Siang itu Sabtu. Mama menyetir
mobil memasuki ruas jalan yang macet. Ari duduk di sebelahnya. Ia merasa makin
sesak karena seat belt yang menyilang di tubuhnya. Tapi ini yang harus ditempuh
untuk sampai sekolah Vira. Sehabis menjemput anak itu, mereka akan menembus tol
Cipularang. Nanti malam adalah malam keroncong, malam menyenangkan bagi adiknya
yang berselera eyang-eyang. Tapi katanya kakak yang biasa tidak bisa menginap malam ini.
Mobil mereka berhenti lagi. Sesekali maju tersendat.
Suara vokalis wanita dari band Irlandia mengisi ruangan mobil. Ari merasa mual
dengan aroma pewangi mobil. Kemudian ia menyadari bahwa rasa tidak nyamannya
mungkin berasal dari wanita di sebelahnya.
“Ari kok sekarang sukanya diam saja?” Mama menoleh
padanya. Tersenyum lembut. Lengkung bibir Ari semakin tertarik ke bawah padahal
ia ingin membalas Mama dengan senyum sinis. Matanya kian menyipit. Tungkai
kakinya refleks menghindar ketika Mama coba menyentuh. Kalbunya kian didera
gemuruh.
“Ma, Ari buka-buka HP Mama, yang hitam.”
“Apa?” Ketika Ari menoleh, pandangan Mama lekat ke
arahnya.
“Yang hitam, Ari baca-baca pesan yang ada di situ.”
“Yang hitam?” Ari bisa
merasakan mata Mama mendelik ke arahnya. Ia berusaha untuk tidak menunduk. Ia
tahu ia tidak boleh gentar. Ia kuatkan kegeraman yang sedari lama
mencakar-cakar sanubarinya.
“Ari baca pesan-pesan yang ada di situ,” ulangnya.
Tiba-tiba ia merasakan hentakan keras di pipinya. “Enggak
sopan kamu!”
Ari terkesiap. Pipinya berdenyut-denyut dan panas. Tapi
ia lawan tatapan Mama. “Kenapa? Mama ngerasa bersalah?”
Mamanya diam. Nafasnya tersengal. Ada gejolak sedang
menggelegak, Ari bisa merasakannya.
“Emangnya Mama ngapain?” Ari bertanya pelan, nadanya kian
menantang. “Jadi bener, Mama udah berbuat dosa?”
Kali ini Mama tidak sekadar menamparnya. Ia merasakan
perih dan panas terus menghantam beberapa bagian tubuhnya. “Asal kamu tahu,
Papa kamu juga dulu kayak gitu!” jerit Mama. Mama baru berhenti setelah kepala
Ari membentur kaca di sebelahnya dan menghasilkan bunyi keras. Tapi kepala Ari
tetap menempel di sana. Ia memandang lurus-lurus ke depan.
Jadi kenyataannya seperti itu.
Mama berusaha mengendalikan nafasnya. Sesuatu menjalar di
leher Ari hingga ke kepala. Matanya kini terasa lebih panas dari tubuhnya. Dan
kepalanya sangat pusing.
Ketika mobil berhenti di depan sekolah Vira, Ari turun
dari mobil. Mama berteriak memanggil namanya. Tapi ia hanya ingin pindah ke jok
belakang. Di sana ia menghempaskan tubuhnya menghadap ke arah jok.
Terdengar Vira memasuki mobil. Tadinya anak itu hendak
membuka pintu belakang, namun ternyata tubuh Ari melintang di baliknya. Anak
itu naik ke jok depan. “Ma, Kak Ari kenapa?”
“Kak Ari ngantuk,” jawab Mama.
Vira tidak berkata-kata lagi. Tapi anak itu pasti
merasakan atmosfer janggal menguasai seantero mobil.
“Mama udah bawain bekal. Ayo makan siang dulu.”
Sesampainya di rumah eyang, Ari langsung keluar dengan
mencangklong tas. Sambil lalu ia menyalami kedua eyang yang menyambutnya. Ia
bergegas naik ke lantai dua, masuk ke kamar yang biasa ditidurinya kalau
menginap di sana, kalau bukan di ruang depan TV, dan mengunci pintu.
Ia menyelinap ke luar hanya untuk berwudu. Setelah itu ia
cepat-cepat masuk lagi ke dalam. Pintu dikunci. Vira sudah memanggilnya,
mengajaknya ke luar di Sabtu petang itu. Ia tidak menjawab. Beberapa lama, suara
Mama yang terdengar. “Sayang, makan dulu yuk…” Terdengar kedua eyangnya
bertanya-tanya. Ramai sekali di depan
pintunya. Ia menunggu sampai senyap dulu. Baru ia ke luar untuk berwudu lalu
turun untuk ikut makan.
“Ari kenapa?” Eyangnya putra bertanya.
Ia merasa sesuatu menyentuh wajahnya. Eyangnya putri
menyibak ombak hitam yang menutupi dahinya. “Lo, ini kenapa?”
“Kejeduk tadi,” kata Ari cepat-cepat. Sudut matanya
menangkap keterpakuan Mama.
“Sebentar ya, Eyang suruh si bibik bikinin beras kencur.”
“Ah, Eyang, kayak anak kecil aja sih ah,” keluh Ari.
“Baunya enggak enak…”
“Jangan gitu, Sayang… Biar cepat sembuh…” Mama berucap.
Ia menyorongkan piring berisi nasi pada Ari. Ari mengambilnya tanpa ingin
memandang Mama. Ia bisa menangkap rasa bersalah wanita itu, gerakan tubuhnya
yang lantas jadi kaku.
Setelah beras kencur jadi, mau tak mau Ari membiarkan
tangan Eyang melumuri dahinya dengan cairan dingin, kasar, dan berbau menyengat
itu.
Setelah makan Ari hanya ingin kembali ke kamar. “Mau
tidur,” katanya.
Ketika ia akan menutup pintu,
tangan Mama menahan. Mereka saling mendorong beberapa lama sampai Ari
membiarkan Mama hampir terjerembap karena upayanya sendiri. Ari meloncat ke
kasur. Ia membungkus tubuhnya dengan bed cover. Terasa tubuh Mama menaiki
kasur. “Maafin Mama, Sayang…”
Wanita itu berusaha
menyentuhnya namun Ari terus meronta. Sepertinya Mama kena tendangannya, tapi
ia tak mau peduli. Ia akan terus begitu sampai dirasanya Mama tak lagi berada
di ruangan itu.
Tak terasa lagi Mama coba-coba
mendekatinya. Meski demikian tak ada sedikit pun keinginan Ari untuk bangun.
Beberapa lama ia lelap. Ketika sadar, ia mengira sudah tertidur selama beberapa
jam. Pendengarannya hanya menangkap senyap. Ia mengangkat bed cover, berbalik,
dan mendapati Mama tidur di sampingnya. Ia melihat seraut wajah nan kuyu.
Setelah ini ia akan bersikap
biasa-biasa lagi pada Mama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar