebagai anaknya sendiri. Ia adik kelas orangtuaku waktu SMA.

Pagi ini aku membuka surel balasan darinya. Bibe sayang, katanya. Sapaan hangatnya selalu mengukir senyum di wajahku. Aku senang sekali dengan kirimanmu kemarin. Semoga Tuhan mengabulkan doamu untukku dan untukmu juga.

Cuaca masih terasa panas di sini. Mungkin kedatangan musim gugur akan bergeser lagi. Namun kehadiran Jas selalu dapat menyejukkanku. Ia seperti embun yang tahu-tahu menetes ke pucuk hidungmu di terik siang. Senyumnya adalah kado pertama yang aku dapatkan di hari ulang tahunku yang ke-50. 50 tahun, Bibe, bayangkan! Kamu tahu aku pernah mengalami masa di mana sepertinya usia ini tidak akan pernah aku hampiri. Namun Tuhan memberikanku energi kehidupan melalui bidadari kecilku yang setenang Situ Patengan.

Bibe sayang,

Ketika aku membuka mata pada hari itu, aku melihatnya dalam gaun putih berenda. Gaun cantik yang sudah aku belikan sejak lama namun ia tidak pernah mau memakainya. Kamu tahu aku tidak pernah bisa memaksanya. Dan kali ini ia mengenakannya atas kesadarannya sendiri! Aku bertanya padanya sudah berapa lama ia duduk bersimpuh di tepi tempat tidurku. Ia hanya menjawabku dengan senyumnya. Ia menyentuh lenganku dan memberiku kecupan selamat pagi yang masih terasa manis hingga sekarang. Dan bahasa dari kalbunya yang mengingatkanku bahwa aku kian tumbuh. Dia juga, gadis kecilku.

Mataku meloncat dari paragraf satu ke paragraf lain seiring turunnya halaman. Surel ini alamak panjangnya! Decak kagum meloncat dari mulutku. Padahal dulu ia tidak bisa diharapkan menulis apapun sepanjang lebih dari enam kalimat. Untung aku punya kesempatan untuk memaksanya belajar. Aku terkesan ia mau menurutiku. Sejak kami tidak lagi tinggal di negara yang sama, ia mengirimiku surel sesekali. Aku selalu membalas dengan jumlah paragraf yang lebih banyak untuk memancingnya agar ia menulis lebih banyak di kali berikut. Aku berhasil kali ini.

Dan, tahu apa saja isi surelnya? Tidak pernah tidak soal putrinya itu. Pengalamannya menjadi seorang ayah kandung—akhinya. Tentang mata Jas yang sebening embun. Tentang rambut megar Jas yang bercahaya selayaknya mentari. Tentang ketidakmampuan Jas dalam mempelajari sesuatu secara cepat selain piano. Tentang betapa sensitif dan manjanya Jas. Tentang Jas yang selalu menghentak-hentakkan jemarinya pada tuts-tuts piano kalau marah. Tentang ketakutan Jas pada dokter gigi dan salon. Tentang bahasa isyarat Jas yang semakin lama semakin dapat ia pahami. Tentang setiap harapan, kecemasan, impian, dan kekhawatiran seorang ayah pada putrinya. Selama bertahun-tahun, tentang Jas yang tidak kunjung bicara.

Aku masih ingat ketika ia pertama kali bertemu dengan Jas. Seperti kejatuhan bidadari dari langit saja. Waktu itu Jas masih berusia 10 tahun. Om Yan masih kuat mengangkatnya tinggi-tinggi. Gadis kecil itu tergelak riang dengan aku dan bibinya memandang penuh keharuan. Bibinya itulah yang nekat membawa Jas kabur dari rumah kakek-neneknya untuk menemui sang ayah biologis—yang tidak pernah sebelumnya memikirkan nasib benih yang telah ia sumbangkan pada bank sperma.

Masih saja aku dibuat tercenung setiap kali teringat akan hal ini.

Mendiang ibu Jas sebetulnya tidak ingin ada yang memberitahu Jas kenyataan tentang ayahnya—entah bagaimana caranya. Maka Om Yan sangat mensyukuri kenekatan Judy. Kalau saja Judy bukan penggemar berat Om Yan… Hahaha…

Tidak hanya memainkan simfoni kesukaanku, dia juga berjanji akan menuruti setiap permintaanku khusus pada hari itu saja.

Jariku bergeser. Menuntunku pada paragraf-paragraf selanjutnya yang semakin jauh semakin hanya mampu aku baca sepenggal-sepenggal.

Aku mengganti gaunnya dengan gaun yang lebih indah dan berwarna pastel sebagaimana warna kesukaan ibuku. Dia juga tidak boleh merengek ketika aku membawanya ke salon agar rambut keriting memukaunya itu bisa dibuat mengikal halus seperti rambut ibuku. Aku suruh ia tersenyum terus, yang lembut, tapi ia malah meringis—kamu harus melihatnya, Bibe, ia menggemaskan sekali!

Kadang-kadang jariku berhenti sampai aku ingat untuk menggerakkannya lagi.

Hari itu aku seperti berjalan-jalan dengan versi muda ibuku. Seseorang yang sangat aku nantikan di masa remajaku. Aku seolah tidak sadar kalau aku hanya seorang pria tua ringkih.

Di luar kesadaranku, aku meloncati paragraf-paragraf setelahnya. Sebetulnya ingin aku tekan tanda silang di pojok kanan atas namun kalah cepat dengan gerakan mataku yang sudah terlanjur memaku perhatianku pada penghujung surel.

Aku masih membaca ucapan-ucapan selamat yang masuk seharian itu ketika ia naik ke atas tempat tidurku. Tubuhnya bersandar nyaman di atas tumpukan bantal. Posisi yang mengingatkanku bahwa sudah tiba waktuku untuk mendongeng. Saat kudekati dia aku menyadari bahwa putriku telah berusia 15 tahun. Mendiang ibuku dalam foto itu juga berusia sama. Aku sadari juga kalau foto itu sudah berpuluh tahun tersimpan dalam dompetku—meski sudah jutaan kali aku berganti dompet. Aku belum menyingkirkannya.

Sesaat aku berpikir demikian, aku ingat untuk menunaikan permintaan putriku. Malam itu aku ceritakan ia dongeng tentang seorang pemuda yang mencintai ibunya sendiri—Sangkuriang. Seperti biasa ia mendengarkanku dengan penuh minat. Matanya menatapku dalam-dalam. Aku terbius dan tidak bisa berhenti bercerita. Bahkan wajahnya saat tertidur pun tetap memesonaku. Ia begitu mirip ibuku.

Ketika mengingatnya dadaku kembali berdebar kencang. Rasanya seperti de javu. Aku ingat akan malam itu. Malam yang mengubah hidupku. Malam ketika aku memandangi punggung ibuku dan aku tidak dapat menahan keinginan itu...

Minimize. Uh. Dadaku juga jadi ikut berdebar kencang. “Cuman perempuan itu yang paling dia cinta,” kalimat Tante Ri yang terucap belasan tahun silam mampir lagi dalam kepalaku. Ada lagi ingatan yang lain. Hari pemakaman ibunya. Hanya ia yang memberi kecupan terakhir untuk ibunya di bibir. Dan aku ingat pula penggalan-penggalan percakapan kami. Selalu ada ibunya, ibunya, ibunya… “Dia selalu mencari sosok yang mirip dengan Ibu,” bahkan saudaranya sendiri pernah mengatakan demikian padaku. Aku mendesah. Berpikir untuk meneruskan membaca surel ini atau tidak.

Ah. Kan nanti aku akan membacanya lagi… Tapi tanganku malah bergerak dan kutekan tanda itu lagi.

Sejenak aku mengira aku akan melakukan sesuatu di luar kesadaranku lagi, seperti yang terjadi pada malam aku melihat punggung Ibu. Aku menunggu dengan perasaan tidak menentu.

Namun yang aku ingat, selanjutnya aku hanya menyibak rambut yang menutupi dahinya. Kukecup pualam itu dan tidak bisa lebih dari itu. Tidak ada keinginan sama sekali. Yang ada hanya perasaan kuat untuk melindunginya selalu, bahkan kalau perlu melindunginya dari diriku sendiri. Aku tidak ingin ia mengulangi dosa yang ayahnya lakukan dulu. Aku ingin bisa terus mengawasinya hingga ia semakin dewasa hingga seseorang datang menjemputnya—seperti apakah pria yang akan mendampinginya kelak?

Aku menghembuskan nafas lega. Mataku terpejam. Punggungku merosot dari sandaran. Langit-langit gelap saja kusenyumi. Inikah akhir dari kegundahanmu, Om? Segera aku membaca kelanjutannya lagi.

Tadi pagi aku mengajaknya jalan-jalan lagi. Kami berhenti di tengah jembatan. Ia suka mengamati itik-itik, aku sudah pernah bilang padamu kan? Pada saat itulah aku ingat untuk memberikannya foto ibuku. Ekspresinya polos sekali saat menyatakan kalau ia tidak ingat pernah difoto seperti itu. Aku menantinya sampai ia mengamat-amati foto itu lagi dan menyadari bahwa foto itu kelihatannya seperti foto lama. Ia bertanya, “Siapa ini?” Aku coba menjawabnya dengan bahasa isyarat juga, “Kemarin malam aku jalan-jalan ke dalam mimpimu, lalu aku memotretmu.” Balasnya, “Aku enggak ingat mimpi apapun.” Aku bilang lagi, “Kamu terlihat sangat bahagia dalam mimpi itu sampai-sampai ketika kamu bangun kamu enggak ingat apapun.”

Aku tersenyum. Sepertinya doaku terkabul.                      

 

26 Juni-2 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain