Sabtu, 10 Desember 2011

HP Mama yang Hitam

Siang itu Sabtu. Mama menyetir mobil memasuki ruas jalan yang macet. Ari duduk di sebelahnya. Ia merasa makin sesak karena seat belt yang menyilang di tubuhnya. Tapi ini yang harus ditempuh untuk sampai sekolah Vira. Sehabis menjemput anak itu, mereka akan menembus tol Cipularang. Nanti malam adalah malam keroncong, malam menyenangkan bagi adiknya yang berselera eyang-eyang. Tapi katanya kakak yang biasa  tidak bisa menginap malam ini.

            Mobil mereka berhenti lagi. Sesekali maju tersendat. Suara vokalis wanita dari band Irlandia mengisi ruangan mobil. Ari merasa mual dengan aroma pewangi mobil. Kemudian ia menyadari bahwa rasa tidak nyamannya mungkin berasal dari wanita di sebelahnya.

            “Ari kok sekarang sukanya diam saja?” Mama menoleh padanya. Tersenyum lembut. Lengkung bibir Ari semakin tertarik ke bawah padahal ia ingin membalas Mama dengan senyum sinis. Matanya kian menyipit. Tungkai kakinya refleks menghindar ketika Mama coba menyentuh. Kalbunya kian didera gemuruh.

            “Ma, Ari buka-buka HP Mama, yang hitam.”

            “Apa?” Ketika Ari menoleh, pandangan Mama lekat ke arahnya.

            “Yang hitam, Ari baca-baca pesan yang ada di situ.”

“Yang hitam?” Ari bisa merasakan mata Mama mendelik ke arahnya. Ia berusaha untuk tidak menunduk. Ia tahu ia tidak boleh gentar. Ia kuatkan kegeraman yang sedari lama mencakar-cakar sanubarinya.

            “Ari baca pesan-pesan yang ada di situ,” ulangnya.

            Tiba-tiba ia merasakan hentakan keras di pipinya. “Enggak sopan kamu!”

            Ari terkesiap. Pipinya berdenyut-denyut dan panas. Tapi ia lawan tatapan Mama. “Kenapa? Mama ngerasa bersalah?”

            Mamanya diam. Nafasnya tersengal. Ada gejolak sedang menggelegak, Ari bisa merasakannya.

            “Emangnya Mama ngapain?” Ari bertanya pelan, nadanya kian menantang. “Jadi bener, Mama udah berbuat dosa?”

            Kali ini Mama tidak sekadar menamparnya. Ia merasakan perih dan panas terus menghantam beberapa bagian tubuhnya. “Asal kamu tahu, Papa kamu juga dulu kayak gitu!” jerit Mama. Mama baru berhenti setelah kepala Ari membentur kaca di sebelahnya dan menghasilkan bunyi keras. Tapi kepala Ari tetap menempel di sana. Ia memandang lurus-lurus ke depan.

Jadi kenyataannya seperti itu.

            Mama berusaha mengendalikan nafasnya. Sesuatu menjalar di leher Ari hingga ke kepala. Matanya kini terasa lebih panas dari tubuhnya. Dan kepalanya sangat pusing.

            Ketika mobil berhenti di depan sekolah Vira, Ari turun dari mobil. Mama berteriak memanggil namanya. Tapi ia hanya ingin pindah ke jok belakang. Di sana ia menghempaskan tubuhnya menghadap ke arah jok.

            Terdengar Vira memasuki mobil. Tadinya anak itu hendak membuka pintu belakang, namun ternyata tubuh Ari melintang di baliknya. Anak itu naik ke jok depan. “Ma, Kak Ari kenapa?”

            “Kak Ari ngantuk,” jawab Mama.

            Vira tidak berkata-kata lagi. Tapi anak itu pasti merasakan atmosfer janggal menguasai seantero mobil.

            “Mama udah bawain bekal. Ayo makan siang dulu.”

            Sesampainya di rumah eyang, Ari langsung keluar dengan mencangklong tas. Sambil lalu ia menyalami kedua eyang yang menyambutnya. Ia bergegas naik ke lantai dua, masuk ke kamar yang biasa ditidurinya kalau menginap di sana, kalau bukan di ruang depan TV, dan mengunci pintu.

            Ia menyelinap ke luar hanya untuk berwudu. Setelah itu ia cepat-cepat masuk lagi ke dalam. Pintu dikunci. Vira sudah memanggilnya, mengajaknya ke luar di Sabtu petang itu. Ia tidak menjawab. Beberapa lama, suara Mama yang terdengar. “Sayang, makan dulu yuk…” Terdengar kedua eyangnya bertanya-tanya.  Ramai sekali di depan pintunya. Ia menunggu sampai senyap dulu. Baru ia ke luar untuk berwudu lalu turun untuk ikut makan.

            “Ari kenapa?” Eyangnya putra bertanya.

            Ia merasa sesuatu menyentuh wajahnya. Eyangnya putri menyibak ombak hitam yang menutupi dahinya. “Lo, ini kenapa?”

            “Kejeduk tadi,” kata Ari cepat-cepat. Sudut matanya menangkap keterpakuan Mama.

            “Sebentar ya, Eyang suruh si bibik bikinin beras kencur.”

            “Ah, Eyang, kayak anak kecil aja sih ah,” keluh Ari. “Baunya enggak enak…”

            “Jangan gitu, Sayang… Biar cepat sembuh…” Mama berucap. Ia menyorongkan piring berisi nasi pada Ari. Ari mengambilnya tanpa ingin memandang Mama. Ia bisa menangkap rasa bersalah wanita itu, gerakan tubuhnya yang lantas jadi kaku.

            Setelah beras kencur jadi, mau tak mau Ari membiarkan tangan Eyang melumuri dahinya dengan cairan dingin, kasar, dan berbau menyengat itu.

            Setelah makan Ari hanya ingin kembali ke kamar. “Mau tidur,” katanya.

Ketika ia akan menutup pintu, tangan Mama menahan. Mereka saling mendorong beberapa lama sampai Ari membiarkan Mama hampir terjerembap karena upayanya sendiri. Ari meloncat ke kasur. Ia membungkus tubuhnya dengan bed cover. Terasa tubuh Mama menaiki kasur. “Maafin Mama, Sayang…”

Wanita itu berusaha menyentuhnya namun Ari terus meronta. Sepertinya Mama kena tendangannya, tapi ia tak mau peduli. Ia akan terus begitu sampai dirasanya Mama tak lagi berada di ruangan itu.

Tak terasa lagi Mama coba-coba mendekatinya. Meski demikian tak ada sedikit pun keinginan Ari untuk bangun. Beberapa lama ia lelap. Ketika sadar, ia mengira sudah tertidur selama beberapa jam. Pendengarannya hanya menangkap senyap. Ia mengangkat bed cover, berbalik, dan mendapati Mama tidur di sampingnya. Ia melihat seraut wajah nan kuyu.

Setelah ini ia akan bersikap biasa-biasa lagi pada Mama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain