Sabtu, 23 Juni 2012

Bisakah Kamu

“Siapa yang butuh anak? Terlalu banyak manusia di dunia. Dan mereka akan saling bunuh satu sama lain agar bisa bertahan hidup, suatu hari nanti.” Abu bertaburan di asbak. Pangkal rokok dikecupnya lagi. Untuk pertemuan ini sudah hampir habis satu kotak.

“Kamu enggak butuh anak. Anakmu bakal keburu rusak di perut.”

“Hmh.” Senyumnya tersungging. “Kalau aku memang mau anak, lebih baik aku pungut saja satu-dua dari panti asuhan. Aku enggak mengerti pikiran orang-orang itu,” kata Laila datar. “Barangkali mereka ingin menguasai dunia dengan bikin anak sebanyak-banyaknya…” Hisap hembus hisap hembus. “Yah dunia ini bakal menyeimbangkan dirinya sendiri. Mungkin aku, atau kamu, yang bakal mati demi satu anak lagi yang lahir ke dunia.”

“Laila,” ucap Fazaha. “Aku hamil.

Wanita itu tak acuh. Aroma lavendernya telah habis dilahap asap. “Kamu bakal membiarkan dia menderita lebih lama di sini. Biarkan dia menderita sekali saja.” Mata sayu Laila menatapnya.

 

Fazaha pada papanya. “Pa, menurut Papa gimana kalau cucu lagi?”

“Kamu hamil?”

Diam.

“Itu perbuatan kamu. Pertanggungjawabkan.”

Satu-satunya cucu Papa, anak dari kakak Fazaha, tidak pernah mau dekat dengan Papa.

Fazaha menutup telepon.

 

“Kita enggak butuh anak kan?” tanya Fazaha pada Pierre. Ekspresi Pierre lamat-lamat, kendati Bandung dan Port-au-Prince hanya dibatasi selembar LCD. Jangan-jangan suaranya pun sampai sayup-sayup.

“Terserah kamu, Sayang.”

Fazaha menggeleng pelan. “Tidak, kamu tidak membutuhkannya,” ucapnya dalam bahasa Pierre. “Kamu sudah punya dua dari pernikahanmu sebelumnya.”

“Ya.”

“Itu cukup buat kamu.”

“Kamu hamil?”

“Ya.”

“Kamu tidak menginginkannya?”

Sebelum Pierre memulai video call, Fazaha tengah menambah wawasan tentang aborsi.

“I love you, your body, inside and out.” Demikian jawab Pierre. Fazaha menggumam. Kepalanya setengah berpaling.

 

Bagaimana dengan Mama? Fazaha coba membayangkan wanita itu di depannya. Bagaimana paras Mama setelah dua puluhan tahun berselang? Berapa banyak kerut di wajahnya yang terlihat? Apakah warna kulitnya masih sama seperti ketika Fazaha melihatnya di dasar lahad?

Mama telah duduk di sampingnya. Ujung bibir wanita itu tertarik ke atas. Wajahnya begitu pucat, tapi pulasan di sana amat merahnya. “Kamu membutuhkannya.” Fazaha tertegun. “Siapa lagi yang bakal kamu pukuli ketika kamu marah?”

Bayangan wanita itu pudar.

 

“Kau…” tatapnya pada perut. Mulai tumbuh gundukan di sana perlahan.Kau kubiarkan besar dan kau akan tumbuh sama saja seperti kakakku… seperti aku menampar keponakanku… bahkan kakakku saja tak pernah mengusap anaknya dengan keras seperti itu… Lebih baik kau mati saja! Lebih baik kau mati saja ketimbang aku menjelma ibuku! Kau cuman bikin dosaku berlipat-lipat saja!”

 

Fazaha mengusap mata. Samar-samar senandung sang kakak saat meninabobokan anaknya merasuk.

“…who knows how long I’ve loved you?

“…but it never really mattered, I will always feel the same…

“…make it easy to be near you. for the things you do endear you to me. Oh, you know, I will… I will…[1]

Fazaha membungkuk hingga dahinya menempel di puncak lutut. Ia berbisik.

“Kamu ingin tetap di sana? Kalau tidak… aku akan membuatmu tenteram selamanya. Aku akan kembalikan kamu ke surga.

“Kalau kamu di sini, kamu bakal punya peluang untuk tenggelam di neraka.

Kepala Fazaha terkulai miring. Matanya terpejam.

“Kelak,

“aku ingin kamu tidak menyesal karena telah dilahirkan,

“aku ingin kamu mengasihiku.

“Bisakah kamu?”***

 

 

23/06/12



[1] The Beatles – I Will

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain