Kemarin
hari ulang tahunnya yang ke separuh abad. Aku sudah mengirimkan ucapan selamat
dan doa ke surelnya. Ia adalah seseorang yang pernah kuanggap sebagai ayahku
sendiri sebagaimana ia sudah menganggapku sebagai anaknya sendiri. Ia adik
kelas orangtuaku waktu SMA.
Pagi
ini aku membuka surel balasan darinya. Bibe
sayang, katanya. Sapaan hangatnya selalu mengukir senyum di wajahku. Aku senang sekali dengan kirimanmu kemarin.
Semoga Tuhan mengabulkan doamu untukku dan untukmu juga.
Cuaca masih terasa panas di sini.
Mungkin kedatangan musim gugur akan bergeser lagi. Namun kehadiran Jas selalu
dapat menyejukkanku. Ia seperti embun yang tahu-tahu menetes ke pucuk hidungmu
di terik siang. Senyumnya adalah kado pertama yang aku dapatkan di hari ulang
tahunku yang ke-50. 50 tahun, Bibe, bayangkan! Kamu tahu aku pernah mengalami
masa di mana sepertinya usia ini tidak akan pernah aku hampiri. Namun Tuhan
memberikanku energi kehidupan melalui bidadari kecilku yang setenang Situ
Patengan.
Bibe sayang,
Ketika aku membuka mata pada hari itu,
aku melihatnya dalam gaun putih berenda. Gaun cantik yang sudah aku belikan
sejak lama namun ia tidak pernah mau memakainya. Kamu tahu aku tidak pernah
bisa memaksanya. Dan kali ini ia mengenakannya atas kesadarannya sendiri! Aku bertanya
padanya sudah berapa lama ia duduk bersimpuh di tepi tempat tidurku. Ia hanya
menjawabku dengan senyumnya. Ia menyentuh lenganku dan memberiku kecupan
selamat pagi yang masih terasa manis hingga sekarang. Dan bahasa dari kalbunya
yang mengingatkanku bahwa aku kian tumbuh. Dia juga, gadis kecilku.
Mataku
meloncat dari paragraf satu ke paragraf lain seiring turunnya halaman. Surel ini
alamak panjangnya! Decak kagum meloncat dari mulutku. Padahal dulu ia tidak
bisa diharapkan menulis apapun sepanjang lebih dari enam kalimat. Untung aku
punya kesempatan untuk memaksanya belajar. Aku terkesan ia mau menurutiku.
Sejak kami tidak lagi tinggal di negara yang sama, ia mengirimiku surel
sesekali. Aku selalu membalas dengan jumlah paragraf yang lebih banyak untuk
memancingnya agar ia menulis lebih banyak di kali berikut. Aku berhasil kali
ini.
Dan,
tahu apa saja isi surelnya? Tidak pernah tidak soal putrinya itu. Pengalamannya
menjadi seorang ayah kandung—akhinya. Tentang mata Jas yang sebening embun.
Tentang rambut megar Jas yang bercahaya selayaknya mentari. Tentang
ketidakmampuan Jas dalam mempelajari sesuatu secara cepat selain piano. Tentang
betapa sensitif dan manjanya Jas. Tentang Jas yang selalu menghentak-hentakkan
jemarinya pada tuts-tuts piano kalau marah. Tentang ketakutan Jas pada dokter
gigi dan salon. Tentang bahasa isyarat Jas yang semakin lama semakin dapat ia pahami.
Tentang setiap harapan, kecemasan, impian, dan kekhawatiran seorang ayah pada
putrinya. Selama bertahun-tahun, tentang Jas yang tidak kunjung bicara.
Aku
masih ingat ketika ia pertama kali bertemu dengan Jas. Seperti kejatuhan
bidadari dari langit saja. Waktu itu Jas masih berusia 10 tahun. Om Yan masih
kuat mengangkatnya tinggi-tinggi. Gadis kecil itu tergelak riang dengan aku dan
bibinya memandang penuh keharuan. Bibinya itulah yang nekat membawa Jas kabur
dari rumah kakek-neneknya untuk menemui sang ayah biologis—yang tidak pernah sebelumnya
memikirkan nasib benih yang telah ia sumbangkan pada bank sperma.
Masih
saja aku dibuat tercenung setiap kali teringat akan hal ini.
Mendiang
ibu Jas sebetulnya tidak ingin ada yang memberitahu Jas kenyataan tentang
ayahnya—entah bagaimana caranya. Maka Om Yan sangat mensyukuri kenekatan Judy.
Kalau saja Judy bukan penggemar berat Om Yan… Hahaha…
Tidak hanya memainkan simfoni
kesukaanku, dia juga berjanji akan menuruti setiap permintaanku khusus pada
hari itu saja.
Jariku
bergeser. Menuntunku pada paragraf-paragraf selanjutnya yang semakin jauh
semakin hanya mampu aku baca sepenggal-sepenggal.
Aku mengganti gaunnya dengan gaun yang
lebih indah dan berwarna pastel sebagaimana warna kesukaan ibuku. Dia juga
tidak boleh merengek ketika aku membawanya ke salon agar rambut keriting
memukaunya itu bisa dibuat mengikal halus seperti rambut ibuku. Aku suruh ia
tersenyum terus, yang lembut, tapi ia malah meringis—kamu harus melihatnya,
Bibe, ia menggemaskan sekali!
Kadang-kadang
jariku berhenti sampai aku ingat untuk menggerakkannya lagi.
Hari itu aku seperti berjalan-jalan
dengan versi muda ibuku. Seseorang yang sangat aku nantikan di masa remajaku.
Aku seolah tidak sadar kalau aku hanya seorang pria tua ringkih.
Di
luar kesadaranku, aku meloncati paragraf-paragraf setelahnya. Sebetulnya ingin
aku tekan tanda silang di pojok kanan atas namun kalah cepat dengan gerakan
mataku yang sudah terlanjur memaku perhatianku pada penghujung surel.
Aku masih membaca ucapan-ucapan selamat
yang masuk seharian itu ketika ia naik ke atas tempat tidurku. Tubuhnya bersandar
nyaman di atas tumpukan bantal. Posisi yang mengingatkanku bahwa sudah tiba
waktuku untuk mendongeng. Saat kudekati dia aku menyadari bahwa putriku telah
berusia 15 tahun. Mendiang ibuku dalam foto itu juga berusia sama. Aku sadari
juga kalau foto itu sudah berpuluh tahun tersimpan dalam dompetku—meski sudah
jutaan kali aku berganti dompet. Aku belum menyingkirkannya.
Sesaat aku berpikir demikian, aku ingat
untuk menunaikan permintaan putriku. Malam itu aku ceritakan ia dongeng tentang
seorang pemuda yang mencintai ibunya sendiri—Sangkuriang. Seperti biasa ia
mendengarkanku dengan penuh minat. Matanya menatapku dalam-dalam. Aku terbius
dan tidak bisa berhenti bercerita. Bahkan wajahnya saat tertidur pun tetap
memesonaku. Ia begitu mirip ibuku.
Ketika mengingatnya dadaku kembali
berdebar kencang. Rasanya seperti de javu. Aku ingat akan malam itu. Malam yang
mengubah hidupku. Malam ketika aku memandangi punggung ibuku dan aku tidak
dapat menahan keinginan itu...
Minimize.
Uh. Dadaku juga jadi ikut berdebar kencang. “Cuman perempuan itu yang paling
dia cinta,” kalimat Tante Ri yang terucap belasan tahun silam mampir lagi dalam
kepalaku. Ada lagi ingatan yang lain. Hari pemakaman ibunya. Hanya ia yang
memberi kecupan terakhir untuk ibunya di bibir. Dan aku ingat pula
penggalan-penggalan percakapan kami. Selalu ada ibunya, ibunya, ibunya… “Dia
selalu mencari sosok yang mirip dengan Ibu,” bahkan saudaranya sendiri pernah
mengatakan demikian padaku. Aku mendesah. Berpikir untuk meneruskan membaca
surel ini atau tidak.
Ah.
Kan nanti aku akan membacanya lagi… Tapi tanganku malah bergerak dan kutekan
tanda itu lagi.
Sejenak aku mengira aku akan melakukan
sesuatu di luar kesadaranku lagi, seperti yang terjadi pada malam aku melihat
punggung Ibu. Aku menunggu dengan perasaan tidak menentu.
Namun yang aku ingat, selanjutnya aku
hanya menyibak rambut yang menutupi dahinya. Kukecup pualam itu dan tidak bisa
lebih dari itu. Tidak ada keinginan sama sekali. Yang ada hanya perasaan kuat
untuk melindunginya selalu, bahkan kalau perlu melindunginya dari diriku
sendiri. Aku tidak ingin ia mengulangi dosa yang ayahnya lakukan dulu. Aku
ingin bisa terus mengawasinya hingga ia semakin dewasa hingga seseorang datang
menjemputnya—seperti apakah pria yang akan mendampinginya kelak?
Aku
menghembuskan nafas lega. Mataku terpejam. Punggungku merosot dari sandaran.
Langit-langit gelap saja kusenyumi. Inikah akhir dari kegundahanmu, Om? Segera
aku membaca kelanjutannya lagi.
Tadi pagi aku mengajaknya jalan-jalan
lagi. Kami berhenti di tengah jembatan. Ia suka mengamati itik-itik, aku sudah
pernah bilang padamu kan? Pada saat itulah aku ingat untuk memberikannya foto
ibuku. Ekspresinya polos sekali saat menyatakan kalau ia tidak ingat pernah
difoto seperti itu. Aku menantinya sampai ia mengamat-amati foto itu lagi dan
menyadari bahwa foto itu kelihatannya seperti foto lama. Ia bertanya, “Siapa
ini?” Aku coba menjawabnya dengan bahasa isyarat juga, “Kemarin malam aku
jalan-jalan ke dalam mimpimu, lalu aku memotretmu.” Balasnya, “Aku enggak ingat
mimpi apapun.” Aku bilang lagi, “Kamu terlihat sangat bahagia dalam mimpi itu
sampai-sampai ketika kamu bangun kamu enggak ingat apapun.”
Aku
tersenyum. Sepertinya doaku terkabul.
26 Juni-2 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar