Hari
itu akhirnya tiba. Tante As tidak bisa berhenti mengerang sejak subuh. Wajahnya
merah sekaligus pucat. Om Pir bertanya apakah ia mau ke rumah sakit sekarang
juga? Disela deguk, Tante As mengangguk-angguk. “I can’t handle this anymore…”
tangisnya dalam rangkulan Om Pir. Aduh. Aku mana tega, tapi tetap kelihatan
juga. Sementara Om Pir menenangkan istrinya, aku memastikan barang-barang yang
akan dibawa ke rumah sakit. Baju-baju Tante As, lalu… Entahlah. Aku tambah
lemas saja setiap mendengar Tante As mengeluh atau apa. Apa rasanya memang
senyeri itu? Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku mau bolos sekolah ah hari ini.
Untung benar ujian belum sampai—nyaris!
Ketika
aku masuk kamar lagi untuk menyampaikan bahwa perlengkapan sudah siap, aku jadi
tambah tegang. Tangan Tante As dalam genggaman Om Pir, sementara tangan Om Pir
satunya mengusap-usap dahi sang istri. “Ketubannya udah pecah?” malah itu yang
aku tanyakan.
Om
Pir bertanya apa Tante As bisa berjalan. Tante As mengangguk dengan lemah.
Tertatih-tatih ia dituntun Om Pir dan aku di kanan-kirinya. Aku was-was
sewaktu-waktu ada yang meluncur dari selangkangannya. Ampun! Tuhaaan…!
“Are
you okay?” Om Pir berkali-kali tanya sepanjang perjalanan. Duduk di sampingnya,
Tante As berusaha tersenyum dengan kecemasan membayang-bayang. Aku menyaksikan
mereka tanpa suara. Bisa tidak ya, Tante As terlihat lebih tenang? Jantungku
berdentum ketika Tante As mengulurkan ponselnya padaku. “Be, telponin Kakek…”
“Ha?”
Yang benar saja.
Mobil
keburu sampai di pelataran rumah sakit besar yang berlokasi di seberang jalan
menuju kampus Manda itu. Ponsel Tante As masih dalam genggamanku. Aku terhuyung-huyung
mengikuti Om Pir dan Tante As memasuki bangunan. Aku siaga di samping Om Pir
ketika ia maju ke meja administrasi, barangkali petugas di sini butuh
penerjemah…
Begitu
Om Pir dan Tante As berlalu diantar petugas lain, aku tanya pada petugas di balik
meja, berapa orang yang nanti boleh mendampingi tanteku dalam persalinan. Satu,
jawab ibu-ibu berambut bob itu. Tante As pasti tidak akan memilihku. Padahal
aku ingin sekali menyaksikan bagaimana proses kemunculan calon adikku di dunia.
Boleh tidak ya, nanti aku minta Om Pir merekamkan?
Begitu
aku sampai di ruangan tempat Tante As direbahkan untuk menunggu persalinan,
sudah ada dokter di sana. Wanita berambut panjang dikepang itu menanyakan
kondisi Tante As, mulai dari kapan kontraksi pertama terjadi hingga sudah buang
air besar apa belum.
“Nanti
kalau ada kontraksi lagi, Ibu yang tenang ya, jangan dulu mengejan,” kata
dokter tersebut. Sembari itu, seorang perawat membantunya memeriksa tekanan
darah, denyut nadi, suhu tubuh, pembukaan leher rahum, hingga posisi dan detak
jantung janin. Contoh air seninya diambil.
“Nanti
diperiksa lagi ya Bu,” kata dokter itu menjelang kepergiannya disertai sang
perawat.
Tante
As sudah terlihat lebih tenang. Tiap kali ia berucap, “duh duh duh…” kukira
yang dinamakan kontraksi tengah terjadi. Ia tidak dibolehkan makan. Sementara
berbaring, pandangannya menerawang saja ke langit-langit.
Om
Pir bertanya padaku apakah aku tidak pergi ke sekolah. Aku menyengir. “I want
to be on my aunt’s side, always,” jawabku. Entah bahasa Inggrisku ini
berlepotan atau tidak.
Di
ruangan besar ini, ada lima tempat tidur lain. Hanya dua yang diisi. Dari
tempatku berdiri, di samping ranjang tanteku, aku tidak bisa melihat mereka
dengan jelas. Aku hanya dengar ada cakap dan sosok-sosok saja dari balik bilik.
Matahari dapat memancarkan cahayanya ke dalam ruangan ini dengan leluasa.
Tenteram sekali.
“Sudah
telepon Kakek belum?” tanya Tante As tiba-tiba.
“Be…lum…”
Aku angkat ponselnya.
Tante
As menyentak, “Aku kan sudah suruh telepon dari tadi?! Gimana kalau bayiku
keburu lahir?!”
Sontak
aku berjengit. Om Pir menenangkan istrinya, namun tanteku kian galak. “Cepat
telepon! Sekarang!”
Cakap-cakap
dari bilik lain mereda. Kutarik nafas, kuhembuskan pelan-pelan, berusaha
menenangkan diriku sendiri. Diawasi delik matanya, ponsel Tante As kutaruh di
depan dada. Berkali-kali kupijit tuts yang salah, padahal hanya untuk buka buku
telepon. “Lama sekali sih!” gerutu Tante As. Makin tak teratur saja nafasku.
Ketika akhirnya aku berhasil memencet nomor telepon rumah Kakek, aku berbalik.
Nada sambung yang begitu panjang sementara hatiku begitu rusuh. Tidak ada yang
mengangkat. Lagi. Lagi.
“Enggak
ada yang ngangkat.” Aku ciut.
“Kamu
nelepon ke mana sih?”
“…telepon
rumah…”
“Ya
mana ada di rumah jam segini? Cari nomor HP-nya!”
Beuh,
kenapa ia tidak menelepon papanya sendiri saja sih? Ikhlaskan baktimu pada
calon ibu, terus kusugesti diriku sendiri.
Setelah tersambung, “Halo…
Kek,” ucapku sembari berusaha agar suaraku tidak terdengar seperti orang
ketakutan.
Agak lama. “Siapa ini?”
Suaranya terdengar menyeramkan. Aku sempat merinding.
“…Bibe,” jawabku susah payah.
Aku berdoa dalam hati agar lisanku dilancarkan.
“Kenapa?”
Pelan-pelan aku menjawab,
“Tante As mau melahirkan. Kakek bisa ke sini enggak?”
Sambungan diputus. Terdengar
debar keras tak karuan dari dalam dadaku. Kuserahkan ponsel itu pada
pemiliknya. “Apa katanya?” tanya Tante As.
“Tadi teleponnya langsung
ditutup.”
Tapi tadi aku sudah bilang kan
kalau Tante As mau melahirkan?!
Tante As memalingkan wajah
dariku. Seketika aku merasa tubuhku sangat lemas. Kegundahan ini harus aku
keluarkan juga dari dalam batin. Adakah yang mau bantu persalinannya? Tolong!
“Aku
mau jalan-jalan dulu,” kataku dengan lesu. Aku berusaha menyingkirkan prasangka
bahwa aku tidak diinginkan. Sejenak sesal karena memutuskan untuk bolos
melanda. Pikiran buruk terus merundungiku, tapi aku sadar untuk tidak dikuasai
itu. Ia selalu bisa membuatku tak berdaya. Lalu aku bingung apa yang bisa aku
lakukan sambil menunggu. Menunggu.
Ketika
aku kembali, pasangan itu sedang bergenggaman tangan. Tante As merintih pada
suaminya. “Could you tell her? Could you tell her to wait?” Bibirnya saling
mengulum. Om Pir mengusap dahi istrinya yang basah.
Lain
kali ia menjadi lebih tenang.
Terik
matahari yang mengintip dari jendela begitu kontras dengan suasana di dalam
sini. Ia seakan tidak mengacuhkan kegelisahan sebuah penantian. Semua baik-baik
saja di luar sini, katanya. Tidak di dalam sini, kataku. Justru aku membayang
di sini untuk membuatmu terang, katanya lagi. Beuh.
Aku
terus mengamati mereka. Namun yang terproyeksi dalam benakku adalah pasangan
lain. Kalau mamaku melahirkan lagi, bisakah Papa selalu mendampinginya seperti
Om Pir pada Tante As? Kalau Tante Ri hamil lagi, maukah Ari dan Vira menerima
adik dari papa yang baru? Bisakah mereka semua menjadi lebih terikat dengan
kehadiran seorang anak yang baru? Adakah yang penting dari suatu ikatan?
Om
Pir bertanya pada Tante As apakah ia mau diberikan penenang. Aku tidak lihat
Tante As mengangguk. Ia hanya memandang suaminya. Seakan mereka bisa
bertelepati. Om Pir ambil tindakan, beberapa menit kemudian perawat datang.
Sementara Om Pir berbicara pada perawat, Tante As mengulurkan ponselnya lagi
padaku.
“Bibe,
tolong pastiin Kakek datang…” katanya. Sebelah tangannya lagi terkulai ke lain
arah. Perawat sedang membubuhkan kapas di sana.
Aduh.
Telepon Kakek, lagi… Kenapa aku yang harus melakukan ini? Aku kepikiran untuk
telepon Mama saja lalu suruh Mama yang telepon Kakek. Kutahan was-was, lalu
kupanggil lagi nomor itu.
Nada
sambung itu begitu tenang, begitu teratur, baru kali ini aku sangat
menikmatinya. Perasaanku jadi tenteram… sejenak.
“Apa
lagi?!” bentakan.
“…datang
kan Kek?”
Nada
yang muncul kali ini begitu buru-buru, begitu ingin cepat menyudahi. Ketenangan
yang tadi berhamburan akibat gertakan pria kasar di seberang sana. Aku
menurunkan ponsel dari telingaku pelan-pelan. Pada tatapan Tante As yang
mengharap, aku katakan kalau Kakek sedang di jalan.
Berapa
lama waktu yang dibutuhkan dari satu titik di Jawa Timur hingga mencapai
cekungan raksasa di Jawa Barat ini? Naik apakah Kakek? Bis? Kereta? Pesawat?
Kapal boat? Dan memangnya apakah Kakek sudah melaju ke sini? Barangkali tadi ia
merasa terganggu saat aku menelepon di tengah ia membajak kebunnya? Bayangan ia
membajak bis agar lekas sampai di sini lebih bikin aku tenang.
Mendadak
perutku mulas. Tidak tahu apakah mulas ini sama dengan yang Tante As rasa.
Nafasnya
menjadi lebih teratur.
Sepertinya
aku memang harus ke toilet. Maka aku mendekam di sana selama beberapa menit.
Ketika aku keluar, ternyata Om Pir mengalami hal yang sama.
Ia
bilang, ia sudah dua kali menghadapi peristiwa ini sebelumnya, namun yang
ketiga rasanya sama saja. Ia kira ia butuh suntikan penenang juga, tapi ia
tidak akan melakukannya di depan istrinya. Ia memang tidak melakukannya. Ia
merasa lebih rileks ketika keluar ruangan. Aku bilang, aku juga.
Aku
menanyakan kabar kedua anaknya. Mereka sudah masuk college dan tinggal terpisah
dari sang ibu. Namun sampai sekarang ia masih rajin berhubungan, baik dengan
mantan istri, maupun, terutama, dengan anak-anaknya.
Aku
tanya, apakah anak-anaknya bisa menerima ketika kedua orangtua mereka hendak
berpisah? Memang tidak bisa dipertahankan lagi, katanya. Mereka tahu ini yang
terbaik untuk mereka. Mereka tidak bisa terus-terusan melihat kedua orangtua
mereka saling bertikai. Mereka punya beberapa teman dengan orangtua tunggal,
mereka sudah tahu bagaimana harus menghadapi.
Oh.
Tentu saja. Situasinya berbeda.
Kontraksi
terus berulang. Ketika aku dan Om Pir kembali mengapit, ia malah menyuruh kami
menjauh—ya, termasuk suaminya juga. Kami membuatnya jadi merasa kurang leluasa.
Jadi aku dan Om Pir menyingkir ke tepi jendela besar salah satu sisi ruangan
ini. Matahari seolah bilang, tuh kan apa kataku? Aku mengobrol lagi dengan Om
Pir, tapi kali ini ia memintaku untuk menggunakan bahasa Indonesia saja. Ia
ingin memfasihkan artikulasinya.
Omong-omong
, usia Om Pir memang jauh lebih tua dari usia Tante As, bahkan dengan usia
kedua orangtuaku. Rentangnya tidak sampai belasan tahun, tapi cukup untuk bikin
aku bersyukur bahwa Om Pir bisa menangani kerewelan Tante As dengan sabar.
“Kenapa, Om Pir kok, menikah dengan
Tante As?” Ketularan dia, bahasa Indonesiaku jadi ikut kaku.
Jawabnya, Allah telah mempertemukan
mereka dengan cara tak terduga. Kini ia merasa hidupnya lebih tenteram.
Kemajemukan Indonesia mengajarkannya banyak hal. Jawaban standar bule ya.
Perbincangan menyambung pada
kehadiranku di rumah mereka. Aku bertanya, apakah aku mengganggu? Om Pir
bilang, tidak, sepertinya malah aku yang paling semangat akan kehamilan
tanteku. Lalu aku cerita padanya soal pengalamanku waktu membawa anaknya Tante
Naning, temannya Tante As, jalan-jalan.
Waktu itu aku masih SD. Tante As
mengajakku ke rumah Tante Naning. Sementara dua wanita itu mengobrol, aku
bermain dengan anak Tante Naning yang waktu itu masih balita. Namanya Caca. Aku
membawanya jalan-jalan ke luar rumah. Aku membelikannya macam-macam di warung
selama uang di sakuku mencukupi.
Ketika kembali, aku lapor pada
ibu anak itu dan tanteku, “Tadi adiknya mau dibawa orang. Orangnya maksa. Terus
sama Bibe dikarate.”
Sepulang dari pertemuan dengan
temannya itu, Tante As memarahiku. “Anak kecil itu jangan apa-apa dibeliin.
Entar kalau enggak cocok sama perutnya, terus kenapa-kenapa, gimana? Kalau
segalanya diturutin entar dia jadi anak manja!”
“Haa.. Terus gimana dong? Tadi
Bibe iyain aja si Cacaaa…” Aku jadi panik.
“Ya udah, nanti enggak usah
gitu lagi!”
Om Pir terkekeh mendengar ceritaku.
Siang begitu cerah sebagai jaminan
dari sang mentari kalau semua akan baik-baik saja. Kontraksi makin terjadi,
pembukaan makin lebar. “Kapan saya akan melahirkan, Dok?” tanya Tante As
gelisah.
“Sudah enggak sabar ya Bu?” tanya Bu
Dokter pengertian. Eh tidak. Ia tidak mengerti. Tante As justru tidak ingin
bayinya lahir cepat-cepat.
Padahal peluh sudah bercucuran. Aku
dan Om Pir sama-sama bertanya apakah ia masih bisa menahan ini. Ia menyalak.
“Aku bisa!” katanya.
Ada yang lebih ia nantikan.
Menjelang sore, Mama menghampiri. Ia
tanyakan keadaan Tante As yang sudah kian lemas. Terus mendesah-desah.
Pengalaman yang dibagi Mama tidak berguna sama sekali baginya. Keadaan begitu
berbeda. Kelahiranku tidak merepotkan Mama. Sakitnya memang luar biasa, sampai
mamaku banjir air mata, tapi sebelum dan sesudah itu tidak menggundahkan.
Lahirku
tidak disertai Papa, malah Kakek. Mama justru sebal ketika mendapati Kakek yang
memegangi tangannya. Ia lebih ingin ditemani ibu mertua, tapi ibu mertua malah
menyuruh sang besan. “Kakekmu itu enggak bisa azan,” keluh Mama. Akhirnya
pamannya papaku yang melakukannya, meski telat. Mama menceritakan ini tidak di
depan Tante As, melainkan saat kami di luar ruangan.
“Bibe di sini udah dari kapan?”
tanya Mama. Sepertinya ia heran karena tidak mendapatiku dalam seragam sekolah.
“Bolos ya?”
“Tante As kan bisa sewaktu-waktu
melahirkan…” alasanku.
“Kan udah ada si Buah!” Mamaku suka
memanggil Om Pir begitu.
“Aku pingin lihat adikku lahir,”
kataku.
“Terus kalau baru lahirnya besok,
besok juga mau bolos, gitu?”
“He eh.”
“Ujian Bibe gimana?”
“Masih beberapa minggu lagi kok!”
“Bawa buku pelajaran enggak?”
“Enggak.”
“Ampun ini anak… ”
“He… Siapa dulu dong mamanya…”
“Mau ngulang SMA setahun lagi ya?”
Aku bungkam.
“Ya udah, entar Mama suruh Papa ke sini,
bawain buku pelajarannya Bibe.”
“Jangan!”
Mamaku pergi menjelang maghrib. Aku
memohon-mohon agar ia tidak bilang Papa kalau aku sudah bolos. Sudah cukup Mama
saja yang mereweliku. Aku tidak ingin tambah rusuh lagi. Belum Tante As yang
gelisah tiap kali ada dorongan untuk mengejan. Ia mengelus-elus perutnya,
pandangan tak menentu, sambil menggumam, “Sabar… Sabar…”
Kalau sudah begitu, rasanya seperti
aku juga bakal melahirkan sebentar lagi.
Setelah isya, suasana kian
meresahkan. Dokter berkata bahwa pembukaannya sudah cukup. Ketuban akan segera
pecah. Sepasang tungkai kaki Tante As dalam keadaan terlipat dan
menggeliat-geliat. Namun lengan Om Pir basah karena sedu sedan Tante As. “Aku
ingin papaku… Aku ingin papaku… hu.. hu… hu…” Yang aku lihat dalam benakku
adalah tangisan Vira dalam gendongan papanya.
Aah… Aku jadi merasa bersalah karena
tidak buru-buru menelepon Kakek tadi pagi. Sekarang ia sudah sampai mana?
Bagaimana kalau bayi Tante As keburu dilahirkan? Berapa lama lagi ia akan
datang? Para perawat tengah mempersiapkan Tante As untuk memasuki ruang
bersalin. Salah satu dari mereka bertanya siapa yang akan mendampingi dalam persalinan
nanti. Aku dan Om Pir saling berpandangan.
“Surely, you want this baby,”
ucapnya. “You go…”
“Uncle aja…” balasku, nyaris
merengek. Meskipun sang bayi tidak akan ingat siapa yang mendampingi sang mama
saat melahirkannya ke dunia, tentunya ia ingin kedua orangtuanya yang
membersamai tiap momen penting dalam hidupnya. Ini adalah salah satunya.
Dan
ranjang pun mulai didorong. Aku terus menyerta sampai mereka masuk ke dalam
ruang bersalin. Ketika sepasang daun pintu yang berat itu bergoyang-goyang
sebelum menutup sempurna, sejenak aku merasa kosong. Lega, entah mengapa. Aku
dengar Tante As mulai menjerit. Hebat sekali. Lengkingannya menyayat. Menyesal
aku tidak bisa menyaksikannya langsung, bagaimana puncak kepala bayi menyembul
di liang vagina, kemudian terlihat dahinya, matanya, hidungnya… Kepalanya
diputar oleh dokter hingga tampillah sebentuk wajah sempurna. Sepasang tangan
mungil yang berlumur darah dan lendir menggapai-gapai udara. Tangis pertama
yang ia dendangkan melepaskan nafas sang ibu. Kepala yang lemas, bersimbah
peluh, terkulai di atas bantal.
“You
did it, honey…”
Nafas
sang ibu melambat. Tersendat. Dokter memanggil perawat. Siapkan alat bantu
pernafasan.
Ketika
Tante As dibawa ke ruang inap, pernafasannya sudah stabil. Aku harap paling lambat
esok pagi ia sudah sadarkan diri, sebagaimana biasa ia bangun pagi. Mungkin ia
akan langsung mencari kulkas untuk sarapan.
Tapi
di kamarmu yang sekarang ini tidak ada kulkasmu pribadi, Tante. Cukuplah dulu
infus bagimu. Dan jangan asal copot selang dari lubang hidungmu, biar perawat
yang melakukannya.
Harus
kusimpan dulu kata-kata itu sampai ia bangun nanti. Entah kapan.
Om
Pir sudah tidak menungguinya lagi. Ia menyusulku yang belum juga beranjak dari
mengamati bayi-bayi. Lebih baik mengalihkan perhatian pada mereka ketimbang
terus mengkhawatirkan tanteku… Bulan depan usianya 41 tahun. Melahirkan pada
usia setua ini memang rawan, mengapa aku tidak mengkhawatirkan proses
persalinan ini sejak mula? Aku terlalu larut dalam euforia karena akan punya adik
langsung dari tanteku.
Dari
balik dinding kaca, aku menunjuk salah satu makhluk mungil nan terbebat rapat
oleh kain itu. Ia yang normal, 3,2 kg, berkulit putih kemerahan, dengan hidung
tipis semancung milik Om Pir. Umurnya baru beberapa jam. Segaris matanya
terpejam. Aku terpana ketika mulut kecilnya menguap. Aaah… Begitu tak berdaya…
Begitu… Begitu indah… Sudahkah rongga kecil itu menampung ASI?
Om
Pir mengajakku cari makan. Aku menurut. Kutengok jam di pergelangan tangan
kiriku. Sudah lewat tengah malam. Aduh. Aku sudah tidak berharap om tua itu
datang lagi. Toh sudah berlalu.
Dan
ia memang berlalu. Aku dan Om Pir kompak menoleh ketika sesosok putih melesat
di sisi lain koridor yang kami tapaki. “Kakek!” panggilku. Kusongsong ia dengan
langkah-langkah cepat. Ia berbalik. Om Pir menyusul di belakangku.
Semburat
hitam di kepala pria itu tinggal beberapa helai saja, begitupun di kumisnya.
Hanya sandalnya saja yang berwarna gelap, sedang celananya kelabu.
Om
Pir berjalan di depan, sementara aku mengiringi Kakek. Entah mengapa kami
berjalan cepat-cepat, seakan takut tertinggal sesuatu. Om Pir membukakan pintu.
Pemandangan di baliknya masih tetap sama. Hanya lampu kecil yang menyala. Tante
As masih belum juga terjaga. Nafasnya teratur. Mulutnya sedikit terbuka.
“As,”
panggil Kakek.
Tubuh
itu seperti tersentak. Sekejap mata itu terbuka. Gelagapan. Nafasnya jadi
tersengal-sengal. Mata cokelatnya melirik tak tentu arah dengan gelisah. Lekas
Om Pir menyergap jemari yang terampil menggoreskan pena itu.
“Pa…
Papa…” kata Tante As dengan susah payah. Bibirnya bergerak-gerak seperti
mulutnya tengah menelan ludah.
“Sehat
bayinya?” tanya Kakek. Kendati mirip geraman, telinga terasa dielus saat
mendengarnya.
“A…
Belum lihat…” Mata yang berkaca-kaca itu melirik ke atas, ditangkap mata Om
Pir.
“She’s
okay, honey. She’s pretty, as pretty as you…”
Semakin
lambat dadanya naik-turun. Sesaat Kakek tampak tertegun melihatnya. Ia menoleh
pada Om Pir. “Persalinannya bagaimana? Lancar?”
“Ya.
Tadi… nafasnya sempat ada gangguan…” kata Om Pir terpatah-patah.
“Could
I see her?” Tante As masih menatap Om Pir. Penuh pengharapan. Tangannya
meremas-remas tangan Om Pir.
Legaku
sudah mampir.
“Adeknya lagi bobo, Tante. Dia
cantik banget. Hidungnya kayak Om Pir.” Kutumpu tubuhku yang condong ke arah
Tante As pada kasur.
“Oh ya?” Ia terharu.
Sebisa
mungkin aku menghibur Tante As. Aku ingin ia selalu tersenyum. Ia sangat
menantikan untuk bisa melihat wajah bayinya. Menyusuinya untuk pertama kali dan
seterusnya. Sesekali Om Pir menimpali dan aku lihat Tante As merasa lebih
dikuatkan. Kakek diam saja. Tapi aku bisa merasakan kalau kehadirannya membuat
Tante As bisa lebih ceria.
Lalu
tiba-tiba Kakek keluar kamar.
“Kakek
mau ke mana, Bibe?” tanya Tante As, seakan tidak rela.
Ke
manapun ia pergi, ia tidak bisa ditebak. Mungkin ia hendak cari alamat palsu.
Om Pir bilang Kakek akan kembali—hanya untuk menenangkan tentu saja. Tapi ia
memang benar. Datang dengan setandan pisang pula. Beberapa telah tercabut.
Karena terakhir kali makan siang tadi, aku mengambil satu. Rasanya belum
terlalu manis, tapi enak dikunyah. Masih lapar, aku mengambil lagi. Kakek juga.
Om Pir juga. Kami makan malam kesiangan sama-sama.Tante As menggeleng ketika
ditawarkan, belum tahu apakah ia sudah boleh makan apa belum. Ia mengeluh bagian
bawah tubuhnya terasa nyut-nyutan. Lalu dadanya mulai basah. Berkali-kali,
dengan risau, ia berkata kalau ia harus menyusui.
Malam
yang melelahkan.
Tapi
aku sudah bisa menggendong bayi merah itu keesokan paginya. Matanya begitu
kelam, katanya ia belum bisa melihat, namun sesungguhnya ia punya iris cokelat
terang. Sinarnya begitu kemilau ketika cahaya matahari menjenguknya. Mulutnya
megap-megap, aku menirukannya sambil menyerahkannya lagi dalam pelukan mamanya.
Sang mama yang tampak sangat berbahagia.
“Namanya
harus secantik nama ibunya,” kata Om Pir. Aku melirik Kakek, ingin tahu
reaksinya, tapi pria itu tengah terkantuk-kantuk di atas sofa. Kedua lengannya
terbuka lebar, bertumpu di pundak sofa. Mulutnya terbuka. Sesekali dengkurnya
menyambar.
Aku
kira Om Pir lelah juga mestinya. Aku menawarkan untuk membelikannya makanan. Om
Pir mengajakku untuk cari makanan bareng saja. Kami membeli banyak roti dan
beberapa botol serta kotak minuman di lantai bawah. Kami akan memakannya di
kamar saja.
Ketika kami kembali, Tante As
menyuruh Om Pir menyerahkan kunci rumah pada Kakek. Biar Kakek beristirahat di
sana. Kakek bilang ia akan tidur di rumah kakaknya saja. Tante As menyuruh
Kakek membawaku serta.
“Tapi… Om Pir…”
“I’m okay, baby…” katanya. Matanya
juga sudah berat. Ia akan beristirahat di kamar ini saja. “Kita… bisa… gantian,
okay? You’re first.”
Bingung aku hendak pulang ke mana.
Kalau pulang ke rumahku sendiri, bisa-bisa aku tidak bisa kembali ke sini
segera. Kalau ke rumah Tante As, aku tidak suka berada dalam sunyi di rumah
itu. Aku putuskan untuk ikut ke rumah Kakek Burhan saja, kakaknya Kakek. Untung
saja aku siap dengan ransel kecil berisi pakaian ganti sewaktu hendak ke rumah
sakit ini.
Tante As menyuruh Om Pir memberikan
kunci mobil pada Kakek. Kakek bilang tidak usah. Ia bawa mobil sendiri.
Kusadari satu fakta tentang kakekku
ini: usianya sudah hampir kepala tujuh, tapi itu tidak merintanginya untuk
menyetir tanpa henti selama belasan jam. Aku curiga ia mantan sopir bis patas.
Ia membawa sebuah mobil bak berwarna biru muda dengan plat N. Baknya tertutup
terpal cokelat. Kemudian aku tahu kalau di balik terpal itu terdapat hasil
kebunnya.
Sedikit sekali kami bertukar cakap
sepanjang perjalanan. Ia hanya mengungkit soal ia menemani Mama melahirkan
sekitar 18 tahun silam. Ketika lampu merah, ia menunjuk sekitar pergelangan
tangannya. Mamaku mencakarnya di sana. Tentu saja bekasnya sudah tidak ada.
Sesampainya di rumah Kakek Burhan,
aku langsung memilih satu dari beberapa kamar kosong yang tersedia di rumah
besar itu. Kakek Burhan dan istrinya sendiri lebih suka tinggal di paviliun
sebelah. Rumah induk ramai hanya ketika ada acara keluarga seperti lebaran atau
liburan. Para sepupu Mama patungan membayar dua orang pembantu yang datang
sewaktu-waktu untuk merawat rumah induk tersebut berserta halamannya, sekaligus
membantu kedua orangtua mereka kalau diperlukan.
Aku rebah sampai petang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar