Kamis, 08 Desember 2011

“…om itu yang suka nemenin Mama…”

Kata kakaknya, marahan lebih dari tiga hari itu tidak baik. Vira sudah marah padaku lebih dari satu bulan, mungkin dua. Ia minta maaf padaku. Ia bertanya apakah aku mau menginap di rumah eyangku lagi.

Membaca kata-katanya di sms, aku jadi terharu. Betapa halus pekerti gadis kecil itu. Kangenku padanya tiba-tiba memuncak lalu membuncah. Kalau ketemu dia, akan kupeluk dan kuciumi pipinya.

Kulakukan itu pada keriaan malam di Kedai Buncong. Absenku tidak harus lama—cukup sekali dalam bulan di mana aku masih galau akan sikap anak-anak itu padaku. Hanya karena Vira aku betah menyaksikan eyang-eyang menari.

“Kak Bibe bulan kemarin enggak datang ya?” tegur Tante Ice setelah aku melepaskan pelukanku dari Vira.

“Iya Tante, ada keperluan,” dustaku.

Malam itu seperti biasa—tanpa ada kakaknya, mamanya, papanya, juga pacar mamanya. Hanya ada Vira dan sepasang eyangnya. Gadis kecil itu tampak lebih tenang sehingga terkesan lebih dewasa juga, meski keceriaannya tetap ada. Sampai tiba di rumah eyangnya aku terus mengamati, kuduga ia sudah bisa menerima kehidupan asmara mamanya dengan lebih arif.

Entah Ari. Bocah itu terlihat sama-sama saja. Ketika Vira tidak di dekatku, ia yang menyongsong. “Eh,” tegurnya. Aku menoleh ke bawah karena tubuhnya yang lebih pendek dariku. Ia sodorkan selembar uang biru.

“Apa nih?”

“Ganti yang kemarin.”

“Enggak usah. Enggak apa-apa. Aku ikhlas kok!”

“Ambil,” katanya.

“Enggak, enggak, enggak mau…” Aku menggeleng. Kujauhkan tubuhku darinya. Ia tidak memaksa. Ia masukkan lembaran itu ke dalam saku celana dan berlalu.

Ketika kuamat-amati suasana rumah besar yang sedang sepi itu, bahkan tidak ada Tante Ri menyambut, ada sedikit sesal karena telah kelewatan kesempatan bermalam di rumah ini bulan lalu. Bagaimanapun aku telah gegabah, membujuk anak-anak itu agar mau menerima Om Yan. Biarkan saja mereka menerima keadaan dengan cara mereka sendiri. Aku akan menahan diriku untuk tidak menyinggung soal ini lagi. Dan sabar menanti kebahagiaan datang pada mereka semua.

Sebagai acara pengantar tidur, Vira mengajakku main kartu remi. Sip. Aku akan mengajarinya poker—kalau ia belum tahu. Tapi ketika ia hanya ingin main cangkulan, dengan sukarela aku meladeninya.

Ia cerita kalau Mbak Tutum pulang kampung. Konon tak akan kembali. Sekarang rumah mereka tanpa pembantu. Papa sedang bantu mencarikan yang baru.

Dengan bangga, ia mengatakan padaku, “Aku udah bisa nyuci piring sendiri lo Kak.” Ia juga membantu mamanya menunaikan pekerjaan ringan lain seperti memasukkan pakaian ke dalam mesin, lalu menjemurnya ketika sudah tuntas dicuci.

“Masakan Mama ternyata lebih enak dari masakan Mbak Tutum.” Ia tidak bisa berhenti tersenyum ketika menceritakan mamanya.

Sang mama juga pernah bekerja di LBH. Ketika anak-anak mengeluh soal pekerjaan rumah yang harus mereka lakukan sendiri, mama mereka menceritakan tentang orang-orang yang boro-boro punya pekerjaan rumah, rumah saja tidak ada—digusur satpol PP.

Jika Vira bisa begitu berbudi pada sang mama, aku yakin tipe bocah macam Ari tak kan sudi mengerjakan yang seperti itu. Namun kemudian Vira cerita kalau Ari mau mengelap kaca asal dilakukan bersama. Asal tidak bikin rumah berantakan pun, itu sudah cukup. Ternyata juga Ari paling suka kalau diminta menyiram tanaman.

“Tapi kasihan tanamannya. Kak Ari nyiramnya kencang-kencang, jadi tanamannya suka pada jatuh gitu.” Pasti dikiranya menyiram tanaman itu sama dengan main tembak-tembakan, aku bisa maklum.

Yang agak tidak terduga lagi, beberapa saat kemudian Ari bergabung bersama kami. Daun pintu menyisakan celah sejengkal ketika ia datang dengan sepiring pisang goreng. Masih panas, baru digoreng Bik Mirah. Aku curiga pisang ini digoreng dengan bumbu ayam crispy. Di sakunya ternyata ada sekotak kartu uno. “Nih, main ini aja, lebih seru.” Ia melemparkan kotak tersebut ke tengah-tengah kami.

Vira mengerang. “Aaah… Aku enggak mau main ini. Kak Ari suka menang terus…”

“Kan ada Kak Bibe. Entar pasti Adek bisa menang juga kok,” Ari berkata pada adiknya tanpa melihatku.

Hai, jangan dikira aku tidak lihai main uno ya.

Tapi diam-diam aku tersentuh karena sekarang ia mau panggil aku pakai embel-embel “kak”.

Sementara aku dan Vira duduk bersila, Ari memainkan kartu-kartunya sambil tiduran. Dalam waktu singkat ia memenangkan permainan. Masih sambil tiduran, ia menggeser tubuhnya ke dekat Vira, mengamati kartu-kartu yang dipegang adiknya, lalu membisikkan strategi-strategi, dan tahu-tahu kartu di tangan Vira habis sebelum aku sempat teriak “Uno!”

Yang terjadi pada putaran berikutnya hampir sama. Putaran ketiga, aku coba untuk terus mengerahkan kesabaran. Aku pemain uno yang cukup lihai di antara kawan-kawan sekolahku. Beri aku kesempatan sekali atau beberapa kali lagi, aku pasti bisa mengalahkan bocah SMP itu!

Supaya tidak terkesan begitu serius, tegang juga sebetulnya, aku coba cairkan dengan basa-basi juga. “Mama tadi udah tidur ya, Vira?” tanyaku. Kalau aku tanya pada Ari juga, aku tahu ia tidak akan menggubris.

“Mm… Mama bilang tadi nginep di rumah temennya…” Vira mengamati kartu-kartunya dengan serius juga rupanya. Kakaknya masih pegang kartu sendiri, jadi tidak ada yang membantunya.

Bola mata Ari naik ke atas sekilas, mengarah adiknya, lalu turun lagi pada kartunya—ya, kartu di tangannya tahu-tahu tinggal satu saja dan ia mengucap “uno” tanpa terduga-duga. “Bukan di rumah temennya, tapi sama om itu nginep di Preanger.”

Mendadak aku jadi kaku betulan.

“Hah… Ngapain…?” Nada Vira sudah terusik. Dahinya berkerut, bibirnya menyempit. Perhatiannya sudah tidak lagi pada kartu-kartu.

“Tahu… Ngapain…” respons Ari dengan cuek. Lanjutnya, “Sering ketemuan kok, diem-diem. Makanya Mbak Tutum pulang juga…”

“Kak…”

“…om itu yang nemenin Mama tidur di rumah pas kita lagi di rumah Papa.”

Aduh. Aku juga tidak bisa mengontrol debaran di dadaku.

“…suka main di kantor Mama juga…”

“Kak Ari bohong ah!”

“Bohong kan dosa.”

Ketika kulihat Vira, matanya sudah berkaca-kaca. Bibirnya sebisa mungkin menahan isak. Aduh. Aduh. Aduh! Langsung kurengkuh gadis kecil itu. Kubenamkan kepalanya ke dadaku. Hangat dan basah. Tubuhnya bergetar. Tanpa suara, kuucapkan pada Ari, “Jangan main-main!”

Tatapan acuh tak acuh bocah itu mengarah padaku. Aku tidak bisa membaca yang ia katakan tadi serius atau hanya main-main. Kosong saja di sana, sekelam warna matanya. Ekspresinya begitu datar. Tatapannya beralih pada adiknya. Posisinya ganti jadi duduk. Ia menyeret tubuh sehingga berada lebih dekat dengan adiknya. Ia menepuk-nepuk pundak Vira.

Gadis berwajah sembap itu menoleh. Mendadak ekspresi kakaknya jadi jenaka. Matanya turun. Lidah terjulur. “Iya, boong…”

Aku terkesiap.

Lukito si muka kontras.

Bocah itu mengulurkan tangan. “Maafin Kakak yah.”

Sebelah tangan menyambut uluran tangan Ari, sedang sebelah tangan lagi bergantian mengusap mata kanan dan mata kiri. Sesekali sengguknya lepas. Katanya dengan nada merajuk, “Kak Ari bercandanya keterlaluan… Aku kan jadi takut om itu beneran ngapa-ngapain Mama…” Mulutnya mencebik lagi. Sedunya kembali lepas, namun tertahan lekas.

“Enggak… Enggak… Enggak ngapa-ngapain kok Vira…” Masih kurangkul tubuhnya, sambil sesekali kutepuk-tepuk, lebih untuk menenangkan diriku sendiri. Aku jadi ikut risau begini. Vira masih cemberut. Aku eratkan pelukanku. “Udah enggak apa-apa. Kak Ari kan cuman bercanda, enggak usah dianggep… Yah? Kita main lagi ya?”

Tatapan tajam Ari masih lekat padaku. Kubalas dengan berani. Ia benar-benar tak berperasaan.

“Vira mau tidur aja Kak Bibe…” Ia menjatuhkan diri ke atas kasur. Tarikan nafasnya masih beserta isak. Aku bereskan kartu-kartu. Ari keluar kamar begitu saja. Ia tak lupa menutup pintu.

Jadi aku harus membereskan piring yang dibawanya juga. Masih tersisa beberapa pisang goreng di sana. Masak kutaruh semalaman di kamar? Jadi aku keluar kamar juga. Akan kutaruh piring ini di dapur sekalian mencari sesuatu untuk menutupnya.

Lampu-lampu di luar kamar sudah dinyalakan. Yang terang membias di gorden adalah lampu di beranda, juga teras. Dalam kegelapan samar, masih bisa kubaca jam di dinding. Sudah ganti hari. Pantas tinggal dengkur mengambang. Namun dapur menyala.

Aku menemukan bocah itu lagi di ruangan nan luas itu. Kedua kakinya naik ke atas meja besar di tengah ruangan. Ia minum susu cokelat langsung dari kotak besar. Sesekali terdengar decaknya. Ia jilati juga sekitar bibirnya. Betul-betul deh tingkahnya…

Setelah menutup piring dengan tutup panci, “Ari,” kataku pelan, berusaha untuk terdengar lembut, “Kak Bibe bukannya mau ikut campur… Tapi… Sikap Ari kok gitu sih sama adiknya?”

“Sikap yang mana?” tanyanya tanpa melihatku. Kepalanya tengadah. Mulutnya terbuka hendak menangkap tetes-tetes terakhir dari dalam kotak.

“Itu lo… Bercandaan kamu tadi itu… Enggak pantes…” Aku menarik kursi lalu duduk di hadapannya. Tapi ia malah menaruh kotak susunya di atas meja, mengitari meja hingga sampai ke belakangku. Ada kulkas di sana. Ia mencari-cari sesuatu. Sepertinya ia tidak mendengarkanku. Ah sudahlah. Tapi selama ia belum meninggalkan ruangan ini, begitupun juga aku. Kurasakan geram mulai meronta-ronta untuk dikeluarkan.

Ia duduk di tempatnya semula. Sebatang cokelat meluncur ke hadapanku. Di tangannya ada cokelat serupa. “Nyanteilah…” katanya, seolah hendak menegaskan slogan merek cokelat tersebut—santai belum lengkap tanpanya.

Karena ia tidak kunjung bicara lagi, malah asyik melahap cokelat seakan hanya ada mereka berdua di dunia ini, aku putar otak untuk mencari kalimat yang layak dilontarkan.

“Betulan,” katanya tiba-tiba.

“Apanya?” responsku, masih agak kaget.

“Iya… Gua betulan tadi ngomongnya…” ujarnya dengan agak senewen.

Tengkukku jadi terasa dingin lagi. Kugali-gali ingatan mengenai ucapan Ari yang jadi perkara itu. Aduh. Aku tak percaya. Aku tak mau. “Ya… Prasangka baik aja Ari… Mereka enggak ngapa-ngapain, cuman ketemu…” Iya, Om Yan bilang, ia hanya bertemu dengan Tante Ri sesekali, itu saja Mereka sepasang kekasih di masa lalu, wajar kan kalau mereka ingin bernostalgia?

Memang selebihnya aku tidak tahu mereka berbuat apa…

“Enggak usah pakai prasangka-prasangkaan. Sebagian prasangka itu kan dosa.”

“Iyaa… Prasangka itu kan ada prasangka baik, sama prasangka buruk. Yang enggak boleh itu prasangka buruk.”

“Prasangka ya prasangka. Lo pingin tahu faktanya kan. Kalau lo masih pakai prasangka juga, faktanya entar bisa kabur.” Gayanya bicara seakan ia jauh lebih tua dari anak seumurannya. Kakinya turun. Punggungnya tidak lagi bersandar. Tubuhnya condong padaku. Mimik wajahnya melunak. “Aku cuman pingin Kak Bibe tahu,” katanya dengan intonasi tenang, “kalau orang yang Kak Bibe bela-belain itu bajingan.”

“Ari, biar ini jadi urusannya Mama Ari sama om itu aja ya,” selaku cepat-cepat.

“Urusan kami, iya, tapi bukan urusan kamu.”

Baiklah, aku hanya seorang kenalan yang disukai dari sebuah perkumpulan yang didominasi manula.

“Kalau mau menilai orang itu kan harus ada buktinya…” Emosiku makin susah ditekan.

“Aku tahu. Fitnah itu lebih keji dari pembunuhan, kalau mau tanya itu ayat berapa sama arabnya juga aku hapal… Dan itu juga dosa.”

“Jadi kamu tahu darimana?” Kenapa sih anak itu selalu mengungkit tentang dosa, dosa, dan dosa? “Kalau ada buktinya, baru omongan kamu bisa dipercaya.”

Kubalas sorot yang memancar dari mata bulat hitamnya dengan tatapan menantang. Tapi alisnya yang terpahat tajam itu tidak lagi mengindikasikan serangan. “Kak Bibe, berani enggak, buka-buka sendiri HP mama aku?”

Kalaupun Tante Ri sudah di rumah, ketika aku pamit pada Vira dan para eyang esok paginya, mana mungkin aku melakukan itu. Mana mungkin aku membuktikan sendiri. Mana mungkin omongan bocah sok jenius itu bisa dipercaya.

Malam itu, ketika aku kembali ke peraduan, kulekatkan pipiku pada pipi Vira. Gadis kecil itu terbangun. Kupandangi ia dengan sendu, tapi ia membalasnya dengan kepolosan. Seakan guncangan yang tadi sempat menimpa sudah sungguh mereda. “Kenapa Kak Bibe?” Suaranya terdengar parau.

“Enggak apa-apa…” kataku. “Pingin dekat Vira aja.”

Ia pejamkan lagi matanya sambil tersenyum, lalu memelukku. Kubalas pelukannya.

Aku tidak mau ke rumah ini lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain