Sabtu, 03 Desember 2011

Reuni

Sabtu besok adalah malam keroncong lansia di Kedai Buncong. Vira meneleponku. Mungkin ia kangen padaku karena bulan lalu kami tak bersua. Ia harus belajar untuk UAS, katanya. Mungkin ia akan memintaku untuk menginap lagi. Sampai mendengar suaranya, aku memikirkan akan membawa keriaan apa ke rumah besar itu lagi.

Di awal percakapan, suaranya masih seempuk biasa. Menanyakan kabarku, aku tanya kabarnya, menyinggung kesempatan bersua minggu lalu yang terlewatkan, lalu lamat-lamat suaranya jadi sekelam malam itu.

“Kak Bibe besok datang ke Buncong kan?”

“Iya dong, insya Allah.”

“Besok… Vira datangnya enggak cuman sama eyang.”

“Oh ya?”

“Iya, Kak Ari juga bakal ikut.” Wah menarik. Aku ingin tahu bagaimana reaksi bocah autis itu terhadap keroncong. “Mamaku sama pacarnya juga…”

Wah, betulan, menarik. Mendadak akusenang karena bakalan bertemu Om Yan. Semoga pada pertemuan besok kami sempat untuk membuat janji pertemuan berikutnya. Acara makan bersamanya selalu kunantikan.

“Oke oke… Tapi Vira suaranya kok enggak semangat gitu? Kan mau ketemu Kak Bibe?” selorohku, namun sepertinya itu tidak berpengaruh. Tanyaku lagi dengan lembut, “Kenapa? Karena pacar mamanya Vira ikut juga?”

Sebentuk gumaman merambatkan kegelisahannya.

“Vira, Kak Bibe kenal kok sama pacarnya Mama Vira.”

“Hah?”

“Om Yan kan?”

“Iya…” Nada suaranya berubah. Seperti kaget, tapi masih terjaga.

“Tante Ri itu, kan adik kelas mamanya Kak Bibe pas SMA. Om Yan juga. Om Yan deket sama mamanya Kak Bibe. Sama Kak Bibe juga.”

“Oh…”

“Om Yan baik kok. Vira enggak usah takut sama Om Yan.” Dan aku bayangkan orang-orang yang aku sayangi itu bersatu dalam ikatan keluarga inti. Lagipula, menurutku, secara fisik Om Yan dengan anak-anak Tante Ri tidak beda jauh. Mereka sama berambut ikal dan berkulit terang. Lain halnya dengan aku dan Om Yan.

Aku tidak mendengar suara Vira lagi. Sambungan terputus.

Aku memandang layar ponselku dengan bingung. Aku coba menghubungi Vira balik. Tidak diangkat. Aku coba sekali lagi. Ah sudahlah. Lagipula beberapa hari ini aku bakal bertemu dengannya langsung. Akan aku tanyakan mengapa.

Dan malam itu pun sampai.

Aku mengajak Adel dan Ivan, dua teman sekolahku. Gunanya mengajak teman, terutama yang bermobil ke mana-mana, adalah supaya aku bisa dapat tebengan pulang kapanpun kami mau. Aku tidak harus menunggu mamaku selesai mengerjakan entah apa di kantor redaksinya.

Adel dan Ivan tidak tertarik dengan keroncong, tapi mereka berminat mencoba tempat makan baru. Sebetulnya Adel sudah pernah menemaniku sebelumnya ke sini. Ia suka klappertart khas Buncong. Supaya tambah semarak, ia mengajak Ivan.

Aku dan Adel berangkat dari rumah Adel setelah solat maghrib. Kami menjemput Ivan yang baru kelar beraktivitas di sekolah, lalu meluncur ke Kedai Buncong. Belum tepat pukul tujuh saat kami tiba. Masih segelintir eyang yang datang. Untung teman-temanku ini tipe orang yang tidak keberatan menongkrong selama apapun—asal tempat nyaman dan ada kudapan. Aku ceritakan pada mereka hal-hal menarik tentang acara komunitas keroncong di kedai ini—meski Adel sudah mengerti. Hiburan utama adalah polah kocak para eyang, serta pengunjung muda yang lagi apes.

“Ah entar kalau gue kena gimana? ” seru Ivan dramatis.

“Ya elo nyanyi Indonesia Raya kek, cingcangkeling kek, apa kek, lagu apapun bisa dibawain pakai keroncong kok,” kataku menenangkan. “Bisa aja bukan lo yang kena, tapi Adel.”

“Audzubillah!” Adel mengelus dada.

Aku cabut sebentar dari percakapan ini ketika sepasang eyang yang aku kenali melangkah ke dalam kedai-tapi-kafe ini. Mereka tanpa seorang anak perempuan yang biasanya menyertai mereka. Aku bertukar senyum pada Tante Ice dan Om Radit. Sementara aku dan teman-temanku ambil “posisi aman”, yaitu bangku yang letaknya agak belakang, pasangan tersebut menempati jajaran bangku terdepan.

“Ayo Be, katanya mau ceritain kecengan lo?”

“Ha?” Dahiku mengernyit.

Adel mengerling Ivan. Ceplos Ivan dengan semangat, “Itu lo, yang namanya transegender!”

Ampun.

“…uniseks…” koreksi Adel. “Yang katanya seiman, beriman…”

“…solatnya enggak pernah bolong…”

“Bisa main piano…” Adel tersenyum pada Ivan,

yang melanjutkan, “Ngefans sama Om Hayyra juga.”

“Saudaranya ada banyak.”

“Anak kampus gajah, udah pasti intelegensinya tinggi.” Ivan mengacung-acungkan jari.

“Kelihatannya low profile, enggak songong…” Adel menirukan gaya bicaraku. Katanya lagi, “Nyadar enggak Be, dia udah menuhin sepertiga dari kriteria aneh lo!”

Ivan menopang dagu dengan tangan bertumpu meja. “Yang katanya udah diekstrak jadi sepuluh aja, berarti udah seperduanya tuh.”

“Tapi dia tuh norak.” Ingat cara dia memadukan sweater biru muda dengan celana bergaris-garis hijau dan putih.

“Emangnya dia suka ngegombal?” tanya Adel.

“…enggak.”

“Berarti dia enggak norak, Be,” sembur Ivan sambil menahan sendawa.

Dan dia hanya empat bulan lebih tua dariku, tidak sampai dua-puluhan tahun, atau lebih muda enam tahun.

…nya membuatku merasa normal...

“Kalau elo udah mulai suka itu wajar kok.”

“Iya. Enggak mesti menuhin semua kriteria juga kali.” Ivan menyeruput jeruk herbalnya lagi. “Lagian tadi udah nambah satu kan Del? Enggak gombal?”

“Iya. Enggak gombal berarti enggak norak.”

Sebetulnya ada satu kriteria lagi yang telah terpenuhi, tapi mereka belum tahu. Dalam satu obrolan dengan Manda, ia bilang kalau ia suka anak kecil. Aku juga. Manda sebetulnya ingin jadi guru TK atau SD—meski itu bukan profesi yang lazim diincar lulusan kampusnya. John Brooke, kekasih Margaret March dalam “Little Women”, pun seorang guru privat.

“Ah terserah deh.” Berharap memalingkan kepala akan mengenyahkan debaran di dadaku.

Sudah lewat setengah delapan, Ivan habis gelas kedua seiring jam session menghasilkan dua penyanyi, ketika rombongan itu datang. Mereka seperti sebuah keluarga utuh. Hangat menyaksikan Om Yan dan Tante Ri bercakap dalam hawa dingin sehabis hujan ini. Sang kakak-beradik berjalan di depan mereka. Mereka terlihat tenang, lega aku melihatnya. Aku takut melihat muram di wajah imut Vira. Aku hanya ingin ia bisa menerima Om Yan dalam kehidupannya. Begitupun dengan Ari. Namun tampangnya sedingin biasa.

Om Yan dan Tante Ri mengambil tempat agak di pinggir, tapi masih cukup dekat dengan panggung. Ari dan Vira mengamati Tante Ice dan Om Radit yang melambai pada mereka. Dengan berekspresi sehangat mungkin, sepasang eyang itu seperti tengah berusaha untuk mencairkan hati anak-anak.

Tambah lagi kelegaanku ketika melihat Om Yan berinteraksi dengan Vira. Gadis mungil itu tidak tersenyum, tapi juga tidak menunjukkan penolakan. Ketika senyum tipis mulai terulas di wajahnya, ia melihatku. Lantas lengkungan itu lenyap. Ia menundukkan pandangan. Hatiku seperti mencelus. Biasanya Vira langsung tersenyum ramah ketika melihatku, bahkan mendekat.

Interaksi Om Yan dengan Ari juga terjadi. Sikap Ari sama seperti adiknya, namun ia terlihat agak menyimpan sungkan.

Tante Ri tetap perhatian seperti biasa.

Perhatianku sendiri aku alihkan dengan pedih. Aku bersyukur anak-anak itu tidak menunjukkan penolakan pada Om Yan, tapi mengapa mereka jadi acuh tak acuh padaku?

“Kenapa lo Be?”

“Ah enggak,” sahutku. Suara kami mulai terbenam lagi oleh paduan instrumen yang membuai.

“Aaah… Tahu gini gue bawa bantal,” kata Ivan.

“Iya. Gue besok mau bawa kasur ah,” sambut Adel.

“Be, coba lo sebutin satu alasan kenapa keroncong itu oke.”

“Lo tahu enggak sih, keroncong itu musik perjuangan eyang-eyang? Kelak kalau lo jadi veteran, lo bakal mengenang setiap perjuangan lo dengan keroncong.”

Tepuk tangan Ivan seakan aku telah mengucapkan pernyataan penting. Seseorang menepuk bahuku. Ketika tengadah, aku melihat wajah Om Yan di atasku. Ia menyengir. “Ketemu di sini, Bibe…”

“Eh Om… Sukses Om, malam ini,” kataku. Tadi ia hanya sambil lewat. Meja pemesanan tepat di belakang punggungku. Begitu ia lanjut, aku tidak melihat wajahnya lagi.

“Kayaknya gue pernah lihat orang itu…” gumam Adel.

“Iye, kayaknya di koran Minggu kemarin ada deh.”

“Om Hayyra,” ucapku dengan bangga.

Adel dan Ivan kompak melongo. Mulut mereka terkatup begitu Om Yan mendekatiku lagi.

“Bibe, kita tuh belum pernah tukaran nomor ya?”

“Iya Om.” Padahal kami bisa minta langsung pada mamaku kalau benar-benar ingin.

“Om minta deh, biar lebih gampang ngehubungin Bibe ya.” Ia mengeluarkan ponselnya sembari menarik kursi di sebelahku. Ngeh dengan perhatian Adel dan Ivan pada kami, kontan ia mengulurkan tangan. Adel dan Ivan bergantian menyambutkan. “Yan,” ucapnya disertai senyum.

“Bibe suka cerita tentang Om lo,” ujar Adel. Kilatan iseng singgah di matanya.

“Oh ya? Cerita apa aja Be?”

“He he…” Kusebutkan nomorku, sekalian aku minta nomornya juga.

Sesudahnya, Om Yan langsung beranjak. “Saya balik dulu ya?” katanya pada kami. Keramahan mewarnai.

“Temennya Mama,” kataku ketika Om Yan sudah lalu. Adel dan Ivan mengangguk-angguk. Sekilas ekor mataku menangkap  kakak-beradik itu. Mereka baru lepas dari menatapku. Aku memang dekat dengan Om Yan, terus kenapa?

Om Yan telah kembali ke bangkunya semula. Seorang eyang berkacamata dan berambut putih menepuk bahunya. Eyang itu duduk tepat di belakang punggung Om Yan. Mereka berjabat tangan. Om Yan memutar tubuhnya. Mereka bercakap dengan hangat, sesekali disertai tawa kecil.

Ketika mengamati Om Yan, sebetulnya sudut pandangku mencakup kedua anak itu juga. Perhatian Ari tidak di sini, itu bisa diterima. Vira duduk dengan gelisah. Sudut mulutnya turun ke bawah, seiring pandangannya. Dalam sudut pandangnya, mungkin aku seperti mengamati dia, padahal fokusku sebenarnya pada Om Yan. Jadi aku alihkan perhatian pada teman-temanku lagi, meski aku tidak tahu bagaimana nimbrung percakapan mereka yang titik pangkalnya entah darimana.

Sebuah langgam telah habis. Eyang yang tadi bercakap dengan Om Yan berseru dengan suara soak pada Pak Edi, MC gadungan yang kerap tampil itu. “Ini lo Pak, kita kedatangan musisi betulan.”

Ah. Om Yan mau tampil! Seharusnya aku ajak Manda juga ke mari. Bisakah ia memainkan keroncong? Atau ia akan membawakan jazz seperti biasa? Atau ia akan memadukan keroncong dengan jazz?

Om Yan terus mengusap bagian belakang kepalanya ketika ia bicara dengan eyang penunjuknya dan Pak Edi. Tangan Pak Edi mendekat ke arah Vira. Gadis mungil itu kembali menunjukkan senyum manisnya, meski tidak sampai ke mata. Mereka berempat berdiri di sisi panggung. Sementara pengunjung dibiarkan menikmati simfoni cakap mereka masing-masing. Om Yan melipat lengan. Dengan tubuh paling menjulang, kepalanya tunduk ke bawah. Sesekali matanya tertuju pada Vira yang tengah menyampaikan sesuatu pada Pak Edi dan eyang penunjuk. Eyang penunjuk mundur untuk kembali menunjuk-nunjuk. Om Yan merendahkan tubuhnya agar bisa mendengar Vira mengatakan sesuatu padanya dengan lebih jelas. Sebentar berdiskusi, Vira terlihat ragu namun kemudian mengangguk-angguk. Om Yan kembali berdiri dan mengatakan sesuatu pada Pak Edi.

Para eyang, maupun pria berumur lain yang tampak lebih muda meski tetap saja tergolong paruh baya, mengisi formasi di panggung. Om Yan dan Vira kembali berdiskusi sebentar dengan mereka. Setelah sebuah anggukan dan isyarat “oke” dari para manusia panggung, Pak Edi menyalakan mikrofon.

Dikatakannya bahwa lagu yang akan dibawakan kali ini akan menggelitik ingatan para eyang akan romansa mereka di kala belia. “Ayo, siapa yang sampai sekarang masih suka pacaran di kuburan?”

Derai pelan tawa para eyang. Aku jadi penasaran lagu apa yang akan ditampilkan. Di depan Vira, dua orang meletakkan sebuah penyangga dengan kertas berisi teks lagu di atasnya.

“Emang orang zaman dulu pacarannya di kuburan ya?” tanya Adel.

Telunjuk menempel pada bibir mengerucut, aku mendesis karena musik akan segera dimainkan.

“Menanti di Bawah Pohon Kamboja” merupakan lagu populer pada dekade 60-an. Lagu ini dibawakan oleh Rien Djamain dalam balutan irama jazz nan mendayu. Namun siapa sangka kalau lagu ini ternyata menyerupai sebuah lagu Prancis bertajuk “La Plus Beau Tango du Monde”?

Om Yan berdiri di balik kibor. Ia membuka dengan denting yang membelai telinga. Sangat jazz. Namun para personil lain menyusul dengan irama khas keroncong. Dua aliran tersebut saling berpadu jalin membentuk harmoni. Mereka antarkan suara lembut Vira yang mulai berayun…

Menanti… di bawah pohon kamboja… Datangmu, kekasih yang kucinta…

Ari mengangkat sejenak perhatiannya dari bawah meja. Ia melihat adiknya. Aku kira sebelumnya sepasang tangannya sedang asik memainkan sesuatu di bawah sana.

Janganlah, sekalipun melalaikan, janjimu yang telah kau ucapkan.

Kerlingan Om Yan pada Vira disertai senyum. Vira berkonsentrasi pada lirik, yang meski harus dengan bantuan teks, namun dapat ia lantunkan dengan baik. Namun sayang, yang aku lihat di matanya adalah lara, sebagaimana dulu ia menyanyikan lagu berjudul “Mimpi Sedih”. Seharusnya ia menyanyikan lagu ini dengan sorot mata memancarkan rindu.

Bila kasih tak ingat padaku, lihatlah sekuntum kamboja. Di sana kita telah berjumpa…

Menurut Ivan, lagu ini mengisahkan sehantu kuntilanak.

Hanya sedikit, namun aku yang memerhatikan benar bisa ngeh kalau ada perubahan pada bahasa mata Vira. Aku menoleh ke belakang. Seorang pria telah memasuki ruangan. Ia datang sendirian. Pernah aku lihat pria berbadan tegap itu sebelumnya dalam album foto Ari di Facebook. Rambutnya sama cepak seperti yang di foto. Matanya semungil mata Vira…

Menanti… di bawah pohon kamboja… Datangmu, kekasih yang kucinta…

Vira lanjut bernyanyi dengan hentakan rasa yang berbeda. Ia lebih berseri. Ari menyunggingkan senyum lebar melihat kedatangan pria tersebut. Ia berdiri, meski lagu belum habis. Tante Ri menoleh. Om Yan pun ngeh.

“Papa!” Vira sontak menyongsong pria itu setelah musik berhenti. Dipeluknya pinggang pria tersebut. Pria itu mengangkat Vira hingga gadis mungil itu bisa merangkul lehernya. Hanya sebentar, sempat menyita perhatian, namun suasana selanjutnya kembali wajar. Tante Ice melontarkan sesuatu pada Pak Edi yang lantas mengangguk-angguk. Pak Edi segera ambil kendali.

Masih menggendong Vira, pria itu berjalan ke arah meja di mana Tante Ri duduk. Sebelum sampai, ia bersalaman dengan Om Yan. Pria itu menarik kursi di samping Tante Ri, lalu mencium kedua belah pipi mantan istrinya tersebut. Kepala Vira yang sedari tadi menyusup ke balik leher papanya akhirnya terangkat juga. Mukanya merah. Ia mengeratkan diri dengan sang papa lagi. Ari mendekat. Pria itu merangkul sang bocah.

Bagaimana hatiku tidak bergetar menyaksikan itu. Masih terasa kehangatan keluarga tersebut, mengaburkan kenyataan bahwa mereka tidak lagi utuh. Om Yan tampak sekadar kenalan keluarga saja, tak lebih.

Dua anak itu belum henti mengganduli papa mereka. Jelas perhatian Tante Ri terarah pada mereka, pada sang papa. Ikatan di antara keluarga tersebut samar-samar membayang. Namun ketika aku mencoba untuk hanya melihat Tante Ri dan Om Yan, aku tidak melihat ada yang lain.

Dengan gamang aku terus memerhatikan mereka. Tidak ada potensi pertentangan apa-apa. Om Yan dan pria itu bercakap hangat. Tante Ri menyimak tanpa pilu. Ari dan Vira tidak menunjukkan tanda-tanda konfrontasi. Tidak ada yang pecah, seperti keroncong dan jazz yang telah disatukan dalam harmoni, meski konon ada status “cerai” di sana.

Ini bukan urusanku, aku mengingatkan diri. Tapi aku tidak bisa menikmati keroncong lagi. Sesuatu yang membuatku bertahan dengan keroncong telah memandang asing padaku. Kusadari bahwa aku berada di luar lingkaran itu.

Tante Ri mengelus rambut putranya sambil mengatakan sesuatu. Ari mengangguk. Ketika berbalik, aku bisa lihat dingin telah luntur dari wajahnya. Ia bukan lagi bocah tak berjiwa yang dunianya berbeda dari manusia kebanyakan.

Ia menuju meja pemesanan. Ia melewatiku. Aku menoleh padanya. Tapi pembawaannya seolah ia tak mengenalku. Setelah mengatakan sesuatu pada pegawai di balik meja, ia kembali. Aku masih menoleh padanya. Ia melihatku. Kemeriahan dari panggung tak membuat perkataannya luput dari pendengaranku. Sekilas wajahnya mengeras lagi ketika mengucapkan itu padaku, “Pengkhianat.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain