Sabtu
besok adalah malam keroncong lansia di Kedai Buncong. Vira meneleponku. Mungkin
ia kangen padaku karena bulan lalu kami tak bersua. Ia harus belajar untuk UAS,
katanya. Mungkin ia akan memintaku untuk menginap lagi. Sampai mendengar
suaranya, aku memikirkan akan membawa keriaan apa ke rumah besar itu lagi.
Di
awal percakapan, suaranya masih seempuk biasa. Menanyakan kabarku, aku tanya
kabarnya, menyinggung kesempatan bersua minggu lalu yang terlewatkan, lalu lamat-lamat
suaranya jadi sekelam malam itu.
“Kak
Bibe besok datang ke Buncong kan?”
“Iya
dong, insya Allah.”
“Besok…
Vira datangnya enggak cuman sama eyang.”
“Oh
ya?”
“Iya,
Kak Ari juga bakal ikut.” Wah menarik. Aku ingin tahu bagaimana reaksi bocah
autis itu terhadap keroncong. “Mamaku sama pacarnya juga…”
Wah,
betulan, menarik. Mendadak akusenang karena bakalan bertemu Om Yan. Semoga pada
pertemuan besok kami sempat untuk membuat janji pertemuan berikutnya. Acara
makan bersamanya selalu kunantikan.
“Oke
oke… Tapi Vira suaranya kok enggak semangat gitu? Kan mau ketemu Kak Bibe?”
selorohku, namun sepertinya itu tidak berpengaruh. Tanyaku lagi dengan lembut,
“Kenapa? Karena pacar mamanya Vira ikut juga?”
Sebentuk
gumaman merambatkan kegelisahannya.
“Vira,
Kak Bibe kenal kok sama pacarnya Mama Vira.”
“Hah?”
“Om
Yan kan?”
“Iya…”
Nada suaranya berubah. Seperti kaget, tapi masih terjaga.
“Tante
Ri itu, kan adik kelas mamanya Kak Bibe pas SMA. Om Yan juga. Om Yan deket sama
mamanya Kak Bibe. Sama Kak Bibe juga.”
“Oh…”
“Om
Yan baik kok. Vira enggak usah takut sama Om Yan.” Dan aku bayangkan
orang-orang yang aku sayangi itu bersatu dalam ikatan keluarga inti. Lagipula,
menurutku, secara fisik Om Yan dengan anak-anak Tante Ri tidak beda jauh.
Mereka sama berambut ikal dan berkulit terang. Lain halnya dengan aku dan Om
Yan.
Aku
tidak mendengar suara Vira lagi. Sambungan terputus.
Aku
memandang layar ponselku dengan bingung. Aku coba menghubungi Vira balik. Tidak
diangkat. Aku coba sekali lagi. Ah sudahlah. Lagipula beberapa hari ini aku
bakal bertemu dengannya langsung. Akan aku tanyakan mengapa.
Dan
malam itu pun sampai.
Aku
mengajak Adel dan Ivan, dua teman sekolahku. Gunanya mengajak teman, terutama
yang bermobil ke mana-mana, adalah supaya aku bisa dapat tebengan pulang
kapanpun kami mau. Aku tidak harus menunggu mamaku selesai mengerjakan entah
apa di kantor redaksinya.
Adel
dan Ivan tidak tertarik dengan keroncong, tapi mereka berminat mencoba tempat
makan baru. Sebetulnya Adel sudah pernah menemaniku sebelumnya ke sini. Ia suka
klappertart khas Buncong. Supaya tambah semarak, ia mengajak Ivan.
Aku
dan Adel berangkat dari rumah Adel setelah solat maghrib. Kami menjemput Ivan
yang baru kelar beraktivitas di sekolah, lalu meluncur ke Kedai Buncong. Belum
tepat pukul tujuh saat kami tiba. Masih segelintir eyang yang datang. Untung
teman-temanku ini tipe orang yang tidak keberatan menongkrong selama
apapun—asal tempat nyaman dan ada kudapan. Aku ceritakan pada mereka hal-hal
menarik tentang acara komunitas keroncong di kedai ini—meski Adel sudah
mengerti. Hiburan utama adalah polah kocak para eyang, serta pengunjung muda
yang lagi apes.
“Ah
entar kalau gue kena gimana? ” seru Ivan dramatis.
“Ya
elo nyanyi Indonesia Raya kek, cingcangkeling kek, apa kek, lagu apapun bisa
dibawain pakai keroncong kok,” kataku menenangkan. “Bisa aja bukan lo yang
kena, tapi Adel.”
“Audzubillah!”
Adel mengelus dada.
Aku
cabut sebentar dari percakapan ini ketika sepasang eyang yang aku kenali
melangkah ke dalam kedai-tapi-kafe ini. Mereka tanpa seorang anak perempuan
yang biasanya menyertai mereka. Aku bertukar senyum pada Tante Ice dan Om
Radit. Sementara aku dan teman-temanku ambil “posisi aman”, yaitu bangku yang
letaknya agak belakang, pasangan tersebut menempati jajaran bangku terdepan.
“Ayo
Be, katanya mau ceritain kecengan lo?”
“Ha?”
Dahiku mengernyit.
Adel
mengerling Ivan. Ceplos Ivan dengan semangat, “Itu lo, yang namanya
transegender!”
Ampun.
“…uniseks…”
koreksi Adel. “Yang katanya seiman, beriman…”
“…solatnya
enggak pernah bolong…”
“Bisa
main piano…” Adel tersenyum pada Ivan,
yang
melanjutkan, “Ngefans sama Om Hayyra juga.”
“Saudaranya
ada banyak.”
“Anak
kampus gajah, udah pasti intelegensinya tinggi.” Ivan mengacung-acungkan jari.
“Kelihatannya
low profile, enggak songong…” Adel menirukan gaya bicaraku. Katanya lagi,
“Nyadar enggak Be, dia udah menuhin sepertiga dari kriteria aneh lo!”
Ivan
menopang dagu dengan tangan bertumpu meja. “Yang katanya udah diekstrak jadi
sepuluh aja, berarti udah seperduanya tuh.”
“Tapi
dia tuh norak.” Ingat cara dia memadukan sweater biru muda dengan celana
bergaris-garis hijau dan putih.
“Emangnya
dia suka ngegombal?” tanya Adel.
“…enggak.”
“Berarti
dia enggak norak, Be,” sembur Ivan sambil menahan sendawa.
Dan
dia hanya empat bulan lebih tua dariku, tidak sampai dua-puluhan tahun, atau
lebih muda enam tahun.
…nya
membuatku merasa normal...
“Kalau
elo udah mulai suka itu wajar kok.”
“Iya.
Enggak mesti menuhin semua kriteria juga kali.” Ivan menyeruput jeruk herbalnya
lagi. “Lagian tadi udah nambah satu kan Del? Enggak gombal?”
“Iya.
Enggak gombal berarti enggak norak.”
Sebetulnya
ada satu kriteria lagi yang telah terpenuhi, tapi mereka belum tahu. Dalam satu
obrolan dengan Manda, ia bilang kalau ia suka anak kecil. Aku juga. Manda
sebetulnya ingin jadi guru TK atau SD—meski itu bukan profesi yang lazim
diincar lulusan kampusnya. John Brooke, kekasih Margaret March dalam “Little
Women”, pun seorang guru privat.
“Ah
terserah deh.” Berharap memalingkan kepala akan mengenyahkan debaran di dadaku.
Sudah
lewat setengah delapan, Ivan habis gelas kedua seiring jam session menghasilkan
dua penyanyi, ketika rombongan itu datang. Mereka seperti sebuah keluarga utuh.
Hangat menyaksikan Om Yan dan Tante Ri bercakap dalam hawa dingin sehabis hujan
ini. Sang kakak-beradik berjalan di depan mereka. Mereka terlihat tenang, lega
aku melihatnya. Aku takut melihat muram di wajah imut Vira. Aku hanya ingin ia
bisa menerima Om Yan dalam kehidupannya. Begitupun dengan Ari. Namun tampangnya
sedingin biasa.
Om
Yan dan Tante Ri mengambil tempat agak di pinggir, tapi masih cukup dekat
dengan panggung. Ari dan Vira mengamati Tante Ice dan Om Radit yang melambai
pada mereka. Dengan berekspresi sehangat mungkin, sepasang eyang itu seperti
tengah berusaha untuk mencairkan hati anak-anak.
Tambah
lagi kelegaanku ketika melihat Om Yan berinteraksi dengan Vira. Gadis mungil
itu tidak tersenyum, tapi juga tidak menunjukkan penolakan. Ketika senyum tipis
mulai terulas di wajahnya, ia melihatku. Lantas lengkungan itu lenyap. Ia
menundukkan pandangan. Hatiku seperti mencelus. Biasanya Vira langsung
tersenyum ramah ketika melihatku, bahkan mendekat.
Interaksi
Om Yan dengan Ari juga terjadi. Sikap Ari sama seperti adiknya, namun ia
terlihat agak menyimpan sungkan.
Tante
Ri tetap perhatian seperti biasa.
Perhatianku
sendiri aku alihkan dengan pedih. Aku bersyukur anak-anak itu tidak menunjukkan
penolakan pada Om Yan, tapi mengapa mereka jadi acuh tak acuh padaku?
“Kenapa
lo Be?”
“Ah
enggak,” sahutku. Suara kami mulai terbenam lagi oleh paduan instrumen yang
membuai.
“Aaah…
Tahu gini gue bawa bantal,” kata Ivan.
“Iya.
Gue besok mau bawa kasur ah,” sambut Adel.
“Be,
coba lo sebutin satu alasan kenapa keroncong itu oke.”
“Lo
tahu enggak sih, keroncong itu musik perjuangan eyang-eyang? Kelak kalau lo jadi
veteran, lo bakal mengenang setiap perjuangan lo dengan keroncong.”
Tepuk
tangan Ivan seakan aku telah mengucapkan pernyataan penting. Seseorang menepuk
bahuku. Ketika tengadah, aku melihat wajah Om Yan di atasku. Ia menyengir.
“Ketemu di sini, Bibe…”
“Eh
Om… Sukses Om, malam ini,” kataku. Tadi ia hanya sambil lewat. Meja pemesanan
tepat di belakang punggungku. Begitu ia lanjut, aku tidak melihat wajahnya
lagi.
“Kayaknya
gue pernah lihat orang itu…” gumam Adel.
“Iye,
kayaknya di koran Minggu kemarin ada deh.”
“Om
Hayyra,” ucapku dengan bangga.
Adel
dan Ivan kompak melongo. Mulut mereka terkatup begitu Om Yan mendekatiku lagi.
“Bibe,
kita tuh belum pernah tukaran nomor ya?”
“Iya
Om.” Padahal kami bisa minta langsung pada mamaku kalau benar-benar ingin.
“Om
minta deh, biar lebih gampang ngehubungin Bibe ya.” Ia mengeluarkan ponselnya
sembari menarik kursi di sebelahku. Ngeh dengan perhatian Adel dan Ivan pada
kami, kontan ia mengulurkan tangan. Adel dan Ivan bergantian menyambutkan.
“Yan,” ucapnya disertai senyum.
“Bibe
suka cerita tentang Om lo,” ujar Adel. Kilatan iseng singgah di matanya.
“Oh
ya? Cerita apa aja Be?”
“He
he…” Kusebutkan nomorku, sekalian aku minta nomornya juga.
Sesudahnya,
Om Yan langsung beranjak. “Saya balik dulu ya?” katanya pada kami. Keramahan
mewarnai.
“Temennya
Mama,” kataku ketika Om Yan sudah lalu. Adel dan Ivan mengangguk-angguk.
Sekilas ekor mataku menangkap
kakak-beradik itu. Mereka baru lepas dari menatapku. Aku memang dekat
dengan Om Yan, terus kenapa?
Om
Yan telah kembali ke bangkunya semula. Seorang eyang berkacamata dan berambut
putih menepuk bahunya. Eyang itu duduk tepat di belakang punggung Om Yan.
Mereka berjabat tangan. Om Yan memutar tubuhnya. Mereka bercakap dengan hangat,
sesekali disertai tawa kecil.
Ketika
mengamati Om Yan, sebetulnya sudut pandangku mencakup kedua anak itu juga.
Perhatian Ari tidak di sini, itu bisa diterima. Vira duduk dengan gelisah.
Sudut mulutnya turun ke bawah, seiring pandangannya. Dalam sudut pandangnya,
mungkin aku seperti mengamati dia, padahal fokusku sebenarnya pada Om Yan. Jadi
aku alihkan perhatian pada teman-temanku lagi, meski aku tidak tahu bagaimana
nimbrung percakapan mereka yang titik pangkalnya entah darimana.
Sebuah
langgam telah habis. Eyang yang tadi bercakap dengan Om Yan berseru dengan
suara soak pada Pak Edi, MC gadungan yang kerap tampil itu. “Ini lo Pak, kita
kedatangan musisi betulan.”
Ah.
Om Yan mau tampil! Seharusnya aku ajak Manda juga ke mari. Bisakah ia memainkan
keroncong? Atau ia akan membawakan jazz seperti biasa? Atau ia akan memadukan
keroncong dengan jazz?
Om
Yan terus mengusap bagian belakang kepalanya ketika ia bicara dengan eyang
penunjuknya dan Pak Edi. Tangan Pak Edi mendekat ke arah Vira. Gadis mungil itu
kembali menunjukkan senyum manisnya, meski tidak sampai ke mata. Mereka
berempat berdiri di sisi panggung. Sementara pengunjung dibiarkan menikmati
simfoni cakap mereka masing-masing. Om Yan melipat lengan. Dengan tubuh paling
menjulang, kepalanya tunduk ke bawah. Sesekali matanya tertuju pada Vira yang
tengah menyampaikan sesuatu pada Pak Edi dan eyang penunjuk. Eyang penunjuk
mundur untuk kembali menunjuk-nunjuk. Om Yan merendahkan tubuhnya agar bisa
mendengar Vira mengatakan sesuatu padanya dengan lebih jelas. Sebentar
berdiskusi, Vira terlihat ragu namun kemudian mengangguk-angguk. Om Yan kembali
berdiri dan mengatakan sesuatu pada Pak Edi.
Para
eyang, maupun pria berumur lain yang tampak lebih muda meski tetap saja
tergolong paruh baya, mengisi formasi di panggung. Om Yan dan Vira kembali
berdiskusi sebentar dengan mereka. Setelah sebuah anggukan dan isyarat “oke”
dari para manusia panggung, Pak Edi menyalakan mikrofon.
Dikatakannya
bahwa lagu yang akan dibawakan kali ini akan menggelitik ingatan para eyang
akan romansa mereka di kala belia. “Ayo, siapa yang sampai sekarang masih suka
pacaran di kuburan?”
Derai
pelan tawa para eyang. Aku jadi penasaran lagu apa yang akan ditampilkan. Di
depan Vira, dua orang meletakkan sebuah penyangga dengan kertas berisi teks
lagu di atasnya.
“Emang
orang zaman dulu pacarannya di kuburan ya?” tanya Adel.
Telunjuk
menempel pada bibir mengerucut, aku mendesis karena musik akan segera
dimainkan.
“Menanti
di Bawah Pohon Kamboja” merupakan lagu populer pada dekade 60-an. Lagu ini
dibawakan oleh Rien Djamain dalam balutan irama jazz nan mendayu. Namun siapa
sangka kalau lagu ini ternyata menyerupai sebuah lagu Prancis bertajuk “La Plus
Beau Tango du Monde”?
Om
Yan berdiri di balik kibor. Ia membuka dengan denting yang membelai telinga.
Sangat jazz. Namun para personil lain menyusul dengan irama khas keroncong. Dua
aliran tersebut saling berpadu jalin membentuk harmoni. Mereka antarkan suara
lembut Vira yang mulai berayun…
Menanti… di bawah pohon
kamboja… Datangmu, kekasih yang kucinta…
Ari
mengangkat sejenak perhatiannya dari bawah meja. Ia melihat adiknya. Aku kira
sebelumnya sepasang tangannya sedang asik memainkan sesuatu di bawah sana.
Janganlah, sekalipun
melalaikan, janjimu yang telah kau ucapkan.
Kerlingan
Om Yan pada Vira disertai senyum. Vira berkonsentrasi pada lirik, yang meski
harus dengan bantuan teks, namun dapat ia lantunkan dengan baik. Namun sayang,
yang aku lihat di matanya adalah lara, sebagaimana dulu ia menyanyikan lagu
berjudul “Mimpi Sedih”. Seharusnya ia menyanyikan lagu ini dengan sorot mata memancarkan
rindu.
Bila kasih tak ingat padaku,
lihatlah sekuntum kamboja. Di sana kita telah berjumpa…
Menurut
Ivan, lagu ini mengisahkan sehantu kuntilanak.
Hanya
sedikit, namun aku yang memerhatikan benar bisa ngeh kalau ada perubahan pada
bahasa mata Vira. Aku menoleh ke belakang. Seorang pria telah memasuki ruangan.
Ia datang sendirian. Pernah aku lihat pria berbadan tegap itu sebelumnya dalam
album foto Ari di Facebook. Rambutnya sama cepak seperti yang di foto. Matanya
semungil mata Vira…
Menanti… di bawah pohon
kamboja… Datangmu, kekasih yang kucinta…
Vira
lanjut bernyanyi dengan hentakan rasa yang berbeda. Ia lebih berseri. Ari
menyunggingkan senyum lebar melihat kedatangan pria tersebut. Ia berdiri, meski
lagu belum habis. Tante Ri menoleh. Om Yan pun ngeh.
“Papa!”
Vira sontak menyongsong pria itu setelah musik berhenti. Dipeluknya pinggang
pria tersebut. Pria itu mengangkat Vira hingga gadis mungil itu bisa merangkul
lehernya. Hanya sebentar, sempat menyita perhatian, namun suasana selanjutnya
kembali wajar. Tante Ice melontarkan sesuatu pada Pak Edi yang lantas
mengangguk-angguk. Pak Edi segera ambil kendali.
Masih
menggendong Vira, pria itu berjalan ke arah meja di mana Tante Ri duduk.
Sebelum sampai, ia bersalaman dengan Om Yan. Pria itu menarik kursi di samping
Tante Ri, lalu mencium kedua belah pipi mantan istrinya tersebut. Kepala Vira
yang sedari tadi menyusup ke balik leher papanya akhirnya terangkat juga.
Mukanya merah. Ia mengeratkan diri dengan sang papa lagi. Ari mendekat. Pria
itu merangkul sang bocah.
Bagaimana
hatiku tidak bergetar menyaksikan itu. Masih terasa kehangatan keluarga
tersebut, mengaburkan kenyataan bahwa mereka tidak lagi utuh. Om Yan tampak
sekadar kenalan keluarga saja, tak lebih.
Dua
anak itu belum henti mengganduli papa mereka. Jelas perhatian Tante Ri terarah
pada mereka, pada sang papa. Ikatan di antara keluarga tersebut samar-samar
membayang. Namun ketika aku mencoba untuk hanya melihat Tante Ri dan Om Yan,
aku tidak melihat ada yang lain.
Dengan
gamang aku terus memerhatikan mereka. Tidak ada potensi pertentangan apa-apa.
Om Yan dan pria itu bercakap hangat. Tante Ri menyimak tanpa pilu. Ari dan Vira
tidak menunjukkan tanda-tanda konfrontasi. Tidak ada yang pecah, seperti
keroncong dan jazz yang telah disatukan dalam harmoni, meski konon ada status
“cerai” di sana.
Ini
bukan urusanku, aku mengingatkan diri. Tapi aku tidak bisa menikmati keroncong
lagi. Sesuatu yang membuatku bertahan dengan keroncong telah memandang asing
padaku. Kusadari bahwa aku berada di luar lingkaran itu.
Tante
Ri mengelus rambut putranya sambil mengatakan sesuatu. Ari mengangguk. Ketika
berbalik, aku bisa lihat dingin telah luntur dari wajahnya. Ia bukan lagi bocah
tak berjiwa yang dunianya berbeda dari manusia kebanyakan.
Ia
menuju meja pemesanan. Ia melewatiku. Aku menoleh padanya. Tapi pembawaannya
seolah ia tak mengenalku. Setelah mengatakan sesuatu pada pegawai di balik
meja, ia kembali. Aku masih menoleh padanya. Ia melihatku. Kemeriahan dari
panggung tak membuat perkataannya luput dari pendengaranku. Sekilas wajahnya
mengeras lagi ketika mengucapkan itu padaku, “Pengkhianat.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar