Mulai hari ini, umurku telah
berganti jadi 19. Statusku juga sudah ganti, dari pelajar SMA menjadi mahasiswa
manajemen di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung. Papa belum membelikanku
motor, tapi ia berjanji. Sebentar lagi, katanya. Biar hari itu lewat dulu.
Yang terang dalam rumah hanya
cahaya dari layar laptopku saja. Sudah hampir setengah jam ini Om Yan
menemaniku di Skype. Ia memainkan lagu ulang tahun yang indah untukku dengan
piano. Ia masih diterangi cahaya matahari di kantornya di sebuah college khusus
musik di Boston. Ia memang suka berpakaian formal.
Cuti panjangnya sebetulnya
belum habis. Tapi ia sudah rindu untuk kembali bekerja.
“Ha ha… Kerja terus sih…
Makanya enggak dapet-dapet istri,” ledekku.
Ia tersenyum saja, tanpa
tersirat sama sekali kalau ia tersinggung atau apa. Itu memang bukan
pilihannya. Sesuatu yang masih kerap bikin aku sendu. Dan bingung. Ah entahlah.
Tidak mungkin aku mengorek pribadi orang sampai sebegitu jauh bukan?
“Papaku telepon Om.” Aku
menunjukkan ponselku yang menyala.
“Oke Bibe.”
Kami menyudahi percakapan kami
malam itu. Ia masih tetap seorang ayah yang baik bagiku. Aku belum bisa lekang
darinya.
Aku benar-benar menyayanginya.
Dan menyayangkan perbedaan di
antara kami.
“Assalamualaikum Bibe…”
“Waalaikum salam Papa…”
“Belum tidur?”
“Iya nih, masih nunggu
dibeliin motor…”
Papa terkekeh. “Di mana?”
“Di rumahlah…”
Lagipula sedang ada Om Pir di
rumah Tante As. Tuh. Aku langsung ingat wajah sepupu mungilku nan cantik.
Bagaimanapun juga, akhir minggu ini aku harus ke sana!
“Be, Papa belum sempat ngoreksi, maaf ya
Bibe.”
Memoarku.
“Iya Papa…”
Memang sudah dua hari ini
papaku ditugaskan ke luar kota.
“Tapi ini udah Papa cetak. Ini lagi
dicoret-coret… “
“Menurut Papa gimana?”
“Ini yang utuh baru prakatanya
doang ya Be?”
“Hehehe…”
Satu dari enam puluh tujuh
halaman. Kuakui, memoarku itu memang belum utuh. Mungkin aku butuh puluhan
tahun lagi untuk menyelesaikannya.
“Baik kok, prakatanya…”
Papa membacakannya.
Aku ingin tahu apakah Papa pernah baca “Dunia Sophie”.
Seandainya saja novel tersebut adalah hadiah buatan Papa untukku, dan bukannya
buatan siapa itu untuk anaknya, aku ingin membuat karya balasan yang tidak
kalah menakjubkan. Tapi kemudian aku berpikir lagi kalau yang Papa butuhkan
bukan lagi pelajaran filsafat atau ucapan selamat ulang tahun yang bertebaran
di mana-mana dan sesuai selera Papa, dibawakan oleh para tokoh politik
dunia—bukannya para tokoh Disney, maka aku hanya akan membuat sesuatu yang
lain. Sesuatu yang aku ingin bagi. Sayang sekali, sebagaimana Papa selalu
menulis untuk kebutuhan orang banyak, maka aku menulis ini bukan hanya untuk
Papa. Aku juga ingin belajar menulis bagi orang banyak. Semoga aku bisa menulis
sebaik Papa. Aku mohon Papa sudi mengoreksi.
“…tapi Papa udah nyiapin hadiah
lain…”
Aku disuruh mencarinya
sendiri.
“Di mana sih?” tanyaku,
langsung penasaran sekaligus tak sabaran.
“Ah, carilah sendiri di
kamar…”
“Beuh, entar kalau aku nemu
barang yang aneh-aneh gimana?”
“Barang yang aneh macam apa?
Ya udah itu cari di sekitar lemari!”
Sambungan kami tidak
serta-merta putus. Aku menyalakan lampu kamar orangtuaku, langsung mengarah ke
lemari, dan mengobrak-abrik isinya. Papa cerita mengenai petualangannya di
Samarinda.
Di laci lemari, aku menemukan
sebuah plastik putih. Ada kotak di dalamnya. Bon yang menyerta kotak tersebut
menunjukkan bahwa pembelian dilakukan sebulan lalu. Kotak itu berisi test pack.
Ada dua garis merah tertera di sana.
Saking terperangah, kontan aku
menutup mulut.
“Masih di sana Be?” tegur
papaku.
“Ma—masih Pa. Udah ketemu
hadiahnya…”
“Gimana?”
“Positif Pa.”
“Ha? Apanya yang positif? Coba
dipakai dulu!”
Yang benar saja. Pasti bukan
ini kadonya!
Ketika aku menutup lemari,
sebuah buntalan menjatuhiku. Buntalan tersebut dibungkus kertas kado. Aku
melaporkannya pada Papa. Kata Papa, “Oh ya, itu, coba buka.”
Aku menurutinya. Tersenyum.
Laporku lagi, “Pa, aku kejatuhan jilbab.”
Tinggal menunggu Mama pulang.
Aku mencoba-coba jilbab pemberian Papa sambil membayangkan reaksi Om Yan
melihatku berjilbab. Apa Om Yan bakal berani menciumku lagi? He he he.
Sambungan telepon dari Papa
sudah terputus. Aku masih mematut-matut diriku di cermin. Karakter wajahku
lebih menonjol ketika rambutku tertutup jilbab. Aku tidak usah selalu
mencemaskan rambutku apakah masih enak dilihat atau tidak. Karena yang utama
hanya senyumku.
Namun terhibur oleh penampilanku sendiri tidak
berarti gundahku tergusah. Aku bukannya tidak ingin adik lagi—apalagi dari
orangtuaku sendiri. Aku juga tidak ingin meragukan kekuatan Mama, tapi tahun
ini usianya akan 43 tahun. Sudah rawan untuk melahirkan. Aku ingin mamaku hidup
sampai renta dan merasakan nikmatnya merawat anak-anakku—cucu-cucunya—kelak.
Suara-suara yang muncul dari
depan rumah menandakan kepulangan Mama. Kusampirkan jilbab di pundak. Pintu
memang tidak aku kunci, namun aku hanya ingin menyongsong Mama.
“Selamat ulang tahun Bibe!”
kata Mama begitu wajah kami bertemu. Ah… Perut sudah berisi, masih pulang
selarut ini. Bandel. Namun aku sudah berpengalaman menangani yang semacam dia
sebelumnya. Kali ini aku akan memperlakukannya dengan lebih baik.
Lantas kupeluk dirinya. Dan
kukatakan, “Enggak, Ma. Seharusnya aku yang harusnya ngasih selamat ke Mama,
atas perjuangan hidup dan mati Mama sembilan belas tahun lalu supaya aku bisa
lahir ke dunia ini.”
Aku memeluknya semakin erat.
Aku merasa nyaman sekali saat perut kami bersentuhan. Perutnya yang mulai
membuncit.
-akhir-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar