Selasa, 27 Desember 2011

Epilog

Mulai hari ini, umurku telah berganti jadi 19. Statusku juga sudah ganti, dari pelajar SMA menjadi mahasiswa manajemen di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung. Papa belum membelikanku motor, tapi ia berjanji. Sebentar lagi, katanya. Biar hari itu lewat dulu.

Yang terang dalam rumah hanya cahaya dari layar laptopku saja. Sudah hampir setengah jam ini Om Yan menemaniku di Skype. Ia memainkan lagu ulang tahun yang indah untukku dengan piano. Ia masih diterangi cahaya matahari di kantornya di sebuah college khusus musik di Boston. Ia memang suka berpakaian formal.

Cuti panjangnya sebetulnya belum habis. Tapi ia sudah rindu untuk kembali bekerja.

“Ha ha… Kerja terus sih… Makanya enggak dapet-dapet istri,” ledekku.

Ia tersenyum saja, tanpa tersirat sama sekali kalau ia tersinggung atau apa. Itu memang bukan pilihannya. Sesuatu yang masih kerap bikin aku sendu. Dan bingung. Ah entahlah. Tidak mungkin aku mengorek pribadi orang sampai sebegitu jauh bukan?

“Papaku telepon Om.” Aku menunjukkan ponselku yang menyala.

“Oke Bibe.”

Kami menyudahi percakapan kami malam itu. Ia masih tetap seorang ayah yang baik bagiku. Aku belum bisa lekang darinya.

Aku benar-benar menyayanginya.

Dan menyayangkan perbedaan di antara kami.

“Assalamualaikum Bibe…”

“Waalaikum salam Papa…”

“Belum tidur?”

“Iya nih, masih nunggu dibeliin motor…”

Papa terkekeh. “Di mana?”

“Di rumahlah…”

Lagipula sedang ada Om Pir di rumah Tante As. Tuh. Aku langsung ingat wajah sepupu mungilku nan cantik. Bagaimanapun juga, akhir minggu ini aku harus ke sana!

 “Be, Papa belum sempat ngoreksi, maaf ya Bibe.”

Memoarku.

“Iya Papa…”

Memang sudah dua hari ini papaku ditugaskan ke luar kota. 

“Tapi ini udah Papa cetak. Ini lagi dicoret-coret… “

“Menurut Papa gimana?”

“Ini yang utuh baru prakatanya doang ya Be?”

“Hehehe…”

Satu dari enam puluh tujuh halaman. Kuakui, memoarku itu memang belum utuh. Mungkin aku butuh puluhan tahun lagi untuk menyelesaikannya.

“Baik kok, prakatanya…”

Papa membacakannya.

 

Aku ingin tahu apakah Papa pernah baca “Dunia Sophie”. Seandainya saja novel tersebut adalah hadiah buatan Papa untukku, dan bukannya buatan siapa itu untuk anaknya, aku ingin membuat karya balasan yang tidak kalah menakjubkan. Tapi kemudian aku berpikir lagi kalau yang Papa butuhkan bukan lagi pelajaran filsafat atau ucapan selamat ulang tahun yang bertebaran di mana-mana dan sesuai selera Papa, dibawakan oleh para tokoh politik dunia—bukannya para tokoh Disney, maka aku hanya akan membuat sesuatu yang lain. Sesuatu yang aku ingin bagi. Sayang sekali, sebagaimana Papa selalu menulis untuk kebutuhan orang banyak, maka aku menulis ini bukan hanya untuk Papa. Aku juga ingin belajar menulis bagi orang banyak. Semoga aku bisa menulis sebaik Papa. Aku mohon Papa sudi mengoreksi.

 

            “…tapi Papa udah nyiapin hadiah lain…”

Aku disuruh mencarinya sendiri.

“Di mana sih?” tanyaku, langsung penasaran sekaligus tak sabaran.

“Ah, carilah sendiri di kamar…”

“Beuh, entar kalau aku nemu barang yang aneh-aneh gimana?”

“Barang yang aneh macam apa? Ya udah itu cari di sekitar lemari!”

Sambungan kami tidak serta-merta putus. Aku menyalakan lampu kamar orangtuaku, langsung mengarah ke lemari, dan mengobrak-abrik isinya. Papa cerita mengenai petualangannya di Samarinda.

Di laci lemari, aku menemukan sebuah plastik putih. Ada kotak di dalamnya. Bon yang menyerta kotak tersebut menunjukkan bahwa pembelian dilakukan sebulan lalu. Kotak itu berisi test pack. Ada dua garis merah tertera di sana.

Saking terperangah, kontan aku menutup mulut.

“Masih di sana Be?” tegur papaku.

“Ma—masih Pa. Udah ketemu hadiahnya…”

“Gimana?”

“Positif Pa.”

“Ha? Apanya yang positif? Coba dipakai dulu!”

Yang benar saja. Pasti bukan ini kadonya!

Ketika aku menutup lemari, sebuah buntalan menjatuhiku. Buntalan tersebut dibungkus kertas kado. Aku melaporkannya pada Papa. Kata Papa, “Oh ya, itu, coba buka.”

Aku menurutinya. Tersenyum. Laporku lagi, “Pa, aku kejatuhan jilbab.”

Tinggal menunggu Mama pulang. Aku mencoba-coba jilbab pemberian Papa sambil membayangkan reaksi Om Yan melihatku berjilbab. Apa Om Yan bakal berani menciumku lagi? He he he.

Sambungan telepon dari Papa sudah terputus. Aku masih mematut-matut diriku di cermin. Karakter wajahku lebih menonjol ketika rambutku tertutup jilbab. Aku tidak usah selalu mencemaskan rambutku apakah masih enak dilihat atau tidak. Karena yang utama hanya senyumku.

 Namun terhibur oleh penampilanku sendiri tidak berarti gundahku tergusah. Aku bukannya tidak ingin adik lagi—apalagi dari orangtuaku sendiri. Aku juga tidak ingin meragukan kekuatan Mama, tapi tahun ini usianya akan 43 tahun. Sudah rawan untuk melahirkan. Aku ingin mamaku hidup sampai renta dan merasakan nikmatnya merawat anak-anakku—cucu-cucunya—kelak.

Suara-suara yang muncul dari depan rumah menandakan kepulangan Mama. Kusampirkan jilbab di pundak. Pintu memang tidak aku kunci, namun aku hanya ingin menyongsong Mama.

“Selamat ulang tahun Bibe!” kata Mama begitu wajah kami bertemu. Ah… Perut sudah berisi, masih pulang selarut ini. Bandel. Namun aku sudah berpengalaman menangani yang semacam dia sebelumnya. Kali ini aku akan memperlakukannya dengan lebih baik.

Lantas kupeluk dirinya. Dan kukatakan, “Enggak, Ma. Seharusnya aku yang harusnya ngasih selamat ke Mama, atas perjuangan hidup dan mati Mama sembilan belas tahun lalu supaya aku bisa lahir ke dunia ini.”

Aku memeluknya semakin erat. Aku merasa nyaman sekali saat perut kami bersentuhan. Perutnya yang mulai membuncit.

 

-akhir-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain