Bandung
adalah sebuah kota besar. Ada yang menyebutnya sebagai kota metropolitan kedua
di Indonesia, setelah Jakarta, namun saya lupa siapa. Pada masa jaya-jayanya
Chaseiro, empat belas pemuda menyenandungkan puisi tentang sang kota. Mereka
adalah Yayat Hendrayana, Jeihan, Soetan Iwan Soekri Munaf, Eddy D. Iskandar,
Diro Aritonang, Rachmat Dst, Anton De Sumartana, Aland Achmad Dachlan, Yessi
Anwar, Beni Setia, Wilson Nadeak, Yuniarso Ridwan, Acep Zamzam Noor, dan Hamid
Jabbar.
Sepertinya
kita perlu termenung setelah membaca empat puluh delapan puisi mereka yang diterbitkan pada tahun 1981 oleh SWAWEDAR69, Bandung, dalam sebuah buku kecil nan tipis ini.
Simaklah
penggalan puisi berikut.
Permadanimu adalah lima ribu kubik sampah/ yang terhampar sehari-hari/ Minyak wangimu adalah udara yang pengap/ oleh bau yang menusuk/…Ada pula yang tergolek di emper-emper/ atau menyuruk ke kolong-kolong jembatan/ mendirikan rumah kardus/(Yayat Hendrayana – Dendang Bandung)
Realitas
tersebut ternyata bukan hal baru. Tiga puluh tahun silam, di kota ini sawah telah tertindih dan bangunan berlomba ke angkasa, didera pameran
harga (Eddy D. Iskandar – Bandung). Udaranya pun telah pengap penuh cemar (Yessi Anwar – Tanah Negriku).
Bahkan ketika kupandang kali cikapundung/ coklat warnanya bagaikan air bajigur/ aku merasa bingung/ begitu banyak orang membersihkan tubuh/ di air keruh/ (Eddy D. Iskandar – Tembang Cikapundung)
Padahal
dalam puisinya yang ditulis pada 16-18 Mei 1981, Tentang Sebuah Kota, Wilson Nadeak mengungkapkan bahwa Antara cihampelas-taman sari, dua puluh lima
tahun lalu… cikapundung yang bening air mengalir dari sawah.
Bukan
semata permasalahan lingkungan, sejak dahulu kala orang kota pun sudah asing
dengan sekitarnya, bahkan terhadap tuhan. Kalau boleh saya tampilkan sebagian puisi Diro Aritonang, Magrib di Alun-alun
Bandung.
keramaian kota jadi asingdi antara orang-orang bertopeng…sementara azan menggema membenturdinding-dinding kotadan tak singgah maupun hinggapdalam hati orang-orang bertopengkarena mereka telah dibisutulikanoleh keterasingannya sendiri?
Fenomena bunuh diri yang dipicu keterasingan diri baru saja diulas dalam KOMPAS, 15
Desember 2011 silam. Dalam artikel bertajuk Rasa
Terasing dan Cari Jalan Pintas, lebih jauh diungkapkan bahwa para pelaku
bunuh diri dari golongan menengah ke atas menghadapi
persoalan eksistensi diri, seperti merasa teralienasi atau merasa hidup sia-sia
karena kehadirannya tidak lagi dianggap berarti bagi orang lain. Muara dari
perasaan ini adalah lemahnya kohesi sosial yang antara lain dikarenakan kian mengecilnya ruang untuk saling menyapa,
saling berbagi, dan membuka diri dengan sesama. Ruang-ruang itu mengecil oleh
persaingan dan pola kerja, prosedur resmi, hedonisme, sikap ortodoks, serta
kian canggihnya alat telekomunikasi yang membuat manusia merasa jauh meski
dekat.
Maka
melalui Doa Urbanis: Terjepit di Sela Kota
Terhimpit Kesibukan Kota, Anton De Sumartana mengungkapkan,
Beri aku gariskan kurakit dijadikan bidangkan dibentuk jadi ruangtempat dialog dan bergumulmengisi hidup kehidupan
Yang
kita butuhkan adalah ruang. Ruang publik. Ruang terbuka hijau. Bahkan ruang
keluarga. Sebuah ruang yang dapat memanusiakan kita, menghidupi kehidupan, sebelum
kota ini tenggelam oleh penduduk yang terus bertumpuk, tertimbun oleh sampah
yang terus berlimpah, maupun berubah jadi penuh basil dan penyakit dengan
dengung lalat yang tiap saat terus merubung—seperti dalam puisi lain Anton De
Sumartana, Mungkinkah?
Semua itu bakal jadi mungkin/ bila dibiarkan renta/ tanpa partisipasi semuanya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar