Cikapundung, Cikapundung, Cikapundung, walungan di
Kota Bandung… demikian potongan lirik tembang Bungsu
Bandung, “Alim Dicandung”, yang mempopulerkan sungai yang melintasi Jalan
Asia-Afrika di Kota Bandung tersebut. Sepenggal wajah Cikapundung telah
ditengok pada ngaleut (22/04/12). Pemukiman padat di Cihampelas maupun
aktivitas perkotaan lain di sekitarnya mengepung aliran yang harusnya jadi
poros kehidupan ini hingga keruh dengan titik sampah di sana-sini.
Minggu (24/06/12),
para pegiat Aleut kembali melakukan penyusuran septic tank terpanjang di dunia tersebut dengan rute yang
berlawanan dari arah ke Cihampelas, yaitu seberang Sabuga hingga Curug Dago. Medan
yang ditempuh pun jauh lebih beragam, tidak sekadar gang-gang melainkan jalan
setapak, pematang sawah, komplek perumahan, sampai sungai berbatu! Bisa
dibilang ngaleut kali ini lebih menyerupai outbond
tanpa pos-pos, game-game, dan
kakak-kakak pemandu. Bagaimanapun kami didorong keadaan agar saling bantu demi
kelancaran perjalanan. Sangat memberdayakan.
Titik pemberangkatan
terletak di rumah seorang dedengkot Aleut di Jalan Sumur Bandung. Menjelang
pukul sembilan pagi kami bertolak dari sana, menyusuri tepi Babakan Siliwangi,
lalu menyeberang dan memasuki jalan setapak di tepi Sungai Cikapundung. Tetumbuhan
di area ini cukup rimbun, hingga sesaat kami merasa tidak di kota.
Gang yang
berkelak-kelok dengan rumah-rumah mungil di tepinya—laksana di kawasan
Cihampelas—kembali kita temui kemudian. Jampi-jampi pun dirapalkan demi
ketenteraman masyarakat di perjalanan: “punten…”
Pot hole. Entah mengapa dasarnya berwarna kuning. |
Sesekali kami
berhenti karena adanya bebatuan dengan lubang yang khas, sebuah fenomena
geologi. Namun ngaleut laksana rekreasi plus plus, bukan kuliah lapangan,
sehingga informasi sahih mengenai ini barangkali bisa ditelusuri baik di
internet maupun perpustakaan.
Kami juga melewati
sebuah kampung bernama Manteos. Menurut Kang Ayan, seorang pentolan Aleut,
Manteos berasal dari nama orang Belanda, “Mathius”, yang pernah memiliki tanah
di kawasan tersebut.
Beginilah sempadan sungai yang baik dan benar |
Dengan Sungai
Cikapundung sebagai pedoman, kami terbawa hingga ke pedalaman. Ciumbuleit, Dago
Bengkok, apapun daerah yang sebenarnya mengitari kami, tidak terasa pasti. Lepas
dari gang, alam kembali menghadang. Tidak liar benar, tapi cukup untuk mengasingkan
kami dari hiruk-pikuk khas kota besar. Kolam-kolam pemancingan nan kering air,
sempadan sungai yang ditumbuhi rumpun bambu dan pisang, petak-petak sawah yang
dikira tinggal ada dalam kenangan masa kecil—“Ini masih Bandung loh,” sesekali
ada yang mengingatkan seperti itu.
Saluran irigasi peninggalan Belanda yang plakatnya sudah hilang. |
Selain Manteos,
peninggalan Belanda lain yang kami temukan adalah saluran irigasi serta pintu
air/waterwang Leuwilimus. Setiap
bangunan peninggalan Belanda biasanya disertai plakat, namun kini plakat di
atas saluran irigasi tidak ditemukan. “Padahal tahun lalu masih ada,” kata Kang
Reza, koordinator Aleut.
Menurut keterangan
para pegiat Aleut yang tahun lalu mengikuti ngaleut dengan tema serupa,
perubahan telah banyak terjadi di sekitar Sungai Cikapundung. Rute yang kami
lalui pun berbeda dengan rute yang telah dilalui sebelumnya, misal karena
terhalang oleh bangunan yang tahun lalu belum ada. Kamipun harus mencari jalan
lain supaya sampai ke tujuan. Sawah becek sekalipun harus diterjang, biarpun
itu bikin kami berlepotan lumpur.
Waterwang Leuwilimus |
Kekompakan para
pegiat Aleut kian diuji ketika mau tidak mau harus melalui sungai. Setidaknya
betis pasti terendam. Beruntung mereka yang pakai sandal lapangan. Yang pakai
sepatu harus menjinjing alas kaki mereka itu, sedang permukaan sungai dipenuhi bebatuan
tajam atau berlumut. Dangkal-dalamnya sungai pun tak merata.
Kerja sama :') |
Rombongan belakang
pun menggelar beberapa webbing untuk
mempermudah perjalanan. Beberapa cowok memegangi webbing, sedang para cewek dan sisanya menyusuri tali gepeng
tersebut agar tidak terhindar dari celaka. Saya termasuk yang ceroboh biarpun
pengaman sudah disediakan. Sudah mandi setengah badan dan bikin penolong saya ikut
kebasahan, saya menginjak kaki salah seorang cowok.
Webbing
tetap berguna biarpun kami sudah tak terendam air, misal saat kami mendaki
jalan setapak yang terjal.
Warung yang
ditemukan otomatis menjadi titik pemberhentian. Rezeki bagi pemilik warung,
berbagai jenis minuman dan snack yang
dijajakan jadi incaran.
Meong unyu nan seksi di sekolah alam |
Kami sempat berhenti
lagi cukup lama di sebuah sekolah alam. Selain mengudap perbekalan, sebagian
dari kami menunaikan salat zuhur. Setelah cukup obrol-obrol, kami lanjutkan
perjalanan.
Dalam perjalanan
menuju prasasti peninggalan raja Thailand, kami bertemu dua orang anak bernama
Teguh (kelas 7) dan Emir (kelas 2). Mereka berasal dari Jakarta dan sedang
liburan di Bandung. Dari rumah nenek mereka di Dago Selatan, mereka jalan kaki
sampai kawasan Curug Dago! Teguh dan Emir pun jadi seleb dadakan di antara
kami, mulai dari ditanya ini-itu sampai diajak foto bersama.
Saya pernah
mengunjungi Curug Dago saat saya masih kelas 6, bersama seluruh teman
seangkatan. Saat itu kami bisa bermain air di curug. Kini saya lihat lanskapnya kok beda. Curug diapit dinding tinggi. Pengunjung hanya bisa sampai tepi
salah satu dinding, itupun jelas dibatasi lagi oleh pagar besi berkarat. Dan
saya tidak ingat kalau di tepi dinding itu pula ada dua prasasti. Daratan di
hamparan curug pun tampak
berwarna-warni oleh sampah, jelas bukan tempat yang enak buat main air.
Apa yang saya
kunjungi dulu itu sebenarnya bukan Curug Dago, atau memang ada perubahan dalam
kurun 10 tahun?
Bangunan berkosen
merah melindungi kedua prasasti dari tangan-tangan jahil. Pada kedua prasasti
tersebut terdapat torehan dengan aksara yang barangkali aksara Thailand. Konon
seorang raja dari Thailand pernah datang ke Curug Dago untuk bersemadi. Peninggalannya
berupa batu yang kini jadi prasasti. Entah berapa puluh tahun kemudian, anak
dari raja tersebut yang juga telah menjadi raja Thailand mengunjungi bekas
semadi ayahnya. Kedatangannya ditandai dengan sebuah prasasti lagi. Kedua
prasasti tersebut dipisahkan jarak beberapa meter.
Hulu Sungai
Cikapundung bukanlah terletak di Curug Dago, melainkan Lembang. Namun hulu yang
harusnya murni konon malah dijadikan tempat pembuangan limbah peternakan sapi. Padahal
Curug Dago berada di ketinggian yang lumayan, tapi airnya masih tampak keruh.
Segelintir sampah di badan Sungai Cikapundung |
Perilaku warga yang
masih buang limbah ke sungai memang amat menggugah untuk disesali. Lagi-lagi kami
diingatkan untuk mengubah mulai dari diri sendiri. Namun agaknya tak cukup itu,
berbagai wacana pun muncul dalam sesi sharing.
Isu lingkungan hidup
ternyata bukan minat utama saya, tapi melalui komunitas semacam Aleut ini saya
jadi tersentil untuk turut memerhatikan. Bagaimanapun Aleut adalah komunitas
belajar, bukan sekadar sarana olahraga bareng dan sosialisasi. Maka saya pulang
dari ngaleut dengan rasa tergugah untuk lebih aktif dan peduli, baik kepada diri
sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitar. Semoga rasa itu dapat terus
bertahan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar