Om
Yan pernah mengatakan sesuatu tentang Rumentang Siang padaku, tapi aku lupa.
Mama yang mengingatkan. Suatu hari ia pulang dengan sekotak donat bermerek isi
setengah lusin. Aku suka apapun yang bermerek, apapun barangnya, yang penting
merek terkenal dan aku tahu itu relatif mahal.
Padahal
mama sendiri bukan orang yang peduli merek. Yang penting murah tapi fungsional.
Jadi kalau aku minta dibelikan donat, ia tidak akan membeli donat yang dijual
di gerai khusus dalam mal seperti yang ia bawakan ini. Yang penting donat:
bulat, bolong tengahnya, manis, dan mengganjal perut.
“Oleh-oleh
dari Om Yan.”
“Mama
ketemu Om Yan?” Mulutku sudah gembung dengan potongan donat dengan lapisan
cokelat Belgia di atasnya. Aku singkirkan satu donat lain yang paling menggugah
nafsu—ini bagianku, Mama dan Papa lainnya saja. “Ngapain?”
Mama
duduk di sampingku dengan posisi siap memulai obrolan. “Tadi Mama diajak Om
Dedi ketemuan sama teman-temannya, Be…” Om Dedi adalah teman Mama sesama
wartawan PW. Ia dari desk Hiburan. Yang dimaksud dengan “teman-temannya” adalah
para musisi Bandung yang biasa jadi narasumbernya.
“Ceunah
kenal sama Ardian Hayyra. Ikut enggak? Reunian!” begitu Om Dedi mengajak Mama.
Mama mengiyakan saja, kebetulan waktunya kosong.
Om
Yan memang belum lama menetap di Bandung, tapi ia sudah membina jaringan dengan
para musisi Bandung sejak lama—khususnya mereka yang bergelut dengan musik
Sunda.
Kumpul-kumpul
untuk membahas proyek kolaborasi akhirnya digelar lagi setelah pertemuan
terakhir pada bulan Ramadhan. Pertemuan kali ini diadakan di mal. Pertemuan
berikutnya harus lebih membumi, memasyarakat, sesuai esensi yang ingin diusung
proyek ini. Rumentang Siang masuk dalam agenda.
“Bibe
katanya kemarin diajakin Om Yan ya? Katanya kalau mau ikut nimbrung aja Sabtu
depan, jam satu.”
Usai
pertemuan, Om Dedi dan Mama tidak bareng lagi karena Om Dedi ada urusan.
Sementara yang lain sudah bubar juga, Mama dan Om Yan masih terlibat obrolan
sambil jalan. Lalu Om Yan membelikan Mama oleh-oleh.
“Om
Yan itu baik banget ya Ma?” Aku menceritakan Mama soal aku dan Om Yan bertemu
di apotek G lalu ia mengantarku sampai rumah Tante As.
Mama
tersenyum. “Iya, makanya Om Yan banyak teman. Kalau mau banyak teman, harus
baik sama orang,” kata Mama dengan gaya menasihati seakan aku masih kecil.
Maka
pada hari yang ditentukan, selepas mendampingi adik-adik OSIS nan manja, aku
turun dari angkot di depan Pasar Kosambi. Sebetulnya aku agak ragu, apa peranku
nanti? Aku bukan musisi. Mamaku tidak punya hubungan langung dengan mereka—ia
juga sepertinya tidak akan datang lagi ke pertemuan ini. Hanya Om Yan
satu-satunya afiliasi.
Adalah
seorang penyair bernama Wahyu Wibisana yang mengajukan nama “Rumentang Siang”
untuk gedung peninggalan Belanda ini. Dalam bahasa Sunda, rumentang berasal
dari kata “rentang-rentang” yang berarti “samar-samar terlihat dari kejauhan
untuk mendekat”, sedang “siang” berarti “nyata”.
Seperti
itu jugalah yang kudapati. Di ujung kekumuhan yang dikesankan oleh deretan PKL
dan sampah-sampah berserakan, menyembul puncak gedung bercat pudar itu.
Permukaan dindingnya sudah tidak lagi mulus. Beberapa tumbuhan yang cukup
tinggi menghiasi bagian depan gedung, namun tak sanggup mengaburkan kekumuhan.
Sebuah gedung yang terpencil di tengah keriuhan transaksi warga Kota Bandung.
Atapnya pernah jebol ketika sebuah pertunjukan tengah berlangsung di bawahnya
dalam cuaca hujan dan angin ribut. Meski demikian, tulisan “GEDUNG KESENIAN”
nan gagah dengan “Rumentang Siang” nan artistik di bawahnya masih tampak antik
mengilap diterpa cahaya matahari.
Aku
melihat ia melambaikan tangan padaku. Aku menghampiri lingkaran manusia di
teras gedung itu dengan terbungkuk-bungkuk untuk menampakkan keseganan. Aku
kira aku akan menemukan Om Dedi, setidaknya ada orang lain yang aku kenal, tapi
ia absen. Setelah menyalami Om Yan, aku menyalami lainnya satu per satu,
berusaha untuk tidak menyenggol asbak di tengah lingkaran. Tiga orang dari
mereka tampak jauh lebih tua dari Om Yan, atau Om Yan yang tampak lebih muda
dari usianya? Kukira usia mereka 50-an tahun. Separuh rambut mereka sudah
putih. Ada tiga orang lain yang kuduga masih berusia 20-30-an tahun. Dua pria
satu wanita.
Aku
sengaja memilih duduk dekat Om Yan. Ia mengenalkanku sebagai “anak wartawan PW
yang kemarin” dan “suaminya juga wartawan harian R”.
“Suaminya
Neng ini?” Pria yang memintaku memanggilnya dengan “Abah” saja menunjukku
dengan sopan, tanpa telunjuk. Bahana tawa.
“Bukan,
papanya. Ya Bibe ya?” Tawa Om Yan paling cepat berhenti. Di antara dua jari
tangan kirinya tersemat puntung hitam berasap. Ia terlihat makin kasual saja
dibanding penampilan yang sebelum-sebelumnya. Kali ini ia memakai kaos lengan
panjang berwarna terang yang dipadu celana jins.
“Kenapa
nama teh meni lucu, Bibe?” tanya bapak berambut panjang dan berkumis yang
bersila di samping Abah. Ia juga minta dipanggil Kang Alit saja.
Aku
cukup lama diam dengan pandangan tak berisi serta mulut sedikit terbuka. Om Yan
berinisiatif menjawabkan, “Filosofinya banyak, Kang. Salah satunya, Bibe itu
singkatan dari ‘bisa betul’, betul enggak, Be?” Om Yan menjentikkan ujung
puntungnya ke tepi asbak sembari melirikku.
Aku
tersadar. “Bisa juga, Bibe itu… ‘biang beres’.”
Setidaknya
seloroh mampu mencairkan suasana. Abah bersyukur akhirnya ada perwakilan remaja
Bandung dalam pertemuan ini. Selebihnya Kang Alit mengutarakan hal-hal yang
pernah Om Yan sampaikan sebelumnya padaku. Aku baru menyadari kalau ia adalah
personil dari sebuah grup musik legendaris.
Akhir-akhir
ini isu kebutuhan ruang publik di Kota Bandung mulai ramai. Kebijakan
pemerintah untuk membangun rumah makan di atas ruang terbuka hijau saja sampai
melahirkan gerakan. Kita akan buktikan bahwa itu bukan semata isu melainkan
masalah sungguhan yang harus mendapat perhatian. Kita akan mengalirkan musik ke
setiap relung ruang publik. Bandung akan jadi kota musikal. Namun bukan sekadar
mengakomodasi hasrat ingin tampil, ini akan jadi suatu gerakan sosial. Begitu
kira-kira mimpi Kang Alit.
Kedengarannya
bombastis, namun sebenarnya simpel. Animo masyarakat terhadap upaya
penyelamatan ruang publik sebenarnya sudah tinggi. Ini adalah suatu upaya lagi
untuk mempertahankan itu—kalau bisa berkesinambungan. Kang Alit optimis kalau
undangan ini akan ditanggapi dengan baik oleh mereka, baik yang musisi atau
bukan.
“Iya.
Yang penting adalah gimana menerjemahkan ruang publik jadi tempat yang disukai
masyarakat,” kata pria muda bertopi pet yang bernama Kang Apin. Sebagai sarana
bersosialisasi masyarakat, optimalisasi fungsi ruang publik akan menghasilkan
masyarakat yang lebih peduli pada lingkungan sekitarnya.
Kami
membicarakan lokasi-lokasi yang mungkin bagi ajang ini (Rumentang Siang,
Babakan Siliwangi, taman eks. SPBU Riau, dan lain-lain…), siapa saja yang
mungkin diajak berpartisipasi (“Jangan cuman musisi yang sudah punya nama,
Kang, kalau perlu dari anak jalanan, band kampus, sampai paduan suara ibu-ibu
PKK diminta meramaikan sekalian!”), hingga segala kebutuhan agar rencana ini
dapat direalisasikan pada pertengahan tahun depan—saat musim liburan. Terbayang
Kota Bandung akan dibanjiri wisatawan yang hendak menyaksikan pertunjukan musik
di sela-sela kepadatan kota. Macet.
“Kalau
gitu, sekalian aja pas lagi macet gitu kita bikin flashmob. Buat hiburan
orang-orang yang kena macet.”
Beberapa
tampak heran dengan usulanku. Tapi dengan kocak Abah melanjutkan. “Tampung…
Tampung…” Wanita muda berkulit putih yang duduk di sampingnya langsung mencatat
sesuatu di notesnya. Namanya Teh Icih, notulen pertemuan ini.
Ide
gila lainnya berlompatan dari kepala orang-orang.
“Bakal
lebih meriah lagi kalau kita bikin video klip, buat hadiah ulang tahun Bandung
ke-20X,” kata bapak-bapak lainnya di samping Kang Alit. Pak Dadang namanya.
“Iya,
judulnya ‘Bandung Heurin ku Tangtung’,” usul Kang Haryo disusul tembang
bermuatan kalimat tersebut yang melantun dari mulutnya.
“’Bandung
nu Aing’-lah,” cetus Kang Apin.
“Yang
ngebawain semua musisi Bandung,” entah siapa bicara.
“Entar
yang nyiptain lagunya Abahlah, Abah…”
“Iya
Bah…”
O
rupanya ini Abah yang budayawan Kota Bandung dan dikenal juga sebagai pencipta
lagu itu…
“Mungkin
kita bisa coba tampilkan musik Sunda,dikolaborasiin sama macam-macam genre.”
Dalam
nada gurauan, Abah sontak meledek kepiawaian Om Yan dalam bermain jazz. Yang
lain berpendapat bahwa ini ide bagus. Abah menambahkan kalau ia juga setuju,
Kota Bandung perlu menegaskan kembali identitas kedaerahannya.
Setelah
menampung berbagai ide untuk diolah lagi kadar kerealistisannya, kami
membicarakan tentang sistem kesukarelawanan yang hendak diterapkan. Sesuai
jargon koran PW yang pernah Om Yan kutip yang jadi esensi proyek ini, warga
dilibatkan tidak hanya sebagai penikmat dan penampil, tapi juga pekerja di
balik layar. Sasaran utama adalah tenaga-tenaga muda. Kreativitas mereka perlu
terus diasah. Tapi tidak menutup kemungkinan jika ada dari luar tingkatan umur
ini yang ingin ikut berpartisipasi.
Segala
ide yang berhamburan tadi perlu segera dimatangkan—apalagi konsep yang sudah
ada sebelumnya. Abah bilang ia akan omongkan rencana ini pada pihak-pihak yang
signifikan.
Orang-orang
tua itu melanjutkan rapat dengan lebih serius tapi tetap santai sementara aku,
Teh Icih, dan Kang Apin menyisihkan diri di dekat tiang. Percakapan didominasi
oleh kedua orang itu sedang aku lebih banyak menyimak karena masih anak bawang.
Yang jelas kami harus menunggu konsep matang lebih dulu baru bisa merumuskan
konsep kesukarelawanan yang strategis. Meski demikian, bentuk kasar tetap
terbayang-bayang. Aku bilang aku siap bantu. Teh Icih meminta kontakku yang
bisa dihubungi.
***
“Bibe
mau bareng?” Aku berbalik. Rupanya bapak-bapak itu sudah bubar juga, sepertinya
baru saja.
Dan
aku bukan orang yang suka menolak gratisan, ini rezeki Tuhan, haram dinafikan.
“Boleh, Om.”
“Bentar
yah, saya ngomong sama Abah dulu…”
“Oke.
Kalau gitu aku mau beli sale pisang dulu ya Om!”
Setelah
tahu di mana Om Yan memarkir mobilnya dan bersepakat untuk langsung bertemu di
sana, kami berpisah. Aku menyeberang jalan, menuju pelataran pasar, dan
membelikan nyamikan favorit Mama. Om Yan sudah di jok kemudi ketika aku datang.
Melalui kaca spion, ia membersihkan sesuatu di permukaan giginya dengan tisu.
Begitu mendengar sebelah pintu mobilnya terbuka, ia menoleh. Dengan gestur
sopan, aku menaiki jok di sampingnya.
“Nikotin
enggak baik, bikin gigi kuning,” katanya. Bisa dimaklumi karena senyumnya selalu
begitu cemelang sampai deretan giginya kelihatan.
Ia
membuang tisu bekas pada tempatnya. Sepasang jemarinya bermain sebentar di atas
kemudi. Kami saling berpandangan. Dengan kaos berbahan lembut begitu, bentuk
tubuhnya jadi lebih terlihat. Lengkungan perutnya cekung. Sekali lagi, cekung,
bukan cembung. Di usia bapak-bapak, ia tidak tampak seperti bapak-bapak. Aku
tidak mendapati kilauan uban pada rambut ikalnya yang disisir ke belakang
dengan rapi.
“Tapi
kalau lihat orang lain, jadinya pingin juga.” Keherananku berganti senyum.
Senyumnya menular. Dan ia selalu senyum. Ia menyalakan gas. “Habis ini ada
kegiatan lagi enggak? Mau diantar ke mana?”
“Enggak
ke mana-mana lagi kok, Om,” kataku. “Mau langsung pulang aja.”
“Oh…
Enggak mau makan siang dulu?”
Mengingat
segala kardus berisi makanan yang pernah ia berikan untukku sekeluarga, aku
tidak ragu untuk mengatakan, “Boleh.”
Mobilnya
mulai jalan. Ia melambaikan tangan pada beberapa peserta pertemuan tadi yang
masih tersisa di sekitar teras. Sangat ramah sekaligus cekatan dalam memutar
kemudi. “Bibe mau makan di mana?” tanyanya seperti melagu.
“Di
mana aja boleh Om,” balasku dengan lagu yang sama.
“Hm,
di mana ya?” Ia memilih arah ke jalanan di depan Pasar Kosambi. “Bibe makanan
favoritnya apa nih?”
“Ke
Jalan Riau apa ya… Di situ aja gimana, Om?” Banyak tempat makan di jalan
tersebut. Secara asal, aku menunjuk tempat makan yang terlihat nyaman untuk
berlama-lama meski hanya dari tampak luarnya.
Kami memilih bangku di sisi jendela. Saat
disodori daftar menu, mendadak aku mendapatkan harga diriku. Aku harus ingat
ada berapa rupiah yang tersisa dalam dompet.
“Pesen
apa, Bibe?” Ia bertanya tanpa melihatku. Matanya sedang meniti daftar menu.
Begitupun jariku. Tenderloin Black Pepper Sauce. Steak Ikan Saus Putih. Sirloin
Steak Saus Jamur. Brown Chicken Steak. Rib Steak Saus BBQ. Smoked Chicken Salad
in Pritta Bread. Sup bayam.
Tadinya
aku mau bilang, “Sama kayak Om aja,” tapi bagaimana kalau ia memilih menu
dengan harga di atas tiga puluh ribu rupiah?
Bisa alamakjang aku. “Brown Chicken Steak,” akhirnya aku memberanikan
diri, “kayaknya enak.”
“Saya pesenin cokelat juga ya?”
“Enggak
usah Om…”
“Masak
saya makan cokelat sendirian, Bibe? Temani ya?” Senyum lebar mengakhiri
intonasinya yang lembut. Aku bisa apa? “Minumnya?”
“Jeruk
hangat…”
Ia
menatapku seakan dengan itu aku akan mengganti pilihanku dengan apapun yang
tidak lebih sederhana. Tapi aku memang butuh itu untuk mengimbangi kemungkinan
lemak baru yang bakal menjejali lemak lama.
Ia
segera menekuni kembali daftar menunya. Ketika seorang pramusaji lewat, ia
memesan 1 Brown Chicken Steak, 1 Chicken Quesadillas, 1 Rice Brown Cannelloni,
2 Chocolate Tartlet, dan 2 jeruk hangat.
Ia
memastikan sekali lagi apa aku suka cokelat. Aku bilang iya. Seperti mamaku, katanya.
Ia tidak tahu kalau aku tidak suka dianggap mirip mamaku, tapi aku biarkan. Ia
sendiri penggila cokelat. Cokelat selalu berhasil membuat dirinya jadi hangat
dan bersemangat lagi. Aku tanya apa setelah ini ia ada kegiatan lain.
“Kalau
enggak capek sih mau nengokin keponakan.”
“Hah,
kenapa, keponakannya sakit, Om?”
Ia
menggeleng. Senyumnya jadi lucu. “Biasa, tengok-tengokan aja, biar kangennya
enggak kelamaan ha ha…” Tawanya kalem.
Ia
punya seorang adik perempuan di Jakarta. Saat dua tahun lalu Om Yan hendak
meninggalkan Indonesia kembali, adiknya bertanya Om Yan mau disiapkan apa kalau
ia pulang ke Indonesia lagi. Dengan iseng Om Yan menjawab kalau ia hanya ingin
bayi.
“Pas
balik lagi, ternyata keponakan saya betulan nambah satu, putri, lagi,” ujarnya.
Aku bisa merasakan kesenangan lain di balik ucapannya itu. Sebelumnya, ia sudah
memiliki dua orang keponakan laki-laki.
“Ada
yang mirip sama Om enggak?”
“Kayaknya
mirip semua deh ha ha ha…” Kesenangan seorang paman yang tidak memiliki anak
seorang pun.
Ia
memperlihatkanku foto-foto para keponakan di ponselnya—tipe ponsel layar sentuh
yang sangat kuidam-idamkan. Ketika memegangnya, aku khayalkan memang dirikulah
pemilik ponsel tersebut.
Para
keponakan Om Yan tidak kelihatan mirip Om Yan, tapi aku setuju bahwa mereka
lucu-lucu. Dan Om Yan menggendong mereka dengan penuh kasih. Aku senyum-senyum
sendiri sembari terus menggeser jariku di atas layar.
Senyumku
berubah ketika objek dalam foto yang sedang kulihat bukan lagi anak-anak. Ia
seorang wanita yang sudah kukenal. Ia tampak bercahaya, mungkin karena sinar
matahari yang memancar dari jendela di sampingnya. Gelombang rambutnya tergerai
indah. Pakaiannya tampak seperti setelan kerja. Fotonya hanya ada dua:
menerawang ke jendela; dan tersenyum pada kamera. Keduanya diambil beberapa
hari lalu. Ia Tante Ri.
Aku
teringat wajah murung Vira saat mengatakan papa dan mamanya sudah berpisah. Aku
melihat Om Yan dan Tante Ri bersama sekitar dua tahun lalu. Aku ingin tahu
kedua orangtua Vira berpisah sejak kapan.
Aku
mengembalikan ponsel itu dengan tampilan menu di layar.
Namun
dengan cepat kegamanganku terusir ketika ia bertanya, “Gimana tantenya Bibe?
Bener, hamil?”
“Iya
Om, ternyata udah hampir dua bulan lo.” Wajahku jadi berseri-seri seakan aku
yang gembira karena hamil.
“Wah
senang ya Bibe, jadi kakak…”
Aku
mengangguk antusias. Obrolan jadi beralih ke tanteku. Kadang aku masih sulit
percaya kalau ia hamil, mengingat komitmen pada karier dan individualismenya
yang begitu tinggi. Ia bilang kalau ibunya juga dulu seperti itu, tapi ayahnya
terus berusaha. Dan pada akhirnya kehadiran anak-anak memang membuat mereka
bisa membentuk keluarga yang lebih bahagia. Ada kerinduan yang terpendam dalam
nadanya saat mengungkapkan itu.
Pesanan
datang. Om Yan mendorong piring berisi makanan berbentuk kotak ke tengah meja.
“Bibe, ini entar dimakan juga ya,” katanya.
Gelombang
asap masih meliuk-liuk dari permukaannya ke udara. Lapisan atasnya berwarna
kekuningan dengan serpihan bawang bombang. Bagian bawahnya yang berwarna
cokelat adalah lingkaran-lingkaran berisi daging cincang. Kutemukan juga
gumpalan-gumpalan daun dan telur di sela-sela bongkahan daging. Begitu
menggiurkan. Jangan biarkan garpumu menghancurkannya.
Aku
pandangi potongan-potongan putih daging ayam dengan garis-garis bekas
panggangan di atasnya. Berdampingan dengan butiran jagung, polong, potongan
wortel, sejumput brokoli, dan segumpal mashed potatoes, mereka dilumuri saus
cokelat. Tampak seperti sepaket steak biasa. Mari kita buktikan kalau ada yang
luar biasa pada rasanya.
Aku
penasaran pada pesanan Om Yan satu lagi. Tepat di depan dadanya, sebuah piring
besar menampung tiga mangkok kecil, salad sayuran yang dicampur dengan entah
apa, serta beberapa roti tipis berbentuk segitiga berwarna putih kecokelatan
yang kemudian kuketahui bernama tortilla. Mangkok kecil pertama berisi saus
hijau, mangkok kecil kedua berisi saus putih, sedang mangkok kecil berikutnya
berisi potongan tomat yang dibumbui.
Tawaran
untuk mencicip tanpa sungkan kuterima. Ia bilang ini makanan favoritnya waktu
di Meksiko—hanya suatu perlawatannya dalam mempelajari khazanah musik dunia. Ia
tidak terdengar sombong saat mengatakannya, malah seperti tidak berminat untuk
meneruskan. Tapi aku terus memancing. Akhirnya ia mengaku kalau ia sempat
menonton syuting telenovela di sana.
Chocolate
Tartlet adalah sebuah tart cokelat mini. Ukurannya hanya sebesar telapak tangan
tanpa jemari disertakan. Bagian atasnya dilapisi chocolate mousse yang
kelembutannya saat disesap membuatmu memejamkan mata.
Aku
begitu khusyuk menikmati semua ini sampai kudengar Om Yan ternyata tengah
bercerita lagi. Keikutsertaannya dengan proyek Kang Alit cs sebenarnya tidak
disengaja. Sejak di Bandung lagi, Om Yan rajin mengunjungi Abah sebagai
kelanjutan dari korespondensi mereka selama ini. Sekalian saja Abah mengajak Om
Yan acap kali dirinya bersua Kang Alit—untuk meramaikan…
“Jadi
sebetulnya kenapa Papa-Mama ngasih nama ‘Bibe’ ke Bibe?”
“Daripada
‘Beibeh’? He he…” Kukulum potongan stroberi yang tadinya menghiasi piring
Chocolate Tartlet-ku. Ia tidak menganggap jawabanku serius. Memang tidak. “Mama
suka kayak gitu ke aku kalau aku nanya,” itu faktanya. Lanjutku, “Pernah juga
Mama bilang, aku dikasih nama gitu supaya aku jadi anak yang kreatif. Banyak
mikir. Terutama mikirin kenapa aku dinamain kayak gitu.”
Ia
tertawa.
Entahlah.
Mungkin karena aku tahu bahwa ia adalah sahabat keluarga besarku, aku merasa
aman dan nyaman saja bersamanya. Kurasa ia juga begitu padaku.
Aku
tidak mengeluarkan dompet sama sekali sepanjang sisa hari itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar