Kata
kakaknya, marahan lebih dari tiga hari itu tidak baik. Vira sudah marah padaku
lebih dari satu bulan, mungkin dua. Ia minta maaf padaku. Ia bertanya apakah
aku mau menginap di rumah eyangku lagi.
Membaca
kata-katanya di sms, aku jadi terharu. Betapa halus pekerti gadis kecil itu.
Kangenku padanya tiba-tiba memuncak lalu membuncah. Kalau ketemu dia, akan
kupeluk dan kuciumi pipinya.
Kulakukan
itu pada keriaan malam di Kedai Buncong. Absenku tidak harus lama—cukup sekali
dalam bulan di mana aku masih galau akan sikap anak-anak itu padaku. Hanya
karena Vira aku betah menyaksikan eyang-eyang menari.
“Kak
Bibe bulan kemarin enggak datang ya?” tegur Tante Ice setelah aku melepaskan
pelukanku dari Vira.
“Iya
Tante, ada keperluan,” dustaku.
Malam
itu seperti biasa—tanpa ada kakaknya, mamanya, papanya, juga pacar mamanya.
Hanya ada Vira dan sepasang eyangnya. Gadis kecil itu tampak lebih tenang
sehingga terkesan lebih dewasa juga, meski keceriaannya tetap ada. Sampai tiba
di rumah eyangnya aku terus mengamati, kuduga ia sudah bisa menerima kehidupan
asmara mamanya dengan lebih arif.
Entah
Ari. Bocah itu terlihat sama-sama saja. Ketika Vira tidak di dekatku, ia yang
menyongsong. “Eh,” tegurnya. Aku menoleh ke bawah karena tubuhnya yang lebih
pendek dariku. Ia sodorkan selembar uang biru.
“Apa
nih?”
“Ganti
yang kemarin.”
“Enggak
usah. Enggak apa-apa. Aku ikhlas kok!”
“Ambil,”
katanya.
“Enggak,
enggak, enggak mau…” Aku menggeleng. Kujauhkan tubuhku darinya. Ia tidak
memaksa. Ia masukkan lembaran itu ke dalam saku celana dan berlalu.
Ketika
kuamat-amati suasana rumah besar yang sedang sepi itu, bahkan tidak ada Tante
Ri menyambut, ada sedikit sesal karena telah kelewatan kesempatan bermalam di
rumah ini bulan lalu. Bagaimanapun aku telah gegabah, membujuk anak-anak itu
agar mau menerima Om Yan. Biarkan saja mereka menerima keadaan dengan cara
mereka sendiri. Aku akan menahan diriku untuk tidak menyinggung soal ini lagi.
Dan sabar menanti kebahagiaan datang pada mereka semua.
Sebagai
acara pengantar tidur, Vira mengajakku main kartu remi. Sip. Aku akan
mengajarinya poker—kalau ia belum tahu. Tapi ketika ia hanya ingin main
cangkulan, dengan sukarela aku meladeninya.
Ia
cerita kalau Mbak Tutum pulang kampung. Konon tak akan kembali. Sekarang rumah
mereka tanpa pembantu. Papa sedang bantu mencarikan yang baru.
Dengan
bangga, ia mengatakan padaku, “Aku udah bisa nyuci piring sendiri lo Kak.” Ia
juga membantu mamanya menunaikan pekerjaan ringan lain seperti memasukkan
pakaian ke dalam mesin, lalu menjemurnya ketika sudah tuntas dicuci.
“Masakan
Mama ternyata lebih enak dari masakan Mbak Tutum.” Ia tidak bisa berhenti
tersenyum ketika menceritakan mamanya.
Sang
mama juga pernah bekerja di LBH. Ketika anak-anak mengeluh soal pekerjaan rumah
yang harus mereka lakukan sendiri, mama mereka menceritakan tentang orang-orang
yang boro-boro punya pekerjaan rumah, rumah saja tidak ada—digusur satpol PP.
Jika
Vira bisa begitu berbudi pada sang mama, aku yakin tipe bocah macam Ari tak kan
sudi mengerjakan yang seperti itu. Namun kemudian Vira cerita kalau Ari mau
mengelap kaca asal dilakukan bersama. Asal tidak bikin rumah berantakan pun,
itu sudah cukup. Ternyata juga Ari paling suka kalau diminta menyiram tanaman.
“Tapi
kasihan tanamannya. Kak Ari nyiramnya kencang-kencang, jadi tanamannya suka
pada jatuh gitu.” Pasti dikiranya menyiram tanaman itu sama dengan main
tembak-tembakan, aku bisa maklum.
Yang
agak tidak terduga lagi, beberapa saat kemudian Ari bergabung bersama kami.
Daun pintu menyisakan celah sejengkal ketika ia datang dengan sepiring pisang
goreng. Masih panas, baru digoreng Bik Mirah. Aku curiga pisang ini digoreng
dengan bumbu ayam crispy. Di sakunya ternyata ada sekotak kartu uno. “Nih, main
ini aja, lebih seru.” Ia melemparkan kotak tersebut ke tengah-tengah kami.
Vira
mengerang. “Aaah… Aku enggak mau main ini. Kak Ari suka menang terus…”
“Kan
ada Kak Bibe. Entar pasti Adek bisa menang juga kok,” Ari berkata pada adiknya tanpa
melihatku.
Hai,
jangan dikira aku tidak lihai main uno ya.
Tapi
diam-diam aku tersentuh karena sekarang ia mau panggil aku pakai embel-embel
“kak”.
Sementara
aku dan Vira duduk bersila, Ari memainkan kartu-kartunya sambil tiduran. Dalam
waktu singkat ia memenangkan permainan. Masih sambil tiduran, ia menggeser
tubuhnya ke dekat Vira, mengamati kartu-kartu yang dipegang adiknya, lalu
membisikkan strategi-strategi, dan tahu-tahu kartu di tangan Vira habis sebelum
aku sempat teriak “Uno!”
Yang
terjadi pada putaran berikutnya hampir sama. Putaran ketiga, aku coba untuk
terus mengerahkan kesabaran. Aku pemain uno yang cukup lihai di antara
kawan-kawan sekolahku. Beri aku kesempatan sekali atau beberapa kali lagi, aku
pasti bisa mengalahkan bocah SMP itu!
Supaya
tidak terkesan begitu serius, tegang juga sebetulnya, aku coba cairkan dengan
basa-basi juga. “Mama tadi udah tidur ya, Vira?” tanyaku. Kalau aku tanya pada
Ari juga, aku tahu ia tidak akan menggubris.
“Mm…
Mama bilang tadi nginep di rumah temennya…” Vira mengamati kartu-kartunya
dengan serius juga rupanya. Kakaknya masih pegang kartu sendiri, jadi tidak ada
yang membantunya.
Bola
mata Ari naik ke atas sekilas, mengarah adiknya, lalu turun lagi pada
kartunya—ya, kartu di tangannya tahu-tahu tinggal satu saja dan ia mengucap
“uno” tanpa terduga-duga. “Bukan di rumah temennya, tapi sama om itu nginep di
Preanger.”
Mendadak
aku jadi kaku betulan.
“Hah…
Ngapain…?” Nada Vira sudah terusik. Dahinya berkerut, bibirnya menyempit.
Perhatiannya sudah tidak lagi pada kartu-kartu.
“Tahu…
Ngapain…” respons Ari dengan cuek. Lanjutnya, “Sering ketemuan kok, diem-diem.
Makanya Mbak Tutum pulang juga…”
“Kak…”
“…om
itu yang nemenin Mama tidur di rumah pas kita lagi di rumah Papa.”
Aduh.
Aku juga tidak bisa mengontrol debaran di dadaku.
“…suka
main di kantor Mama juga…”
“Kak
Ari bohong ah!”
“Bohong
kan dosa.”
Ketika
kulihat Vira, matanya sudah berkaca-kaca. Bibirnya sebisa mungkin menahan isak.
Aduh. Aduh. Aduh! Langsung kurengkuh gadis kecil itu. Kubenamkan kepalanya ke
dadaku. Hangat dan basah. Tubuhnya bergetar. Tanpa suara, kuucapkan pada Ari,
“Jangan main-main!”
Tatapan
acuh tak acuh bocah itu mengarah padaku. Aku tidak bisa membaca yang ia katakan
tadi serius atau hanya main-main. Kosong saja di sana, sekelam warna matanya.
Ekspresinya begitu datar. Tatapannya beralih pada adiknya. Posisinya ganti jadi
duduk. Ia menyeret tubuh sehingga berada lebih dekat dengan adiknya. Ia
menepuk-nepuk pundak Vira.
Gadis
berwajah sembap itu menoleh. Mendadak ekspresi kakaknya jadi jenaka. Matanya
turun. Lidah terjulur. “Iya, boong…”
Aku
terkesiap.
Lukito
si muka kontras.
Bocah
itu mengulurkan tangan. “Maafin Kakak yah.”
Sebelah
tangan menyambut uluran tangan Ari, sedang sebelah tangan lagi bergantian
mengusap mata kanan dan mata kiri. Sesekali sengguknya lepas. Katanya dengan
nada merajuk, “Kak Ari bercandanya keterlaluan… Aku kan jadi takut om itu
beneran ngapa-ngapain Mama…” Mulutnya mencebik lagi. Sedunya kembali lepas,
namun tertahan lekas.
“Enggak…
Enggak… Enggak ngapa-ngapain kok Vira…” Masih kurangkul tubuhnya, sambil
sesekali kutepuk-tepuk, lebih untuk menenangkan diriku sendiri. Aku jadi ikut
risau begini. Vira masih cemberut. Aku eratkan pelukanku. “Udah enggak apa-apa.
Kak Ari kan cuman bercanda, enggak usah dianggep… Yah? Kita main lagi ya?”
Tatapan
tajam Ari masih lekat padaku. Kubalas dengan berani. Ia benar-benar tak
berperasaan.
“Vira
mau tidur aja Kak Bibe…” Ia menjatuhkan diri ke atas kasur. Tarikan nafasnya
masih beserta isak. Aku bereskan kartu-kartu. Ari keluar kamar begitu saja. Ia
tak lupa menutup pintu.
Jadi
aku harus membereskan piring yang dibawanya juga. Masih tersisa beberapa pisang
goreng di sana. Masak kutaruh semalaman di kamar? Jadi aku keluar kamar juga.
Akan kutaruh piring ini di dapur sekalian mencari sesuatu untuk menutupnya.
Lampu-lampu
di luar kamar sudah dinyalakan. Yang terang membias di gorden adalah lampu di
beranda, juga teras. Dalam kegelapan samar, masih bisa kubaca jam di dinding.
Sudah ganti hari. Pantas tinggal dengkur mengambang. Namun dapur menyala.
Aku
menemukan bocah itu lagi di ruangan nan luas itu. Kedua kakinya naik ke atas
meja besar di tengah ruangan. Ia minum susu cokelat langsung dari kotak besar.
Sesekali terdengar decaknya. Ia jilati juga sekitar bibirnya. Betul-betul deh
tingkahnya…
Setelah
menutup piring dengan tutup panci, “Ari,” kataku pelan, berusaha untuk
terdengar lembut, “Kak Bibe bukannya mau ikut campur… Tapi… Sikap Ari kok gitu
sih sama adiknya?”
“Sikap
yang mana?” tanyanya tanpa melihatku. Kepalanya tengadah. Mulutnya terbuka
hendak menangkap tetes-tetes terakhir dari dalam kotak.
“Itu
lo… Bercandaan kamu tadi itu… Enggak pantes…” Aku menarik kursi lalu duduk di
hadapannya. Tapi ia malah menaruh kotak susunya di atas meja, mengitari meja
hingga sampai ke belakangku. Ada kulkas di sana. Ia mencari-cari sesuatu.
Sepertinya ia tidak mendengarkanku. Ah sudahlah. Tapi selama ia belum
meninggalkan ruangan ini, begitupun juga aku. Kurasakan geram mulai
meronta-ronta untuk dikeluarkan.
Ia
duduk di tempatnya semula. Sebatang cokelat meluncur ke hadapanku. Di tangannya
ada cokelat serupa. “Nyanteilah…” katanya, seolah hendak menegaskan slogan
merek cokelat tersebut—santai belum lengkap tanpanya.
Karena
ia tidak kunjung bicara lagi, malah asyik melahap cokelat seakan hanya ada
mereka berdua di dunia ini, aku putar otak untuk mencari kalimat yang layak
dilontarkan.
“Betulan,”
katanya tiba-tiba.
“Apanya?”
responsku, masih agak kaget.
“Iya…
Gua betulan tadi ngomongnya…” ujarnya dengan agak senewen.
Tengkukku
jadi terasa dingin lagi. Kugali-gali ingatan mengenai ucapan Ari yang jadi
perkara itu. Aduh. Aku tak percaya. Aku tak mau. “Ya… Prasangka baik aja Ari…
Mereka enggak ngapa-ngapain, cuman ketemu…” Iya, Om Yan bilang, ia hanya
bertemu dengan Tante Ri sesekali, itu saja Mereka sepasang kekasih di masa
lalu, wajar kan kalau mereka ingin bernostalgia?
Memang
selebihnya aku tidak tahu mereka berbuat apa…
“Enggak
usah pakai prasangka-prasangkaan. Sebagian prasangka itu kan dosa.”
“Iyaa…
Prasangka itu kan ada prasangka baik, sama prasangka buruk. Yang enggak boleh
itu prasangka buruk.”
“Prasangka
ya prasangka. Lo pingin tahu faktanya kan. Kalau lo masih pakai prasangka juga,
faktanya entar bisa kabur.” Gayanya bicara seakan ia jauh lebih tua dari anak
seumurannya. Kakinya turun. Punggungnya tidak lagi bersandar. Tubuhnya condong
padaku. Mimik wajahnya melunak. “Aku cuman pingin Kak Bibe tahu,” katanya
dengan intonasi tenang, “kalau orang yang Kak Bibe bela-belain itu bajingan.”
“Ari,
biar ini jadi urusannya Mama Ari sama om itu aja ya,” selaku cepat-cepat.
“Urusan
kami, iya, tapi bukan urusan kamu.”
Baiklah,
aku hanya seorang kenalan yang disukai dari sebuah perkumpulan yang didominasi
manula.
“Kalau
mau menilai orang itu kan harus ada buktinya…” Emosiku makin susah ditekan.
“Aku
tahu. Fitnah itu lebih keji dari pembunuhan, kalau mau tanya itu ayat berapa
sama arabnya juga aku hapal… Dan itu juga dosa.”
“Jadi
kamu tahu darimana?” Kenapa sih anak itu selalu mengungkit tentang dosa, dosa,
dan dosa? “Kalau ada buktinya, baru omongan kamu bisa dipercaya.”
Kubalas
sorot yang memancar dari mata bulat hitamnya dengan tatapan menantang. Tapi
alisnya yang terpahat tajam itu tidak lagi mengindikasikan serangan. “Kak Bibe,
berani enggak, buka-buka sendiri HP mama aku?”
Kalaupun
Tante Ri sudah di rumah, ketika aku pamit pada Vira dan para eyang esok
paginya, mana mungkin aku melakukan itu. Mana mungkin aku membuktikan sendiri.
Mana mungkin omongan bocah sok jenius itu bisa dipercaya.
Malam
itu, ketika aku kembali ke peraduan, kulekatkan pipiku pada pipi Vira. Gadis
kecil itu terbangun. Kupandangi ia dengan sendu, tapi ia membalasnya dengan
kepolosan. Seakan guncangan yang tadi sempat menimpa sudah sungguh mereda.
“Kenapa Kak Bibe?” Suaranya terdengar parau.
“Enggak
apa-apa…” kataku. “Pingin dekat Vira aja.”
Ia
pejamkan lagi matanya sambil tersenyum, lalu memelukku. Kubalas pelukannya.
Aku
tidak mau ke rumah ini lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar