Benar saja. Begitu papaku jenguk
Tante ke rumah sakit, dan ketemu aku, ia langsung menyalak suruh aku pulang.
Apalagi setelah tahu aku sudah bolos tiga hari. Direweli begini aku malah makin
ingin mangkir. Meski benar juga katanya. Besok, mau tidak mau aku harus kembali
ke sekolah setelah alpa—alasan palsu.
Sebelum tanteku balik ke rumah, aku
ingin supaya Om Yan berkesempatan menjenguk. Ia belum pernah bertemu tanteku
secara langsung kan. Aku ingin ia tahu kalau kata-katanya terbukti. Tanteku
cantik. Bayinya lebih cantik.
Sejak takziah ibunya, aku belum
berhubungan lagi dengan Om Yan. Ia sempat melihatku, lalu memberi senyum tipis
di sela pandangnya yang sendu, setelah itu tidak ada lagi. Terasa lama sekali
kehangatannya tidak melandaku.
Aku
coba mengabarinya tentang tanteku lewat sms. Tak berbalas. Ketika aku mulai tak
sabar, aku putuskan untuk langsung saja meneleponnya.
“Nomor
yang Anda panggil sedang berada di luar service area.”
Om
Yan, sayang sekali, tanteku sudah keburu pulang.
Sebetulnya
Tante As bisa saja hanya menyusui dan makan sepanjang hari. Suaminya cekatan
dan berpengalaman. Usai kewajiban di sekolah, atau bimbel, aku langsung pulang
ke rumah Tante As untuk ikut belajar bagaimana cara mengganti popok, memandikan
bayi, menggendong yang benar, memasak makanan sehat yang praktis untuk diri
sendiri… aku harap Om Yan di sini juga—barangkali suatu saat ia punya bayinya
sendiri… dan mempersiapkan segalanya jika ditinggal Om Pir nanti.
“Aku
bisa sendiri… Aku enggak harus dilayani…”
Namun
Om Pir tetap mengerjakan apapun yang ia bisa untuk meringankan Tante As. Tante
As sudah tahu, Om Pir harus segera meninggalkannya lagi. Sebenarnya ia sudah
harus kembali sejak hari kelahiran bayinya, si mungil Kiranayesha Laurent. Tapi
ia terus mengusahakan penundaan.
“I
can do all by myself,” ketika bilang begitu Tante As lupa pada kelelahan pasca
melahirkan serta nyeri bekas jahitan yang sesekali masih menderanya. Ia
mengulang-ulangnya, dengan nada protektif, “She’s my baby.”
Om
Pir hanya ingin menjadi suami yang berbakti. Setelah pada hari-hari pertama
orang demi orang-orang, keluarga maupun teman, menjenguknya, ia tidak lagi
berminat ditemui siapapun. Bahkan “papa” yang dicari-carinya saat hendak
melahirkan pun tidak lagi ia acuhkan. Tidak sampai seminggu, Kakek sudah
kembali mengurus kebunnya.
Aku
juga kena. Ia jadi serewel papa-mamaku. “Kenapa kamu enggak belajar Bibe?” Jadi
aku harus kelihatan sedang baca buku pelajaran saat ia melintas.
Segala
kado menumpuk di sudut kamar—ia sudah pindah ke ruang tidur di luar
studionya—dan aku yang membereskan. Kalau sama yang ini, ia masih tertarik,
tersenyum, mengomentari, serta memberitahuku di mana aku harus
menyimpannya.
Tiba
saat di mana Om Pir tidak bisa lebih lama lagi di sini atau ia akan kehilangan
pekerjaan—jaminan kehidupan mapan bagi putrinya kelak.
Lambaikan
tangan pada Om Pir yang dijemput taksi pada suatu petang… Perpisahan tidak
berlangsung dramatis, dalam artian, tidak sampai mengakibatkan Tante As
menangis. Ia biasa saja. Ia biasa sendiri di rumah. Tapi sekarang tidak lagi,
sudah ada si kecil yang menemani, dan aku, kalau saja Papa tidak terus
merongrongku untuk pulang.
“Aku
pindah rumah ke sini aja Papa…”
Papa
berdecak. Tante As telah dapat kembali ke hobinya dulu: bersih-bersih. Tapi ia
tidak sedang membersihkan ruang tengah. Hanya terdengar desir sapunya merabai
permukaan lantai di lain ruang, namun kami tetap merasa harus bicara
pelan-pelan. Kiranayesha tengah lelap dalam pelukanku. Mulut kecilnya yang
mengatup begitu menggemaskan. Ingin aku menciumnya selalu. Aku melakukannya.
Aku tidak bisa mengartikan pandangan Papa. Aku harap itu artinya sebentar lagi
ia akan menyerah.
“Papa
enggak pernah gendong aku pas umurku masih segini kan?” ucapku.
“Sini…”
Kedua lengan Papa terangkat. Aku menyerahkan bayi itu dalam buaiannya.
Kubiarkan ia larut dalam keasyikannya sendiri. Memandangi bayi itu,
menimang-nimangnya di tengah ruangan, seakan-akan bayi itu dapat melihat
ekspresinya yang selalu ingin membuat tertawa.
Terbangun
deh.
Papa
menyerahkan Kiran pada mamanya, yang menerimanya tanpa kata, tapi senyum
menyerta. Tante As duduk di sofa. Papa memalingkan wajah, menjauh, ketika Tante
As mengeluarkan anggota tubuh. Papa membuat kopi lagi dengan cangkir yang sama
untuk ketiga kali. Lalu Papa minum di ruang tamu.
“Be,
nanti ikut Papa Bibe pulang ya,” kata Tante As. Aku urung membantah karena
nadanya serius. Entahlah, aku… hanya ragu apakah ia bisa mengurus bayinya
dengan baik. Memang sejauh ini ia menerapkan contoh yang Om Pir berikan dengan
baik. Mengingat individualisme Tante As, mungkin juga ia hanya butuh waktu
berdua saja dengan bayinya, setelah selama ini didampingi Om Pir terus-menerus,
ditambah aku dari siang menjelang sore hingga pagi lagi. “Fokus dulu sama
ujian. Kalau udah selesai, main-main lagi ke sini enggak apa-apa.”
“Kalau
ada apa-apa, aku dikasih tahu ya Tante…”
Tante
As hanya menjawab dengan senyum. Ia bopong bayinya sampai ambang pintu depan
untuk mengantar kami. Sesekali aku amati dirinya lekat-lekat. Aku yakinkan
diriku kalau ia sudah tidak selemah sebelumnya. Ia telah kembali fit. Ia bisa
menangani semuanya sendiri.
Aku
bisa bertahan seminggu lebih mendekam di rumah, juga di sekolah dan bimbel,
sampai UAN purna. Mencurahkan konsentrasiku pada ini bikin aku sadar kalau
seharusnya aku mempersiapkannya sejak awal. Perkara Tante As terlalu
merundungiku. Jadi, selain bekerja keras dengan mengoptimalkan waktu yang
tersisa, aku hanya bisa tawakal. Aku menahan keras diriku agar tidak lari ke
rumah Tante As melainkan fokus selalu pada apa yang wajib kuhadapi.
Mestinya
aku persiapan ujian praktik dan UAS setelah UAN, tapi aku kangen dengan adikku.
Tiap menelepon Tante As, tiap kudengar Kiran meraung-raung, tersentak hatiku
ingin menggendongnya, menciuminya. Aku juga ingin memastikan Tante As memakan
makanan sehat. Aku ingin memasakkannya lagi, apapun, sesuatu yang beda dari
yang biasa ia masak setelah ia bisa masak sedikit-sedikit. Ia tidak mungkin
melakukan semuanya sendiri kan? Para sahabatnya yang loyal itupun tidak bisa
selalu datang. Aku harus selalu di sampingnya!
“Boleh
ke rumah Tante As ya?” tanyaku dengan semanis-manisnya pada Mama.
“Sekalian
tanya Tante As ASI-nya udah keluar apa belum ya,” kata Mama. Aku menanggapi,
namun tak terjawab, karena saking semangatnya aku sudah keburu keluar rumah.
Aku membawa pakaian ganti dalam ranselku tentu saja.
Dalam
naungan cahaya alam yang mulai runtuh, rumah itu tampak bernyawa. Tentu ada
orang di dalamnya. Orang-orang. Senang menyelinap. Ternyata tak hanya dua, tapi
tiga.
“Assalamualaikum…”
salamku sembari mencopot sepatu di ruang depan.
Namun
yang menjawab adalah gertakan, “Sudah terlanjur hidup, masak mau dibalikin
lagi?!”
Yang
dijawab dengan isakan. Aku lihat pria berambut putih dengan semburat hitam di
sana-sinilah yang menimang Kiran, bukan mamanya. Bayi itu tersedak, lalu
menangis. Aduh tidak tega aku mendengarnya. Kakek mengangkat botol dari mulut
mungil itu.
Aku
tidak lihat Tante As di ruang tengah, hanya ada kakek dan cucunya itu. Aduh
Kakek, mana bisa bayi itu ditenangkan suara garangmu? Ingin aku segera ambil
alih. Namun langkahku tertahan ketika melalui pintu yang terbuka, aku lihat tanteku
tersedu-sedu di tepi tempat tidur.
Tampaknya
aku sudah melewatkan sesuatu.
Bingung
aku. Antara mengambil alih bayi itu atau menghibur tanteku. Kakekku tidak punya
cukup kelembutan untuk menangani keduanya!
“Kakek…
Biar aku yang gendong…”
Kakek
mendelik padaku. Ia malah balik badan sehingga aku tidak bisa lihat Kiran,
tanpa henti ia mengeluarkan desisan-desisan agar bayi itu tenang.
Ditimang-timangnya sambil terus menjauhiku.
Ah
masa bodoh. Jadi aku mendekati tanteku dan menanyakan keadaannya. Dengan aku
bersimpuh di depan kakinya, tangisnya mereda. Tinggal sisa sengguk. Ia
mengusap-usap mata. “Kenapa kamu ke sini? Ujiannya udah selesai?”
Aku
mengangguk.
Ia
telah mendapatkan harga dirinya lagi. Tangisnya sudah henti. Ia masih kelihatan
gemuk. Wajahnya merah pucat. “Tante… Tante cantik…” kataku. Ia tersenyum
sedikit. Lalu ia menghampiri papanya. Pria tua itu menyerahkan sang cucu dalam
buaian sang mama.
Sementara,
suasana tenang kembali.
Apa
yang telah terjadi selama aku tidak ke mari? Aku ingin tanya pada Kakek, tapi
melihatnya saja sudah bikin aku segan dan pasti kalau tidak mudah mengajaknya
berkomunikasi. Dengan seenaknya pula ia merokok di ruang tengah. Tapi sekali
lagi, aku sungkan memberitahunya. Ia juga pasti tidak peduli soal membereskan
rumah.
Sebenarnya
ia tidak mencecerkan abu sampai ke mana-mana. Ia hanya menebarkan aroma khas
kakek-kakek di mana-mana. Aku tidak tahu sudah berapa lama ia sampai di sini.
Bantal-bantal menumpuk di sudut sofa. TV menyala di hadapannya tanpa ditonton.
Lapisan debu di tiap permukaan keras tidak dibersihkan secara sempurna.
Ketika
aku ke dapur, aku menemukan sisa sayur dalam panci di bak cuci. Beberapa
perabot kotor menumpuk juga di tepinya. Tempat sampah tidak menampung kemasan
plastik, kaleng, maupun styrofoam sebanyak biasa. Kukira Tante As makin
terbiasa menyetop tukang sayuran. Ia seorang ibu, ia seorang ibu! Aku bersorak.
Tapi
rumah ini masih tampak kacau. Jelas saja, siapa sih yang bisa melakukan
semuanya sendirian? Apalagi dengan Kakek yang tak berguna.
Jadi
kuisi waktu dengan membereskan dan merapikan segalanya. Aku berusaha untuk
melakukannya sebaik Tante As—sebelum ia punya anak.
Setelah
mencuci berbagai perabot dan mengelap pantri di dapur, aku menyedot debu karpet
ruang tengah. Pria itu memencet-mencet remot TV. Jelas ia tidak biasa dengan TV
kabel. Tapi aku biarkan saja ia menuntaskan rasa penasarannya sendirian.
Aku
memutar gagang pintu studionya, hendak merambah ke sana. Namun terkunci, biar
aku tarik gagang itu berkali-kali. Ketika aku mengintip kamar mandi, ada
tumpukan kain kotor di sudut. Aromanya kurang sedap. Mestilah Tante As lelah
sekali.
Ada
bayi. Ada bayi di rumah ini. Rumah ini bukan milik Tante As lagi. Bayi itu yang
menguasai rumah ini. Tiap orang yang menimangnya akan membawanya menjelajah ke
mana-mana. Tak hanya berputar-putar di ruang tengah, tapi ia juga mendorong
orang itu agar ia bisa mengintip halaman mungil di balik dinding kaca, menuju
ruang tamu yang menguarkan hawa ketenangan lebih, bahkan ke dapur di mana ia
ingin mengenali segala rasa yang menggoyang lidah. Ruang tidur selalu jadi
pelabuhannya. Di ruang itu, aku lihat ia lelap dalam damai. Kedua lengannya
terangkat ke atas dengan puncak terselubung sarung bulat. Di sampingnya, duduk
seorang wanita sedih dengan kepala terkulai, hanya tangan yang jadi bertenaga
ketika memompa susu dari sebelah payudara.
Aku
ingat kata-kata Mama.
“Tante,
kenapa, air susunya enggak mau keluar?” tanyaku. Tapi aku lihat usahanya
membuahkan hasil beberapa ml.
“Keluar
sedikit,” kata Tante As datar.
“Tante
harus banyak makan daun katuk. Katanya bisa ngelancarin ASI,” kataku.
“Iya,
sudah,” jawabnya.
Kusadari
bahwa aku masih pegang sapu di tangan. Beberapa kali kutepuk punggung Tante As,
pelan, lalu melanjutkan. Terdengar air mengalir di kamar mandi. Lewat celah
pintu yang terbuka sedikit, aku mengintip Kakek dalam busa putih mengembang.
Tumpukan kain kotor di sudut tak terlihat lagi.
Tante
As keluar ruang tidur. Botol yang sudah terisi seperempatnya dengan cairan
putih itu ia masukkan ke dalam kulkas. Setelahnya, ia membuka kunci studio,
masuk ke dalam, menutup pintu, tanpa menguncinya lagi.
Ketika
gelap bertandang, menunaikan solat yang berlanjut menonton TV bikin perasaanku
naik sedikit. Kakek entah sedang apa di dapur. Tante As belum juga keluar kamar.
Tangisan Kiran meledak, namun aku kalah sigap dari Kakek. Ia memanggilku, lebih
terdengar seperti sentakan, bukan untuk menangani Kiran melainkan untuk menjaga
masakannya. Aku tidak berani membantah. Dengan sebotol susu di tangan, ia masuk
ke ruang tidur.
Pandanganku
berganti-ganti dari sayur asem yang Kakek masak ke pintu studio Tante As. Tidak
kunjung terbuka. Apakah Tante As tidak bisa mendengar tangisan bayinya. Ketika
masakan dalam panci sudah didih, aku mematikan gas, lantas aku menuju pintu
itu.
Ketika
aku membukanya, lagi-lagi aku mendengar isakan. Ia di dalam kamar. Aku terus
masuk ke sana dan menemukannya sudah duduk di tempat tidur. AC
menyembur-nyembur hawa dingin ke seantero ruangan temaram itu. Sumber cahaya
hanya berasal dari lampu berdiri di sudut.
Kurangkul
Tante As, namun ia melepaskannya. Kedua belah tangannya lalu menutup wajah.
Punggungnya terus naik-turun. Maka aku mengambil sedikit jarak darinya.
Aku
terus memandanginya. Begitu isakannya mengencang, jemuku tergusah. Kemudian
mereda. Sisa-sisa air mata diusapnya, namun bibirnya masih bergetar. Kiran juga
sudah tidak terdengar mengerang-erang lagi.
“Tante…
Tante mau cerita?” tanyaku lembut.
Ia
menghela nafas berkali-kali. Entah sudah berapa kali ia menangis selama aku
tidak ada. Om Pir mungkin akan lebih bisa mengendalikannya. Namun aku tidak
tahu kapan Om Pir akan kembali. Jangan bilang baru berbulan-bulan lagi.
“Kiran…
sudah sama kakeknya?” tanya Tante As ketika sudah lebih tenang.
“Udah
Tante…”
Tante
As tidak segera merespons. Matanya dirundung lara, tapi sorotnya kosong. Ia
menarik nafas dalam-dalam ketika sengguknya menyergap. “Anak itu bakal mirip
sama mamanya, Bibe.”
“Iya
Tante.”
“…dia…
bakal jadi… manusia yang individualis, egois…”
Aduh,
Tante, bukan itu maksudku!
“…jadi
beban dunia…” Suara Tante As tenggelam, lalu muncul lagi dengan intonasi lebih
rendah. “Bagaimana kalau mamanya enggak bisa membesarkan dia dengan baik?”
“…bisa,
Tante…”
“…dia
bakal tumbuh jadi anak yang membenci mamanya, membenci dirinya sendiri…”
Tante
As mengusap lagi matanya. Mencebik berkali-kali.
“Tante…
Jangan ngeramalin yang enggak-enggak… Itu cuman pikiran Tante aja…” Tubuhku
condong lagi padanya.
Pelan-pelan
ia mengendalikan nafas. Tidak lagi kelepasan isak, ujarnya, “Itu bukan cuman
pikiran… Kenyataannya seperti itu Bibe,
aku dan kakakku… seperti itu.”
***
Suara
Mama sebetulnya sudah menyambar-nyambar sejak tadi. Ketika aku keluar dari
studio, sendirian, makin menusuk telinga cemprengnya, “Aduh Kakeeek… Ini cara
naliinnya bukan kayak gini!”
Mama
membuka lagi ikatan popok kain yang membalut bagian bawah tubuh Kiran. Tangan
dan kaki anak itu menggapai-gapai udara. Ia mengeluarkan gumaman-gumaman tak
jelas. Sesekali ia memekik begitu mamaku beratraksi dengan mimik. Adalah bakat
alami mamaku untuk mengeluarkan berbagai ekspresi aneh. Tante As harus belajar
darinya.
Kakek
sendiri sedang menyeruput sesuatu di ruang tengah. Tatapannya lurus ke TV.
“Tante
As mana Bibe?”
Lagi
sedih di kamar, ah, mana mungkin aku menjawab begitu. “Di kamar sebelah,” itu
saja yang aku katakan.
“Kenapa
ini… hidungnya mancung sekali…” Mamaku mencubit-cubit hidung Kiran yang
berusaha menggapai-gapai mukanya. Terenyuh hatiku melihatnya. Ia
menimang-nimang si kecil, membawanya ke luar ruangan. “Susunya masih ada Kek?”
tanya Mama.
Tanpa
kehilangan perhatian pada TV, Kakek menunjuk botol di samping asbaknya.
“Aduh,
tinggal sedikit…” Mama menggoyang-goyang botol tersebut.
“Dari
tadi emang cuman segitu Ma,” kataku. Kakek tidak berhasil membuat bayi malang
itu minum.
“Tante
As disuruh makan dulu Be. Tadi Uwak Tata bikinin apa gitu dari daun katuk… Di
meja makan ya Be…” Mama hendak membawa Kiran ke halaman. Tapi aku malah
mengikuti Mama. Mama pun bertanya, “Dari kapan Tante As di kamar Be?”
“Tadi…
Dari sebelum maghrib.” Lalu aku menceritakan kronologi dari sejak aku sampai ke
rumah hingga kini, tapi aku melewatkan bagian di kamar dalam studio tadi.
“Wah,
sudah mau gendong? Bagus atuh…” Mamaku cerita, sebelum ini Tante As tidak mau
menyentuh bayinya. Mendadak aku jadi sebal karena telah kelewatan banyak hal
selama aku bermeditasi untuk ujian. Mama tidak pernah lapor apa-apa padaku
pula.
“Cariin Tante As pembantu dong Ma…
Biar ada yang nemenin,” kataku pelan.
“Masalahnya, Tante Asnya mau
enggak?”
Oh iya. Tante As kan tidak suka ada orang
asing di rumahnya.
“Mama kan enak, dulu pas habis
melahirkan ada yang bisa ngurusin.”
“Siapa?”
“Nenek…?”
“Ah, ada mertua juga malah nambahin
recok…”
Bersamaan dengan itu, seberkas sinar
dari luar menyilaukan mata kami. Papa. Mama malah masuk ke dalam rumah. Aku
terus saja mengikutinya. Kami duduk di ruang tamu. Papa menyongsong. “Mana
Kiranayesha?” Itu yang pertama kali Papa lontarkan.
Mama seperti hendak menyerahkan
buaiannya, namun menariknya lagi, padahal Papa sudah nyaris menerkam. Untung saja
Mama begitu. Aku ngeri kalau-kalau kumis lebat Papa akan menggores kulit si
kecil yang masih tipis. “Kira-kira atuh Pa, itu kumisnya kalau kena gimana…?”
kataku khawatir. Aku selalu penasaran apakah ia mengeramas kumisnya juga
sekalian mengeramas rambutnya.
“Kebayang enggak Be, dulu Papa juga
sering mau kayak gitu ke Bibe….”
“Haaa….” Aku betulan ngeri. Papa
berdecak. Ia terus berusaha mendekati Kiran, namun dengan lincah Mama berkelit.
Tingkah mereka seakan Kiran buah hati mereka sendiri saja.
Tante As sudah di ruang tengah
ketika kami menuju ke sana. Kakek sedang memotongkan penganan dari daun katuk
buatan Uwak Tata untuknya. Mama menjauh lagi sambil terus menimang-nimang si
kecil.
Papa duduk di sebelah Tante As.
“Gimana Dik Zaha, sudah enakan badannya?”
Tante As tersenyum tipis.
Setelah menghabiskan kudapannya,
Tante As mencari Kiran. Ia menerimanya dengan hati-hati dari Mama. Tangis Kiran
mencakar lagi. Sepasang kakak-beradik itu berusaha menenangkannya. Mama sampai
ikut masuk ke ruang tidur. Pintu ditutup.
Tidak jelas, inisiatif siapa, untuk
menaruh bantal-bantal di karpet ruang tengah Tante As. Mungkin inisiatif Mama,
Papa, dan aku bersama. Kami menggelar selimut tebal untuk alas. Selimut tebal
lainnya kami tumpuk di sekitar. Meja kami minggirkan agar lebih leluasa. Lalu
kami tidur-tiduran di sana. “Mama udah bilang Tante As?”
“Ah, biarin,” kata Mama.
Mulanya Kakek tetap duduk di sofa.
Namun setelah kembali dari kamar mandi, ia ikut menikmati sepiring
gorengan—Papa beli dalam perjalanan ke sini—di atas selimut. Puas makan, Mama
kembali tidur-tiduran. “Enak di sini ya tidurnya, bisa sambil nonton TV gede…”
Tapi Papa dan Mama tidak lama di
sana. Baru-baru ini aku menyadari kalau jam kerja Papa itu dari menjelang
tengah malam sampai menjelang tengah hari. Rupanya profesinya sekarang jadi
kalong. Sedang jam kerja Mama, masih tidak jelas seperti biasa.
Esok dan esok dan esoknya lagi kami
mengulangi. Dengan bertemunya ragam generasi, aku tidak bisa mempertahankan
ruang tengah rapi lama-lama. Formasi berganti-ganti. Awalnya,
Kakek-Mama-aku-Papa. Lalu, Mama-aku-Kakek-Papa. Lain kali, Kakek-aku-Mama-Papa.
Aku di sana tiap urusan sekolah
usai. Buku pelajaran dan kumpulan soal jadi pelegalisasi keberadaanku di sana.
Mama datang kapanpun tanpa bisa dikira. Papa hanya datang kalau aku dan atau
Mama juga ada. Sedang Kakek menghabiskan hampir sebagian besar waktunya di
dalam rumah. Kami sekomplotan manusia yang meruntuhkan tatanan yang dulu pernah
berlaku. Sekarang, ketika Tante As melintasi kami, ia hanya memperhatikan
sekilas. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Aku harap kondisinya jadi
lebih baik karena kehadiran kami di rumah ini, bukannya malah terganggu.
Setidaknya ia bisa menenangkan diri sejenak dalam studionya ketika Kakek
membereskan popok-popok bekas, aku membersihkan berbagai perabotan, sedang Mama
dan Papa bergantian menimang Kiran.
“Tante,
kalau entar anaknya Tante malah jadi kayak mama-papaku gimana?” Akhirnya aku
merasa enak juga untuk menanyakan itu suatu kali.
Tante
As malah membalas dengan pertanyaan lagi, “Bibe, pernah ngerasa nyesel enggak,
udah dilahirin Mama?”
Aku
menggeleng. “Selama aku masih bisa bantuin Tante, aku enggak bakal nyesel,
soalnya aku udah jadi orang berguna.”
Kadang-kadang
ia masih suka menyendiri. Kami membiarkannya saja. Ketika ia menyendiri dengan
membawa bayinya, kami semakin berpikir. Kami pun butuh waktu untuk diri kami
sendiri. Kami, sebagai “kami”, bukan sebagai “aku”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar