Senin, 14 November 2011

Ari

Vira mengajakku menginap lagi. Menjelang ketiga kali, aku merasa sudah begitu sering menginap di rumah itu. Aku memastikan kalau eyangnya memang mengizinkan.

“Eyang senang kalau aku ada teman,” jawabnya via sms. Ia terus membujuk. “Ayo Kak Bibeee…”

Usianya sudah 10 tahun mulai bulan ini. Berarti aku tidak boleh lupa membawa kado untuknya nanti.

Meski tidak sering, kami memang bertukar sms secara kontinyu. Biasanya ia yang mulai dengan cerita mengenai kehidupan khas anak SD-nya yang penuh intrik. Kadang aku berinisiatif memulai dengan sekadar menanyakan kabarnya. Setelah beberapa sms, putuslah perjumpaan elektrik kami. Akan bersambung lagi beberapa hari atau beberapa minggu kemudian.

Sepertinya Vira menemukan masalah serius di sekolahnya. Seorang anak telah dijauhi dengan semena-mena. Vira iba namun tak kuasa untuk melakukan apa-apa atau ia akan terdepak dari lingkaran pergaulannya. Ini adalah persoalan klise namun dapat berdampak fatal bagi objek penderita.

Saat aku masih seorang pemberang di zaman SD-ku dulu, aku juga masih rajin mengikuti latihan di gelanggang tiga kali seminggu. Maka aku menggunakan kekerasan untuk menindak siapapun yang menggangguku meski itu melanggar filosofi dari ilmu bela diri yang kupelajari. Cara primitif  itu sudah tidak relevan untuk generasi sekarang yang lebih mengedepankan intelektual.

Sebagai kakak yang baik dan gaul, aku harus mengajarkannya tren pemecahan masalah terkini.

“Ada lagi enggak yang enggak suka sama sikapnya Oliv dan kawan-kawan?”

“Ng… Ada sih…” Vira menjawab ragu-ragu.

Kami duduk berhadapan di pinggir tempat tidur. Sekotak pizza ukuran medium memisahkan kami. Isinya tinggal setengah. Aku sama sekali tidak menaruh andil dalam membujuknya. Ari yang pesan pada Vira sebelum gadis kecil itu dan kedua eyang berangkat ke Kedai Buncong. Begitu dibawakan, Ari sudah dibelikan martabak oleh si bibik. Ia terlalu kenyang untuk mencicip sepotong saja. Dan ia hanya ingin tempe goreng untuk lauk sarapan besok.

“Nah… Itu…” Mereka harus bersatu. Dengan begitu, mereka akan punya kekuatan lebih untuk bertindak. Mereka bisa menyampaikan ketidaksetujuan mereka dengan membuat pernyataan sikap. Aku mengkhotbahinya makna dari berbagai semboyan mengenai pentingnya persatuan. Salah satunya adalah “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.

Mendapati perubahan raut wajah Vira, aku tahu pembicaraan ini tidak patut diteruskan.

Saat itu sudah mendekati pukul dua belas malam. Ia mau aku bacakan lagi satu bab dari “Little Women”. Aku membaca sampai kudapati ia sudah terlelap. Sebelum aku menyusul ke alam lain, aku setel alarm ponsel. Cukup dua kali aku mengetahui bahwa jam biologisku tidak berfungsi di rumah ini.

Aku bangun sekitar pukul tiga dini hari. Lebih karena dorongan untuk kencing ketimbang bunyi alarm—memang baru akan bunyi dua jam lagi.

Untuk menuju ke kamar mandi, aku harus melewati ruangan terbuka itu—teritorial Ari. “Nonton di situ, nge-game di situ, makan di situ, tidur di situ, solat di situ, ngaji di situ, semuanya di situ, sampai waktunya balik ke Jakarta lagi,” cerita Vira suatu kali.

Dari jauh terlihat pendar-pendar cahaya mewarnai perpanjangan ruangan tersebut yang tak terhalang tembok. Kepala anak berambut ombak itu mendongak ke arah TV. Layar di kotak tersebut menampilkan titik-titik berlarian di latar hijau.

Setelah kembali dari kamar mandi, muncul inisiatifku untuk mendekatinya. Sebagian tubuhnya ditutupi selimut tebal. Kurasa tidak apa-apa kalau aku menduduki selimutnya. Ia bergeming seakan tak menyadari ada sesuatu bergerak di samping kanannya.

Aku harap ia bisa mendengar. “Siapa yang tanding?” tanyaku dengan lagu ramah.

“Derby.”

“Oooh…” pelan, tapi penuh perhatian, “Setan merah?”

Akhirnya ia menoleh juga. Ekspresinya mendinginkan udara yangsemula kurasa cukup hangat. “Satunya lagi apa?” Jelas ia ingin mengujiku.

“Arsenal.” Ada letupan senang di hatiku karena telah berhasil menarik perhatiannya.

Tapi lagaknya sok tak tertarik padaku. Kuduga cita-cita anak ini yang sesungguhnya adalah menjadi Rangga AADC. Barulah ketika jeda ia kembali bersuara. “Kamu siapa?

“Bibe.”

“Aku tahu.  Yang aku ingin tahu, kamu siapa, kok adikku kenal sama kamu, sampai suka ngajak kamu ke sini.”

Aku ingin tahu apa ia tahu kalau aku enam tahun lebih tua darinya. Semestinya ia sudah tahu kan kalau hubunganku dengan adiknya bermula di Kedai Buncong. “Adikku”, ia mengucapkannya dengan nada protektif, namun komunikasi di antara mereka sepertinya tidak selancar yang kukira. Kujawab seadanya.

“Kamu sukanya main sama eyang-eyang ya?” Senyum yang tak enak dilihat tergurat di wajahnya.

“Aku temenan sama siapa aja kok,” kuberitahu ia bagaimana tersenyum dengan pantas.

“Umur kamu berapa?”

“Baru 18.”

“Kelas?”

“XI”… aku agak minder mengucapkannya pada anak yang malahan mempersingkat masa studinya ini.

“Udah tua. Kamu tuh tua seperti eyang-eyang.”

Aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan, pun mengetahui bagaimana harus membalas dengan secara budiman. Semakin menatapnya, semakin aku sadari keelokan tiap lekuk wajahnya. Semakin menatapku, semakin tersirat geli di matanya. Namun bibirnya tetap rapat terkatup.

Kali ini senyumnya terlihat lebih tulus. Atau mungkin hanya halusinasiku saja terhadap seringaiannya.

Aku bertahan di tempat itu sampai azan subuh berkumandang. Hanya Manchester United vs Arsenal yang bisa… Kami tidak saling bercakap lagi. Aku tidak berhasrat, apalagi dirinya.

Bibe si magnet anak-anak—tidak berfungsi di sini.

Aku kembali ke kamar mandi setelah solat. Ketika melihatku baru dari kamar mandi, ia berhenti membaca Quran. Kepalanya terangkat dari Quran terbuka di atas pangkuannya yang terselubung sarung. Aku sempat berhenti sebentar karena ia bersuara kepadaku, “Maaf ya, udah bikin kamu kepanasan.”

“Oh enggak apa-apa,” jawabku dengan nada netral. Aku tak ingin menanggapi sama sekali perkataannya—apapun maksudnya! Begitu meninggalkannya, aku tidak mendengar ia terkikik atau apapun.Ia melanjutkan aktivitasnya semula. Sengaunya pas. Iramanya menyayat jiwa. Nada tingginya menggetarkan. Ternyata Vira tidak membual. Tentu saja, ia tidak kelihatan seperti itu.

Aku tidak bisa tidur lagi. Aku mendengar dentang-denting di bawah. Ketidaknyamanan melandaku. Setelah bolak-balik gelisah, aku putuskan untuk turun. Aku menemukan seorang perempuan paruh baya dan seorang lagi yang jauh lebih muda di dapur besar yang benderang.

“Ada yang bisa saya bantu?” Teguran ini mengawali interaksiku dengan mereka. Temannya Vira – Kedai Buncong – sekolah –  dan sirnalah rasa penasaran mereka terhadap diriku. Yang paruh baya adalah Bibik Mirah sedang yang muda adalah anaknya, Teh Tika. Ada beberapa orang lain menempati bangunan pojok di tanah rumah ini. Semua masih berkerabat.

Akhir-akhir ini terang datang lekas. Persiapan sarapan harus segera tuntas. Aku membantu mereka menggoreng berpotong-potong tempe dengan tepung ayam crispy—ini favorit Ari. Butuh latihan intensif berkali-kali bersama Uwak Tata untuk bisa menghasilkan gorengan yang keemasan. Aku tak akan membuatnya kecewa setelah segala perlakuannya padaku yang tak senonoh.

Ketika kukira aku sudah cukup akrab dengan mereka, aku pun bertanya, “Bik, papanya Vira kok enggak pernah kelihatan?” Kucondongkan tubuhku ke belakang agar Bik Mirah bisa lebih jelas mendengarku.

Sementara Teh Tika cenderung pendiam, Bik Mirah adalah penyingkap tabir keluarga. Ia menggerus bumbu-bumbu di cobek dengan lebih bertenaga. “Udah tiga tahun, Kak Bibe…”

“Apanya, Bik?”

“Ya udah cerai, udah tiga tahun lalu…”

“Oh…” Berarti status Tante Ri sudah janda saat ia membesukku bersama Om Yan di waktu silam.

“Sayang ya Bik… ”

Bibe si wartawan gosip.

Pantik narasumber kooperatif lalu biarkan nalurinya bekerja dengan sendirinya. Aku dengar ini dari teman Mama yang kerja untuk tabloid infotainment.

“Lah mantan suaminya juga udah nikah lagi…”

“Iya?” sahutku dengan nada tak percaya. “Kapan itu, Bik?”

“Ya habis cerai itu. Sekitar setahunanlah. Kasihan tuh anak-anak.”

Kasihan tuh anak-anak…

Mendadak aku tidak tertarik lagi pada masalah keluarga ini. Apa dengan aku mengetahui seluk-beluknya, itu akan membantuku mengubah keadaan Vira dan kakaknya? Aku tidak mau ikut campur. Rasa penasaranku sudah terjawab. Setelah belasan tahun berkelana, Om Yan baru kembali lagi ke Indonesia dua tahun lalu dan saat itu Tante Ri sudah bercerai. Ah. Apa aku memang terpanggil untuk jadi wartawan gosip? Begitu banyak fakta kabur yang mendesak untuk disingkap!

“Tapi ya gimana lagi ya Kak Bibe, kalau orang udah enggak cocok mah… Masak mau dipaksain…”

“Iya Bik.”

“Si Neng juga udah disuruh nikah lagi sama bapaknya, tapi tuh, malah anaknya ngamuk-ngamuk.” Si Neng itu sebutan Bik Mirah untuk Tante Ri. Bik Mirah sudah bekerja di rumah ini sejak Tante Ri masih remaja.

“Siapa Bik? Yang ngamuk?”

“Ya siapa lagi itu… Yang doyan ngamuk ya cuman Kang Ari.”

Debaran menggema di dalam dadaku. Bukan, bukan perasaan malu-malu macam itu. Lebih pada kegentaran kukira. Anak seperti itu kalau mengamuk pasti mengerikan. Doyan pula, katanya.

“…eyangnya aja dipukulin…”

Tuh kan.

“Dulu pas belum cerai papanya juga suka ke sini. Padahal dulu tuh kelihatannya ayem… aja. Bertengkar juga enggak pernah. Mesra-mesra aja. Anak-anak juga seneng-seneng terus. Orangnya keliatannya serius banget, tapi baik, Kak Bibe. Sama anak-anak juga baik. Suka digendong… Mau apa aja diturutin… Gajinya besar… Kerjanya di pemerintahan pusat, kayaknya penting gitu Kak Bibe. Dulu kalau mau ke mana-mana udah ada sopir yang nganter. Dulu kan Bibik sempet ikut di sana sebentar pas yang kerja di sana lagi sakit. Neng Vira umur tiga tahun apa ya?” Suara Bik Mirah memelan karena terdengar mulai adanya aktivitas majikan di luar dapur.

Suasana keceriaan yang diuarkan keluarga tersebut saat masih utuh mengiang-ngiang dalam khayalku. Secara imajiner mengisi ruang tengah rumah ini yang luas.

“Pisahnya kenapa Bik?’ Suaraku juga makin memelan saja.

Bik Mirah tak sempat menjawab karena Tante Ice tahu-tahu melintas di dapur. Tanpa make up, ia tampak dua kali lebih tua namun kulitnya tetap bening. Bagian bawah jubah tidurnya yang mengilap berkibar pelan sementara ia berjalan. Ia tersenyum padaku. “Bantu masak, Kak Bibe?”

Aku mengangguk sopan. “Cuman nemenin Bibik aja kok, Tante…” ucapku dengan tangan memegang spatula.

Ia mengambil sebuah minuman dari kulkas lantas lekas lalu lagi.

Hening beberapa saat sampai dirasa Tante Ice sudah mencapai jarak yang cukup jauh. Suara Om Radit sudah terdengar.

Bik Mirah menatapku lagi. Tingginya beberapa cm di bawahku jadi ia agak tengadah. “Katanya sih pisahnya baik-baik Kak Bibe. Itu juga si Neng sendiri yang bilang sama saya. Tahu-tahu aja Pak Luluk udah enggak pernah datang ke sini, terus anak-anak jadi pada suka uring-uringan.”

“Enggak tanya sama anak-anak juga Bik?”

Bik Mirah merapikan ulekannya. Dengan mata, aku mengikutinya mengambil wajan dan seterusnya hingga beberapa piring nasi ditumpahkan ke sana. Aku kira ia sudah tidak akan meresponku lagi.

Setelah aku memusatkan perhatian pada tempe-tempe lagi, barulah ia kembali bersuara. “Kalau sama Kang Ari saya enggak berani, Kak Bibe, takut digigit.” Ampun, anak itu juga menggigit! “Kalau ke Neng Vira, yah, ya udahlah. Lagian juga sekarang mah udah mendingan.”

Kenyataannya mungkin tidak sedramatis itu. Tapi itulah pewacanaan ala infotainment. Dan saya hanya melaporkan kesaksian narasumber. Sekian dari Bibe Alizia Pohan.

Aku masih harus menyaksikan keanehan Ari lagi di ruang makan.

“Kak Ari, yang goreng tempenya Kak Bibe lo…” kata Tante Ice ketika piring besar penuh berisi tempe crispy dihidangkan. Ari tak mengacuhkan namun aku tak tersinggung.

Setelah beberapa kali bermalam dan tinggal hingga menjelang siang di rumah ini, aku jadi tahu kalau kebiasaan wanita tua nan lincah ini adalah wira-wiri.

Aku duduk di seberang Ari dan Vira yang duduk bersebelahan. Posisi biasa. Kakak-beradik itu sudah segar, dengan gembira berceloteh, ketika Tante Ri datang. Pembawaannya seperti ruang makan ini tujuan pertamanya begitu terjaga dari tidur panjang semalam. Ia masih dalam gaun tidur berwarna merah lembut.

“Ih, Mama belum cuci muka!” Ari menuding mamanya dengan riang. Ternyata yang seperti ini tidak hanya terjadi di rumahku saja. Vira terkikik.

Tante Ri tersenyum saja sembari menyibak rambut panjangnya yang bergelombang. Kalau aku laki-laki mungkin imanku sudah bergejolak. Ia terus memandangi anak-anaknya.

“Dek, kenapa orang Indonesia suka disebut bangsa tempe?” tanya Ari sambil mencomot sepotong tempe. Gigitannya menimbulkan suara yang menunjukkan tingkat kerenyahan hasil gorenganku itu  Perasaan bangga menyusup ke dalam sanubariku.

Vira menggeleng dengan manis. “Enggak tahu.”

“Kalau enggak tahu, tanya dong kenapa!”

“Kenapa?”

“Soalnya enggak tahu. Kalau enggak tahu kan tempe.”

Vira meringis dengan tulus, sama sekali tidak kelihatan terpaksa. “Iya, tempe kan pasangannya tahu ya, Kak.”

Astaga.

Aneh itu sebetulnya menarik.

***

Entah sudah berapa lama kami berteman di Facebook. Aku sudah tahu nama lengkapnya Laksmi Virgiana. Tapi aku belum pernah menilik profilnya.

Melihat foto profilnya, busana muslimah yang ia kenakan kian menegaskan kesan teduh yang auranya pancarkan. Ia bersekolah di SD swasta Islam bonafide. Tapi yang aku cari sebenarnya link menuju kakaknya.

LukitoAriestya. Aku mengklik foto profilnya. Isinya deretan banyak bocah sepantarannya saling berangkulan. Mereka semua memakai seragam olahraga dengan dominasi hijau muda lalu sedikit biru tua, kuning, putih. Mereka tampak sehijau lapangan berumput yang jadi latar mereka. Kemudian aku tahu kalau mereka adalah para bocah dari sebuah sekolah sepak bola di Jakarta. Ari adalah salah satu dari mereka. Ia merangkul seorang temannya dengan ekspresi yang rada bikin aku tercengang. Senyumnya sangat lebar. Deretan gigi depannya terlihat cemerlang. Begitupun sinar matanya yang turun ke bawah.

Sebelumnya yang kutahu tentang dia adalah bahwa ia anak yang pendiam, cuek, dingin, tidak suka senyum, penyendiri, tertutup, dan hampir tidak pernah lepas dari gadget. Oh ya, aneh.

Foto ini ganjil. Betul-betul ganjil.

Mukanya seperti badut padahal ia terlihat amat cakep dengan tampang bad mood.

Jumlah temannya tidak sampai 200, tapi aku bisa maklum. Seluas apa sih jejaring sosial yang dipunyai anak SMP yang berusia lebih muda dari seharusnya? Ia bahkan tidak seharusnya punya Facebook kan? Atau Facebook sudah tidak menetapkan batas usia minimum lagi, hm?

Aku sempat membaca satu pesan di dindingnya. “Luk, look there!” dari Dido Ben10. “asyem,” begitu komentar Lukito. Rentetan pesan di dindingnya tidak panjang, tapi sepertinya tiap anak yang pernah mengirim sesuatu di situ punya nama panggilan khusus untuknya. Luki. Jo. Bejo. John. Apalah.

Ia punya sebuah blog dengan alamat lukirain.word*****.com. Desainnya sangat biasa. Di pojok kiri ada sebuah tulisan hitam besar tanpa huruf kapital, “lucky, tho?!”

Jumlah entrinya bisa dihitung dengan satu tangan saja. Entri terakhir dikirim dua bulan lalu. Aku memindai tulisan-tulisan pendeknya. Menurutku ia memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Kontennya adalah cerita-cerita dari lapangan sepak bola. Ia menceritakan semua tanpa sekali pun memasukkan dirinya sendiri. Cerita-ceritanya bernada laporan dengan kesan subjektif yang minim.

Sebagai contoh, seorang anak menendang bola. Bola tak kena, yang terbang malah sepatunya hingga mengenai kepala kiper yang tengah berjaga. “Adegan ini ternyata bukan rekayasa film komedi semata, melainkan sungguh dapat terjadi di dunia nyata,” begitu ia mengakhiri cerita.

Cerita lain, dua orang anak bertabrakan ketika hendak mengejar bola. Saking kerasnya, gigi salah satu anak sampai copot. Ia tidak dapat menemukan giginya meski beberapa teman dan pelatih sudah bantu mencari. Ketika hendak pulang, ia menemukan selembar uang berwarna biru di bawah ranselnya. “Itu balasan dari peri gigi!” kata seseorang.

Aku menemukan lebih banyak nama panggilan untuknya di shoutbox. Seruan paling atas berbunyi, “oi luki hujan!”

Luki hujan. Luki rain. Lu kirain.

Kembali ke Facebook. Saatnya mengintip koleksi fotonya yang mesti tidak kalah sedikit.

Ada beberapa fotonya di tengah beberapa orang berpakaian serba putih—mulai dari peci hingga baju. Foto itu diambil dari samping. Beberapa orang menabuh rebana sedang ia sendiri, dengan mulut terbuka, duduk di depan mikrofon berpenyangga rendah. Melihat ekspresinya, aku percaya ia memang. Sekali lagi, integritas Vira terbukti.

Foto-foto lain sepertinya diambil dalam acara-acara yang aku tidak mengerti—itu juga foto orang lain dan ia ditambahkan oleh orang lain lagi yang relatif itu-itu saja—

hingga momen liburan. Aku perhatikan, Ari memang bukan orang yang suka tersenyum. Senyum mahalnya hanya bisa ditebus oleh kegembiraan yang membuncah.

Tentu saja ia tersenyum ketika ia dan adiknya duduk diapit kedua orangtua mereka. Akhirnya aku bisa melihat sosok bertubuh tegap itu. Jika Ari mewarisi kebeningan dan kemolekan mamanya, maka sepasang mata mungil, rambut ikal kecil kecokelatan, kulit putih merona, bentuk hidung, hingga bentuk wajah didapatkan Vira dari sang papa. Namun kesan ramah dan lembut yang Vira pancarkan, kalau tidak sedang murung, berasal dari sang mama. Seperti kata Bik Mirah, raut wajah sang papa serius dengan senyum tipis saja. Foto ini diunggah sekitar dua tahun lalu, tapi pengambilannya mungkin lebih lama dari itu. Tampang Ari dan Vira di sana jauh lebih polos dari yang sekarang. Anak-anak yang berbahagia.

Ia baru ulang tahun ke-13 tahun pada awal bulan April tahun depan. Dan pada tahun itu juga ia akan lulus SMP. Membuat remaja dewasa berusia 18 tahun menguntit kehidupannya: bocah ini memang luar biasa. Dasar anak aksel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain