Generasi
sekarang terdiri dari orang-orang dewasa yang menjunjung tinggi kepentingan
pribadi dan terlalu bebal untuk melestarikan nilai-nilai dalam keluarga inti. Generasi
seperti apa lagi yang akan mereka hasilkan? Fenomena itulah yang novel ini
ungkap.
Harry
Silver, seorang produser acara TV, berselingkuh. Hanya sekali. Namun itu sudah
cukup untuk meruntuhkan kepercayaan istrinya untuk selamanya. Mereka berpisah.
Sang istri, Gina, ingin menggapai kembali kehidupannya yang sebelumnya—yang ia
telah korbankan demi pengabdiannya pada suami yang malah mengkhianatinya.
Ketika Gina dalam upaya mewujudkan hal tersebut, Harry memperoleh kesempatan
untuk menjadi orangtua tunggal bagi anak mereka, Pat. Tidak selalu mudah. Ia
berusaha bisa menjadi sebaik ayahnya. Kedua orangtua Harrylah yang memberi
gambaran bagi anak mereka akan figur keluarga inti ideal. Berhasilkah Harry
memperbaiki hubungannya dengan Gina? Bagaimana dengan Cyd—wanita lain yang
kemudian muncul dalam kehidupan Harry?
Yang
dimaksud dengan keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan
anak. Kita bisa saja mempunyai keluarga lain di luar keluarga inti—Keluarga
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada atau Keluarga Mahasiswa Islam Kehutanan misalnya.
Tapi seperti kata Harry di halaman 315, “Tapi aku tidak bisa bersaing dengan
pertalian darah”—ya, mereka tidak bisa bersaing dengan pertalian darah.
Dalam
kehidupan saya sekarang, yang kiranya masih umum pula di Jogja, Bandung—Indonesia,
kita mungkin tidak mengalami pergolakan berarti dalam pewarisan nilai-nilai
dalam keluarga inti. Alur pikiran kita mengenai masa depan umumnya adalah:
lulus – kerja – menikah – punya anak – punya cucu – meninggal. Meski, fenomena
seperti perceraian, melajang seumur hidup, maupun hubungan yang jelas-jelas tak
akan bisa menghasilkan keturunan secara biologis bukannya tidak terjadi sama
sekali dalam masyarakat kita.
Sebagian
media Barat masih menampilkan profil keluarga inti utuh sebagai gambaran
masyarakat mereka. Itu yang saya tangkap dari menonton film seperti “An
Education”, “Little Miss Sunshine”, “Wizard of Waverly Place”, “The Simpsons”, dan
sebagainya. Tapi tidak sedikit pula yang menampilkan ketidakutuhan dalam
artian: orangtua tunggal maupun dewasa lajang. Banyak serial Amerika yang biasa
saya tonton di TV kabel menampilkan kehidupan demikian. Bisa dimengerti bahwa
nilai-nilai kebebasan yang mereka anut jadi salah satu faktor yang menyebabkan
maraknya kejadian ini.
Ada
dialog Liz Lemmon dalam “30 Rock” terkait ini yang tidak lekang dalam ingatan
saya. Dalam episode ini, ia sedang begitu mendambakan kehadiran seorang anak
dalam kehidupan lajangnya. Ia ingin merasakan jadi seorang ibu, membesarkan
seorang anak, melimpahinya dengan penuh perhatian, meski setelah dewasa anak
itu akan menolak ibunya. Kocak tapi jleb.
Sebelum
makin melebar, novel ini sebetulnya menekankan tentang tanggung jawab yang
harusnya dimiliki seseorang ketika sudah menghadirkan seorang anak ke dunia.
Seperti yang disinggung dalam sinopsis di sampul belakang novel “The Nanny
Diaries”, anak bukan sekadar simbol status. Ia juga bukan sekadar tanda mata hubungan
seks dengan seseorang (halaman 304 novel ini). Akan menjadi seperti apa seorang
anak yang dibesarkan dalam gambaran keluarga yang tidak utuh? Ia mungkin akan
menjadi seseorang yang berhati-hati dalam kehidupan percintaannya kelak, begitu
kata Harry pada ayahnya—saya belum menemukan lagi ia berkata begitu di halaman
berapa.
Namun
ini bukan semata persoalan si anak. Ini adalah persoalan dunia. Si anaklah yang
suatu saat akan menentukan masa depan dunia—bersama sekian milyar anak lainnya.
Bagaimana masa depan dunia di tangan anak-anak dengan riwayat tumbuh-kembang
yang mencemaskan?
Keluarga
utuh sendiri memang tidak menjamin seorang anak bakal berkemampuan untuk
mengubah dunia jadi lebih baik. Figur keluarga utuh yang orangtua Harry
tampilkan pada anaknya pun ternyata tidak menjamin Harry dapat mewujudkan hal
yang sama. Jadi bagaimana yang harus diterapkan terhadap generasi penerus
dunia? Apakah harus dengan model yang sama padahal tiap individu memiliki
keunikan masing-masing? Sangat individualistis.
Ketika
eksistensi cinta sejati ala film-film Walt Disney atau MGM zadul—“Silk
Stockings” adalah satu judul yang cukup sering disebut dalam novel ini dan
sepertinya “It’s a Wonderful Life” dengan James Stewart di dalamnya jadi
rekomendasi—dipertanyakan relevansinya dalam realita kehidupan modern sekarang.
Kamu bisa mencintai seseorang pada suatu waktu seakan kamu akan mencintainya
selamanya, lalu cinta itu padam, lalu kamu bisa mencintai orang lainnya lagi di
waktu berikutnya dengan cara sama. Dalam konteks novel ini, inilah yang terjadi
pada Harry. Gina tidak mau rujuk pada Harry karena dugaannya akan hal ini. Cyd
meragukan cinta Harry padanya karena alasan sama. Kiranya bukan Harry saja yang
demikian. Ia hanya gambaran dari fenomena yang terjadi di lapangan. Bukankah begitu
hakikat fiksi?
Menurut
saya novel dewasa setebal 427 halaman ini tergolong ringan. Jarak spasi antar
baris cukup renggang. Ukuran font cukup sedang. Meski memberi wawasan mengenai
kehidupan seks pranikah, penggambaran hal tersebut dalam novel yang memperoleh penghargaan British Book of the Year pada tahun 2001 ini tidak vulgar
tapi efisien. Begitupun pada situasi-situasi lain. Saya kurang bisa merasakan
perbedaan karakter antara Gina dengan Cyd. Saya bahkan membayangkan mereka
sebagai wanita yang sama meski dikatakan rambut Gina kuning sedang rambut Cyd
hitam. Cerita diakhiri dengan mudah, begitu memenuhi pengharapan. Setidaknya pergulatan
pikir Harry memantik kesadaran kita akan arti tiap personil dalam keluarga inti
maupun cinta sejati.
Maka
fenomena yang novel ini tampilkan membuat saya mengerti bahwa ketika papa-mama
maupun pakde-bude saya bercakap akrab di usia pernikahan mereka yang sudah
puluhan tahun, saya telah mendengar dan menyaksikan momen yang ternyata begitu
berharga. Sesuatu yang entah berapa orang seperti Harry Silver di dunia nyata
ini dambakan tapi belum tentu bisa dapatkan.
Judul : Man and Boy – Lelaki Itu dan Putranya
Pengarang : Tony Parsons
nice review... mau dong novelnya dyah... wah, disini serba suseh mau baca novel, adanya mandarin n inggris. rugi juga kemarin2 g bawa seabreg buku pas brgkt.:(
BalasHapuscari perpustakaan kota di sana mas, barangkali bisa nemu versi taiwannya? hehehehe....
BalasHapusku cari novelnya nggak ada di gramedia ... :(
BalasHapussaya juga dapet minjem dari perpustakaan kota jogja hehe. mungkin bisa dicari di toko buku alternatif di kota anda, semisal toga mas, atau kalau di bandung ada bandung book centre.
Hapusterima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak :)