Ruang yang Hilang: Pandangan Humanis tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan (selanjutnya Ruang yang Hilang saja) mengingatkan saya akan pengaruh media terhadap realitas yang senyatanya. Media merupakan “representasi realitas” atau penerimaan “salinan” sebagai “sesuatu yang asli”. (halaman 40-41)
Ruang yang Hilang mengajukan cyberspace sebagai terdakwa, namun juga
mengungkapkan bahwa sebelum cyberspace tercipta manusia sudah tertipu oleh
media. Ingat kepanikan massal yang dialami penduduk sepanjang pantai timur
Amerika Serikat pada tahun 1938 akibat kisah sandiwara radio Orson Wells “War
of the Worlds”.
Realitas
buatan tidak hanya disajikan oleh cyberspace. Sebelumnya, novel, film, TV,
radio, dan berbagai media lain telah berjasa. Cyberspace adalah corong yang
kian menggaungkan kekuatan media. Dampak yang ditimbulkan pun menjadi lebih
besar. Ingat iklan Goyang Gayung-nya XL—lebay sih, tapi cukup merepresentasikan
hebatnya kecepatan media di era kini.
Ruang yang Hilang merupakan kekhawatiran berlebihan akan dampak cyberspace,
atau memang kita yang sudah terlampau apatis. Kita dapat mereguk sebanyak
mungkin realitas tanpa harus sungguhan mengalaminya. Itu sudah cukup untuk
membuat kita dapat mengambil hikmah akan sesuatu. Namun tidakkah itu hanya
mengembangkan aspek kognitif saja?
Kita
memang tidak mungkin dapat mencerap segala realitas, maka peran media menjadi
penting. Namun sebagaimana sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, maka Ruang yang Hilang hendak mengingatkan
pembacanya agar tetap mengindahkan realitas yang senyatanya.
Cukuplah
media sebagai referensi kita dalam mengenali, memahami, lantas memperbaiki
realitas yang senyatanya. Sebagai contoh, dengan membaca Rumah Seribu Malaikat: Memoar Inspiratif tentang Satu Keluarga
Bersahaja yang Membesarkan Puluhan Anak Angkat, kita jadi tahu bahwa ada
begitu banyak anak terlantar di sekitar kita. Pengorbanan keluarga
Yuli-Badawi—entah bagaimana mereka bisa memiliki waktu untuk diri mereka
sendiri—dapat memotivasi pembaca agar meningkatkan kepedulian sosialnya. Kita
mungkin belum tentu bisa seperti mereka, namun setidaknya kita coba untuk
melakukan sesuatu sedikit demi sedikit.
Jadi,
mari kita singkirkan sejenak realitas dalam kepala kita masing-masing dan mulai
mengenali, memahami, lantas memperbaiki realitas yang senyatanya. Gunakan
bantuan media seperlunya, selebihnya kita dapat menggunakan cara yang lebih
sehat. Misalnya dengan berjalan kaki. :p
Kita semua tentu paham bahwa ketidaknyataan meningkat seiring dengan bertambahnya kecepatan. Saat berjalan kaki dengan kecepatan 10 km per jam, kita akan memperoleh pengalaman yang khas di tiap-tiap tempat: baunya, suaranya, warnanya, teksturnya, dan sebagainya. Akan tetapi, bermobil dengan kecepatan 120 km per jam, pengalamannya jauh berbeda. Mobil mengisolasi kita, menciptakan jarak; dunia yang berbeda di balik kaca jendela—apakah itu padang rumput ataukah ladang pertanian—tampak tak nyata. (halaman 41)
Ruang yang Hilang bukan buku yang secara khusus menyorot hal berjalan kaki
atau lanskap alam. Ini hanyalah sebuah buku setebal 195 halaman yang memaparkan
kekhawatiran akan dampak cyberspace bagi kehidupan manusia. Diterbitkan pada
tahun 1995, sedang di Indonesia tahun 1999, masihkah konteks buku ini relevan
di era Twitter sekarang ini? Toh sudah satu setengah dekade berselang.
Mungkin
tidak. Namun bukan berarti hal-hal yang penulis ungkapkan tidak ada benarnya
sama sekali. Ya. Itu terjadi.
Kita dapat menikmati berjam-jam acara TV tentang alam. Akan tetapi, begitu kita di tengah hutan atau padang rumput, kita gamang terhadap hal yang mesti kita lakukan. Kita selalu menanti untuk melewatkan waktu bersama Chris The Brick dalam film seri Northern Exposure, tetapi takut bertemu tetangga saat membuang sampah di bak sampah depan rumah. “Peristiwa tanpa perantara” hampir menjadi sesuatu yang memalukan: seseorang di sebuah pesta yang menawarkan diri untuk memainkan alat musik yang dibawanya, akan membuat setiap orang merasa risi. Bagaimanapun, itu saru. Kita lebih merasa nyaman dengan representasi: Aerosmith di MTV, Isaac Stern atau Eric Clapton di CD. (halaman 41-42)
…suatu saat nanti representasi kehidupan yang tampak dalam layar kaca, radio, dan film, di mata kita justru akan lebih terasa sebagai “kehidupan” dibandingkan dengan kehidupan itu sendiri. (halaman 43)
Dan
di kehidupan lain tersebut, kita bisa menjadi apapun yang kita mau. Kita bisa menjadi
apa yang kita tidak bisa capai di realitas yang senyatanya.
Ketika Bob menggunakan Internet, dia akan menyandangkan sebuah nama untuk dirinya sendiri. Dia dapat menamai dirinya Bob, atau memerankan dirinya sebagai apapun atau siapapun yang dia inginkan: manusia, binatang, tumbuhan, mineral… (halaman 33-34)
Pustaka rujukan:
Mark Slouka.
1999. Ruang yang Hilang: Pandangan
Humanis tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan. Bandung: Penerbit Mizan.
Yuli Badawi dan
Hermawan Aksan. 2010. Rumah Seribu
Malaikat: Memoar Inspiratif tentang Satu Keluarga Bersahaja yang Membesarkan
Puluhan Anak Angkat. Jakarta: Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika) - sumber gambar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar