Rabu, 14 Desember 2011

Baby Blues

            Benar saja. Begitu papaku jenguk Tante ke rumah sakit, dan ketemu aku, ia langsung menyalak suruh aku pulang. Apalagi setelah tahu aku sudah bolos tiga hari. Direweli begini aku malah makin ingin mangkir. Meski benar juga katanya. Besok, mau tidak mau aku harus kembali ke sekolah setelah alpa—alasan palsu.

            Sebelum tanteku balik ke rumah, aku ingin supaya Om Yan berkesempatan menjenguk. Ia belum pernah bertemu tanteku secara langsung kan. Aku ingin ia tahu kalau kata-katanya terbukti. Tanteku cantik. Bayinya lebih cantik.

            Sejak takziah ibunya, aku belum berhubungan lagi dengan Om Yan. Ia sempat melihatku, lalu memberi senyum tipis di sela pandangnya yang sendu, setelah itu tidak ada lagi. Terasa lama sekali kehangatannya tidak melandaku.

Aku coba mengabarinya tentang tanteku lewat sms. Tak berbalas. Ketika aku mulai tak sabar, aku putuskan untuk langsung saja meneleponnya.

“Nomor yang Anda panggil sedang berada di luar service area.”

Om Yan, sayang sekali, tanteku sudah keburu pulang.

Sebetulnya Tante As bisa saja hanya menyusui dan makan sepanjang hari. Suaminya cekatan dan berpengalaman. Usai kewajiban di sekolah, atau bimbel, aku langsung pulang ke rumah Tante As untuk ikut belajar bagaimana cara mengganti popok, memandikan bayi, menggendong yang benar, memasak makanan sehat yang praktis untuk diri sendiri… aku harap Om Yan di sini juga—barangkali suatu saat ia punya bayinya sendiri… dan mempersiapkan segalanya jika ditinggal Om Pir nanti.

“Aku bisa sendiri… Aku enggak harus dilayani…”

Namun Om Pir tetap mengerjakan apapun yang ia bisa untuk meringankan Tante As. Tante As sudah tahu, Om Pir harus segera meninggalkannya lagi. Sebenarnya ia sudah harus kembali sejak hari kelahiran bayinya, si mungil Kiranayesha Laurent. Tapi ia terus mengusahakan penundaan.

“I can do all by myself,” ketika bilang begitu Tante As lupa pada kelelahan pasca melahirkan serta nyeri bekas jahitan yang sesekali masih menderanya. Ia mengulang-ulangnya, dengan nada protektif, “She’s my baby.”

Om Pir hanya ingin menjadi suami yang berbakti. Setelah pada hari-hari pertama orang demi orang-orang, keluarga maupun teman, menjenguknya, ia tidak lagi berminat ditemui siapapun. Bahkan “papa” yang dicari-carinya saat hendak melahirkan pun tidak lagi ia acuhkan. Tidak sampai seminggu, Kakek sudah kembali mengurus kebunnya.

Aku juga kena. Ia jadi serewel papa-mamaku. “Kenapa kamu enggak belajar Bibe?” Jadi aku harus kelihatan sedang baca buku pelajaran saat ia melintas.

Segala kado menumpuk di sudut kamar—ia sudah pindah ke ruang tidur di luar studionya—dan aku yang membereskan. Kalau sama yang ini, ia masih tertarik, tersenyum, mengomentari, serta memberitahuku di mana aku harus menyimpannya. 

Tiba saat di mana Om Pir tidak bisa lebih lama lagi di sini atau ia akan kehilangan pekerjaan—jaminan kehidupan mapan bagi putrinya kelak.

Lambaikan tangan pada Om Pir yang dijemput taksi pada suatu petang… Perpisahan tidak berlangsung dramatis, dalam artian, tidak sampai mengakibatkan Tante As menangis. Ia biasa saja. Ia biasa sendiri di rumah. Tapi sekarang tidak lagi, sudah ada si kecil yang menemani, dan aku, kalau saja Papa tidak terus merongrongku untuk pulang.

“Aku pindah rumah ke sini aja Papa…”

Papa berdecak. Tante As telah dapat kembali ke hobinya dulu: bersih-bersih. Tapi ia tidak sedang membersihkan ruang tengah. Hanya terdengar desir sapunya merabai permukaan lantai di lain ruang, namun kami tetap merasa harus bicara pelan-pelan. Kiranayesha tengah lelap dalam pelukanku. Mulut kecilnya yang mengatup begitu menggemaskan. Ingin aku menciumnya selalu. Aku melakukannya. Aku tidak bisa mengartikan pandangan Papa. Aku harap itu artinya sebentar lagi ia akan menyerah.

“Papa enggak pernah gendong aku pas umurku masih segini kan?” ucapku.

“Sini…” Kedua lengan Papa terangkat. Aku menyerahkan bayi itu dalam buaiannya. Kubiarkan ia larut dalam keasyikannya sendiri. Memandangi bayi itu, menimang-nimangnya di tengah ruangan, seakan-akan bayi itu dapat melihat ekspresinya yang selalu ingin membuat tertawa.

Terbangun deh.

Papa menyerahkan Kiran pada mamanya, yang menerimanya tanpa kata, tapi senyum menyerta. Tante As duduk di sofa. Papa memalingkan wajah, menjauh, ketika Tante As mengeluarkan anggota tubuh. Papa membuat kopi lagi dengan cangkir yang sama untuk ketiga kali. Lalu Papa minum di ruang tamu.

“Be, nanti ikut Papa Bibe pulang ya,” kata Tante As. Aku urung membantah karena nadanya serius. Entahlah, aku… hanya ragu apakah ia bisa mengurus bayinya dengan baik. Memang sejauh ini ia menerapkan contoh yang Om Pir berikan dengan baik. Mengingat individualisme Tante As, mungkin juga ia hanya butuh waktu berdua saja dengan bayinya, setelah selama ini didampingi Om Pir terus-menerus, ditambah aku dari siang menjelang sore hingga pagi lagi. “Fokus dulu sama ujian. Kalau udah selesai, main-main lagi ke sini enggak apa-apa.”

“Kalau ada apa-apa, aku dikasih tahu ya Tante…”

Tante As hanya menjawab dengan senyum. Ia bopong bayinya sampai ambang pintu depan untuk mengantar kami. Sesekali aku amati dirinya lekat-lekat. Aku yakinkan diriku kalau ia sudah tidak selemah sebelumnya. Ia telah kembali fit. Ia bisa menangani semuanya sendiri.

Aku bisa bertahan seminggu lebih mendekam di rumah, juga di sekolah dan bimbel, sampai UAN purna. Mencurahkan konsentrasiku pada ini bikin aku sadar kalau seharusnya aku mempersiapkannya sejak awal. Perkara Tante As terlalu merundungiku. Jadi, selain bekerja keras dengan mengoptimalkan waktu yang tersisa, aku hanya bisa tawakal. Aku menahan keras diriku agar tidak lari ke rumah Tante As melainkan fokus selalu pada apa yang wajib kuhadapi.

Mestinya aku persiapan ujian praktik dan UAS setelah UAN, tapi aku kangen dengan adikku. Tiap menelepon Tante As, tiap kudengar Kiran meraung-raung, tersentak hatiku ingin menggendongnya, menciuminya. Aku juga ingin memastikan Tante As memakan makanan sehat. Aku ingin memasakkannya lagi, apapun, sesuatu yang beda dari yang biasa ia masak setelah ia bisa masak sedikit-sedikit. Ia tidak mungkin melakukan semuanya sendiri kan? Para sahabatnya yang loyal itupun tidak bisa selalu datang. Aku harus selalu di sampingnya!

“Boleh ke rumah Tante As ya?” tanyaku dengan semanis-manisnya pada Mama.

“Sekalian tanya Tante As ASI-nya udah keluar apa belum ya,” kata Mama. Aku menanggapi, namun tak terjawab, karena saking semangatnya aku sudah keburu keluar rumah. Aku membawa pakaian ganti dalam ranselku tentu saja.

Dalam naungan cahaya alam yang mulai runtuh, rumah itu tampak bernyawa. Tentu ada orang di dalamnya. Orang-orang. Senang menyelinap. Ternyata tak hanya dua, tapi tiga.

“Assalamualaikum…” salamku sembari mencopot sepatu di ruang depan.

Namun yang menjawab adalah gertakan, “Sudah terlanjur hidup, masak mau dibalikin lagi?!”

Yang dijawab dengan isakan. Aku lihat pria berambut putih dengan semburat hitam di sana-sinilah yang menimang Kiran, bukan mamanya. Bayi itu tersedak, lalu menangis. Aduh tidak tega aku mendengarnya. Kakek mengangkat botol dari mulut mungil itu.

Aku tidak lihat Tante As di ruang tengah, hanya ada kakek dan cucunya itu. Aduh Kakek, mana bisa bayi itu ditenangkan suara garangmu? Ingin aku segera ambil alih. Namun langkahku tertahan ketika melalui pintu yang terbuka, aku lihat tanteku tersedu-sedu di tepi tempat tidur.

Tampaknya aku sudah melewatkan sesuatu.

Bingung aku. Antara mengambil alih bayi itu atau menghibur tanteku. Kakekku tidak punya cukup kelembutan untuk menangani keduanya!

“Kakek… Biar aku yang gendong…”

Kakek mendelik padaku. Ia malah balik badan sehingga aku tidak bisa lihat Kiran, tanpa henti ia mengeluarkan desisan-desisan agar bayi itu tenang. Ditimang-timangnya sambil terus menjauhiku.

Ah masa bodoh. Jadi aku mendekati tanteku dan menanyakan keadaannya. Dengan aku bersimpuh di depan kakinya, tangisnya mereda. Tinggal sisa sengguk. Ia mengusap-usap mata. “Kenapa kamu ke sini? Ujiannya udah selesai?”

Aku mengangguk.

Ia telah mendapatkan harga dirinya lagi. Tangisnya sudah henti. Ia masih kelihatan gemuk. Wajahnya merah pucat. “Tante… Tante cantik…” kataku. Ia tersenyum sedikit. Lalu ia menghampiri papanya. Pria tua itu menyerahkan sang cucu dalam buaian sang mama.

Sementara, suasana tenang kembali.

Apa yang telah terjadi selama aku tidak ke mari? Aku ingin tanya pada Kakek, tapi melihatnya saja sudah bikin aku segan dan pasti kalau tidak mudah mengajaknya berkomunikasi. Dengan seenaknya pula ia merokok di ruang tengah. Tapi sekali lagi, aku sungkan memberitahunya. Ia juga pasti tidak peduli soal membereskan rumah.

Sebenarnya ia tidak mencecerkan abu sampai ke mana-mana. Ia hanya menebarkan aroma khas kakek-kakek di mana-mana. Aku tidak tahu sudah berapa lama ia sampai di sini. Bantal-bantal menumpuk di sudut sofa. TV menyala di hadapannya tanpa ditonton. Lapisan debu di tiap permukaan keras tidak dibersihkan secara sempurna.

Ketika aku ke dapur, aku menemukan sisa sayur dalam panci di bak cuci. Beberapa perabot kotor menumpuk juga di tepinya. Tempat sampah tidak menampung kemasan plastik, kaleng, maupun styrofoam sebanyak biasa. Kukira Tante As makin terbiasa menyetop tukang sayuran. Ia seorang ibu, ia seorang ibu! Aku bersorak.

Tapi rumah ini masih tampak kacau. Jelas saja, siapa sih yang bisa melakukan semuanya sendirian? Apalagi dengan Kakek yang tak berguna.

Jadi kuisi waktu dengan membereskan dan merapikan segalanya. Aku berusaha untuk melakukannya sebaik Tante As—sebelum ia punya anak.

Setelah mencuci berbagai perabot dan mengelap pantri di dapur, aku menyedot debu karpet ruang tengah. Pria itu memencet-mencet remot TV. Jelas ia tidak biasa dengan TV kabel. Tapi aku biarkan saja ia menuntaskan rasa penasarannya sendirian.

Aku memutar gagang pintu studionya, hendak merambah ke sana. Namun terkunci, biar aku tarik gagang itu berkali-kali. Ketika aku mengintip kamar mandi, ada tumpukan kain kotor di sudut. Aromanya kurang sedap. Mestilah Tante As lelah sekali.

Ada bayi. Ada bayi di rumah ini. Rumah ini bukan milik Tante As lagi. Bayi itu yang menguasai rumah ini. Tiap orang yang menimangnya akan membawanya menjelajah ke mana-mana. Tak hanya berputar-putar di ruang tengah, tapi ia juga mendorong orang itu agar ia bisa mengintip halaman mungil di balik dinding kaca, menuju ruang tamu yang menguarkan hawa ketenangan lebih, bahkan ke dapur di mana ia ingin mengenali segala rasa yang menggoyang lidah. Ruang tidur selalu jadi pelabuhannya. Di ruang itu, aku lihat ia lelap dalam damai. Kedua lengannya terangkat ke atas dengan puncak terselubung sarung bulat. Di sampingnya, duduk seorang wanita sedih dengan kepala terkulai, hanya tangan yang jadi bertenaga ketika memompa susu dari sebelah payudara.

Aku ingat kata-kata Mama.

“Tante, kenapa, air susunya enggak mau keluar?” tanyaku. Tapi aku lihat usahanya membuahkan hasil beberapa ml.

“Keluar sedikit,” kata Tante As datar.

“Tante harus banyak makan daun katuk. Katanya bisa ngelancarin ASI,” kataku.

“Iya, sudah,” jawabnya.

Kusadari bahwa aku masih pegang sapu di tangan. Beberapa kali kutepuk punggung Tante As, pelan, lalu melanjutkan. Terdengar air mengalir di kamar mandi. Lewat celah pintu yang terbuka sedikit, aku mengintip Kakek dalam busa putih mengembang. Tumpukan kain kotor di sudut tak terlihat lagi.

Tante As keluar ruang tidur. Botol yang sudah terisi seperempatnya dengan cairan putih itu ia masukkan ke dalam kulkas. Setelahnya, ia membuka kunci studio, masuk ke dalam, menutup pintu, tanpa menguncinya lagi.

Ketika gelap bertandang, menunaikan solat yang berlanjut menonton TV bikin perasaanku naik sedikit. Kakek entah sedang apa di dapur. Tante As belum juga keluar kamar. Tangisan Kiran meledak, namun aku kalah sigap dari Kakek. Ia memanggilku, lebih terdengar seperti sentakan, bukan untuk menangani Kiran melainkan untuk menjaga masakannya. Aku tidak berani membantah. Dengan sebotol susu di tangan, ia masuk ke ruang tidur.

Pandanganku berganti-ganti dari sayur asem yang Kakek masak ke pintu studio Tante As. Tidak kunjung terbuka. Apakah Tante As tidak bisa mendengar tangisan bayinya. Ketika masakan dalam panci sudah didih, aku mematikan gas, lantas aku menuju pintu itu.

Ketika aku membukanya, lagi-lagi aku mendengar isakan. Ia di dalam kamar. Aku terus masuk ke sana dan menemukannya sudah duduk di tempat tidur. AC menyembur-nyembur hawa dingin ke seantero ruangan temaram itu. Sumber cahaya hanya berasal dari lampu berdiri di sudut.

Kurangkul Tante As, namun ia melepaskannya. Kedua belah tangannya lalu menutup wajah. Punggungnya terus naik-turun. Maka aku mengambil sedikit jarak darinya.

Aku terus memandanginya. Begitu isakannya mengencang, jemuku tergusah. Kemudian mereda. Sisa-sisa air mata diusapnya, namun bibirnya masih bergetar. Kiran juga sudah tidak terdengar mengerang-erang lagi.

“Tante… Tante mau cerita?” tanyaku lembut.

Ia menghela nafas berkali-kali. Entah sudah berapa kali ia menangis selama aku tidak ada. Om Pir mungkin akan lebih bisa mengendalikannya. Namun aku tidak tahu kapan Om Pir akan kembali. Jangan bilang baru berbulan-bulan lagi.

“Kiran… sudah sama kakeknya?” tanya Tante As ketika sudah lebih tenang.

“Udah Tante…”

Tante As tidak segera merespons. Matanya dirundung lara, tapi sorotnya kosong. Ia menarik nafas dalam-dalam ketika sengguknya menyergap. “Anak itu bakal mirip sama mamanya, Bibe.”

“Iya Tante.”

“…dia… bakal jadi… manusia yang individualis, egois…”

Aduh, Tante, bukan itu maksudku!

“…jadi beban dunia…” Suara Tante As tenggelam, lalu muncul lagi dengan intonasi lebih rendah. “Bagaimana kalau mamanya enggak bisa membesarkan dia dengan baik?”

“…bisa, Tante…”

“…dia bakal tumbuh jadi anak yang membenci mamanya, membenci dirinya sendiri…”

Tante As mengusap lagi matanya. Mencebik berkali-kali.

“Tante… Jangan ngeramalin yang enggak-enggak… Itu cuman pikiran Tante aja…” Tubuhku condong lagi padanya.

Pelan-pelan ia mengendalikan nafas. Tidak lagi kelepasan isak, ujarnya, “Itu bukan cuman pikiran…  Kenyataannya seperti itu Bibe, aku dan kakakku… seperti itu.”

***

Suara Mama sebetulnya sudah menyambar-nyambar sejak tadi. Ketika aku keluar dari studio, sendirian, makin menusuk telinga cemprengnya, “Aduh Kakeeek… Ini cara naliinnya bukan kayak gini!”

Mama membuka lagi ikatan popok kain yang membalut bagian bawah tubuh Kiran. Tangan dan kaki anak itu menggapai-gapai udara. Ia mengeluarkan gumaman-gumaman tak jelas. Sesekali ia memekik begitu mamaku beratraksi dengan mimik. Adalah bakat alami mamaku untuk mengeluarkan berbagai ekspresi aneh. Tante As harus belajar darinya.

Kakek sendiri sedang menyeruput sesuatu di ruang tengah. Tatapannya lurus ke TV.

“Tante As mana Bibe?”

Lagi sedih di kamar, ah, mana mungkin aku menjawab begitu. “Di kamar sebelah,” itu saja yang aku katakan.

“Kenapa ini… hidungnya mancung sekali…” Mamaku mencubit-cubit hidung Kiran yang berusaha menggapai-gapai mukanya. Terenyuh hatiku melihatnya. Ia menimang-nimang si kecil, membawanya ke luar ruangan. “Susunya masih ada Kek?” tanya Mama.

Tanpa kehilangan perhatian pada TV, Kakek menunjuk botol di samping asbaknya.

“Aduh, tinggal sedikit…” Mama menggoyang-goyang botol tersebut.

“Dari tadi emang cuman segitu Ma,” kataku. Kakek tidak berhasil membuat bayi malang itu minum.

“Tante As disuruh makan dulu Be. Tadi Uwak Tata bikinin apa gitu dari daun katuk… Di meja makan ya Be…” Mama hendak membawa Kiran ke halaman. Tapi aku malah mengikuti Mama. Mama pun bertanya, “Dari kapan Tante As di kamar Be?”

“Tadi… Dari sebelum maghrib.” Lalu aku menceritakan kronologi dari sejak aku sampai ke rumah hingga kini, tapi aku melewatkan bagian di kamar dalam studio tadi.

“Wah, sudah mau gendong? Bagus atuh…” Mamaku cerita, sebelum ini Tante As tidak mau menyentuh bayinya. Mendadak aku jadi sebal karena telah kelewatan banyak hal selama aku bermeditasi untuk ujian. Mama tidak pernah lapor apa-apa padaku pula.

            “Cariin Tante As pembantu dong Ma… Biar ada yang nemenin,” kataku pelan.

            “Masalahnya, Tante Asnya mau enggak?”

             Oh iya. Tante As kan tidak suka ada orang asing di rumahnya.

            “Mama kan enak, dulu pas habis melahirkan ada yang bisa ngurusin.”

            “Siapa?”

            “Nenek…?”

            “Ah, ada mertua juga malah nambahin recok…”

            Bersamaan dengan itu, seberkas sinar dari luar menyilaukan mata kami. Papa. Mama malah masuk ke dalam rumah. Aku terus saja mengikutinya. Kami duduk di ruang tamu. Papa menyongsong. “Mana Kiranayesha?” Itu yang pertama kali Papa lontarkan.

            Mama seperti hendak menyerahkan buaiannya, namun menariknya lagi, padahal Papa sudah nyaris menerkam. Untung saja Mama begitu. Aku ngeri kalau-kalau kumis lebat Papa akan menggores kulit si kecil yang masih tipis. “Kira-kira atuh Pa, itu kumisnya kalau kena gimana…?” kataku khawatir. Aku selalu penasaran apakah ia mengeramas kumisnya juga sekalian mengeramas rambutnya.

            “Kebayang enggak Be, dulu Papa juga sering mau kayak gitu ke Bibe….”

            “Haaa….” Aku betulan ngeri. Papa berdecak. Ia terus berusaha mendekati Kiran, namun dengan lincah Mama berkelit. Tingkah mereka seakan Kiran buah hati mereka sendiri saja.

            Tante As sudah di ruang tengah ketika kami menuju ke sana. Kakek sedang memotongkan penganan dari daun katuk buatan Uwak Tata untuknya. Mama menjauh lagi sambil terus menimang-nimang si kecil.

            Papa duduk di sebelah Tante As. “Gimana Dik Zaha, sudah enakan badannya?”

            Tante As tersenyum tipis.

            Setelah menghabiskan kudapannya, Tante As mencari Kiran. Ia menerimanya dengan hati-hati dari Mama. Tangis Kiran mencakar lagi. Sepasang kakak-beradik itu berusaha menenangkannya. Mama sampai ikut masuk ke ruang tidur. Pintu ditutup.

            Tidak jelas, inisiatif siapa, untuk menaruh bantal-bantal di karpet ruang tengah Tante As. Mungkin inisiatif Mama, Papa, dan aku bersama. Kami menggelar selimut tebal untuk alas. Selimut tebal lainnya kami tumpuk di sekitar. Meja kami minggirkan agar lebih leluasa. Lalu kami tidur-tiduran di sana. “Mama udah bilang Tante As?”

            “Ah, biarin,” kata Mama.

            Mulanya Kakek tetap duduk di sofa. Namun setelah kembali dari kamar mandi, ia ikut menikmati sepiring gorengan—Papa beli dalam perjalanan ke sini—di atas selimut. Puas makan, Mama kembali tidur-tiduran. “Enak di sini ya tidurnya, bisa sambil nonton TV gede…”

            Tapi Papa dan Mama tidak lama di sana. Baru-baru ini aku menyadari kalau jam kerja Papa itu dari menjelang tengah malam sampai menjelang tengah hari. Rupanya profesinya sekarang jadi kalong. Sedang jam kerja Mama, masih tidak jelas seperti biasa.

            Esok dan esok dan esoknya lagi kami mengulangi. Dengan bertemunya ragam generasi, aku tidak bisa mempertahankan ruang tengah rapi lama-lama. Formasi berganti-ganti. Awalnya, Kakek-Mama-aku-Papa. Lalu, Mama-aku-Kakek-Papa. Lain kali, Kakek-aku-Mama-Papa.

            Aku di sana tiap urusan sekolah usai. Buku pelajaran dan kumpulan soal jadi pelegalisasi keberadaanku di sana. Mama datang kapanpun tanpa bisa dikira. Papa hanya datang kalau aku dan atau Mama juga ada. Sedang Kakek menghabiskan hampir sebagian besar waktunya di dalam rumah. Kami sekomplotan manusia yang meruntuhkan tatanan yang dulu pernah berlaku. Sekarang, ketika Tante As melintasi kami, ia hanya memperhatikan sekilas. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Aku harap kondisinya jadi lebih baik karena kehadiran kami di rumah ini, bukannya malah terganggu. Setidaknya ia bisa menenangkan diri sejenak dalam studionya ketika Kakek membereskan popok-popok bekas, aku membersihkan berbagai perabotan, sedang Mama dan Papa bergantian menimang Kiran.

“Tante, kalau entar anaknya Tante malah jadi kayak mama-papaku gimana?” Akhirnya aku merasa enak juga untuk menanyakan itu suatu kali.

Tante As malah membalas dengan pertanyaan lagi, “Bibe, pernah ngerasa nyesel enggak, udah dilahirin Mama?”

Aku menggeleng. “Selama aku masih bisa bantuin Tante, aku enggak bakal nyesel, soalnya aku udah jadi orang berguna.”

Kadang-kadang ia masih suka menyendiri. Kami membiarkannya saja. Ketika ia menyendiri dengan membawa bayinya, kami semakin berpikir. Kami pun butuh waktu untuk diri kami sendiri. Kami, sebagai “kami”, bukan sebagai “aku”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain