Minggu, 24 Juni 2012

Belajar via Susur Cikapundung van Ngaleut


Cikapundung, Cikapundung, Cikapundung, walungan di Kota Bandung… demikian potongan lirik tembang Bungsu Bandung, “Alim Dicandung”, yang mempopulerkan sungai yang melintasi Jalan Asia-Afrika di Kota Bandung tersebut. Sepenggal wajah Cikapundung telah ditengok pada ngaleut (22/04/12). Pemukiman padat di Cihampelas maupun aktivitas perkotaan lain di sekitarnya mengepung aliran yang harusnya jadi poros kehidupan ini hingga keruh dengan titik sampah di sana-sini.

Minggu (24/06/12), para pegiat Aleut kembali melakukan penyusuran septic tank terpanjang di dunia tersebut dengan rute yang berlawanan dari arah ke Cihampelas, yaitu seberang Sabuga hingga Curug Dago. Medan yang ditempuh pun jauh lebih beragam, tidak sekadar gang-gang melainkan jalan setapak, pematang sawah, komplek perumahan, sampai sungai berbatu! Bisa dibilang ngaleut kali ini lebih menyerupai outbond tanpa pos-pos, game-game, dan kakak-kakak pemandu. Bagaimanapun kami didorong keadaan agar saling bantu demi kelancaran perjalanan. Sangat memberdayakan.

Titik pemberangkatan terletak di rumah seorang dedengkot Aleut di Jalan Sumur Bandung. Menjelang pukul sembilan pagi kami bertolak dari sana, menyusuri tepi Babakan Siliwangi, lalu menyeberang dan memasuki jalan setapak di tepi Sungai Cikapundung. Tetumbuhan di area ini cukup rimbun, hingga sesaat kami merasa tidak di kota.

Gang yang berkelak-kelok dengan rumah-rumah mungil di tepinya—laksana di kawasan Cihampelas—kembali kita temui kemudian. Jampi-jampi pun dirapalkan demi ketenteraman masyarakat di perjalanan: “punten…”

Pot hole. Entah mengapa dasarnya
berwarna kuning.
Sesekali kami berhenti karena adanya bebatuan dengan lubang yang khas, sebuah fenomena geologi. Namun ngaleut laksana rekreasi plus plus, bukan kuliah lapangan, sehingga informasi sahih mengenai ini barangkali bisa ditelusuri baik di internet maupun perpustakaan.

Kami juga melewati sebuah kampung bernama Manteos. Menurut Kang Ayan, seorang pentolan Aleut, Manteos berasal dari nama orang Belanda, “Mathius”, yang pernah memiliki tanah di kawasan tersebut.

Beginilah sempadan sungai yang
baik dan benar
Dengan Sungai Cikapundung sebagai pedoman, kami terbawa hingga ke pedalaman. Ciumbuleit, Dago Bengkok, apapun daerah yang sebenarnya mengitari kami, tidak terasa pasti. Lepas dari gang, alam kembali menghadang. Tidak liar benar, tapi cukup untuk mengasingkan kami dari hiruk-pikuk khas kota besar. Kolam-kolam pemancingan nan kering air, sempadan sungai yang ditumbuhi rumpun bambu dan pisang, petak-petak sawah yang dikira tinggal ada dalam kenangan masa kecil—“Ini masih Bandung loh,” sesekali ada yang mengingatkan seperti itu.

Saluran irigasi peninggalan
Belanda yang plakatnya sudah
hilang.
Selain Manteos, peninggalan Belanda lain yang kami temukan adalah saluran irigasi serta pintu air/waterwang Leuwilimus. Setiap bangunan peninggalan Belanda biasanya disertai plakat, namun kini plakat di atas saluran irigasi tidak ditemukan. “Padahal tahun lalu masih ada,” kata Kang Reza, koordinator Aleut.

Menurut keterangan para pegiat Aleut yang tahun lalu mengikuti ngaleut dengan tema serupa, perubahan telah banyak terjadi di sekitar Sungai Cikapundung. Rute yang kami lalui pun berbeda dengan rute yang telah dilalui sebelumnya, misal karena terhalang oleh bangunan yang tahun lalu belum ada. Kamipun harus mencari jalan lain supaya sampai ke tujuan. Sawah becek sekalipun harus diterjang, biarpun itu bikin kami berlepotan lumpur.

Waterwang Leuwilimus
Kekompakan para pegiat Aleut kian diuji ketika mau tidak mau harus melalui sungai. Setidaknya betis pasti terendam. Beruntung mereka yang pakai sandal lapangan. Yang pakai sepatu harus menjinjing alas kaki mereka itu, sedang permukaan sungai dipenuhi bebatuan tajam atau berlumut. Dangkal-dalamnya sungai pun tak merata.

Kerja sama :')
Rombongan belakang pun menggelar beberapa webbing untuk mempermudah perjalanan. Beberapa cowok memegangi webbing, sedang para cewek dan sisanya menyusuri tali gepeng tersebut agar tidak terhindar dari celaka. Saya termasuk yang ceroboh biarpun pengaman sudah disediakan. Sudah mandi setengah badan dan bikin penolong saya ikut kebasahan, saya menginjak kaki salah seorang cowok.

Webbing tetap berguna biarpun kami sudah tak terendam air, misal saat kami mendaki jalan setapak yang terjal.

Warung yang ditemukan otomatis menjadi titik pemberhentian. Rezeki bagi pemilik warung, berbagai jenis minuman dan snack yang dijajakan jadi incaran.

Meong unyu nan seksi di sekolah alam
Kami sempat berhenti lagi cukup lama di sebuah sekolah alam. Selain mengudap perbekalan, sebagian dari kami menunaikan salat zuhur. Setelah cukup obrol-obrol, kami lanjutkan perjalanan.

Dalam perjalanan menuju prasasti peninggalan raja Thailand, kami bertemu dua orang anak bernama Teguh (kelas 7) dan Emir (kelas 2). Mereka berasal dari Jakarta dan sedang liburan di Bandung. Dari rumah nenek mereka di Dago Selatan, mereka jalan kaki sampai kawasan Curug Dago! Teguh dan Emir pun jadi seleb dadakan di antara kami, mulai dari ditanya ini-itu sampai diajak foto bersama.

Saya pernah mengunjungi Curug Dago saat saya masih kelas 6, bersama seluruh teman seangkatan. Saat itu kami bisa bermain air di curug. Kini saya lihat lanskapnya kok beda. Curug diapit dinding tinggi. Pengunjung hanya bisa sampai tepi salah satu dinding, itupun jelas dibatasi lagi oleh pagar besi berkarat. Dan saya tidak ingat kalau di tepi dinding itu pula ada dua prasasti. Daratan di hamparan curug pun tampak berwarna-warni oleh sampah, jelas bukan tempat yang enak buat main air.

Apa yang saya kunjungi dulu itu sebenarnya bukan Curug Dago, atau memang ada perubahan dalam kurun 10 tahun?

Bangunan berkosen merah melindungi kedua prasasti dari tangan-tangan jahil. Pada kedua prasasti tersebut terdapat torehan dengan aksara yang barangkali aksara Thailand. Konon seorang raja dari Thailand pernah datang ke Curug Dago untuk bersemadi. Peninggalannya berupa batu yang kini jadi prasasti. Entah berapa puluh tahun kemudian, anak dari raja tersebut yang juga telah menjadi raja Thailand mengunjungi bekas semadi ayahnya. Kedatangannya ditandai dengan sebuah prasasti lagi. Kedua prasasti tersebut dipisahkan jarak beberapa meter.

Hulu Sungai Cikapundung bukanlah terletak di Curug Dago, melainkan Lembang. Namun hulu yang harusnya murni konon malah dijadikan tempat pembuangan limbah peternakan sapi. Padahal Curug Dago berada di ketinggian yang lumayan, tapi airnya masih tampak keruh.

Segelintir sampah di badan Sungai
Cikapundung
Perilaku warga yang masih buang limbah ke sungai memang amat menggugah untuk disesali. Lagi-lagi kami diingatkan untuk mengubah mulai dari diri sendiri. Namun agaknya tak cukup itu, berbagai wacana pun muncul dalam sesi sharing.

Isu lingkungan hidup ternyata bukan minat utama saya, tapi melalui komunitas semacam Aleut ini saya jadi tersentil untuk turut memerhatikan. Bagaimanapun Aleut adalah komunitas belajar, bukan sekadar sarana olahraga bareng dan sosialisasi. Maka saya pulang dari ngaleut dengan rasa tergugah untuk lebih aktif dan peduli, baik kepada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitar. Semoga rasa itu dapat terus bertahan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...