Kamis, 15 Desember 2011

Piknik

Lewat pukul delapan di Minggu pagi, suara-suara yang Mama buat di dapur menyentak-nyentak semangat ke dalam diriku. Ditambah kesegaran yang kucipta dengan mandi, aku bahkan tidak bertanya mengapa tidak ada aroma menguar dari sana. Mungkin Mama membuat bekal yang mudah –mudah saja. Tidak peduli. Piknik hari ini akan jadi.

            Lepas dari kamar mandi aku meluncur ke kamarku yang bersisian dengan ruang depan. Disamarkan tirai jendela, aku lihat bagian atas tubuh Papa. Kopi dan koran adalah duet yang setia beratraksi untuk Papa setiap pagi di teras. Aku harap dia sudah siap-siap.

            Hm… Aku berpikir sejenak di dalam kamar. Tidak ada misi khusus untuk hari yang sangat kunantikan ini meski bukannya tidak bertujuan sama sekali. Sebaiknya aku ciptakan langkah-langkah kecil untuk mencapainya.

            Aku ambil gitar. Aku tidak mau kalah dengan terik mentari yang memecah ruang. Aku robek ketenangan dengan berteriak, “MANIIIIIIIIIIIIIIIIIIS… KUUUUUUUUU…!

            Oh yeah yeah…” Mataku terpejam. Setelahnya genjrengan gitarku terdengar tak seheboh sebelumnya. Santai saja. Aku lanjutkan lantunanku sembari berjalan mendekati sumber cahaya. Kepalaku nongol di ambang pintu. “Secangkir kopi di pagi ini… sambut hari yang indah…” Papa menoleh lantas membalas ekspresi ramah yang kutampilkan. Aku terus mendekat ke arahnya sembari terus menggenjreng gitarku. “Ku ingat karna teriknya mentari.. i… saat kita bicara… Tentang sibuknya hari-hari sekarang kau hadir di sini…” Di sampingnya aku terus bernyanyi. Ekspresinya terkesima dengan penampilanku. Aku bersyukur ternyata ia memang sudah mandi dan rapi jali. “Waktu yang tersisa… dalam kehidupanmu… Adakah kata cinta di hati, kata cinta untukkuuu…

            “Be, tumben nyanyi lagu gituan?” teriakan Mama terdengar dari jauh. Baiklah, sekarang gilirannya…

            Aku berbalik. Hendak kembali masuk ke dalam rumah. “Eh, tunggu! Tunggu!” Aku berbalik lagi karena suara Papa. Ia merogoh saku celananya dan memberiku receh.

            “Makasih, Om…” Tanganku yang menggenggam receh darinya kutempelkan di dahi. Setelahnya aku teruskan maksudku.

            Ada tujuh hari dalam seminggu, tak satu pun untukku… Ooh… yeah… Kau habiskan waktu bersama ambisimu, tanpa hiraukan diriku…

            Di samping Mama, “Bila ingat kala pertama, janji tuk hidup bersama…” Mataku mengerling ke arah depan rumah. Mama tampak geli dengan aksiku ini. Matanya hilir mudik antara mengamati diriku dengan memerhatikan tangannya yang sedang menata meses di atas lapisan mentega pada roti. Aku hentikan genjrengan gitar sejenak. Agak kandas juga ketidakpedulianku terhadap bekal yang Mama buat. Aku jadi berharap ia bisa membuat yang lebih bagaimana begitu. Aku berusaha untuk tidak membuat perbandingan antara yang kudapatkan kini dengan saat Om Yan membelikanku seabrek kudapan Kartika Sari.

            Jadi aku menatap bola mata Mama dan lanjut menggenjreng gitar serta melantun lirik, “Waktu yang tersisa… dalam kehidupanmu…” Mulut Mama ikut bergerak juga, mengeluarkan kata-kata yang sama… Aku kadang sebal kalau ia sok muda tapi tak urung aku tergelak geli juga. “…adakah kata cinta di hati… kata cinta untukkuuu…

            Ah, aku tidak tahan berada di depan Mama lama-lama, apalagi untuk bernyanyi bersama. Aku lanjut berjalan ke ruang tengah. Pada sofa aku menghempaskan diri dan terus berdendang dengan tarikan suara yang lebih kencang, “Semua angan yang kita ungkapkan… Semua janji itu hanya mimpi saja… Hilang ditelan masa… Yeah yeah yeah…!

            Perlahan jemariku berhenti menggenjreng gitar. Aku biarkan suara cempreng Mama saja yang mengisi ruang dengan reff.  Sisanya adalah pulihnya ketenangan Minggu pagi.

“Waktu yang tersisa… dalam kehidupanmu… Adakah kata cinta di hati, kata cinta untukku....”

Leganya.

Papa memanaskan dua motor kami sementara Mama lanjut bersiap. Aku cukup dengan kaos dan jins saja. Begitu aku keluar rumah, Papa tanya kenapa aku tidak bawa gitar. Aku bilang aku mau piknik, bukan mau mengamen. Mama yang belakangan keluar dari rumah. Ia mengunci pintu. Papa tanya lagi aku mau membonceng motornya atau Mama.

“Papa aja yang boncengan sama Mama. Aku sendirian,” kataku.

“Sembarangan. Emangnya udah punya SIM?”

Padahal Mama sering membiarkan aku membawa motornya kalau ia sedang tidak perlu. Jadi karena sesungguhnya Papa yang ingin aku memboncengnya, aku pun menurut. Aku yang bawa SLR coba memotret ragam pemandangan dari belakang punggung Papa. Aku harap di lampu merah motor Mama akan bersebelahan dengan motor Papa, lalu lensaku akan menangkap wajah mereka berhadapan ketika mengobrol sejenak sambil menunggu hijau. Namun itu tidak kunjung terjadi.

Kami akan melanjutkan piknik yang dulu pernah terputus. Maribaya akan berhasil kami jangkau dari Dago Pakar. Semoga kali ini tidak ada yang hanyut lagi di sungai. Meski aku was-was. Kalau sedang stres, Papa suka melipurnya dengan pergi ke kolam pemancingan. Tapi ia pulang tidak membawa ikan, melainkan berita.

Sampai. Parkir motor. Menapaki jalan yang sudah disediakan. Menyusuri area bermain anak. Berpapasan dengan kepala bayi yang melongok di atas bahu wanita yang menggendongnya. Kontan aku berbalik. Pelan-pelan aku mengekor sembari menyiapkan SLR dan membuat ekspresi lucu yang bikin bayi itu terkekeh. Mulai membidik… Jepret. Bayi itu terkejut. Ia memalingkan kepala dan bersikap  seolah kejadian barusan tidak pernah terbersit dalam hidupnya.

Aku terkikik geli.

Dan aku kembali kehilangan orangtuaku.

Kususuri arah yang tadi sambil menengok kanan-kiri. Kalau tidak jeli, aku mungkin tidak akan menemukan mereka tengah bersanding di tepi jurang. Olala. Ada pemandangan menarik. Kujepret mereka dari belakang. Kapan lagi melihat Papa merangkul pinggang Mama?

“Eh… Ma, ada paparazi rupanya…” Papa sadar juga. Lepas deh tangannya dari pinggang Mama.

“Bukan, ini biberazi,” kataku. “Ayo, nurut sama fotografer yah…” Aku hendak membidik mereka lagi, tapi mereka malah menjauh. Yah.

Mereka mengenang momen di mana kami sempat ke sini sebelumnya. Mereka menganggap itu sebagai sesuatu yang lucu, bukannya tragedi. Kami mulai memasuki jalan menuju Maribaya tanpa tertarik untuk menyusuri lorong Gua Belanda terlebih dulu, apalagi Gua Jepang.

“Kalau mau bulan madu, mestinya jangan ajak-ajak anak dong,” kataku dengan nada sok protes.

Mama, yang merangkulku sedari tadi, menanggapi, “Kalau niatnya mau bulan madu mah Mama enggak mau di sini…”

“Di mana dong Ma?”

“Mama mah maunya di awan merah.”

“Biar enggak ada yang ganggu ya Ma?”

“Kalau Papa maunya di mana?” ganti Mama tanya.

“Hm… Kalau gitu Papa maunya di atas pelangi…”

“…hanya kita berdua…” dendang Mama.

“Ih!” Aku melepaskan rangkulan Mama. Aku tidak mau dengar lagi kalau lanjutannya adalah duet mereka menyanyikan “Fantasia Bulan Madu”.

Ketika hujan merintik, kami masuk ke salah satu dari beberapa warung makan yang berjajar di tepi jalan. Kelak, ketika warung makan-warung makan itu terbengkalai, bahan-bahan yang menyusun mereka lambat laun akan melapuk dan terurai jadi tanah.

Sepanjang jalan yang kami lalui tadi, ranah penglihatanku hanya didominasi hijau, hitam, dan putih. Sekarang aku bisa lihat warna-warni mendominasi lagi—di atas roti lapis yang disiapkan Mama dari rumah. Papa memesan kopi, aku es jeruk, sedang Mama teh hangat. Cuek dengan pemilik warung makan, kami tidak beli makanan melainkan membuka bekal kami sendiri.

“Enak kan roti bikinan Mama?” kata Mama ketika aku mulai mengunyah.

“Ini mah yang bikin pabrik Ma,” sanggahku. “Mesesnya juga yang bikin pabrik. Coba lihat di bungkusnya, pasti ada tulisannya…”

“Bibe nih, sukanya ngehina-hina orangtua aja…” sahut Mama gemas.

Papa tertawa. “Coba tanya Mama, sudah bisa ngupas mangga apa belum?”

Aku tahu kok ia bisa. Papa cerita, waktu baru menikah, satu-satunya buah yang Mama bisa kupas hanya pisang.

“Ih, itu mah enggak pakai pisau juga bisa!” ujarku.

“Pa….” ucap Mama dengan nada mulai senewen.

“Cara ngupasnya aneh pula! Bukan pucuknya dulu diiris, malah langsung dibelah dua… Ahahahaha…”

“Aduh, Ma! Malu-maluin banget sih!”

Mama menghembuskan nafas dengan dongkol. Kelanjutan dari cerita tersebut, Mama kemudian disuruh mengupas berbuah-buah mangga biar biasa lantas bisa. Tapi, ia hanya boleh menggegoti daging yang melekat di biji, bukannya daging yang sudah ia potong-potongkan. Lalu opungnya Papa bilang, “Pintar kali kau, cari istri macam tukang hibur begini bah!”

Papaku hanya bisa balas, “Ah diamlah kau, pak tua!” dengan logat sok Batak untuk membela Mama.

Makin beringas saja tawa dari keluarga Papa. Malah kata sang paman, “Coba itu kau data buah apa saja yang dia bisa kupas dan mana yang tidak. Besok kau kursuskan sajalah!”

“Itu bisa dimasukin ke dalam memoar Be,” kata Mama, sabar. Masih mati ketawa, Papa merangkul Mama lalu menepuk-nepuk bahunya. Aduh kasihan deh mamaku. Mama tambahkan, ibu mertuanya juga kejam, keras dan tajam. Kisah antara mamaku dan ibu mertuanya bisa jadi sitkom sendiri dengan tajuk “Mertua oh Mertua: Kucaci dan Kucinta”.

“Memoarmu udah sampai mana Be?” tanya Papa.

“Iya… Ini juga lagi digarap,” dustaku.

Berlama-lama di warung makan tersebut malah menyurutkan semangat untuk menembus jalan ke Maribaya. “Ah, udah siang, pulang yuk,” ajak Papa. Sayang sekali rintik hujan hanya sementara, panas terik menerpa. Aku jadi setuju dengan Papa. Mama ikut saja.

“Habis ini enaknya ngapain ya?” suara Papa lagi.

“Ya udah istirahat aja di rumah,” kata Mama karena aku tidak kunjung menjawab. Aku jalan sendiri di depan kedua orangtuaku.

Aku merengek pada Papa agar dibolehkan mengendarai motor sendiri. Papa masih juga tidak mengizinkan. “Ya nanti kalau Bibe sudah kuliah Papa belikan.”

“Bener ya Pa?”

“Masalahnya Bibe mau kuliah apa, di mana, mau kuliah apa enggak, kan belum tahu.”

“Ah gampang deh itu mah! Pokoknya tahun ini aku bakal kuliah, liat aja!”

Kena juga aku sama taktik motivasi Papa.

Deras hujan malah menimpa ketika kami mendekati rumah. Huh, tidak bisa menunggu sampai kami di dalam dulu apa ya?

“Hujan-hujan gini enaknya minum yang anget,” gumam Papa. Ia sudah mengganti pakaiannya dengan yang kering. Namun handuk masih tersampir di atas bahunya. Rambut lurusnya yang agak panjang lemas ke bawah. Papaku pasti minta kopi lagi nih.

Mama berdecak dari arah dapur. “Bikin sendiri ah!”

“Aku yang bikinin!” kataku. Kulihat jendela, berharap hujan lekas mereda. Harapku tercapai begitu dua gelas kopi hendak kupersembahkan bagi kedua orangtuaku. Sebetulnya aku bikin tiga. Aku sudah menciri gelasku, isinya beda dari yang dua—yang isinya sama.

Aku amankan gelasku. Aku meminumnya pada jarak yang agak jauh dari Papa. Ia mulai mencicipi isi gelas tersebut. “Hm… Rasanya kok kayak kopi jahe ya? Kopi apa nih?”

“Kopi jahe,” kataku.

“Bukan. Jahe enggak kayak gini…” Papa meneguknya lagi. “Ini ampasnya masih rada kasar.” Ia mengecap-ngecap.

Aku mulai deg-degan. Kubawa gelas ke dalam kamar, kuletakkan di atas meja belajar, lalu bersiap-siap. Begitu hujan berhenti, aku akan segera meninggalkan rumah ini.

Ketika aku keluar dari kamar, Mama sudah duduk di samping Papa, ikut menonton TV. Aku semakin berharap hujan berhenti ketika Mama mulai meneguk isi gelasnya. Papa juga meneguk terus. “Enak juga ya?” komentarnya.

Gerimis saja tidak apa-apalah! Aku mulai agak ketakutan, sekaligus lega, mereka tidak berkomentar apa-apa lagi soal kopi yang aku bikinkan.

Ketika rinai sudah cukup ringan, kupikir-pikir, untuk berlalu di bawahnya, aku cangklong tasku.

“Mau ke mana Bibe?” tegur Papa, tentu saja. Mama juga memandangku.

“Mau… belajar di rumah temen,” jawabku. Jawaban paling aman yang bisa kutemukan, dan aku tak akan mendustakannya. Sehabis ini aku akan menghubungi temanku yang kira-kira rumahnya bisa kutinggali hingga setidaknya… esok hari, sekalian pergi ke sekolah dari sana. Aku tidak tahu khasiat dari kopi itu akan tahan berapa lama, kalau memang ada. Untuk jaga-jaga saja.

Ada seorang temanku yang berlibur ke Dieng akhir tahun lalu. Satu dari ragam oleh-olehnya adalah beberapa sachet kopi purwaceng. Temanku mengaku sudah mencobanya, tapi ia tidak merasakan apa-apa. Khasiat yang terasa hanya sebagai penghangat badan saja. Tapi barangkali khasiatnya yang lain bisa terbukti. Ketika tengah bersantai di sekitar Kompleks Candi Arjuna, temanku dengar seorang pria berkata pada turis-turis yang dipandunya, “Purwaceng is viagra from Java!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain