Selasa, 13 Desember 2011

Kelahiran

Hari itu akhirnya tiba. Tante As tidak bisa berhenti mengerang sejak subuh. Wajahnya merah sekaligus pucat. Om Pir bertanya apakah ia mau ke rumah sakit sekarang juga? Disela deguk, Tante As mengangguk-angguk. “I can’t handle this anymore…” tangisnya dalam rangkulan Om Pir. Aduh. Aku mana tega, tapi tetap kelihatan juga. Sementara Om Pir menenangkan istrinya, aku memastikan barang-barang yang akan dibawa ke rumah sakit. Baju-baju Tante As, lalu… Entahlah. Aku tambah lemas saja setiap mendengar Tante As mengeluh atau apa. Apa rasanya memang senyeri itu? Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku mau bolos sekolah ah hari ini. Untung benar ujian belum sampai—nyaris!

Ketika aku masuk kamar lagi untuk menyampaikan bahwa perlengkapan sudah siap, aku jadi tambah tegang. Tangan Tante As dalam genggaman Om Pir, sementara tangan Om Pir satunya mengusap-usap dahi sang istri. “Ketubannya udah pecah?” malah itu yang aku tanyakan.

Om Pir bertanya apa Tante As bisa berjalan. Tante As mengangguk dengan lemah. Tertatih-tatih ia dituntun Om Pir dan aku di kanan-kirinya. Aku was-was sewaktu-waktu ada yang meluncur dari selangkangannya. Ampun! Tuhaaan…!

“Are you okay?” Om Pir berkali-kali tanya sepanjang perjalanan. Duduk di sampingnya, Tante As berusaha tersenyum dengan kecemasan membayang-bayang. Aku menyaksikan mereka tanpa suara. Bisa tidak ya, Tante As terlihat lebih tenang? Jantungku berdentum ketika Tante As mengulurkan ponselnya padaku. “Be, telponin Kakek…”

“Ha?” Yang benar saja.

Mobil keburu sampai di pelataran rumah sakit besar yang berlokasi di seberang jalan menuju kampus Manda itu. Ponsel Tante As masih dalam genggamanku. Aku terhuyung-huyung mengikuti Om Pir dan Tante As memasuki bangunan. Aku siaga di samping Om Pir ketika ia maju ke meja administrasi, barangkali petugas di sini butuh penerjemah…

Begitu Om Pir dan Tante As berlalu diantar petugas lain, aku tanya pada petugas di balik meja, berapa orang yang nanti boleh mendampingi tanteku dalam persalinan. Satu, jawab ibu-ibu berambut bob itu. Tante As pasti tidak akan memilihku. Padahal aku ingin sekali menyaksikan bagaimana proses kemunculan calon adikku di dunia. Boleh tidak ya, nanti aku minta Om Pir merekamkan?

Begitu aku sampai di ruangan tempat Tante As direbahkan untuk menunggu persalinan, sudah ada dokter di sana. Wanita berambut panjang dikepang itu menanyakan kondisi Tante As, mulai dari kapan kontraksi pertama terjadi hingga sudah buang air besar apa belum.

“Nanti kalau ada kontraksi lagi, Ibu yang tenang ya, jangan dulu mengejan,” kata dokter tersebut. Sembari itu, seorang perawat membantunya memeriksa tekanan darah, denyut nadi, suhu tubuh, pembukaan leher rahum, hingga posisi dan detak jantung janin. Contoh air seninya diambil.

“Nanti diperiksa lagi ya Bu,” kata dokter itu menjelang kepergiannya disertai sang perawat.

Tante As sudah terlihat lebih tenang. Tiap kali ia berucap, “duh duh duh…” kukira yang dinamakan kontraksi tengah terjadi. Ia tidak dibolehkan makan. Sementara berbaring, pandangannya menerawang saja ke langit-langit.

Om Pir bertanya padaku apakah aku tidak pergi ke sekolah. Aku menyengir. “I want to be on my aunt’s side, always,” jawabku. Entah bahasa Inggrisku ini berlepotan atau tidak.

Di ruangan besar ini, ada lima tempat tidur lain. Hanya dua yang diisi. Dari tempatku berdiri, di samping ranjang tanteku, aku tidak bisa melihat mereka dengan jelas. Aku hanya dengar ada cakap dan sosok-sosok saja dari balik bilik. Matahari dapat memancarkan cahayanya ke dalam ruangan ini dengan leluasa. Tenteram sekali.

“Sudah telepon Kakek belum?” tanya Tante As tiba-tiba.

“Be…lum…” Aku angkat ponselnya.

Tante As menyentak, “Aku kan sudah suruh telepon dari tadi?! Gimana kalau bayiku keburu lahir?!”

Sontak aku berjengit. Om Pir menenangkan istrinya, namun tanteku kian galak. “Cepat telepon! Sekarang!”

Cakap-cakap dari bilik lain mereda. Kutarik nafas, kuhembuskan pelan-pelan, berusaha menenangkan diriku sendiri. Diawasi delik matanya, ponsel Tante As kutaruh di depan dada. Berkali-kali kupijit tuts yang salah, padahal hanya untuk buka buku telepon. “Lama sekali sih!” gerutu Tante As. Makin tak teratur saja nafasku. Ketika akhirnya aku berhasil memencet nomor telepon rumah Kakek, aku berbalik. Nada sambung yang begitu panjang sementara hatiku begitu rusuh. Tidak ada yang mengangkat. Lagi. Lagi.

“Enggak ada yang ngangkat.” Aku ciut.

“Kamu nelepon ke mana sih?”

“…telepon rumah…”

“Ya mana ada di rumah jam segini? Cari nomor HP-nya!”

Beuh, kenapa ia tidak menelepon papanya sendiri saja sih? Ikhlaskan baktimu pada calon ibu, terus kusugesti diriku sendiri.

Setelah tersambung, “Halo… Kek,” ucapku sembari berusaha agar suaraku tidak terdengar seperti orang ketakutan.

Agak lama. “Siapa ini?” Suaranya terdengar menyeramkan. Aku sempat merinding.

“…Bibe,” jawabku susah payah. Aku berdoa dalam hati agar lisanku dilancarkan.

“Kenapa?”

Pelan-pelan aku menjawab, “Tante As mau melahirkan. Kakek bisa ke sini enggak?”

Sambungan diputus. Terdengar debar keras tak karuan dari dalam dadaku. Kuserahkan ponsel itu pada pemiliknya. “Apa katanya?” tanya Tante As.

“Tadi teleponnya langsung ditutup.”

Tapi tadi aku sudah bilang kan kalau Tante As mau melahirkan?!

Tante As memalingkan wajah dariku. Seketika aku merasa tubuhku sangat lemas. Kegundahan ini harus aku keluarkan juga dari dalam batin. Adakah yang mau bantu persalinannya? Tolong!

“Aku mau jalan-jalan dulu,” kataku dengan lesu. Aku berusaha menyingkirkan prasangka bahwa aku tidak diinginkan. Sejenak sesal karena memutuskan untuk bolos melanda. Pikiran buruk terus merundungiku, tapi aku sadar untuk tidak dikuasai itu. Ia selalu bisa membuatku tak berdaya. Lalu aku bingung apa yang bisa aku lakukan sambil menunggu. Menunggu.

Ketika aku kembali, pasangan itu sedang bergenggaman tangan. Tante As merintih pada suaminya. “Could you tell her? Could you tell her to wait?” Bibirnya saling mengulum. Om Pir mengusap dahi istrinya yang basah.

Lain kali ia menjadi lebih tenang.

Terik matahari yang mengintip dari jendela begitu kontras dengan suasana di dalam sini. Ia seakan tidak mengacuhkan kegelisahan sebuah penantian. Semua baik-baik saja di luar sini, katanya. Tidak di dalam sini, kataku. Justru aku membayang di sini untuk membuatmu terang, katanya lagi. Beuh.

Aku terus mengamati mereka. Namun yang terproyeksi dalam benakku adalah pasangan lain. Kalau mamaku melahirkan lagi, bisakah Papa selalu mendampinginya seperti Om Pir pada Tante As? Kalau Tante Ri hamil lagi, maukah Ari dan Vira menerima adik dari papa yang baru? Bisakah mereka semua menjadi lebih terikat dengan kehadiran seorang anak yang baru? Adakah yang penting dari suatu ikatan?

Om Pir bertanya pada Tante As apakah ia mau diberikan penenang. Aku tidak lihat Tante As mengangguk. Ia hanya memandang suaminya. Seakan mereka bisa bertelepati. Om Pir ambil tindakan, beberapa menit kemudian perawat datang. Sementara Om Pir berbicara pada perawat, Tante As mengulurkan ponselnya lagi padaku.

“Bibe, tolong pastiin Kakek datang…” katanya. Sebelah tangannya lagi terkulai ke lain arah. Perawat sedang membubuhkan kapas di sana.

Aduh. Telepon Kakek, lagi… Kenapa aku yang harus melakukan ini? Aku kepikiran untuk telepon Mama saja lalu suruh Mama yang telepon Kakek. Kutahan was-was, lalu kupanggil lagi nomor itu.

Nada sambung itu begitu tenang, begitu teratur, baru kali ini aku sangat menikmatinya. Perasaanku jadi tenteram… sejenak.

“Apa lagi?!” bentakan.

“…datang kan Kek?”

Nada yang muncul kali ini begitu buru-buru, begitu ingin cepat menyudahi. Ketenangan yang tadi berhamburan akibat gertakan pria kasar di seberang sana. Aku menurunkan ponsel dari telingaku pelan-pelan. Pada tatapan Tante As yang mengharap, aku katakan kalau Kakek sedang di jalan.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan dari satu titik di Jawa Timur hingga mencapai cekungan raksasa di Jawa Barat ini? Naik apakah Kakek? Bis? Kereta? Pesawat? Kapal boat? Dan memangnya apakah Kakek sudah melaju ke sini? Barangkali tadi ia merasa terganggu saat aku menelepon di tengah ia membajak kebunnya? Bayangan ia membajak bis agar lekas sampai di sini lebih bikin aku tenang.

Mendadak perutku mulas. Tidak tahu apakah mulas ini sama dengan yang Tante As rasa.

Nafasnya menjadi lebih teratur.

Sepertinya aku memang harus ke toilet. Maka aku mendekam di sana selama beberapa menit. Ketika aku keluar, ternyata Om Pir mengalami hal yang sama.

Ia bilang, ia sudah dua kali menghadapi peristiwa ini sebelumnya, namun yang ketiga rasanya sama saja. Ia kira ia butuh suntikan penenang juga, tapi ia tidak akan melakukannya di depan istrinya. Ia memang tidak melakukannya. Ia merasa lebih rileks ketika keluar ruangan. Aku bilang, aku juga.

Aku menanyakan kabar kedua anaknya. Mereka sudah masuk college dan tinggal terpisah dari sang ibu. Namun sampai sekarang ia masih rajin berhubungan, baik dengan mantan istri, maupun, terutama, dengan anak-anaknya.

Aku tanya, apakah anak-anaknya bisa menerima ketika kedua orangtua mereka hendak berpisah? Memang tidak bisa dipertahankan lagi, katanya. Mereka tahu ini yang terbaik untuk mereka. Mereka tidak bisa terus-terusan melihat kedua orangtua mereka saling bertikai. Mereka punya beberapa teman dengan orangtua tunggal, mereka sudah tahu bagaimana harus menghadapi.

Oh. Tentu saja. Situasinya berbeda.

Kontraksi terus berulang. Ketika aku dan Om Pir kembali mengapit, ia malah menyuruh kami menjauh—ya, termasuk suaminya juga. Kami membuatnya jadi merasa kurang leluasa. Jadi aku dan Om Pir menyingkir ke tepi jendela besar salah satu sisi ruangan ini. Matahari seolah bilang, tuh kan apa kataku? Aku mengobrol lagi dengan Om Pir, tapi kali ini ia memintaku untuk menggunakan bahasa Indonesia saja. Ia ingin memfasihkan artikulasinya.

Omong-omong , usia Om Pir memang jauh lebih tua dari usia Tante As, bahkan dengan usia kedua orangtuaku. Rentangnya tidak sampai belasan tahun, tapi cukup untuk bikin aku bersyukur bahwa Om Pir bisa menangani kerewelan Tante As dengan sabar.

            “Kenapa, Om Pir kok, menikah dengan Tante As?” Ketularan dia, bahasa Indonesiaku jadi ikut kaku.

            Jawabnya, Allah telah mempertemukan mereka dengan cara tak terduga. Kini ia merasa hidupnya lebih tenteram. Kemajemukan Indonesia mengajarkannya banyak hal. Jawaban standar bule ya.

            Perbincangan menyambung pada kehadiranku di rumah mereka. Aku bertanya, apakah aku mengganggu? Om Pir bilang, tidak, sepertinya malah aku yang paling semangat akan kehamilan tanteku. Lalu aku cerita padanya soal pengalamanku waktu membawa anaknya Tante Naning, temannya Tante As, jalan-jalan.

            Waktu itu aku masih SD. Tante As mengajakku ke rumah Tante Naning. Sementara dua wanita itu mengobrol, aku bermain dengan anak Tante Naning yang waktu itu masih balita. Namanya Caca. Aku membawanya jalan-jalan ke luar rumah. Aku membelikannya macam-macam di warung selama uang di sakuku mencukupi.

Ketika kembali, aku lapor pada ibu anak itu dan tanteku, “Tadi adiknya mau dibawa orang. Orangnya maksa. Terus sama Bibe dikarate.”

Sepulang dari pertemuan dengan temannya itu, Tante As memarahiku. “Anak kecil itu jangan apa-apa dibeliin. Entar kalau enggak cocok sama perutnya, terus kenapa-kenapa, gimana? Kalau segalanya diturutin entar dia jadi anak manja!”

“Haa.. Terus gimana dong? Tadi Bibe iyain aja si Cacaaa…” Aku jadi panik.

“Ya udah, nanti enggak usah gitu lagi!”

            Om Pir terkekeh mendengar ceritaku.

            Siang begitu cerah sebagai jaminan dari sang mentari kalau semua akan baik-baik saja. Kontraksi makin terjadi, pembukaan makin lebar. “Kapan saya akan melahirkan, Dok?” tanya Tante As gelisah.

            “Sudah enggak sabar ya Bu?” tanya Bu Dokter pengertian. Eh tidak. Ia tidak mengerti. Tante As justru tidak ingin bayinya lahir cepat-cepat.

            Padahal peluh sudah bercucuran. Aku dan Om Pir sama-sama bertanya apakah ia masih bisa menahan ini. Ia menyalak. “Aku bisa!” katanya.

            Ada yang lebih ia nantikan.

            Menjelang sore, Mama menghampiri. Ia tanyakan keadaan Tante As yang sudah kian lemas. Terus mendesah-desah. Pengalaman yang dibagi Mama tidak berguna sama sekali baginya. Keadaan begitu berbeda. Kelahiranku tidak merepotkan Mama. Sakitnya memang luar biasa, sampai mamaku banjir air mata, tapi sebelum dan sesudah itu tidak menggundahkan.

Lahirku tidak disertai Papa, malah Kakek. Mama justru sebal ketika mendapati Kakek yang memegangi tangannya. Ia lebih ingin ditemani ibu mertua, tapi ibu mertua malah menyuruh sang besan. “Kakekmu itu enggak bisa azan,” keluh Mama. Akhirnya pamannya papaku yang melakukannya, meski telat. Mama menceritakan ini tidak di depan Tante As, melainkan saat kami di luar ruangan.

            “Bibe di sini udah dari kapan?” tanya Mama. Sepertinya ia heran karena tidak mendapatiku dalam seragam sekolah. “Bolos ya?”

            “Tante As kan bisa sewaktu-waktu melahirkan…” alasanku.

            “Kan udah ada si Buah!” Mamaku suka memanggil Om Pir begitu.

            “Aku pingin lihat adikku lahir,” kataku.

            “Terus kalau baru lahirnya besok, besok juga mau bolos, gitu?”

            “He eh.”

            “Ujian Bibe gimana?”

            “Masih beberapa minggu lagi kok!”

            “Bawa buku pelajaran enggak?”

            “Enggak.”

            “Ampun ini anak… ”

            “He… Siapa dulu dong mamanya…”

            “Mau ngulang SMA setahun lagi ya?”

            Aku bungkam.

             “Ya udah, entar Mama suruh Papa ke sini, bawain buku pelajarannya Bibe.”

            “Jangan!”

            Mamaku pergi menjelang maghrib. Aku memohon-mohon agar ia tidak bilang Papa kalau aku sudah bolos. Sudah cukup Mama saja yang mereweliku. Aku tidak ingin tambah rusuh lagi. Belum Tante As yang gelisah tiap kali ada dorongan untuk mengejan. Ia mengelus-elus perutnya, pandangan tak menentu, sambil menggumam, “Sabar… Sabar…”

            Kalau sudah begitu, rasanya seperti aku juga bakal melahirkan sebentar lagi.

            Setelah isya, suasana kian meresahkan. Dokter berkata bahwa pembukaannya sudah cukup. Ketuban akan segera pecah. Sepasang tungkai kaki Tante As dalam keadaan terlipat dan menggeliat-geliat. Namun lengan Om Pir basah karena sedu sedan Tante As. “Aku ingin papaku… Aku ingin papaku… hu.. hu… hu…” Yang aku lihat dalam benakku adalah tangisan Vira dalam gendongan papanya.

            Aah… Aku jadi merasa bersalah karena tidak buru-buru menelepon Kakek tadi pagi. Sekarang ia sudah sampai mana? Bagaimana kalau bayi Tante As keburu dilahirkan? Berapa lama lagi ia akan datang? Para perawat tengah mempersiapkan Tante As untuk memasuki ruang bersalin. Salah satu dari mereka bertanya siapa yang akan mendampingi dalam persalinan nanti. Aku dan Om Pir saling berpandangan.

            “Surely, you want this baby,” ucapnya. “You go…”

            “Uncle aja…” balasku, nyaris merengek. Meskipun sang bayi tidak akan ingat siapa yang mendampingi sang mama saat melahirkannya ke dunia, tentunya ia ingin kedua orangtuanya yang membersamai tiap momen penting dalam hidupnya. Ini adalah salah satunya.

Dan ranjang pun mulai didorong. Aku terus menyerta sampai mereka masuk ke dalam ruang bersalin. Ketika sepasang daun pintu yang berat itu bergoyang-goyang sebelum menutup sempurna, sejenak aku merasa kosong. Lega, entah mengapa. Aku dengar Tante As mulai menjerit. Hebat sekali. Lengkingannya menyayat. Menyesal aku tidak bisa menyaksikannya langsung, bagaimana puncak kepala bayi menyembul di liang vagina, kemudian terlihat dahinya, matanya, hidungnya… Kepalanya diputar oleh dokter hingga tampillah sebentuk wajah sempurna. Sepasang tangan mungil yang berlumur darah dan lendir menggapai-gapai udara. Tangis pertama yang ia dendangkan melepaskan nafas sang ibu. Kepala yang lemas, bersimbah peluh,  terkulai di atas bantal.

“You did it, honey…”

Nafas sang ibu melambat. Tersendat. Dokter memanggil perawat. Siapkan alat bantu pernafasan.

Ketika Tante As dibawa ke ruang inap, pernafasannya sudah stabil. Aku harap paling lambat esok pagi ia sudah sadarkan diri, sebagaimana biasa ia bangun pagi. Mungkin ia akan langsung mencari kulkas untuk sarapan.

Tapi di kamarmu yang sekarang ini tidak ada kulkasmu pribadi, Tante. Cukuplah dulu infus bagimu. Dan jangan asal copot selang dari lubang hidungmu, biar perawat yang melakukannya.

Harus kusimpan dulu kata-kata itu sampai ia bangun nanti. Entah kapan.

Om Pir sudah tidak menungguinya lagi. Ia menyusulku yang belum juga beranjak dari mengamati bayi-bayi. Lebih baik mengalihkan perhatian pada mereka ketimbang terus mengkhawatirkan tanteku… Bulan depan usianya 41 tahun. Melahirkan pada usia setua ini memang rawan, mengapa aku tidak mengkhawatirkan proses persalinan ini sejak mula? Aku terlalu larut dalam euforia karena akan punya adik langsung dari tanteku.

Dari balik dinding kaca, aku menunjuk salah satu makhluk mungil nan terbebat rapat oleh kain itu. Ia yang normal, 3,2 kg, berkulit putih kemerahan, dengan hidung tipis semancung milik Om Pir. Umurnya baru beberapa jam. Segaris matanya terpejam. Aku terpana ketika mulut kecilnya menguap. Aaah… Begitu tak berdaya… Begitu… Begitu indah… Sudahkah rongga kecil itu menampung ASI?

Om Pir mengajakku cari makan. Aku menurut. Kutengok jam di pergelangan tangan kiriku. Sudah lewat tengah malam. Aduh. Aku sudah tidak berharap om tua itu datang lagi. Toh sudah berlalu.

Dan ia memang berlalu. Aku dan Om Pir kompak menoleh ketika sesosok putih melesat di sisi lain koridor yang kami tapaki. “Kakek!” panggilku. Kusongsong ia dengan langkah-langkah cepat. Ia berbalik. Om Pir menyusul di belakangku.

Semburat hitam di kepala pria itu tinggal beberapa helai saja, begitupun di kumisnya. Hanya sandalnya saja yang berwarna gelap, sedang celananya kelabu.

Om Pir berjalan di depan, sementara aku mengiringi Kakek. Entah mengapa kami berjalan cepat-cepat, seakan takut tertinggal sesuatu. Om Pir membukakan pintu. Pemandangan di baliknya masih tetap sama. Hanya lampu kecil yang menyala. Tante As masih belum juga terjaga. Nafasnya teratur. Mulutnya sedikit terbuka.

“As,” panggil Kakek.

Tubuh itu seperti tersentak. Sekejap mata itu terbuka. Gelagapan. Nafasnya jadi tersengal-sengal. Mata cokelatnya melirik tak tentu arah dengan gelisah. Lekas Om Pir menyergap jemari yang terampil menggoreskan pena itu.

“Pa… Papa…” kata Tante As dengan susah payah. Bibirnya bergerak-gerak seperti mulutnya tengah menelan ludah.

“Sehat bayinya?” tanya Kakek. Kendati mirip geraman, telinga terasa dielus saat mendengarnya.

“A… Belum lihat…” Mata yang berkaca-kaca itu melirik ke atas, ditangkap mata Om Pir.

“She’s okay, honey. She’s pretty, as pretty as you…”

Semakin lambat dadanya naik-turun. Sesaat Kakek tampak tertegun melihatnya. Ia menoleh pada Om Pir. “Persalinannya bagaimana? Lancar?”

“Ya. Tadi… nafasnya sempat ada gangguan…” kata Om Pir terpatah-patah.

“Could I see her?” Tante As masih menatap Om Pir. Penuh pengharapan. Tangannya meremas-remas tangan Om Pir.

Legaku sudah mampir.

            “Adeknya lagi bobo, Tante. Dia cantik banget. Hidungnya kayak Om Pir.” Kutumpu tubuhku yang condong ke arah Tante As pada kasur.

            “Oh ya?” Ia terharu.

Sebisa mungkin aku menghibur Tante As. Aku ingin ia selalu tersenyum. Ia sangat menantikan untuk bisa melihat wajah bayinya. Menyusuinya untuk pertama kali dan seterusnya. Sesekali Om Pir menimpali dan aku lihat Tante As merasa lebih dikuatkan. Kakek diam saja. Tapi aku bisa merasakan kalau kehadirannya membuat Tante As bisa lebih ceria.

Lalu tiba-tiba Kakek keluar kamar.

“Kakek mau ke mana, Bibe?” tanya Tante As, seakan tidak rela.

Ke manapun ia pergi, ia tidak bisa ditebak. Mungkin ia hendak cari alamat palsu. Om Pir bilang Kakek akan kembali—hanya untuk menenangkan tentu saja. Tapi ia memang benar. Datang dengan setandan pisang pula. Beberapa telah tercabut. Karena terakhir kali makan siang tadi, aku mengambil satu. Rasanya belum terlalu manis, tapi enak dikunyah. Masih lapar, aku mengambil lagi. Kakek juga. Om Pir juga. Kami makan malam kesiangan sama-sama.Tante As menggeleng ketika ditawarkan, belum tahu apakah ia sudah boleh makan apa belum. Ia mengeluh bagian bawah tubuhnya terasa nyut-nyutan. Lalu dadanya mulai basah. Berkali-kali, dengan risau, ia berkata kalau ia harus menyusui.

Malam yang melelahkan.

Tapi aku sudah bisa menggendong bayi merah itu keesokan paginya. Matanya begitu kelam, katanya ia belum bisa melihat, namun sesungguhnya ia punya iris cokelat terang. Sinarnya begitu kemilau ketika cahaya matahari menjenguknya. Mulutnya megap-megap, aku menirukannya sambil menyerahkannya lagi dalam pelukan mamanya. Sang mama yang tampak sangat berbahagia.

“Namanya harus secantik nama ibunya,” kata Om Pir. Aku melirik Kakek, ingin tahu reaksinya, tapi pria itu tengah terkantuk-kantuk di atas sofa. Kedua lengannya terbuka lebar, bertumpu di pundak sofa. Mulutnya terbuka. Sesekali dengkurnya menyambar.

Aku kira Om Pir lelah juga mestinya. Aku menawarkan untuk membelikannya makanan. Om Pir mengajakku untuk cari makanan bareng saja. Kami membeli banyak roti dan beberapa botol serta kotak minuman di lantai bawah. Kami akan memakannya di kamar saja.

            Ketika kami kembali, Tante As menyuruh Om Pir menyerahkan kunci rumah pada Kakek. Biar Kakek beristirahat di sana. Kakek bilang ia akan tidur di rumah kakaknya saja. Tante As menyuruh Kakek membawaku serta.

            “Tapi… Om Pir…”

            “I’m okay, baby…” katanya. Matanya juga sudah berat. Ia akan beristirahat di kamar ini saja. “Kita… bisa… gantian, okay? You’re first.”

            Bingung aku hendak pulang ke mana. Kalau pulang ke rumahku sendiri, bisa-bisa aku tidak bisa kembali ke sini segera. Kalau ke rumah Tante As, aku tidak suka berada dalam sunyi di rumah itu. Aku putuskan untuk ikut ke rumah Kakek Burhan saja, kakaknya Kakek. Untung saja aku siap dengan ransel kecil berisi pakaian ganti sewaktu hendak ke rumah sakit ini.

            Tante As menyuruh Om Pir memberikan kunci mobil pada Kakek. Kakek bilang tidak usah. Ia bawa mobil sendiri.

            Kusadari satu fakta tentang kakekku ini: usianya sudah hampir kepala tujuh, tapi itu tidak merintanginya untuk menyetir tanpa henti selama belasan jam. Aku curiga ia mantan sopir bis patas. Ia membawa sebuah mobil bak berwarna biru muda dengan plat N. Baknya tertutup terpal cokelat. Kemudian aku tahu kalau di balik terpal itu terdapat hasil kebunnya.

            Sedikit sekali kami bertukar cakap sepanjang perjalanan. Ia hanya mengungkit soal ia menemani Mama melahirkan sekitar 18 tahun silam. Ketika lampu merah, ia menunjuk sekitar pergelangan tangannya. Mamaku mencakarnya di sana. Tentu saja bekasnya sudah tidak ada.

            Sesampainya di rumah Kakek Burhan, aku langsung memilih satu dari beberapa kamar kosong yang tersedia di rumah besar itu. Kakek Burhan dan istrinya sendiri lebih suka tinggal di paviliun sebelah. Rumah induk ramai hanya ketika ada acara keluarga seperti lebaran atau liburan. Para sepupu Mama patungan membayar dua orang pembantu yang datang sewaktu-waktu untuk merawat rumah induk tersebut berserta halamannya, sekaligus membantu kedua orangtua mereka kalau diperlukan.

            Aku rebah sampai petang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain