Catatan ini ditulis dalam bis jurusan Labuan-Kalideres, 9 Juni 2011
[setengah duaan siang]
Yah, enggak kesampaian, ngirim postingan terakhir dari kantor BTNUK.
[Jalan tol Serang timur, macet, 16.43]
Enggak terasa dua minggu hampir telah berlalu.
Petang ini, lewat sms, saya dan Rifda berkhayal merencanakan piknik di dermaga. Mulanya Rifda mengabarkan Bunda sedang masak ikan pindang. Wah, ngabibita wae ti isuk. Ya udah, saya ajak saja dia untuk bawa itu masakan pakai rantang, jangan lupa tikar juga, terus kita makan-makan di dermaga deh. Sambil nunggu sunset. Tapi Kang Ican (Cah) masih di kamar mandi, Bos Koki (Rijal) masih ganti baju karena mau ketemu pahe—perawan herang—(Teh Desi), another sunset in his heart, halah, dan pisgor yang Teh Rifda masak tadi pagi dibawa juga saja. Enggak apa-apa dingin juga, seadanya aja, Bos Koki udah enggak sabaran pingin ketemu nih… Hehehe.
[17.14]
Sejak meninggalkan Tamjay kemarin pagi, dalam smsan saya dengan Bunda dan Rifda terdapat poin-poin yang akan menjadi daftar hal-hal yang bakal saya coba, saya lakukan, kalau kembali lagi ke sana.
Masih terbayang-bayang halaman rumah Bunda dengan pagar dua rangkap, dinding kuning, kusen putih, dan deretan panjang sofanya. Lukisan Abah dan almarhumah Umi juga terpajang di sana. Kesan homy teruar selalu setiap kali saya melihatnya meski hanya dalam kepala.
Seminggu memang bukan waktu yang cukup, baik bagi kami sebagai regu Tamjay maupun Bunda sekeluarga, untuk mengenal satu sama lain secara mendalam. Namun apa yang tampak selama seminggu itu saja sudah bisa menjadi suatu pelajaran berharga bagi saya. Kekeluargaan dan cara bermasyarakat.
Bagaimana Abah ikut mengasuh orang-orang yang padahal bukan anak-anak kandungnya sendiri. Bagaimana Bunda menerima kami dengan antusias dan bagaimana caranya mendidik anak-anaknya agar mengerti susahnya mencari duit. Bagaimana Bapak enggak tegaan sama orang yang jualan cumi. Bagaimana Bang Haris memerhatikan kami. Bagaimana relanya Teh Rifda mengantar kami ke mana pun kami ingin… Dan seterusnya.
Tidak cukup hanya dengan membuat kami merasa bagai di rumah selama pengambilan data di daerah Tamjay ini, pada malam terakhir kami disuguhi perpisahan dan kenang-kenangan yang membikin kami merasa berarti. Tidak ada yang bisa kami berikan saat itu untuk membalas mereka selain meninggalkan bahan makanan yang kami bawa dari Jogja dan Labuan serta momen-momen bersama yang kami harap akan selalu ada dalam memori mereka.
Saya sedikit belajar bagaimana bersikap seperti mereka dari keluarga saya sendiri. Maka mereka adalah sosok-sosok yang menginspirasi saya untuk dapat menerapkan kebaikan serupa dengan cara saya sendiri. Bagaimanapun juga, prinsip saya adalah jika saya senang dengan cara seseorang memperlakukan saya, maka saya ingin bisa memperlakukan orang lain dengan cara seperti itu juga. Mungkin tidak bisa sama persis jadinya, tapi saya harap saya bisa melipatgandakan kebaikan yang telah saya peroleh dari mereka.
Seminggu yang berarti itu telah berlalu. Melihat Bapak duduk di kusen jendela, senyum Abah, kecantikan Teh Rifda, mendengar ocehan Bunda dan celetukan Bang Haris yang kadang mengundang senyum, mengingat setiap sudut rumah mulai dari bagian belakang yang dulunya bagian depan rumah, kamar Teh Rifda yang saya dan Desta tiduri setiap malam dan di waktu-waktu lelah, ruang berkarpet abu-abu di mana kami menonton TV, makan, dan mengobrol bersama, area cuci piring cuci baju, sepasang kamar mandi yang diwarnai insiden-insiden kecil, dapur, hingga teras tempat kami pertama bersua Bapak dan Abah… Ah, jangan lupa juga dengan kenesnya duo racun, Fitri dan Atia, yang kadang menemani saya cuci piring, menagih hutang pada Rijal, sigap bergerak kala kami membutuhkan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar