Senin, 26 Desember 2011

Selamat Tinggal

Mama menyarankanku untuk berkonsultasi dengan Pakde Iim. Putra tertua Kakek Burhan itu selalu merupakan figur abang baginya. Maka aku melakukannya, sekalian melepas kangen dengan Mbak An dan adik-adiknya. Saran Pakde Iim malah bikin aku tambah rempong. Sudah persiapan BMC mulai menggeliat lagi, aku harus mempelajari ilmu-ilmu sosial. Jadi, keputusannya, aku akan ikut jalur IPC.

Sore berhujan itu, pertemuan sukarelawan BMC akan diadakan di salah satu kantin di kampus Manda. Aku datang agak telat karena baru dari bimbel. Semakin mendekati lokasi, semakin pasti penglihatanku akan sosok Manda yang sedang mengepul asap rokok. Ia tidak menguncir rambutnya. Di sampingnya, Teh Icih duduk dengan mengapit puntung rokok juga. Sepertinya perbincangan tentang BMC belum dimulai, ini masih kumpul-kumpul para perokok.

Selain mereka berdua, sudah ada tiga orang lagi yang datang. Kantin itu tidak bisa dibilang sepi, tapi tidak terlampau ramai juga. Sebagian berada di sini sepertinya hanya untuk berteduh atau asyik-asyikan dengan gerombolannya saja.

Manda sepertinya sadar kalau aku agak kaget melihatnya merokok. Ia matikan ujung puntungnya.

Setelah aku benar-benar menyimak apa yang sedang orang-orang ini bicarakan, rupanya Teh Icih sedang cerita soal para pengisi acara besok—terutama dari kalangan musisi tenar. Sesekali ada gumaman heboh dari kami ketika band atau penyanyi yang digemari telah dipastikan dapat tampil.

Selain mengisi berbagai ruang publik dengan musik, BMC memiliki acara sampingan yang akan dihelat di Sabuga. Jika acara lain merupakan pesta rakyat, alias gratis, acara satu ini agak eksklusif karena harus bayar. Sengaja diadakan agar dana tertalangi.

Teh Icih sedang bingung karena ada beberapa musisi yang sukar dihubungi. Salah satunya Ardian Hayyra.

Tersengat aku mendengar nama itu.

“Teh, Ardian Hayyra kenapa Teh?” tanya Manda.

“Kalau untuk Kang Hayyra, ini juga lagi saya tanyakan sama Abah,” kata Teh Icih.

Manda memandangku.

            Kami tidak membicarakan itu lagi ketika rapat sungguh-sungguh dimulai. Kami membicarakan langkah-langkah teknis untuk mematangkan acara yang akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.

            Bubar. Manda menyenggolku. “Om Yan kenapa Be?”

            Aku mengangkat bahu. Aku sendiri menyadari bahwa beberapa bulan telah berlalu sejak takziah ibunya. Itulah kali terakhir aku melihatnya. Setelah tidak berhasil menghubunginya ketika tanteku habis melahirkan, aku coba meneleponnya sesekali. Namun jawabannya selalu sama, sampai wanita di seberang sana bilang kalau nomor itu sudah tidak aktif. Beritanya sebagai pendatang baru dalam belantika musik Indonesia pun sudah tidak muncul lagi. Berita terakhir yang memuat namanya di media adalah berita kematian ibunya.

Ia seperti menghilang.

Seakan aku juga telah lupa kalau ia pernah mewarnai hidupku, menghangatkan hari-hariku.

Apakah ia masih bertemu dengan anak-anak Tante Ri? Dengan Tante Ri? Ah. Tidak patut aku bertanya seperti itu. Aku sudah tidak pernah mampir ke Kedai Buncong lagi. Sesekali aku masih bertukar sms dengan Vira. Aku katakan padanya kalau aku sibuk menemani tanteku yang baru melahirkan. Juga persiapan ujian. Aku tidak sekadar cari-cari alasan, itu memang benar.

Padahal mereka pernah begitu baik padaku, sekarang terlupa begitu saja. Betapa tidak tahu diri aku ini.

Dalam perjalanan pulang, aku terkenang. Pada saat-saat di mana ia mengantarku pulang, saat-saat di mana kami menghabiskan waktu di kafe ini, atau tempat anu, pada cerita-cerita yang kami tukar, pada senyumnya, pada keinginannya yang diam-diam… untuk jadi ayah.

Lalu aku coba melacak beberapa media sosialnya. Tidak ada yang baru. Barangkali bukan ia yang mengisi, bahkan.

Yah, aku kangen, Yah… tulisku. Kirim.

Lain kali, aku coba mengetik surel untuknya. Aku kirimkan beberapa paragraf yang berisi kabarku, minta ditukar dengan kabarnya.

Beberapa hari kemudian, aku mengecek apakah ada balasan darinya atau tidak.

Aku seperti melakukan hal bodoh.

“Ma, ke mana Om Yan?” tanyaku akhirnya pada Mama.

“Lo, kan Bibe yang suka ketemuan sama Om Yan?”

“Om Yan bukannya selalu bilang sama Mama kalau mau ketemu aku?”

Mama mengerjap-ngerjap. “Mungkin Om Yan udah balik Bibe.”

“Masak… Kan dia bukannya mau ikut BMC Ma…”

“Aduh, Mama enggak tahu… Mau ditanyain ke temen Mama?”

Mamaku benar-benar menanyakannya pada Om Dedi. Om Dedi tidak tahu-menahu. Mamaku menyarankanku untuk tanya pada Tante Zahra. Ah sudahlah, aku jadi malu. Sepertinya hanya aku yang sungguh-sungguh merasa kehilangan. Lainnya biasa saja. Mereka tidak bertemu Om Yan sesering aku.

Di sela-sela jadwal bimbel yang memadat, kontras dengan jadwal sekolah yang melonggar, aku sisihkan waktu dari mengasuh Kiran dan menemani tanteku. Aku ingin menapaki jalan itu lagi. Jalan kelabu dalam benakku. Di mana aku menuju rumah itu, yang dua kali dalam kunjunganku pintu sampingnya menyisakan celah. Kini tertutup rapat. Bunga-bunga di halaman tampak menyambutku dalam dingin. Daun-daun kering berbaring di teras bersaputkan debu-debu. Tak berpenghuni. Mati.

Aku pulang ke rumah lalu mendengarkan ragam musik Ardian Hayyra. Aku masih tidak bisa memahami mereka. Di mana penggubahnya sekarang? Sedang apa? Apakah ia masih menemui kekasihnya? Jadi hubunganku dengannya hanya sampai yang kemarin itu saja?

“Jadi kamu udah enggak pernah kontak-kontakan sama Ardian Hayyra lagi Be?” tanya Manda. Aku memboncengnya pulang setelah kami mengurus logistik untuk keperluan BMC. Kami masih jadi tim. Dan kami netral satu sama lain, setidaknya begitulah yang aku rasa.

“Enggak.”

“Di acara yang di Sabuga entar dia katanya bisa hadir lo.”

“O ya?” Punggungku mendadak tegak.

“Mau tanya langsung sama Teh Icih?”

Aku menggeleng. Tidak. Tidak perlu. Karena Om Yan sendiri yang meneleponku malam itu. Aku penasaran apakah ia bisa membaca pikiranku dari kejauhan. Ia tidak menggunakan nomor yang biasanya tidak bisa dihubungi itu.

“Om Yan, ke mana aja?” tanyaku menahan harus sekaligus isak. Aku berkata begitu pelan di tepi tempat tidur dengan pintu kamar tertutup. Aku tidak mau papaku dengar.

Tawanya masih renyah.

“Saya di rumah keponakannya Abah Bibe… Di sini tenang sekali…” Ia menyebut sebuah daerah di pinggiran Bandung. “Bambunya masih banyak… Kalau pagi saya suka jalan-jalan ke sawah, liat airnya masih jernih sekali. Kali juga masih ada airnya. Kadang-kadang saya main ke rumah penduduk, cuman buat minum teh aja… Kalau bisa telepon Bibe pagi-pagi mah, bisa kedengaran suara burung pagi-pagi ramai sekali…”

Sekarang saja sudah terdengar derik jangkrik mengawang-awang sebagai latar suara Om Yan.

“Ngapain di sana?” tanyaku.

“Persiapan Bibe…”

Biar diembeli “sampingan”, acara di Sabuga akan berlangsung meriah. Para musisi Sunda akan jadi poros. Sebagai musisi pendamping, yang sekaligus menjadikan ini sebagai proyek, Om Yan tampak menghadapinya dengan serius. Ia cerita, di desa tersebut para musisi yang akan berkolaborasi dengannya berkumpul untuk menerjemahkan orkestra alam jadi harmoni calung serta kacapi suling. Ini seperti perlawatan yang biasa Om Yan lakukan ketika ingin menghayati ragam musik langsung dari sumbernya. Tapi kali ini pakai acara gotong piano segala.

“Om susah banget dihubungin..” masih aku mengeluh. “Jadi sekarang Om udah ganti nomor jadi yang ini?”

“Enggak Bibe, ini bukan nomor saya.”

“Aku juga kirim e-mail ke Om Yan…”

Tapi ia tidak dengar. Ucapanku tadi tertimpa ucapannya, yang langsung kusimak begitu aku selesai berkata-kata. “Bibe, maaf, saya boleh minta tolong Bibe?”

“Iya Om?”

“Begini… Bibe masih suka main ke rumah Tante Ri?”

Seperti ada yang berdentum di dalam dadaku. “Udah jarang Om…”

Aku tidak segera mendengar jawaban. Agak lama, sampai ia berkata lagi dengan lembut, “Bibe mau ketemu Tante Ri lagi?”

Aku terpana. “..i… ya… Kenapa Om?”

“Ah, iya, kalau boleh… Bibe bisa ajak Tante Ri ke acara BMC yang di Sabuga itu?”

“Oh…”

“Tolong….” Suaranya tertahan sejenak. “…dipastikan Tante Ri bisa datang ya Bibe. Bibe bisa kasih langsung ke Tante Ri?”

“Insya Allah Om, saya usahakan.”

“Nanti saya pesankan ke Teh Icih. Nanti Bibe tolong ambil ke Teh Icih ya…”

“Iya Om.”

“Terima kasih Bibe. Kita ketemu di Sabuga besok ya?”

“Kapan?”

“Iya, besok, pas acara. Bibe masih jadi panitia kan?”

“Iya Om.”

“Terima kasih ya Bibe.”

“Iya Om.”

Otakku berpikir cepat bagaimana menyampaikan titipan itu pada Tante Ri dengan aman, tanpa harus diketahui anak-anak Tante Ri atau siapapun.

“Baik Bibe…”

“Om.”

“Ya?”

“Ada nomornya Tante Ri?”

“Ah. Sebentar saya cari dulu.”

***

Tante Ri mengajakku bertemu di suatu mal, di Bandung tentu saja, pada akhir minggu, tepatnya di suatu gerai makan yang tenang dan relatif sepi. Ia datang lebih dulu dari aku. Ia mengambil tempat di pinggir jendela, semakin terpencil, sendirian.

Ia menjaga senyumnya, tapi matanya tidak. Aku tidak bisa membaca apa yang tersirat di sana. Jelas suasana hatinya tidak baik, aku menduga-duga.

“Gimana kabar Ari sama Vira, Tante?”

“Baik.” Sorot sendu itu jadi agak kabur.

“Ari mau ngelanjutin ke mana Tante?” Aku tidak berbasa-basi. Aku memang sungguh ingin tahu nasib bocah tampan, cerdas, soleh, dan humoris tapi asosial, arogan, dan daya motoriknya hanya canggih di jemari itu.

“Pinginnya dimasukin pesantren.”

“Hah?”

“Dari kecil emang anak itu rada istimewa…”

“Pesantren mana Tante?”

Ada sebuah pondok pesantren modern terkenal di pelosok Jawa Timur.

Serius, anak manja itu bisa tahan hidup keras ala santri begitu? Apakah ia bisa hidup sehari saja tanpa pegang joystick?

“Vira juga mau masuk SMP ya Tan?”

“Iya. Paling ngelanjutin ke yayasan yang sama aja…”

Aku mau menghabiskan malam dengan gadis kecil itu lagi kalau kakaknya benar-benar jadi mondok di pesantren.

Kami diam beberapa lama.

“Jadi… Gimana kabarnya Yan?” tanyanya.

Sebetulnya aku agak kaget juga mendengar jawaban itu.

“Aku… udah jarang ketemu sama Om Yan lagi, Tante. Kemarin cuman lewat telepon aja. Sekali.”

“Oh…”

“Terakhir kali ketemu pas… ke takziah ibunya.” Dan aku melihatmu menangis.

Ia menunduk sebentar. Kepalanya naik lagi dengan pandang menerawang. “Ya.” Ia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. “Ini memang berat buat dia.”  Tante Ri mencoba tersenyum lebih lebar. “Yan itu… dekat sekali dengan ibunya.”

Ia masih menyimpan foto ibunya waktu muda di dalam dompet. Ia menurut ketika ibunya ingin ia sekolah di luar negeri. Setelah gemilang, ia ambil cuti panjang untuk menemani hari tua sang ibu.

Dan tidakkah sekilas Tante Ri tampak mirip dengan ibunya Om Yan?

Tante Ri kira Om Yan sudah tidak di Indonesia lagi.

“Enggak, Tante. Kan ada… itu… Bandung Musical City.” Aku jelaskan padanya ihwal helatan warga musisi Bandung tersebut.

“Iya… Aku kira itu sudah selesai. Dia sering bolak-balik ke… “ Ia menyebut nama desa yang kemarin Om Yan sebut di telepon.

“Belum Tante.”

Ia tidak berkata-kata lagi. Senyumnya tidak mampu memudarkan gundah. Aku benar-benar penasaran bagaimana hubungan di antara kedua orang ini. Akhirnya aku menyerahkan amplop berisi tiket itu padanya. Ia mengintip isinya. Ia hanya mengambil satu. “Saya datang sendiri aja,” katanya. Ia mengembalikan lainnya.

Kami tidak bercengkerama lebih lama lagi.

Sejujurnya, aku agak iba melihatnya.

Setelah itu, hari-hariku berlalu bagai angin ribut. Sekolah sudah tidak lagi mengusikku, namun jadwal bimbel tidak lagi bisa kulewatkan. Aku masih harus belajar tambahan agar sukses di jalur IPC. Belum lagi persiapan BMC dan kecenderunganku untuk mengambil alih pekerjaan orang lain. Ketika aku sudah diberi tugas untuk menyiapkan satu tempat saja, aku mencampuri persiapan di tempat lain.  Yang mengingatkanku bahwa itu bukan bagianku adalah ketidakhadiran Manda. Kami kan satu tim. Ya. Dan Manda bukan orang yang suka mengambil banyak peran. Ia beda denganku.

Yang aku sedihkan adalah ujian masuk perguruan tinggi terselip di antara serangkaian acara BMC. Mama mewanti-wanti agar acara BMC tidak sampai menggagalkan kesempatan yang menentukan masa depanku ini. Aku jadi tidak bisa lihat penampilan Om Yan secara cuma-cuma di salah satu ruang publik. Katanya ia bakal memainkan pianika bersama beberapa musisi muda.

Tapi untungnya, acara yang di Sabuga dihelat sesudah ujianku.

Malam itu, aku jadi petugas pengarah. Aku menggunakan kaos BMC dan mengalungkan tanda pengenal di leher. Aku mondar-mandir di dalam gedung pertunjukan untuk membantu orang-orang menemukan tempat duduk sesuai nomor yang tertera di tiketnya. Sekilas aku melihat sosok jangkung nan necis mengintip dari pintu di sisi panggung. Aku menoleh beberapa kali untuk memastikan kalau aku tidak salah lihat. Langsung kutinggalkan tugasku.

“Om Yan!” teriakku.

“Hei Bibe…” Ia merunduk.

Aku terbenam dalam pelukannya. Tersesap harum yang kurindu.

“Om… Aku kangen…” kataku. Aku sungguh-sungguh.

Ia mengelus kepalaku. Aku merasa kenyamanan kembali merengkuhku.

“Kapan kita jalan-jalan lagi Om?” tanyaku. Bukan basa-basi.

Ia sudah berdiri lagi. Beberapa lama kami hanya berpandangan saja. “Kapan-kapan Bibe, main ke rumah Om ya?”

“Rumah Om yang…” Aku tidak yakin rumah itu masih berpenghuni.

“Bukan. Rumah yang satu lagi.”

“Di mana?”

“Boston.”

“Jauh.”

“Pokoknya Om tunggu Bibe di sana.”

Serasa ada harapan yang ia jatuhkan padaku.

“Aku belum lihat Tante Ri, Om.”

“Enggak apa-apa. Nanti juga datang.”

Aku tahu ia sendiri tidak pasti.

“Sekalian saya juga mau pamit sama Bibe.”

Besok ia tidak lagi di menjejakkan kaki di tanah ini.

Keluarga adiknya juga datang ke mari untuk menyaksikan. Aku dikenalkan pada mereka. Namun para anak lelaki terlalu bandel untuk diam dan mengulurkan tangan.

Tante Ri datang ketika lampu-lampu sudah digelapkan. Dengan sigap aku menyambutnya. Memang mataku sedari tadi mengawasi setiap paras yang masuk ke mari. Sudah was-was saja aku kalau-kalau ia tidak memanfaatkan tiket gratisannya.

Sembari membimbingnya menuju bangku di deretan terdepan, aku sampaikan amanat Om Yan. “Tante, entar setelah Om Yan penampilan yang pertama, ditunggu di….”

Setelah penampilan Om Yan yang pertama, aku menyelinap lewat pintu lainnya—yang jelas tidak sama dengan Tante Ri. Beberapa kali survei, gladi bersih, dan menyiapkan tempat ini untuk pertunjukan, aku sudah menentukan beberapa sudut di mana aku bisa mengintip tanpa terlihat dari titik mereka bertemu.

            Tidak banyak. Tidak lama. Aku hanya lihat sang pria bicara pada sang wanita. Sang wanita mengusap matanya. Tidak dengar apa yang ia katakan. Aku tidak bisa menyimak lebih lama. Seseorang memanggilku dan aku tidak ingin orang tersebut mengetahui ini. Jadi aku segera pergi.

            Di tengah malam sehabis pertunjukan itu, Om Yan pergi dari Sabuga bersama keluarga adiknya kok, tidak dengan Tante Ri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain