Judul : Resep Masakan dan PKK
Penulis : Ny.
Wulandari
Penerbit : Aneka Ilmu,
Semarang, 1987 (cet. 9)
Eyang putri akan menertawakan dia yang memasak menggunakan resep. Sebab yang eyang putri butuhkan hanya feeling. Afektif. Sedang ketangkasan merajang bawang atau kekuatan dalam memarut kepala merupakan aspek psikomotorik. Namun pendidikan tak akan lengkap tanpa kehadiran satu aspek lagi: kognitif. Untuk itulah sebuah buku semacam ini ditulis.
Manfaatnya secara kognitif memang ada, antara lain, saya
mendapatkan pengetahuan baru mengenai 4
bumbu yang paling sering digunakan dalam memasak aneka sayur. Dari 11 resep
sayur yangtersaji, semuanya menggunakan garam,
10 di antaranya menggunakan bawang merah,
9 resep menggunakan bawang putih,
sedang ketumbar digunakan dalam 6
resep. Jenis lain yang cukup banyak digunakan adalah terasi, cabe merah, gula
merah, dan salam.
Dalam memasak sayur, sayur harus dibersihkan dulu. Kita biasa
memasak sayur dalam kuah. Perkara sayur dimasukkan lalu direbus atau dimasukkan
setelah mendidih, itu tergantung jenis sayurnya. Sawi bisa langsung ditumis.
Bayam adalah sayur yang rentan sehingga biasanya dimasukkan terakhir. Daging,
kacang, nangka, atau kluwih harus direbus dulu.
Bumbu biasanya dimasukkan setelah sayur lalu dimasak sampai
air mendidih lagi. Jenis bumbu yang digunakan untuk satu menu adalah beragam.
Semuanya bisa dimasukkan secara bersamaan, atau bergiliran. Ada yang diiris
dulu lalu ditumis, langsung dimasukkan begitu saja, dihaluskan dulu baru
ditumis, dihaluskan saja lalu dimasukkan, maupun diiris lantas dimasukkan.
Selain sayur, buku kecil nan tipis ini juga memuat seratusan
resep lain. Ada macam-macam masakan nasional lain seperti sop, acar, mie,
sambal, gulai, sate, nasi, soto, pergedel, sambal goreng, lauk-pauk, gudeg, ca,
serta tahu dan tempe. Belum lagi kue nasional: kue kering, kue basah, roti,
cake, dan hidangan segar. Wow, ternyata bukan hanya tembang saja yang nasional,
tapi juga makanan dan kue. Hebat.
Bukan sekadar resep masakan, buku ini dilengkapi juga dengan
pendidikan kesejahteraan keluarga alias PKK. Ada sepuluh pokok PKK yakni: hubungan
intern dan antar keluarga, bimbingan anak, makanan, pakaian, perumahan,
kesehatan keuangan, tata laksana rumah tangga, keamanan lahir batin, serta
perencanaan sehat.
Hubungan intern keluarga merupakan bahan yang bagus untuk
dijadikan novel. Bagi warga kota yang individualis-apatis-materialistis, secara
nyata nilai-nilai kekeluargaan telah pudar. Kapan terakhir kali seluruh anggota
keluarga bisa kumpul, makan malam bersama, bercanda ringan sesudahnya, dan
masing-masing menceritakan pengalaman-pengalaman dan kesulitan-kesulitannya? Rekreasi
maupun melakukan pekerjaan rumah bersama-sama merupakan aktivitas sederhana namun hal-hal yang demikian ini justru
mempertebal ikatan batin sehingga tumbuh rasa kasih sayang. (hal. 102)
Hubungan antar keluarga alias dengan tetangga juga patut
diperhatikan demi ketenteraman batin. Saya hidup di lingkungan di mana suatu
rumah kerampokan dan tetangganya tidak ada yang tahu. Pun saya tidak hapal
wajah tetangga saya. Namun saya juga hidup di lingkungan di mana hampir tiap
hari mau tidak mau saya harus senyum, bahkan mengucap sedikit kata, karena
bertukar pandang dengan tetangga. Dua lingkungan yang berbeda, tentu, sebab
hidup saya saat ini semi-nomaden. Mending yang mana?
Membimbing anak merupakan suatu hal nan teramat vital. Belum
jadi orangtua saja saya sudah mengerti kalau ini tidak mudah. Menurut penulis
buku ini, tidak jarang terjadi, banyak di
antara keluarga kurang berhasil dalam membimbing putra-putrinya, hanya karena
kurang sebab diperhatikannya masalah-masalah yang berhubungan dengan
perkembangan jiwa anak-anak. Pada hakekatnya, membimbing anak adalah menyiapkan
anak-anak untuk dapat menjadi matang, dewasa dalam segala hal, dewasa dalam
tingkah dan perbuatan, dan lain-lain. (hal. 104)
Ada beberapa contoh yang diberikan buku ini untuk mewujudkan
keadaan demikian, antara lain: orangtua harus dapat menunjukkan kerja sama yang
baik, arif bijaksana dalam mengatasi segala hal, menanamkan tata tertib
kehidupan pada anak-anak sejak kecil, serta tidak memaksakan kehendak pada
anak-anak—karena ini tidak didasari asas-asas kejiwaan. (hal. 105)
Untuk pemenuhan segi makanan, tentu kita ingat slogan 4 Sehat
5 Sempurna. Pada segi pakaian, setiap keluarga diharapkan untuk mampu membuat
pakaian sendiri khususnya pakaian sehari-hari. Sedang pada segi perumahan dan
kesehatan, marilah kita peduli pada yang serba sehat dan ramah lingkungan. Tata
laksana rumah tangga berarti kita memiliki inisiatif untuk menjadikan rumah
kita—luar-dalam—enak dipandang. Ketenteraman lahir batin memang merupakan satu
kebutuhan penting—kebutuhan akan rasa aman (safety needs)—menurut teori Abraham
Maslow.
Keuangan dan perencanaan sehat sebetulnya hampir mirip. Dalam
penjelasannya, yang dimaksud perencanaan sehat adalah perencanaan keuangan
untuk jangka panjang. Menurut penulis, pada hakekatnya penghasilan dengan
pengeluaran harus sama besar. Makanya ada peribahasa “besar pasak daripada
tiang”, pengeluaran jangan lebih besar dari penghasilan—alias boros. Namun
menurut saya, tak selalu adil jika penghasilan harus sama besar dengan
pengeluaran. Jika penghasilan besar, berarti pengeluaran harus besar pula, tapi
harus dilihat dulu untuk apa pengeluaran ini. Jika semata demi menyamakan besar
penghasilan lantas menghamburkannya untuk membeli mobil mewah, ini malah jadi
masalah.
Baru 5 Desember 2011 lalu, Pikiran Rakyat meneropong perilaku
hidup mewah di kalangan pejabat. Rusmin Effendy, melalui artikelnya yang
bertajuk Budaya Hedonisme Versus Politik
Asketik, menganjurkan asketisme alias paham yang mempraktikkan
kesederhanaan, kejujuran, hidup serba kekurangan, kontemplasi untuk menuju jiwa
yang sempurna dan kerelaan berkorban.
Artikel lainnya, Hidup
Sederhana Itu Indah, menampilkan kebersahajaan Rasulullah SAW. Meski
istrinya, Siti Khadijah, kaya, rumah Rasulullah sederhana. Ia tidur hanya
beralas pelepah daun kurma. Pada sore hari, hatinya tidak tenang apabila di
rumahnya masih ada sisa makanan sehingga ia akan membagi-bagikannya pada jamaah,
demikian menurut H. R. Bukhari.
Menurut Dr. H. Hazrul Azwar MM, penulis artikel ini, dengan
kaya kita bisa bersedekah dan membiayai perjuangan umat. Namun menjadi kaya
tidak harus hedonis, berkelimpahan yang takabur dan suka pamer, apalagi kikir.
Hidup sederhana harus merupakan kesadaran ingin mencari makna hidup yang
tinggi. Hidup sederhana mendorong kepekaan terhadap lingkungan, suka berbagi,
membantu yang lemah, serta peduli terhadap sesama. Dengan gaya hidup seperti
ini, kita akan lebih ingat pada Allah dan selalu bersyukur atas segala nikmat
yang telah Ia berikan.
Dari pendidikan memasak hingga keteladanan Rasulullah, bekal
untuk mengarungi kehidupan rumah tangga itu sendiri ternyata tak sederhana.
Insya Allah pembelajaran akan terus dilangsungkan. Semoga pada saatnya nanti kognisi,
afeksi, dan psikomotorik dapat berpadu menghasilkan generasi madani. Amin ya
Allah. Mari Ibu-ibu, kita nyanyikan Mars PKK…
Dari SD saya hobby masak. Ada satu buku yang saya jilid rapi, isinya adalah rewrite dari buku masak(yang kebanyakan adalah jajanan pasar). sampai minjam koleksi tante sebelah rumah. dan salah satu buku favorit adalah buku ini. Boleh percaya, boleh nggak.
BalasHapus