“Siapa
yang butuh anak? Terlalu banyak manusia di dunia. Dan mereka akan saling bunuh
satu sama lain agar bisa bertahan hidup, suatu hari nanti.” Abu bertaburan di asbak. Pangkal rokok dikecupnya lagi. Untuk
pertemuan ini sudah hampir habis satu kotak.
“Kamu
enggak butuh anak. Anakmu bakal keburu rusak di perut.”
“Hmh.” Senyumnya tersungging. “Kalau aku
memang mau anak, lebih baik aku pungut saja satu-dua dari panti asuhan. Aku
enggak mengerti pikiran orang-orang itu,” kata Laila datar. “Barangkali mereka
ingin menguasai dunia dengan bikin anak sebanyak-banyaknya…” Hisap hembus hisap hembus. “Yah dunia
ini bakal menyeimbangkan dirinya sendiri. Mungkin aku, atau kamu, yang bakal
mati demi satu anak lagi yang lahir ke dunia.”
“Laila,”
ucap Fazaha. “Aku hamil.”
Wanita
itu tak acuh. Aroma lavendernya telah habis dilahap asap. “Kamu bakal
membiarkan dia menderita lebih lama di sini. Biarkan dia menderita sekali saja.”
Mata sayu Laila menatapnya.
Fazaha
pada papanya. “Pa, menurut Papa gimana kalau cucu lagi?”
“Kamu
hamil?”
Diam.
“Itu
perbuatan kamu. Pertanggungjawabkan.”
Satu-satunya
cucu Papa, anak dari kakak Fazaha, tidak pernah mau dekat dengan Papa.
Fazaha
menutup telepon.
“Kita
enggak butuh anak kan?” tanya Fazaha pada Pierre. Ekspresi Pierre lamat-lamat, kendati
Bandung dan Port-au-Prince hanya dibatasi selembar LCD. Jangan-jangan suaranya
pun sampai sayup-sayup.
“Terserah
kamu, Sayang.”
Fazaha
menggeleng pelan. “Tidak, kamu tidak membutuhkannya,” ucapnya dalam bahasa
Pierre. “Kamu sudah punya dua dari pernikahanmu sebelumnya.”
“Ya.”
“Itu
cukup buat kamu.”
“Kamu
hamil?”
“Ya.”
“Kamu
tidak menginginkannya?”
Sebelum
Pierre memulai video call, Fazaha
tengah menambah wawasan tentang aborsi.
“I love you, your body, inside and out.” Demikian jawab Pierre. Fazaha menggumam. Kepalanya
setengah berpaling.
Bagaimana
dengan Mama? Fazaha coba membayangkan wanita itu di depannya. Bagaimana paras
Mama setelah dua puluhan tahun berselang? Berapa banyak kerut di wajahnya yang
terlihat? Apakah warna kulitnya masih sama seperti ketika Fazaha melihatnya di
dasar lahad?
Mama
telah duduk di sampingnya. Ujung bibir wanita itu tertarik ke atas. Wajahnya
begitu pucat, tapi pulasan di sana amat merahnya. “Kamu membutuhkannya.” Fazaha
tertegun. “Siapa lagi yang bakal kamu pukuli ketika kamu marah?”
Bayangan
wanita itu pudar.
“Kau…”
tatapnya pada perut. Mulai tumbuh gundukan di sana perlahan. “Kau kubiarkan besar dan kau akan
tumbuh sama saja seperti kakakku… seperti aku menampar keponakanku… bahkan
kakakku saja tak pernah mengusap anaknya dengan keras seperti itu… Lebih baik
kau mati saja! Lebih baik kau mati saja ketimbang aku menjelma ibuku! Kau cuman
bikin dosaku berlipat-lipat saja!”
Fazaha
mengusap mata. Samar-samar senandung sang kakak saat meninabobokan anaknya
merasuk.
“…who knows how long I’ve loved you?
“…but it never really mattered, I will
always feel the same…
“…make it easy to be near you. for the
things you do endear you to me. Oh, you know, I will… I will…[1]”
Fazaha
membungkuk hingga dahinya menempel di puncak lutut. Ia berbisik.
“Kamu
ingin tetap di sana? Kalau tidak… aku akan membuatmu tenteram selamanya. Aku
akan kembalikan kamu ke surga.
“Kalau
kamu di sini, kamu bakal punya peluang untuk tenggelam di neraka.
Kepala
Fazaha terkulai miring. Matanya terpejam.
“Kelak,
“aku
ingin kamu tidak menyesal karena telah dilahirkan,
“aku
ingin kamu mengasihiku.
“Bisakah
kamu?”***
23/06/12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar