![]() |
Gambar dari Perpustakaan Universitas BSI. |
Penerbit : PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2008
ISBN : 978-979-27-3564-2/ eISBN: 978-602-04-1984-8
Yang dimaksud dengan orang tua pada judul buku ini tidak mesti orang tua kandung, tetapi orang dewasa pada umumnya yang dapat memengaruhi remaja. Kenakalan orang dewasa lebih merusak daripada kenakalan remaja, karena orang dewasa lebih punya otoritas dan fasilitas, dan bisa jadi remaja nakal karena mencontoh orang dewasa, apalagi orang tua sendiri. Contohnya sangat banyak, mulai dari fenomena sugar daddy/mommy, pencabulan oleh guru, pornografi anak, sampai membiayai keluarga dengan uang hasil korupsi. Bisa pula seorang dewasa baik kepada anak-anaknya sendiri, tapi di luar melecehkan atau menzalimi anak orang lain. Orang dewasa dengan pengalamannya yang lebih banyak tidak serta-merta menjadikannya arif dan mewariskan kebajikan, melainkan terus memutarkan lingkaran setan sampai akhir zaman. Dengan kelebihan yang dimilikinya generasi tua dapat mengatakan generasi di bawahnya lembek, manja, tidak sopan, padahal bagian dari generasi tua juga yang mencontohkannya, atau kurang mengajarkan yang sebaiknya..
Khususnya mengenai tema love, sex, and dating, buku ini lebih sejalan dengan Boys Lie yang ditujukan bagi remaja Amerika Serikat, daripada Cyberporn yang untuk pembaca Indonesia. Sementara Cyberporn menganggap self-service sebagai sebentuk penyimpangan, buku ini justru mewajarkannya sebagai cara sehat menyalurkan energi seksual, walau mengungkapkan juga risikonya (di antaranya: kecanduan pornografi, mengganggu hubungan suami-istri). Buku ini juga menganjurkan pacaran sebagai kegiatan positf, asalkan menaati rambu-rambu, bertanggung jawab, menghindari seks pranikah, dan menjalankan pengendalian seksual. Solusi yang diberikan untuk mengalihkan energi seksual adalah dengan berkecimpung dalam kegiatan-kegiatan positif seperti kesenian, olahraga, dan organisasi. Buku ini memang tidak memijak pada ajaran agama mana pun, tetapi yang umum saja. Jadi menarik membandingkan dengan aturan yang ketat dalam Islam, bahwa aktivitas bersama begitu tetap rentan membuka jalan sehingga perlu dihindari sama sekali. Kalau seorang lelaki yang sudah cukup umur dan cukup modal tertarik kepada seorang perempuan, alih-alih memacari perempuan itu, dekatilah ayahnya.
Walau rada longgar mengenai love, sex, and dating serta mendukung emansipasi wanita, buku ini cenderung menjunjung pola keluarga tradisional yang mana ayah harus berwibawa, menegakkan hierarki, aturan, dan pola interaksi yang jelas, mengeluarkan perintah, keputusan, kebijakan, otoritas, dan berkuasa, sedangkan ibu lembut, hangat, pengasih dan penyayang. Memang tidak dinafikan kekurangan-kekurangan dari pola ini, misal ibu dipandang laksana parasit yang sangat bergantung kepada suami (halaman 145). Relatif sulit juga menerapkannya, sebab nyatanya ada juga ayah-ayah yang lembek dan ibu-ibu yang kasar; mengubah kepribadian agar setiap ayah dan setiap ibu seragam memenuhi pembagian peran tersebut tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.
Buku ini juga mengkritisi materialisme dan individualisme. Contohnya adalah dengan memberi anak kamar yang berfasilitas lengkap sehingga tidak perlu sering keluar. Menurut buku ini, semestinya kamar tidur hanya untuk tidur, sedangkan untuk belajar, hiburan, dan sebagainya di ruang keluarga, sehingga dengan begitu akan kerap bertemu dengan anggota keluarga lainnya, memungkinkan interaksi yang menumbuhkan ikatan. Wah, apa kata penulis mengenai fenomena smartphone yang baru hadir bertahun-tahun setelah buku ini diterbitkan? Seorang anak bisa seharian di kamar saja rebahan, scrolling, nge-game, menonton tanpa henti, tidak bersosialisasi sama sekali, bahkan terganggu oleh kehadiran orang lain.
Dalam sebuah video di YouTube, pembicaranya kurang lebih mengatakan bahwa orang tua perlu berusaha menjadi sosok yang layak diteladani oleh anak--be the person that your children will aspire to be. Kalau sudah berusaha menjadi sosok teladan, memenuhi hak anak serta tanggung jawab dan kewajiban sebagai orang tua, tapi anak tetap bandel, ingat Nabi Nuh saja tidak kuasa membujuk anaknya masuk bahtera. Sebagai anak, pahami tidak ada manusia yang sempurna, setiap orang mungkin berbuat kesalahan, punya kekurangan dan kelemahan, termasuk orang tua. Sebagai orang dewasa yang tidak punya anak, tetap perlu mewawas diri sebab siapa tahu berbuat hal yang berdampak pada anak orang lain atau dijadikan contoh olehnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar