Lewat
pukul delapan di Minggu pagi, suara-suara yang Mama buat di dapur
menyentak-nyentak semangat ke dalam diriku. Ditambah kesegaran yang kucipta
dengan mandi, aku bahkan tidak bertanya mengapa tidak ada aroma menguar dari
sana. Mungkin Mama membuat bekal yang mudah –mudah saja. Tidak peduli. Piknik
hari ini akan jadi.
Lepas dari kamar mandi aku meluncur
ke kamarku yang bersisian dengan ruang depan. Disamarkan tirai jendela, aku
lihat bagian atas tubuh Papa. Kopi dan koran adalah duet yang setia beratraksi
untuk Papa setiap pagi di teras. Aku harap dia sudah siap-siap.
Hm… Aku berpikir sejenak di dalam
kamar. Tidak ada misi khusus untuk hari yang sangat kunantikan ini meski
bukannya tidak bertujuan sama sekali. Sebaiknya aku ciptakan langkah-langkah
kecil untuk mencapainya.
Aku ambil gitar. Aku tidak mau kalah
dengan terik mentari yang memecah ruang. Aku robek ketenangan dengan berteriak,
“MANIIIIIIIIIIIIIIIIIIS… KUUUUUUUUU…!
“Oh
yeah yeah…” Mataku terpejam. Setelahnya genjrengan gitarku terdengar tak seheboh
sebelumnya. Santai saja. Aku lanjutkan lantunanku sembari berjalan mendekati
sumber cahaya. Kepalaku nongol di ambang pintu. “Secangkir kopi di pagi ini… sambut hari yang indah…” Papa menoleh
lantas membalas ekspresi ramah yang kutampilkan. Aku terus mendekat ke arahnya
sembari terus menggenjreng gitarku. “Ku
ingat karna teriknya mentari.. i… saat kita bicara… Tentang sibuknya hari-hari
sekarang kau hadir di sini…” Di sampingnya aku terus bernyanyi. Ekspresinya
terkesima dengan penampilanku. Aku bersyukur ternyata ia memang sudah mandi dan
rapi jali. “Waktu yang tersisa… dalam
kehidupanmu… Adakah kata cinta di hati, kata cinta untukkuuu…”
“Be, tumben nyanyi lagu gituan?”
teriakan Mama terdengar dari jauh. Baiklah, sekarang gilirannya…
Aku berbalik. Hendak kembali masuk
ke dalam rumah. “Eh, tunggu! Tunggu!” Aku berbalik lagi karena suara Papa. Ia
merogoh saku celananya dan memberiku receh.
“Makasih, Om…” Tanganku yang
menggenggam receh darinya kutempelkan di dahi. Setelahnya aku teruskan
maksudku.
“Ada
tujuh hari dalam seminggu, tak satu pun untukku… Ooh… yeah… Kau habiskan waktu
bersama ambisimu, tanpa hiraukan diriku…”
Di samping Mama, “Bila ingat kala pertama, janji tuk hidup
bersama…” Mataku mengerling ke arah depan rumah. Mama tampak geli dengan
aksiku ini. Matanya hilir mudik antara mengamati diriku dengan memerhatikan
tangannya yang sedang menata meses di atas lapisan mentega pada roti. Aku
hentikan genjrengan gitar sejenak. Agak kandas juga ketidakpedulianku terhadap
bekal yang Mama buat. Aku jadi berharap ia bisa membuat yang lebih bagaimana
begitu. Aku berusaha untuk tidak membuat perbandingan antara yang kudapatkan
kini dengan saat Om Yan membelikanku seabrek kudapan Kartika Sari.
Jadi aku menatap bola mata Mama dan
lanjut menggenjreng gitar serta melantun lirik, “Waktu yang tersisa… dalam kehidupanmu…” Mulut Mama ikut bergerak
juga, mengeluarkan kata-kata yang sama… Aku kadang sebal kalau ia sok muda tapi
tak urung aku tergelak geli juga. “…adakah
kata cinta di hati… kata cinta untukkuuu…”
Ah, aku tidak tahan berada di depan
Mama lama-lama, apalagi untuk bernyanyi bersama. Aku lanjut berjalan ke ruang
tengah. Pada sofa aku menghempaskan diri dan terus berdendang dengan tarikan
suara yang lebih kencang, “Semua angan
yang kita ungkapkan… Semua janji itu hanya mimpi saja… Hilang ditelan masa…
Yeah yeah yeah…!”
Perlahan jemariku berhenti
menggenjreng gitar. Aku biarkan suara cempreng Mama saja yang mengisi ruang
dengan reff. Sisanya adalah pulihnya
ketenangan Minggu pagi.
“Waktu yang tersisa… dalam
kehidupanmu… Adakah kata cinta di hati, kata cinta untukku....”
Leganya.
Papa
memanaskan dua motor kami sementara Mama lanjut bersiap. Aku cukup dengan kaos
dan jins saja. Begitu aku keluar rumah, Papa tanya kenapa aku tidak bawa gitar.
Aku bilang aku mau piknik, bukan mau mengamen. Mama yang belakangan keluar dari
rumah. Ia mengunci pintu. Papa tanya lagi aku mau membonceng motornya atau
Mama.
“Papa
aja yang boncengan sama Mama. Aku sendirian,” kataku.
“Sembarangan.
Emangnya udah punya SIM?”
Padahal
Mama sering membiarkan aku membawa motornya kalau ia sedang tidak perlu. Jadi
karena sesungguhnya Papa yang ingin aku memboncengnya, aku pun menurut. Aku
yang bawa SLR coba memotret ragam pemandangan dari belakang punggung Papa. Aku
harap di lampu merah motor Mama akan bersebelahan dengan motor Papa, lalu
lensaku akan menangkap wajah mereka berhadapan ketika mengobrol sejenak sambil
menunggu hijau. Namun itu tidak kunjung terjadi.
Kami
akan melanjutkan piknik yang dulu pernah terputus. Maribaya akan berhasil kami
jangkau dari Dago Pakar. Semoga kali ini tidak ada yang hanyut lagi di sungai.
Meski aku was-was. Kalau sedang stres, Papa suka melipurnya dengan pergi ke
kolam pemancingan. Tapi ia pulang tidak membawa ikan, melainkan berita.
Sampai.
Parkir motor. Menapaki jalan yang sudah disediakan. Menyusuri area bermain
anak. Berpapasan dengan kepala bayi yang melongok di atas bahu wanita yang
menggendongnya. Kontan aku berbalik. Pelan-pelan aku mengekor sembari
menyiapkan SLR dan membuat ekspresi lucu yang bikin bayi itu terkekeh. Mulai
membidik… Jepret. Bayi itu terkejut. Ia memalingkan kepala dan bersikap seolah kejadian barusan tidak pernah
terbersit dalam hidupnya.
Aku
terkikik geli.
Dan
aku kembali kehilangan orangtuaku.
Kususuri
arah yang tadi sambil menengok kanan-kiri. Kalau tidak jeli, aku mungkin tidak
akan menemukan mereka tengah bersanding di tepi jurang. Olala. Ada pemandangan
menarik. Kujepret mereka dari belakang. Kapan lagi melihat Papa merangkul
pinggang Mama?
“Eh…
Ma, ada paparazi rupanya…” Papa sadar juga. Lepas deh tangannya dari pinggang
Mama.
“Bukan,
ini biberazi,” kataku. “Ayo, nurut sama fotografer yah…” Aku hendak membidik
mereka lagi, tapi mereka malah menjauh. Yah.
Mereka
mengenang momen di mana kami sempat ke sini sebelumnya. Mereka menganggap itu
sebagai sesuatu yang lucu, bukannya tragedi. Kami mulai memasuki jalan menuju
Maribaya tanpa tertarik untuk menyusuri lorong Gua Belanda terlebih dulu,
apalagi Gua Jepang.
“Kalau
mau bulan madu, mestinya jangan ajak-ajak anak dong,” kataku dengan nada sok
protes.
Mama,
yang merangkulku sedari tadi, menanggapi, “Kalau niatnya mau bulan madu mah
Mama enggak mau di sini…”
“Di
mana dong Ma?”
“Mama
mah maunya di awan merah.”
“Biar
enggak ada yang ganggu ya Ma?”
“Kalau
Papa maunya di mana?” ganti Mama tanya.
“Hm…
Kalau gitu Papa maunya di atas pelangi…”
“…hanya kita berdua…” dendang Mama.
“Ih!”
Aku melepaskan rangkulan Mama. Aku tidak mau dengar lagi kalau lanjutannya
adalah duet mereka menyanyikan “Fantasia Bulan Madu”.
Ketika
hujan merintik, kami masuk ke salah satu dari beberapa warung makan yang
berjajar di tepi jalan. Kelak, ketika warung makan-warung makan itu
terbengkalai, bahan-bahan yang menyusun mereka lambat laun akan melapuk dan
terurai jadi tanah.
Sepanjang
jalan yang kami lalui tadi, ranah penglihatanku hanya didominasi hijau, hitam,
dan putih. Sekarang aku bisa lihat warna-warni mendominasi lagi—di atas roti
lapis yang disiapkan Mama dari rumah. Papa memesan kopi, aku es jeruk, sedang
Mama teh hangat. Cuek dengan pemilik warung makan, kami tidak beli makanan
melainkan membuka bekal kami sendiri.
“Enak
kan roti bikinan Mama?” kata Mama ketika aku mulai mengunyah.
“Ini
mah yang bikin pabrik Ma,” sanggahku. “Mesesnya juga yang bikin pabrik. Coba
lihat di bungkusnya, pasti ada tulisannya…”
“Bibe
nih, sukanya ngehina-hina orangtua aja…” sahut Mama gemas.
Papa
tertawa. “Coba tanya Mama, sudah bisa ngupas mangga apa belum?”
Aku
tahu kok ia bisa. Papa cerita, waktu baru menikah, satu-satunya buah yang Mama
bisa kupas hanya pisang.
“Ih,
itu mah enggak pakai pisau juga bisa!” ujarku.
“Pa….”
ucap Mama dengan nada mulai senewen.
“Cara
ngupasnya aneh pula! Bukan pucuknya dulu diiris, malah langsung dibelah dua…
Ahahahaha…”
“Aduh,
Ma! Malu-maluin banget sih!”
Mama
menghembuskan nafas dengan dongkol. Kelanjutan dari cerita tersebut, Mama
kemudian disuruh mengupas berbuah-buah mangga biar biasa lantas bisa. Tapi, ia
hanya boleh menggegoti daging yang melekat di biji, bukannya daging yang sudah
ia potong-potongkan. Lalu opungnya Papa bilang, “Pintar kali kau, cari istri
macam tukang hibur begini bah!”
Papaku
hanya bisa balas, “Ah diamlah kau, pak tua!” dengan logat sok Batak untuk
membela Mama.
Makin
beringas saja tawa dari keluarga Papa. Malah kata sang paman, “Coba itu kau
data buah apa saja yang dia bisa kupas dan mana yang tidak. Besok kau kursuskan
sajalah!”
“Itu
bisa dimasukin ke dalam memoar Be,” kata Mama, sabar. Masih mati ketawa, Papa
merangkul Mama lalu menepuk-nepuk bahunya. Aduh kasihan deh mamaku. Mama
tambahkan, ibu mertuanya juga kejam, keras dan tajam. Kisah antara mamaku dan
ibu mertuanya bisa jadi sitkom sendiri dengan tajuk “Mertua oh Mertua: Kucaci
dan Kucinta”.
“Memoarmu
udah sampai mana Be?” tanya Papa.
“Iya…
Ini juga lagi digarap,” dustaku.
Berlama-lama
di warung makan tersebut malah menyurutkan semangat untuk menembus jalan ke
Maribaya. “Ah, udah siang, pulang yuk,” ajak Papa. Sayang sekali rintik hujan
hanya sementara, panas terik menerpa. Aku jadi setuju dengan Papa. Mama ikut
saja.
“Habis
ini enaknya ngapain ya?” suara Papa lagi.
“Ya
udah istirahat aja di rumah,” kata Mama karena aku tidak kunjung menjawab. Aku
jalan sendiri di depan kedua orangtuaku.
Aku
merengek pada Papa agar dibolehkan mengendarai motor sendiri. Papa masih juga
tidak mengizinkan. “Ya nanti kalau Bibe sudah kuliah Papa belikan.”
“Bener
ya Pa?”
“Masalahnya
Bibe mau kuliah apa, di mana, mau kuliah apa enggak, kan belum tahu.”
“Ah
gampang deh itu mah! Pokoknya tahun ini aku bakal kuliah, liat aja!”
Kena
juga aku sama taktik motivasi Papa.
Deras
hujan malah menimpa ketika kami mendekati rumah. Huh, tidak bisa menunggu
sampai kami di dalam dulu apa ya?
“Hujan-hujan
gini enaknya minum yang anget,” gumam Papa. Ia sudah mengganti pakaiannya
dengan yang kering. Namun handuk masih tersampir di atas bahunya. Rambut
lurusnya yang agak panjang lemas ke bawah. Papaku pasti minta kopi lagi nih.
Mama
berdecak dari arah dapur. “Bikin sendiri ah!”
“Aku
yang bikinin!” kataku. Kulihat jendela, berharap hujan lekas mereda. Harapku
tercapai begitu dua gelas kopi hendak kupersembahkan bagi kedua orangtuaku.
Sebetulnya aku bikin tiga. Aku sudah menciri gelasku, isinya beda dari yang
dua—yang isinya sama.
Aku
amankan gelasku. Aku meminumnya pada jarak yang agak jauh dari Papa. Ia mulai
mencicipi isi gelas tersebut. “Hm… Rasanya kok kayak kopi jahe ya? Kopi apa
nih?”
“Kopi
jahe,” kataku.
“Bukan.
Jahe enggak kayak gini…” Papa meneguknya lagi. “Ini ampasnya masih rada kasar.”
Ia mengecap-ngecap.
Aku
mulai deg-degan. Kubawa gelas ke dalam kamar, kuletakkan di atas meja belajar,
lalu bersiap-siap. Begitu hujan berhenti, aku akan segera meninggalkan rumah
ini.
Ketika
aku keluar dari kamar, Mama sudah duduk di samping Papa, ikut menonton TV. Aku
semakin berharap hujan berhenti ketika Mama mulai meneguk isi gelasnya. Papa
juga meneguk terus. “Enak juga ya?” komentarnya.
Gerimis
saja tidak apa-apalah! Aku mulai agak ketakutan, sekaligus lega, mereka tidak
berkomentar apa-apa lagi soal kopi yang aku bikinkan.
Ketika
rinai sudah cukup ringan, kupikir-pikir, untuk berlalu di bawahnya, aku
cangklong tasku.
“Mau
ke mana Bibe?” tegur Papa, tentu saja. Mama juga memandangku.
“Mau…
belajar di rumah temen,” jawabku. Jawaban paling aman yang bisa kutemukan, dan
aku tak akan mendustakannya. Sehabis ini aku akan menghubungi temanku yang
kira-kira rumahnya bisa kutinggali hingga setidaknya… esok hari, sekalian pergi
ke sekolah dari sana. Aku tidak tahu khasiat dari kopi itu akan tahan berapa
lama, kalau memang ada. Untuk jaga-jaga saja.
Ada
seorang temanku yang berlibur ke Dieng akhir tahun lalu. Satu dari ragam
oleh-olehnya adalah beberapa sachet kopi purwaceng. Temanku mengaku sudah
mencobanya, tapi ia tidak merasakan apa-apa. Khasiat yang terasa hanya sebagai
penghangat badan saja. Tapi barangkali khasiatnya yang lain bisa terbukti.
Ketika tengah bersantai di sekitar Kompleks Candi Arjuna, temanku dengar
seorang pria berkata pada turis-turis yang dipandunya, “Purwaceng is viagra
from Java!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar