Sabtu, 12 November 2011

Bandung Musical City

Om Yan pernah mengatakan sesuatu tentang Rumentang Siang padaku, tapi aku lupa. Mama yang mengingatkan. Suatu hari ia pulang dengan sekotak donat bermerek isi setengah lusin. Aku suka apapun yang bermerek, apapun barangnya, yang penting merek terkenal dan aku tahu itu relatif mahal.

Padahal mama sendiri bukan orang yang peduli merek. Yang penting murah tapi fungsional. Jadi kalau aku minta dibelikan donat, ia tidak akan membeli donat yang dijual di gerai khusus dalam mal seperti yang ia bawakan ini. Yang penting donat: bulat, bolong tengahnya, manis, dan mengganjal perut.

“Oleh-oleh dari Om Yan.”

“Mama ketemu Om Yan?” Mulutku sudah gembung dengan potongan donat dengan lapisan cokelat Belgia di atasnya. Aku singkirkan satu donat lain yang paling menggugah nafsu—ini bagianku, Mama dan Papa lainnya saja. “Ngapain?”

Mama duduk di sampingku dengan posisi siap memulai obrolan. “Tadi Mama diajak Om Dedi ketemuan sama teman-temannya, Be…” Om Dedi adalah teman Mama sesama wartawan PW. Ia dari desk Hiburan. Yang dimaksud dengan “teman-temannya” adalah para musisi Bandung yang biasa jadi narasumbernya.

“Ceunah kenal sama Ardian Hayyra. Ikut enggak? Reunian!” begitu Om Dedi mengajak Mama. Mama mengiyakan saja, kebetulan waktunya kosong.

Om Yan memang belum lama menetap di Bandung, tapi ia sudah membina jaringan dengan para musisi Bandung sejak lama—khususnya mereka yang bergelut dengan musik Sunda.

Kumpul-kumpul untuk membahas proyek kolaborasi akhirnya digelar lagi setelah pertemuan terakhir pada bulan Ramadhan. Pertemuan kali ini diadakan di mal. Pertemuan berikutnya harus lebih membumi, memasyarakat, sesuai esensi yang ingin diusung proyek ini. Rumentang Siang masuk dalam agenda.

“Bibe katanya kemarin diajakin Om Yan ya? Katanya kalau mau ikut nimbrung aja Sabtu depan, jam satu.”

Usai pertemuan, Om Dedi dan Mama tidak bareng lagi karena Om Dedi ada urusan. Sementara yang lain sudah bubar juga, Mama dan Om Yan masih terlibat obrolan sambil jalan. Lalu Om Yan membelikan Mama oleh-oleh.

“Om Yan itu baik banget ya Ma?” Aku menceritakan Mama soal aku dan Om Yan bertemu di apotek G lalu ia mengantarku sampai rumah Tante As.

Mama tersenyum. “Iya, makanya Om Yan banyak teman. Kalau mau banyak teman, harus baik sama orang,” kata Mama dengan gaya menasihati seakan aku masih kecil.

Maka pada hari yang ditentukan, selepas mendampingi adik-adik OSIS nan manja, aku turun dari angkot di depan Pasar Kosambi. Sebetulnya aku agak ragu, apa peranku nanti? Aku bukan musisi. Mamaku tidak punya hubungan langung dengan mereka—ia juga sepertinya tidak akan datang lagi ke pertemuan ini. Hanya Om Yan satu-satunya afiliasi.

Adalah seorang penyair bernama Wahyu Wibisana yang mengajukan nama “Rumentang Siang” untuk gedung peninggalan Belanda ini. Dalam bahasa Sunda, rumentang berasal dari kata “rentang-rentang” yang berarti “samar-samar terlihat dari kejauhan untuk mendekat”, sedang “siang” berarti “nyata”.

Seperti itu jugalah yang kudapati. Di ujung kekumuhan yang dikesankan oleh deretan PKL dan sampah-sampah berserakan, menyembul puncak gedung bercat pudar itu. Permukaan dindingnya sudah tidak lagi mulus. Beberapa tumbuhan yang cukup tinggi menghiasi bagian depan gedung, namun tak sanggup mengaburkan kekumuhan. Sebuah gedung yang terpencil di tengah keriuhan transaksi warga Kota Bandung. Atapnya pernah jebol ketika sebuah pertunjukan tengah berlangsung di bawahnya dalam cuaca hujan dan angin ribut. Meski demikian, tulisan “GEDUNG KESENIAN” nan gagah dengan “Rumentang Siang” nan artistik di bawahnya masih tampak antik mengilap diterpa cahaya matahari.

Aku melihat ia melambaikan tangan padaku. Aku menghampiri lingkaran manusia di teras gedung itu dengan terbungkuk-bungkuk untuk menampakkan keseganan. Aku kira aku akan menemukan Om Dedi, setidaknya ada orang lain yang aku kenal, tapi ia absen. Setelah menyalami Om Yan, aku menyalami lainnya satu per satu, berusaha untuk tidak menyenggol asbak di tengah lingkaran. Tiga orang dari mereka tampak jauh lebih tua dari Om Yan, atau Om Yan yang tampak lebih muda dari usianya? Kukira usia mereka 50-an tahun. Separuh rambut mereka sudah putih. Ada tiga orang lain yang kuduga masih berusia 20-30-an tahun. Dua pria satu wanita.

Aku sengaja memilih duduk dekat Om Yan. Ia mengenalkanku sebagai “anak wartawan PW yang kemarin” dan “suaminya juga wartawan harian R”.

“Suaminya Neng ini?” Pria yang memintaku memanggilnya dengan “Abah” saja menunjukku dengan sopan, tanpa telunjuk. Bahana tawa.

“Bukan, papanya. Ya Bibe ya?” Tawa Om Yan paling cepat berhenti. Di antara dua jari tangan kirinya tersemat puntung hitam berasap. Ia terlihat makin kasual saja dibanding penampilan yang sebelum-sebelumnya. Kali ini ia memakai kaos lengan panjang berwarna terang yang dipadu celana jins.

“Kenapa nama teh meni lucu, Bibe?” tanya bapak berambut panjang dan berkumis yang bersila di samping Abah. Ia juga minta dipanggil Kang Alit saja.

Aku cukup lama diam dengan pandangan tak berisi serta mulut sedikit terbuka. Om Yan berinisiatif menjawabkan, “Filosofinya banyak, Kang. Salah satunya, Bibe itu singkatan dari ‘bisa betul’, betul enggak, Be?” Om Yan menjentikkan ujung puntungnya ke tepi asbak sembari melirikku.

Aku tersadar. “Bisa juga, Bibe itu… ‘biang beres’.”

Setidaknya seloroh mampu mencairkan suasana. Abah bersyukur akhirnya ada perwakilan remaja Bandung dalam pertemuan ini. Selebihnya Kang Alit mengutarakan hal-hal yang pernah Om Yan sampaikan sebelumnya padaku. Aku baru menyadari kalau ia adalah personil dari sebuah grup musik legendaris.

Akhir-akhir ini isu kebutuhan ruang publik di Kota Bandung mulai ramai. Kebijakan pemerintah untuk membangun rumah makan di atas ruang terbuka hijau saja sampai melahirkan gerakan. Kita akan buktikan bahwa itu bukan semata isu melainkan masalah sungguhan yang harus mendapat perhatian. Kita akan mengalirkan musik ke setiap relung ruang publik. Bandung akan jadi kota musikal. Namun bukan sekadar mengakomodasi hasrat ingin tampil, ini akan jadi suatu gerakan sosial. Begitu kira-kira mimpi Kang Alit.

Kedengarannya bombastis, namun sebenarnya simpel. Animo masyarakat terhadap upaya penyelamatan ruang publik sebenarnya sudah tinggi. Ini adalah suatu upaya lagi untuk mempertahankan itu—kalau bisa berkesinambungan. Kang Alit optimis kalau undangan ini akan ditanggapi dengan baik oleh mereka, baik yang musisi atau bukan.

“Iya. Yang penting adalah gimana menerjemahkan ruang publik jadi tempat yang disukai masyarakat,” kata pria muda bertopi pet yang bernama Kang Apin. Sebagai sarana bersosialisasi masyarakat, optimalisasi fungsi ruang publik akan menghasilkan masyarakat yang lebih peduli pada lingkungan sekitarnya.

Kami membicarakan lokasi-lokasi yang mungkin bagi ajang ini (Rumentang Siang, Babakan Siliwangi, taman eks. SPBU Riau, dan lain-lain…), siapa saja yang mungkin diajak berpartisipasi (“Jangan cuman musisi yang sudah punya nama, Kang, kalau perlu dari anak jalanan, band kampus, sampai paduan suara ibu-ibu PKK diminta meramaikan sekalian!”), hingga segala kebutuhan agar rencana ini dapat direalisasikan pada pertengahan tahun depan—saat musim liburan. Terbayang Kota Bandung akan dibanjiri wisatawan yang hendak menyaksikan pertunjukan musik di sela-sela kepadatan kota. Macet.

“Kalau gitu, sekalian aja pas lagi macet gitu kita bikin flashmob. Buat hiburan orang-orang yang kena macet.”

Beberapa tampak heran dengan usulanku. Tapi dengan kocak Abah melanjutkan. “Tampung… Tampung…” Wanita muda berkulit putih yang duduk di sampingnya langsung mencatat sesuatu di notesnya. Namanya Teh Icih, notulen pertemuan ini.

Ide gila lainnya berlompatan dari kepala orang-orang.

“Bakal lebih meriah lagi kalau kita bikin video klip, buat hadiah ulang tahun Bandung ke-20X,” kata bapak-bapak lainnya di samping Kang Alit. Pak Dadang namanya.

“Iya, judulnya ‘Bandung Heurin ku Tangtung’,” usul Kang Haryo disusul tembang bermuatan kalimat tersebut yang melantun dari mulutnya.

“’Bandung nu Aing’-lah,” cetus Kang Apin.

“Yang ngebawain semua musisi Bandung,” entah siapa bicara.

“Entar yang nyiptain lagunya Abahlah, Abah…”

“Iya Bah…”

O rupanya ini Abah yang budayawan Kota Bandung dan dikenal juga sebagai pencipta lagu itu…

“Mungkin kita bisa coba tampilkan musik Sunda,dikolaborasiin sama macam-macam genre.”

Dalam nada gurauan, Abah sontak meledek kepiawaian Om Yan dalam bermain jazz. Yang lain berpendapat bahwa ini ide bagus. Abah menambahkan kalau ia juga setuju, Kota Bandung perlu menegaskan kembali identitas kedaerahannya.

Setelah menampung berbagai ide untuk diolah lagi kadar kerealistisannya, kami membicarakan tentang sistem kesukarelawanan yang hendak diterapkan. Sesuai jargon koran PW yang pernah Om Yan kutip yang jadi esensi proyek ini, warga dilibatkan tidak hanya sebagai penikmat dan penampil, tapi juga pekerja di balik layar. Sasaran utama adalah tenaga-tenaga muda. Kreativitas mereka perlu terus diasah. Tapi tidak menutup kemungkinan jika ada dari luar tingkatan umur ini yang ingin ikut berpartisipasi.

Segala ide yang berhamburan tadi perlu segera dimatangkan—apalagi konsep yang sudah ada sebelumnya. Abah bilang ia akan omongkan rencana ini pada pihak-pihak yang signifikan.

Orang-orang tua itu melanjutkan rapat dengan lebih serius tapi tetap santai sementara aku, Teh Icih, dan Kang Apin menyisihkan diri di dekat tiang. Percakapan didominasi oleh kedua orang itu sedang aku lebih banyak menyimak karena masih anak bawang. Yang jelas kami harus menunggu konsep matang lebih dulu baru bisa merumuskan konsep kesukarelawanan yang strategis. Meski demikian, bentuk kasar tetap terbayang-bayang. Aku bilang aku siap bantu. Teh Icih meminta kontakku yang bisa dihubungi.

***

“Bibe mau bareng?” Aku berbalik. Rupanya bapak-bapak itu sudah bubar juga, sepertinya baru saja.

Dan aku bukan orang yang suka menolak gratisan, ini rezeki Tuhan, haram dinafikan. “Boleh, Om.”

“Bentar yah, saya ngomong sama Abah dulu…”

“Oke. Kalau gitu aku mau beli sale pisang dulu ya Om!”

Setelah tahu di mana Om Yan memarkir mobilnya dan bersepakat untuk langsung bertemu di sana, kami berpisah. Aku menyeberang jalan, menuju pelataran pasar, dan membelikan nyamikan favorit Mama. Om Yan sudah di jok kemudi ketika aku datang. Melalui kaca spion, ia membersihkan sesuatu di permukaan giginya dengan tisu. Begitu mendengar sebelah pintu mobilnya terbuka, ia menoleh. Dengan gestur sopan, aku menaiki jok di sampingnya.

“Nikotin enggak baik, bikin gigi kuning,” katanya. Bisa dimaklumi karena senyumnya selalu begitu cemelang sampai deretan giginya kelihatan.

Ia membuang tisu bekas pada tempatnya. Sepasang jemarinya bermain sebentar di atas kemudi. Kami saling berpandangan. Dengan kaos berbahan lembut begitu, bentuk tubuhnya jadi lebih terlihat. Lengkungan perutnya cekung. Sekali lagi, cekung, bukan cembung. Di usia bapak-bapak, ia tidak tampak seperti bapak-bapak. Aku tidak mendapati kilauan uban pada rambut ikalnya yang disisir ke belakang dengan rapi.

“Tapi kalau lihat orang lain, jadinya pingin juga.” Keherananku berganti senyum. Senyumnya menular. Dan ia selalu senyum. Ia menyalakan gas. “Habis ini ada kegiatan lagi enggak? Mau diantar ke mana?”

“Enggak ke mana-mana lagi kok, Om,” kataku. “Mau langsung pulang aja.”

“Oh… Enggak mau makan siang dulu?”

Mengingat segala kardus berisi makanan yang pernah ia berikan untukku sekeluarga, aku tidak ragu untuk mengatakan, “Boleh.”

Mobilnya mulai jalan. Ia melambaikan tangan pada beberapa peserta pertemuan tadi yang masih tersisa di sekitar teras. Sangat ramah sekaligus cekatan dalam memutar kemudi. “Bibe mau makan di mana?” tanyanya seperti melagu.

“Di mana aja boleh Om,” balasku dengan lagu yang sama.

“Hm, di mana ya?” Ia memilih arah ke jalanan di depan Pasar Kosambi. “Bibe makanan favoritnya apa nih?”

“Ke Jalan Riau apa ya… Di situ aja gimana, Om?” Banyak tempat makan di jalan tersebut. Secara asal, aku menunjuk tempat makan yang terlihat nyaman untuk berlama-lama meski hanya dari tampak luarnya.

 Kami memilih bangku di sisi jendela. Saat disodori daftar menu, mendadak aku mendapatkan harga diriku. Aku harus ingat ada berapa rupiah yang tersisa dalam dompet.

“Pesen apa, Bibe?” Ia bertanya tanpa melihatku. Matanya sedang meniti daftar menu. Begitupun jariku. Tenderloin Black Pepper Sauce. Steak Ikan Saus Putih. Sirloin Steak Saus Jamur. Brown Chicken Steak. Rib Steak Saus BBQ. Smoked Chicken Salad in Pritta Bread. Sup bayam.

Tadinya aku mau bilang, “Sama kayak Om aja,” tapi bagaimana kalau ia memilih menu dengan harga di atas tiga puluh ribu rupiah?  Bisa alamakjang aku. “Brown Chicken Steak,” akhirnya aku memberanikan diri, “kayaknya enak.”

 “Saya pesenin cokelat juga ya?”

“Enggak usah Om…”

“Masak saya makan cokelat sendirian, Bibe? Temani ya?” Senyum lebar mengakhiri intonasinya yang lembut. Aku bisa apa? “Minumnya?”

“Jeruk hangat…”

Ia menatapku seakan dengan itu aku akan mengganti pilihanku dengan apapun yang tidak lebih sederhana. Tapi aku memang butuh itu untuk mengimbangi kemungkinan lemak baru yang bakal menjejali lemak lama.

Ia segera menekuni kembali daftar menunya. Ketika seorang pramusaji lewat, ia memesan 1 Brown Chicken Steak, 1 Chicken Quesadillas, 1 Rice Brown Cannelloni, 2 Chocolate Tartlet, dan 2 jeruk hangat.

Ia memastikan sekali lagi apa aku suka cokelat. Aku bilang iya. Seperti mamaku, katanya. Ia tidak tahu kalau aku tidak suka dianggap mirip mamaku, tapi aku biarkan. Ia sendiri penggila cokelat. Cokelat selalu berhasil membuat dirinya jadi hangat dan bersemangat lagi. Aku tanya apa setelah ini ia ada kegiatan lain.

“Kalau enggak capek sih mau nengokin keponakan.”

“Hah, kenapa, keponakannya sakit, Om?”

Ia menggeleng. Senyumnya jadi lucu. “Biasa, tengok-tengokan aja, biar kangennya enggak kelamaan ha ha…” Tawanya kalem.

Ia punya seorang adik perempuan di Jakarta. Saat dua tahun lalu Om Yan hendak meninggalkan Indonesia kembali, adiknya bertanya Om Yan mau disiapkan apa kalau ia pulang ke Indonesia lagi. Dengan iseng Om Yan menjawab kalau ia hanya ingin bayi.

“Pas balik lagi, ternyata keponakan saya betulan nambah satu, putri, lagi,” ujarnya. Aku bisa merasakan kesenangan lain di balik ucapannya itu. Sebelumnya, ia sudah memiliki dua orang keponakan laki-laki.

“Ada yang mirip sama Om enggak?”

“Kayaknya mirip semua deh ha ha ha…” Kesenangan seorang paman yang tidak memiliki anak seorang pun.

Ia memperlihatkanku foto-foto para keponakan di ponselnya—tipe ponsel layar sentuh yang sangat kuidam-idamkan. Ketika memegangnya, aku khayalkan memang dirikulah pemilik ponsel tersebut.

Para keponakan Om Yan tidak kelihatan mirip Om Yan, tapi aku setuju bahwa mereka lucu-lucu. Dan Om Yan menggendong mereka dengan penuh kasih. Aku senyum-senyum sendiri sembari terus menggeser jariku di atas layar.

Senyumku berubah ketika objek dalam foto yang sedang kulihat bukan lagi anak-anak. Ia seorang wanita yang sudah kukenal. Ia tampak bercahaya, mungkin karena sinar matahari yang memancar dari jendela di sampingnya. Gelombang rambutnya tergerai indah. Pakaiannya tampak seperti setelan kerja. Fotonya hanya ada dua: menerawang ke jendela; dan tersenyum pada kamera. Keduanya diambil beberapa hari lalu. Ia Tante Ri.

Aku teringat wajah murung Vira saat mengatakan papa dan mamanya sudah berpisah. Aku melihat Om Yan dan Tante Ri bersama sekitar dua tahun lalu. Aku ingin tahu kedua orangtua Vira berpisah sejak kapan.

Aku mengembalikan ponsel itu dengan tampilan menu di layar.

Namun dengan cepat kegamanganku terusir ketika ia bertanya, “Gimana tantenya Bibe? Bener, hamil?”

“Iya Om, ternyata udah hampir dua bulan lo.” Wajahku jadi berseri-seri seakan aku yang gembira karena hamil.

“Wah senang ya Bibe, jadi kakak…”

Aku mengangguk antusias. Obrolan jadi beralih ke tanteku. Kadang aku masih sulit percaya kalau ia hamil, mengingat komitmen pada karier dan individualismenya yang begitu tinggi. Ia bilang kalau ibunya juga dulu seperti itu, tapi ayahnya terus berusaha. Dan pada akhirnya kehadiran anak-anak memang membuat mereka bisa membentuk keluarga yang lebih bahagia. Ada kerinduan yang terpendam dalam nadanya saat mengungkapkan itu.

Pesanan datang. Om Yan mendorong piring berisi makanan berbentuk kotak ke tengah meja. “Bibe, ini entar dimakan juga ya,” katanya.

Gelombang asap masih meliuk-liuk dari permukaannya ke udara. Lapisan atasnya berwarna kekuningan dengan serpihan bawang bombang. Bagian bawahnya yang berwarna cokelat adalah lingkaran-lingkaran berisi daging cincang. Kutemukan juga gumpalan-gumpalan daun dan telur di sela-sela bongkahan daging. Begitu menggiurkan. Jangan biarkan garpumu menghancurkannya.

Aku pandangi potongan-potongan putih daging ayam dengan garis-garis bekas panggangan di atasnya. Berdampingan dengan butiran jagung, polong, potongan wortel, sejumput brokoli, dan segumpal mashed potatoes, mereka dilumuri saus cokelat. Tampak seperti sepaket steak biasa. Mari kita buktikan kalau ada yang luar biasa pada rasanya.

Aku penasaran pada pesanan Om Yan satu lagi. Tepat di depan dadanya, sebuah piring besar menampung tiga mangkok kecil, salad sayuran yang dicampur dengan entah apa, serta beberapa roti tipis berbentuk segitiga berwarna putih kecokelatan yang kemudian kuketahui bernama tortilla. Mangkok kecil pertama berisi saus hijau, mangkok kecil kedua berisi saus putih, sedang mangkok kecil berikutnya berisi potongan tomat yang dibumbui.

Tawaran untuk mencicip tanpa sungkan kuterima. Ia bilang ini makanan favoritnya waktu di Meksiko—hanya suatu perlawatannya dalam mempelajari khazanah musik dunia. Ia tidak terdengar sombong saat mengatakannya, malah seperti tidak berminat untuk meneruskan. Tapi aku terus memancing. Akhirnya ia mengaku kalau ia sempat menonton syuting telenovela di sana.

Chocolate Tartlet adalah sebuah tart cokelat mini. Ukurannya hanya sebesar telapak tangan tanpa jemari disertakan. Bagian atasnya dilapisi chocolate mousse yang kelembutannya saat disesap membuatmu memejamkan mata.

Aku begitu khusyuk menikmati semua ini sampai kudengar Om Yan ternyata tengah bercerita lagi. Keikutsertaannya dengan proyek Kang Alit cs sebenarnya tidak disengaja. Sejak di Bandung lagi, Om Yan rajin mengunjungi Abah sebagai kelanjutan dari korespondensi mereka selama ini. Sekalian saja Abah mengajak Om Yan acap kali dirinya bersua Kang Alit—untuk meramaikan…

“Jadi sebetulnya kenapa Papa-Mama ngasih nama ‘Bibe’ ke Bibe?”

“Daripada ‘Beibeh’? He he…” Kukulum potongan stroberi yang tadinya menghiasi piring Chocolate Tartlet-ku. Ia tidak menganggap jawabanku serius. Memang tidak. “Mama suka kayak gitu ke aku kalau aku nanya,” itu faktanya. Lanjutku, “Pernah juga Mama bilang, aku dikasih nama gitu supaya aku jadi anak yang kreatif. Banyak mikir. Terutama mikirin kenapa aku dinamain kayak gitu.”

Ia tertawa.

Entahlah. Mungkin karena aku tahu bahwa ia adalah sahabat keluarga besarku, aku merasa aman dan nyaman saja bersamanya. Kurasa ia juga begitu padaku. 

Aku tidak mengeluarkan dompet sama sekali sepanjang sisa hari itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain