Jumat, 23 Desember 2011

"Berbahagia dan Berbagi": Dari Bandung untuk Majene untuk Bandung Lagi

Majene terletak di barat Sulawesi. Daerah ini mencakup pesisir, perbukitan, dan kota. Dari Makassar, perjalanan ke sana dapat ditempuh dengan bis malam. Jalan sudah dibangun sejak zaman penjajahan Belanda. Tidak ada yang menggunakan kendaraan offroad untuk melintasi jalan ini, meski kondisinya pas untuk itu. Umumnya orang Majene bertubuh pendek, kata Firman.

FKPPI tampak dari Pitimoss
Ke Majenelah, Indonesia Mengajar (IM) mengirim Firman, Alin, Soleh, Arum, Fauzan dan beberapa pengajar muda lain pada tahun 2010. Kebetulan, semua orang Bandung. Namun hanya lima nama tersebut yang hadir dalam lingkar belajar yang diadakan Komunitas Sahabat Kota (KSK) di ruang sekretaris bangunan milik Forum Komunitas Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI) Bandung, 23 Desember 2011. Bangunan berupa rumah tua itu berseberangan dengan Pitimoss, tempat penyewaan buku nan tenar di kalangan muda Bandung (keanggotaannya berlaku seumur hidup lo…).

Dimulai pukul setengah empat sore, selaku moderator AW meminta seluruh orang dalam ruangan untuk memperkenalkan diri—lengkap dengan asal dan arti “bahagia”, sesuai judul acara ini: “Berbahagia dan Berbagi”. Para peserta umumnya mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Bandung seperti ITB, UNPAD, UNPAR, UIN, sampai IT Telkom. Mahasiswa S2 juga ada.

Firman dan Alin kemudian memandu kami untuk menyanyikan lagu yang biasa mereka nyanyikan bersama anak-anak Majene.


Selamat pagi semua, halo halo (x2)
Tengok kanan, tengok kiri, halo halo
Selamat sore semua, halo-halo


Ditambah gerakan, lagu ini kami nyanyikan dengan mengganti “tengok” jadi “teplok” lalu “gelitik”. “Selamat sore” diganti “selamat pagi” agar kami lebih semangat.

Firman, Alin, dan Soleh memulai cerita mereka sembari memamerkan foto-foto lanskap Majene. Perumahan di atas bukit, pemandangan laut dari halaman sekolah, mangrove yang baru ditanam LSM YPMD, hingga aktivitas masyarakat kala memanen kakao. Jenis ini dapat dipanen setiap minggu dan memberi pendapatan bagi masyarakat sebesar dua puluh ribu rupiah/kg.

Majene dulunya terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil yang digabungkan oleh pemerintah Belanda saat itu. Suku Mandar menduduki daerah ini. Mereka masih mempertahankan tradisi lama. Perayaan maulid nabi diselenggarakan selama tiga bulan dengan lokasi berpindah dari satu tempat ke tempat lain—sesuai lokasi eks kerajaan. Pakaian khas Mandar adalah sarung sutra bermotif kotak-kotak serta baju poko—beda dengan baju bodo.

Namun kehadiran perwakilan pengajar muda IM angkatan pertama ini bukan untuk promosi daerah yang pernah mereka tinggali selama setahun tersebut. Mereka datang untuk berbagi, tidak hanya pada anak-anak Majene, tapi juga pada kami yang mungkin tahun depan akan menyusul kiprah mereka.


Motivasi para pengajar muda

Yang jadi motivasi awal bagi Firman untuk mengikuti IM adalah perhatiannya pada anak-anak yang suka mendampinginya selama menjalani proyek dosen di pelosok luar Pulau Jawa. Terlepas dari apakah mereka memang tidak sekolah atau meninggalkan sekolah secara sengaja, anak-anak tersebut membutuhkan pekerjaan. Sekolah jadi terpinggirkan.

Soleh memang menyukai anak-anak. Mereka selalu tampak gembira, kata lulusan Sastra Indonesia UNPAD angkatan 2005 ini. Ia sudah terpikir untuk pergi ke daerah dan mengajar anak-anak di sana sebelum ia mengikuti IM.

Alin mengikuti IM karena masalah personal. Sebagai keturunan China, ia merasa memiliki keterbatasan. Ia ingin menghilangkannya dengan menunjukkan ke-Indonesia-annya. Ia mengaku bahwa sebelum ikut IM ia tidak begitu menyukai anak-anak, namun IM mengubahnya.

Fauzan juga mulanya risi saat anak-anak menggandulinya. Ia ingin hubungan di antara ia dengan mereka hanya sebatas guru dengan murid. Namun pengalaman ini membuatnya belajar untuk menggunakan hati saat mengambil keputusan.


Tantangan dan kendala

Sepertinya siapapun berkesempatan untuk jadi pengajar muda. Ketika saya bertanya apa kemampuan dasar yang sebaiknya dimiliki calon pengajar muda, Alin bilang kalau mereka diberikan pelatihan selama dua bulan sebelum diterjunkan. Pelatihan yang diberikan ala militer—bahkan katanya angkatan yang baru dilatih Kopassus. Kedisiplinan, survival (“belajar makan ulat…”), hingga cara bikin kurikulum, psikologi, evaluasi, dan sebagainya diberikan selama pelatihan tersebut.

Namun yang terpenting adalah kita harus menjajaki daerah tujuan sebelum berangkat ke sana. Setelah ditanya warga tentang Baharudin Lopa, Alin jadi malu karena tidak mengenal tokoh kebanggaan Mandar tersebut.

Meski satu Majene, namun hanya satu pengajar muda untuk satu sekolah. Dan mereka memiliki cara-cara kreatif dalam menggugah anak-anak untuk maju. Soleh membuat lagu yang membuat anak-anak lebih siap sebelum menghadapi pelajaran. Melihat keadaan sekolah yang kotor, ia mengadakan lomba membersihkan sampah yang disambut anak-anak dengan semangat. Saat ada kesempatan, Arum ingin mempertemukan anak Majene dengan wakil presiden. Karena jumlah anak yang diperkenankan hanya satu, ia menyeleksi mereka dari surat yang mereka buat untuk presiden. Firman dan salah seorang mbak di ruangan—juga pengajar di SD, tapi di kota—mempertemukan anak-anak mereka, desa dan kota, melalui sahabat pena.

Permasalahan yang mereka hadapi pun beragam. Seperti yang dikatakan Firman, di sana hanya guru yang memiliki buku. Jadi murid-murid harus giat mencatat. Meski jumlah guru yang terdata lengkap, hanya sedikit guru yang datang saat kegiatan belajar-mengajar. Tidak jarang satu sekolah hanya diurus tiga orang atau bahkan sendirian hari itu. Selain itu, hanya sebagian dari siswa-siswa kelas enam yang bisa membaca. Seharusnya mereka tidak lulus UN, namun nilai mereka di-mark up sedemikian rupa. Bahkan ujian belum selesai pun, nilai sudah ada.

Atau seperti yang Fauzan alami. Sebulan terakhir ia di Majene, sekolahnya disegel karena sengketa lahan. Menurut Fauzan, guru-guru mogok mengajar karena dipengaruhi media yang kerap menayangkan aksi mogok kalau ada hal tidak beres. Dua sampai tiga minggu, ia mengajar dari satu rumah ke rumah lain. Karena warga mempermasalahkan, Fauzan akhirnya mengontak dinas. Seminggu terakhir ia di Majene, sekolah kembali dibuka.

Ada lagi yang diungkap oleh Arum. Ia bilang di sana dana BOS dihitung per anak. Setiap tiga bulan, sekolah mendapat dua puluh juta rupiah untuk dua ratus anak. Namun anak-anak tetap tidak memiliki buku. Guru pun tak dikasih spidol. Ada saja alasan kepala sekolah. Arum sampai memotret laporan keuangan di mana tertera dana dialokasikan untuk keperluan ekskul, dana guru, dan lain-lain, namun itu semua fiktif. Ketika Arum melaporkan ini pada pengawas, pengawas itu bilang kalau ini tidak bagus namun setelahnya ia diam saja. Rupanya antara kepala sekolah, pengawas, hingga kepala dinas masih terdapat hubungan persaudaraan. Maka bersamaan dengan turunnya dana BOS, kepala sekolah memiliki Ninja baru. Kepala di sekolah lain bahkan punya rumah baru. Entah apa hubungannya.

Kalau menurut Soleh, tantangan baginya adalah bagaimana menghadapi semangat belajar anak-anak yang tinggi. Mereka suka mengajak belajar hingga malam padahal genset menyala hanya dari jam enam sampai delapan malam. Setelah itu, mereka belajar menggunakan lilin atau pelita. Selain itu, para orangtua di sana memang tidak begitu peduli akan pendidikan. Kalau masa panen tiba, anak-anak mereka harus ikut ke kebun.

Standard sukses di sana adalah apabila anak bisa menghasilkan uang lebih banyak dari orangtuanya. Dunia mereka yang terbatas menjadikan guru alias PNS sebagai profesi paling dihargai.

Perbedaan bahasa juga jadi kendala. Di sana, “kita” berarti “kamu”, mengangguk berarti tidak tahu, sedang mengangkat alis berarti mengiyakan. Setiap dusun memiliki bahasa berbeda. Namun para pengajar muda ini mengaku tidak mengalami masalah berarti dalam adaptasi. Asal kita selalu mendengarkan mereka dan tidak menolak kalau disuruh makan, mereka baik-baik saja pada kita.

Laporan yang harus mereka buat berupa blog dan pengisian aneka borang. Mereka baru dikirimkan semacam parabola agar bisa mengakses internet pada bulan kedelapan, sebelumnya mereka memperbarui blog kalau ada kesempatan ke kota saja. Kalau ada masalah, mereka bisa mencurahkannya pada sesama pengajar muda di lokasi lain yang berdekatan dengan lokasi mereka atau mengontak langsung pihak IM. Homesick pasti ada, namun mereka menguatkan diri dengan menyadari kalau setahun bukan waktu yang lama. Mereka harus mengoptimalkan keberadaan mereka.

Menurut Soleh, tantangan yang ada tidak usah dipikir. Seperti masalah nilai yang dimodifikasi misalnya, itu bukan tanggung jawab mereka. Mereka tidak berani mengatakan bahwa mereka sudah membuat perubahan. Yang terpenting adalah bagaimana membuat anak-anak tersebut senang sekolah.


Tentang Indonesia Mengajar

Konsep IM kiranya hampir seperti KKN, namun dengan durasi jauh lebih lama dan terfokus pada pendidikan anak-anak. Tidak ada target khusus. Tujuan IM hanya untuk mengisi kekosongan guru—baik kosong yang benar-benar maupun yang dibuat-buat, kata Soleh. Para pengajar muda diharapkan dapat menjadi role model bagi anak-anak yang mereka ajar, serta motivasi bagi para orangtua untuk memajukan anak mereka. Salah satu dukungan warga kepada pendidikan adalah dengan merayakan kelulusan anak mereka dengan heboh.

Menurut Fauzan, meski tidak ada target namun ada outcome mapping untuk mengetahui perubahan perilaku dari orang-orang yang bersinggungan dengan mereka selama di daerah. Yayasan IM hendak membuat semacam impact evaluation untuk melihat dampak dari kegiatan ini setelah lima tahun. Namun konsep mengenai ini belum jelas.
           
Kontrak dengan kabupaten yang menjadi lokasi penerjunan para pengajar muda adalah lima tahun, sedang dengan para pengajar muda hanya setahun. Namun apabila kabupaten masih membutuhkan program ini, kontrak dapat diperpanjang. Sekali lagi, yang penting adalah bagaimana membuat masyarakat peduli pada pendidikan.


Antara Desa dan Kota

Forum merembet pada perbandingan antara anak desa dengan anak kota. Salah satu perbedaan yang ada adalah semangat belajar. Anak desa memiliki semangat belajar lebih tinggi. Menurut Arum, anak kota punya banyak hal yang bisa mereka lakukan kalau mereka malas belajar. Main PS atau ke mal misalnya. Fasilitas di desa lebih terbatas. Tambah Fauzan, struggle power anak desa lebih tinggi. Supaya bisa makan, mereka harus membantu orangtua mereka. Anak kota serba dimudahkan. Untuk makan saja, justru mereka harus dipaksa saking asyiknya main PS.

Dunia anak kota sudah dirampas, kata Soleh. Karena tidak ada lapangan lagi untuk main bola, mereka pun lari ke PS. Sebetulnya selama masih ada tempat untuk lari-lari, kehadiran gadget macam PS bukan terlalu masalah. Tidak lama lagi eksistensi PS sepertinya akan merambat ke Majene. Meski jauh dari sinyal, warga telah memiliki ponsel meski belum dapat difungsikan seutuhnya.

Menurut Kak Kandi, salah seorang pengurus KSK, secara alami anak-anak menyukai alam. Namun anak kota sudah tidak memiliki sarana untuk itu. Lingkungan pun tidak mendukung. Anak-anak yang tinggal di gang misalnya. Mereka hanya punya lahan di tengah gang untuk main kelereng, itupun penuh gangguan. Akhirnya mereka lari ke persewaan PS yang jelas menghabiskan uang orangtua mereka. “Jika anak-anak kurang bersentuhan dengan alam, emosi mereka jadi enggak stabil,” katanya. Ada istilah tersendiri untuk ini, namun saya tidak sempat catat.

Tambah seorang mbak berjilbab pink, anak-anak sekarang dilarang main di jalan karena keamanan kian rawan. Mereka bisa saja diculik sewaktu-waktu. Akhirnya orangtua memberi mereka fasilitas apa saja di dalam rumah asal mereka tidak main keluar.

Di sini saya tercenung karena menyadari maksud dari “kota ramah anak” yang sepertinya pernah didengungkan KSK dalam salah satu media sosialnya. Kota seharusnya diisi dengan fasilitas bermain anak. Bermain amat penting artinya bagi perkembangan anak. Namun anak kota hanya bisa iri kala menyaksikan  para bolang di TV. Anak-anak desa itu masih bisa menikmati fasilitas bermain alami di lingkungan mereka.

Saya tidak ingat persis siapa yang mengatakannya pada forum ini, mungkin salah satu pengajar muda. Ia bilang kalau anak desa sebetulnya memiliki potensi yang tidak kalah hebat dari anak kota. Anak kota, anak-anak Bandung bahkan, bisa jadi kalah dari anak desa seandainya anak desa pun diberi fasilitas memadai. Dari seratusan anak yang dapat tembus olimpiade, anak Majene adalah salah satunya.

Namun pada dasarnya anak-anak akan malas belajar kalau mereka merasa dipaksa. Kreativitas para pengajar dituntut agar anak-anak dapat menikmati proses belajar.


KSK dan pendidikan anak kota

Pendidikan memrihatinkan tidak hanya ada di pedalaman, kata Kak Kandi. Di kota pun dapat kita temukan yang seperti itu, ditambah lagi dengan kian minimnya ruang bermain bagi anak.

KSK merupakan komunitas pendidikan alternatif yang memberdayakan anak muda agar berkontribusi pada kotanya, ujar AW saat memulai forum ini. Maret 2011, KSK mengadakan kegiatan di sebuah SD di kota Bandung. Mereka menyuluh anak-anak mengenai makanan sehat. Anak-anak diminta untuk membaca label dari ragam produk camilan anak-anak. Setelah itu, mereka membeli camilan, mencermati labelnya, lalu secara berkelompok mempresentasikan apa yang telah mereka dapat.

Maret-Juni 2012, KSK akan menyelenggarakan kembali acara serupa dengan tema Education for Sustainable Development (ESD) di SD Pardomuan. Rencana kegiatan kali ini dilakukan paling tidak seminggu sekali dengan melibatkan tidak hanya siswa, tapi juga orangtua mereka, bahkan guru. Rekrutmen akan segera dibuka.

Dua jam pun tak terasa. Dari yang awalnya beberapa orang saja, ruangan tersebut pada akhirnya tampak penuh terisi dua puluhan orang—meski deretan terdepan kosong.  Di luar sudah gelap dan hujan merintik saat kami keluar bangunan FKPPI. Saya sempat mengobrol sedikit dengan Rifa—salah seorang pengurus KSK juga—mengenai kontribusi KSK dalam Bandung Inisiatif, khususnya terhadap Babakan Siliwangi. Komunitas ini pernah berpartisipasi dalam sayembara desain Babakan Siliwangi serta kerap mengadakan lingkar belajar di sekitar hutan kota yang baru dicanangkan tersebut.

Mengapa pendidikan menjadi penting adalah karena pendidikanlah yang membentuk kita seperti sekarang ini. Seperti kata Firman, jangan terus persoalkan di mana kebaikan dan kesalahan pendidikan melainkan bagaimana kita bisa memberi sesuatu untuk mengubah kesalahan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain