Vira
mengajakku menginap lagi. Menjelang ketiga kali, aku merasa sudah begitu sering
menginap di rumah itu. Aku memastikan kalau eyangnya memang mengizinkan.
“Eyang
senang kalau aku ada teman,” jawabnya via sms. Ia terus membujuk. “Ayo Kak
Bibeee…”
Usianya
sudah 10 tahun mulai bulan ini. Berarti aku tidak boleh lupa membawa kado
untuknya nanti.
Meski
tidak sering, kami memang bertukar sms secara kontinyu. Biasanya ia yang mulai
dengan cerita mengenai kehidupan khas anak SD-nya yang penuh intrik. Kadang aku
berinisiatif memulai dengan sekadar menanyakan kabarnya. Setelah beberapa sms,
putuslah perjumpaan elektrik kami. Akan bersambung lagi beberapa hari atau
beberapa minggu kemudian.
Sepertinya
Vira menemukan masalah serius di sekolahnya. Seorang anak telah dijauhi dengan
semena-mena. Vira iba namun tak kuasa untuk melakukan apa-apa atau ia akan
terdepak dari lingkaran pergaulannya. Ini adalah persoalan klise namun dapat
berdampak fatal bagi objek penderita.
Saat
aku masih seorang pemberang di zaman SD-ku dulu, aku juga masih rajin mengikuti
latihan di gelanggang tiga kali seminggu. Maka aku menggunakan kekerasan untuk
menindak siapapun yang menggangguku meski itu melanggar filosofi dari ilmu bela
diri yang kupelajari. Cara primitif itu
sudah tidak relevan untuk generasi sekarang yang lebih mengedepankan
intelektual.
Sebagai
kakak yang baik dan gaul, aku harus mengajarkannya tren pemecahan masalah
terkini.
“Ada
lagi enggak yang enggak suka sama sikapnya Oliv dan kawan-kawan?”
“Ng…
Ada sih…” Vira menjawab ragu-ragu.
Kami
duduk berhadapan di pinggir tempat tidur. Sekotak pizza ukuran medium
memisahkan kami. Isinya tinggal setengah. Aku sama sekali tidak menaruh andil
dalam membujuknya. Ari yang pesan pada Vira sebelum gadis kecil itu dan kedua
eyang berangkat ke Kedai Buncong. Begitu dibawakan, Ari sudah dibelikan
martabak oleh si bibik. Ia terlalu kenyang untuk mencicip sepotong saja. Dan ia
hanya ingin tempe goreng untuk lauk sarapan besok.
“Nah…
Itu…” Mereka harus bersatu. Dengan begitu, mereka akan punya kekuatan lebih
untuk bertindak. Mereka bisa menyampaikan ketidaksetujuan mereka dengan membuat
pernyataan sikap. Aku mengkhotbahinya makna dari berbagai semboyan mengenai
pentingnya persatuan. Salah satunya adalah “bersatu kita teguh, bercerai kita
runtuh”.
Mendapati
perubahan raut wajah Vira, aku tahu pembicaraan ini tidak patut diteruskan.
Saat
itu sudah mendekati pukul dua belas malam. Ia mau aku bacakan lagi satu bab
dari “Little Women”. Aku membaca sampai kudapati ia sudah terlelap. Sebelum aku
menyusul ke alam lain, aku setel alarm ponsel. Cukup dua kali aku mengetahui
bahwa jam biologisku tidak berfungsi di rumah ini.
Aku
bangun sekitar pukul tiga dini hari. Lebih karena dorongan untuk kencing
ketimbang bunyi alarm—memang baru akan bunyi dua jam lagi.
Untuk
menuju ke kamar mandi, aku harus melewati ruangan terbuka itu—teritorial Ari.
“Nonton di situ, nge-game di situ, makan di situ, tidur di situ, solat di situ,
ngaji di situ, semuanya di situ, sampai waktunya balik ke Jakarta lagi,” cerita
Vira suatu kali.
Dari
jauh terlihat pendar-pendar cahaya mewarnai perpanjangan ruangan tersebut yang
tak terhalang tembok. Kepala anak berambut ombak itu mendongak ke arah TV.
Layar di kotak tersebut menampilkan titik-titik berlarian di latar hijau.
Setelah
kembali dari kamar mandi, muncul inisiatifku untuk mendekatinya. Sebagian
tubuhnya ditutupi selimut tebal. Kurasa tidak apa-apa kalau aku menduduki
selimutnya. Ia bergeming seakan tak menyadari ada sesuatu bergerak di samping
kanannya.
Aku
harap ia bisa mendengar. “Siapa yang tanding?” tanyaku dengan lagu ramah.
“Derby.”
“Oooh…”
pelan, tapi penuh perhatian, “Setan merah?”
Akhirnya
ia menoleh juga. Ekspresinya mendinginkan udara yangsemula kurasa cukup hangat.
“Satunya lagi apa?” Jelas ia ingin mengujiku.
“Arsenal.”
Ada letupan senang di hatiku karena telah berhasil menarik perhatiannya.
Tapi
lagaknya sok tak tertarik padaku. Kuduga cita-cita anak ini yang sesungguhnya
adalah menjadi Rangga AADC. Barulah ketika jeda ia kembali bersuara. “Kamu
siapa?
“Bibe.”
“Aku
tahu. Yang aku ingin tahu, kamu siapa,
kok adikku kenal sama kamu, sampai suka ngajak kamu ke sini.”
Aku
ingin tahu apa ia tahu kalau aku enam tahun lebih tua darinya. Semestinya ia sudah
tahu kan kalau hubunganku dengan adiknya bermula di Kedai Buncong. “Adikku”, ia
mengucapkannya dengan nada protektif, namun komunikasi di antara mereka
sepertinya tidak selancar yang kukira. Kujawab seadanya.
“Kamu
sukanya main sama eyang-eyang ya?” Senyum yang tak enak dilihat tergurat di
wajahnya.
“Aku
temenan sama siapa aja kok,” kuberitahu ia bagaimana tersenyum dengan pantas.
“Umur
kamu berapa?”
“Baru
18.”
“Kelas?”
“XI”…
aku agak minder mengucapkannya pada anak yang malahan mempersingkat masa studinya
ini.
“Udah
tua. Kamu tuh tua seperti eyang-eyang.”
Aku
tidak mengerti apa yang ia bicarakan, pun mengetahui bagaimana harus membalas
dengan secara budiman. Semakin menatapnya, semakin aku sadari keelokan tiap
lekuk wajahnya. Semakin menatapku, semakin tersirat geli di matanya. Namun
bibirnya tetap rapat terkatup.
Kali
ini senyumnya terlihat lebih tulus. Atau mungkin hanya halusinasiku saja
terhadap seringaiannya.
Aku
bertahan di tempat itu sampai azan subuh berkumandang. Hanya Manchester United
vs Arsenal yang bisa… Kami tidak saling bercakap lagi. Aku tidak berhasrat,
apalagi dirinya.
Bibe
si magnet anak-anak—tidak berfungsi di sini.
Aku
kembali ke kamar mandi setelah solat. Ketika melihatku baru dari kamar mandi,
ia berhenti membaca Quran. Kepalanya terangkat dari Quran terbuka di atas
pangkuannya yang terselubung sarung. Aku sempat berhenti sebentar karena ia
bersuara kepadaku, “Maaf ya, udah bikin kamu kepanasan.”
“Oh
enggak apa-apa,” jawabku dengan nada netral. Aku tak ingin menanggapi sama
sekali perkataannya—apapun maksudnya! Begitu meninggalkannya, aku tidak
mendengar ia terkikik atau apapun.Ia melanjutkan aktivitasnya semula. Sengaunya
pas. Iramanya menyayat jiwa. Nada tingginya menggetarkan. Ternyata Vira tidak
membual. Tentu saja, ia tidak kelihatan seperti itu.
Aku
tidak bisa tidur lagi. Aku mendengar dentang-denting di bawah. Ketidaknyamanan
melandaku. Setelah bolak-balik gelisah, aku putuskan untuk turun. Aku menemukan
seorang perempuan paruh baya dan seorang lagi yang jauh lebih muda di dapur
besar yang benderang.
“Ada
yang bisa saya bantu?” Teguran ini mengawali interaksiku dengan mereka.
Temannya Vira – Kedai Buncong – sekolah –
dan sirnalah rasa penasaran mereka terhadap diriku. Yang paruh baya
adalah Bibik Mirah sedang yang muda adalah anaknya, Teh Tika. Ada beberapa
orang lain menempati bangunan pojok di tanah rumah ini. Semua masih berkerabat.
Akhir-akhir
ini terang datang lekas. Persiapan sarapan harus segera tuntas. Aku membantu
mereka menggoreng berpotong-potong tempe dengan tepung ayam crispy—ini favorit
Ari. Butuh latihan intensif berkali-kali bersama Uwak Tata untuk bisa
menghasilkan gorengan yang keemasan. Aku tak akan membuatnya kecewa setelah
segala perlakuannya padaku yang tak senonoh.
Ketika
kukira aku sudah cukup akrab dengan mereka, aku pun bertanya, “Bik, papanya
Vira kok enggak pernah kelihatan?” Kucondongkan tubuhku ke belakang agar Bik
Mirah bisa lebih jelas mendengarku.
Sementara
Teh Tika cenderung pendiam, Bik Mirah adalah penyingkap tabir keluarga. Ia
menggerus bumbu-bumbu di cobek dengan lebih bertenaga. “Udah tiga tahun, Kak
Bibe…”
“Apanya,
Bik?”
“Ya
udah cerai, udah tiga tahun lalu…”
“Oh…”
Berarti status Tante Ri sudah janda saat ia membesukku bersama Om Yan di waktu
silam.
“Sayang
ya Bik… ”
Bibe
si wartawan gosip.
Pantik
narasumber kooperatif lalu biarkan nalurinya bekerja dengan sendirinya. Aku
dengar ini dari teman Mama yang kerja untuk tabloid infotainment.
“Lah
mantan suaminya juga udah nikah lagi…”
“Iya?”
sahutku dengan nada tak percaya. “Kapan itu, Bik?”
“Ya
habis cerai itu. Sekitar setahunanlah. Kasihan tuh anak-anak.”
Kasihan tuh anak-anak…
Mendadak
aku tidak tertarik lagi pada masalah keluarga ini. Apa dengan aku mengetahui
seluk-beluknya, itu akan membantuku mengubah keadaan Vira dan kakaknya? Aku tidak
mau ikut campur. Rasa penasaranku sudah terjawab. Setelah belasan tahun
berkelana, Om Yan baru kembali lagi ke Indonesia dua tahun lalu dan saat itu
Tante Ri sudah bercerai. Ah. Apa aku memang terpanggil untuk jadi wartawan
gosip? Begitu banyak fakta kabur yang mendesak untuk disingkap!
“Tapi
ya gimana lagi ya Kak Bibe, kalau orang udah enggak cocok mah… Masak mau
dipaksain…”
“Iya
Bik.”
“Si
Neng juga udah disuruh nikah lagi sama bapaknya, tapi tuh, malah anaknya
ngamuk-ngamuk.” Si Neng itu sebutan Bik Mirah untuk Tante Ri. Bik Mirah sudah
bekerja di rumah ini sejak Tante Ri masih remaja.
“Siapa
Bik? Yang ngamuk?”
“Ya
siapa lagi itu… Yang doyan ngamuk ya cuman Kang Ari.”
Debaran
menggema di dalam dadaku. Bukan, bukan perasaan malu-malu macam itu. Lebih pada
kegentaran kukira. Anak seperti itu kalau mengamuk pasti mengerikan. Doyan
pula, katanya.
“…eyangnya
aja dipukulin…”
Tuh
kan.
“Dulu
pas belum cerai papanya juga suka ke sini. Padahal dulu tuh kelihatannya ayem…
aja. Bertengkar juga enggak pernah. Mesra-mesra aja. Anak-anak juga
seneng-seneng terus. Orangnya keliatannya serius banget, tapi baik, Kak Bibe.
Sama anak-anak juga baik. Suka digendong… Mau apa aja diturutin… Gajinya besar…
Kerjanya di pemerintahan pusat, kayaknya penting gitu Kak Bibe. Dulu kalau mau
ke mana-mana udah ada sopir yang nganter. Dulu kan Bibik sempet ikut di sana
sebentar pas yang kerja di sana lagi sakit. Neng Vira umur tiga tahun apa ya?”
Suara Bik Mirah memelan karena terdengar mulai adanya aktivitas majikan di luar
dapur.
Suasana
keceriaan yang diuarkan keluarga tersebut saat masih utuh mengiang-ngiang dalam
khayalku. Secara imajiner mengisi ruang tengah rumah ini yang luas.
“Pisahnya
kenapa Bik?’ Suaraku juga makin memelan saja.
Bik
Mirah tak sempat menjawab karena Tante Ice tahu-tahu melintas di dapur. Tanpa
make up, ia tampak dua kali lebih tua namun kulitnya tetap bening. Bagian bawah
jubah tidurnya yang mengilap berkibar pelan sementara ia berjalan. Ia tersenyum
padaku. “Bantu masak, Kak Bibe?”
Aku
mengangguk sopan. “Cuman nemenin Bibik aja kok, Tante…” ucapku dengan tangan
memegang spatula.
Ia
mengambil sebuah minuman dari kulkas lantas lekas lalu lagi.
Hening
beberapa saat sampai dirasa Tante Ice sudah mencapai jarak yang cukup jauh.
Suara Om Radit sudah terdengar.
Bik
Mirah menatapku lagi. Tingginya beberapa cm di bawahku jadi ia agak tengadah.
“Katanya sih pisahnya baik-baik Kak Bibe. Itu juga si Neng sendiri yang bilang
sama saya. Tahu-tahu aja Pak Luluk udah enggak pernah datang ke sini, terus
anak-anak jadi pada suka uring-uringan.”
“Enggak
tanya sama anak-anak juga Bik?”
Bik
Mirah merapikan ulekannya. Dengan mata, aku mengikutinya mengambil wajan dan
seterusnya hingga beberapa piring nasi ditumpahkan ke sana. Aku kira ia sudah
tidak akan meresponku lagi.
Setelah
aku memusatkan perhatian pada tempe-tempe lagi, barulah ia kembali bersuara.
“Kalau sama Kang Ari saya enggak berani, Kak Bibe, takut digigit.” Ampun, anak
itu juga menggigit! “Kalau ke Neng Vira, yah, ya udahlah. Lagian juga sekarang
mah udah mendingan.”
Kenyataannya
mungkin tidak sedramatis itu. Tapi itulah pewacanaan ala infotainment. Dan saya
hanya melaporkan kesaksian narasumber. Sekian dari Bibe Alizia Pohan.
Aku
masih harus menyaksikan keanehan Ari lagi di ruang makan.
“Kak
Ari, yang goreng tempenya Kak Bibe lo…” kata Tante Ice ketika piring besar
penuh berisi tempe crispy dihidangkan. Ari tak mengacuhkan namun aku tak
tersinggung.
Setelah
beberapa kali bermalam dan tinggal hingga menjelang siang di rumah ini, aku
jadi tahu kalau kebiasaan wanita tua nan lincah ini adalah wira-wiri.
Aku
duduk di seberang Ari dan Vira yang duduk bersebelahan. Posisi biasa.
Kakak-beradik itu sudah segar, dengan gembira berceloteh, ketika Tante Ri
datang. Pembawaannya seperti ruang makan ini tujuan pertamanya begitu terjaga
dari tidur panjang semalam. Ia masih dalam gaun tidur berwarna merah lembut.
“Ih,
Mama belum cuci muka!” Ari menuding mamanya dengan riang. Ternyata yang seperti
ini tidak hanya terjadi di rumahku saja. Vira terkikik.
Tante
Ri tersenyum saja sembari menyibak rambut panjangnya yang bergelombang. Kalau
aku laki-laki mungkin imanku sudah bergejolak. Ia terus memandangi
anak-anaknya.
“Dek,
kenapa orang Indonesia suka disebut bangsa tempe?” tanya Ari sambil mencomot
sepotong tempe. Gigitannya menimbulkan suara yang menunjukkan tingkat
kerenyahan hasil gorenganku itu Perasaan
bangga menyusup ke dalam sanubariku.
Vira
menggeleng dengan manis. “Enggak tahu.”
“Kalau
enggak tahu, tanya dong kenapa!”
“Kenapa?”
“Soalnya
enggak tahu. Kalau enggak tahu kan tempe.”
Vira
meringis dengan tulus, sama sekali tidak kelihatan terpaksa. “Iya, tempe kan
pasangannya tahu ya, Kak.”
Astaga.
Aneh
itu sebetulnya menarik.
***
Entah
sudah berapa lama kami berteman di Facebook. Aku sudah tahu nama lengkapnya
Laksmi Virgiana. Tapi aku belum pernah menilik profilnya.
Melihat
foto profilnya, busana muslimah yang ia kenakan kian menegaskan kesan teduh
yang auranya pancarkan. Ia bersekolah di SD swasta Islam bonafide. Tapi yang
aku cari sebenarnya link menuju kakaknya.
LukitoAriestya.
Aku mengklik foto profilnya. Isinya deretan banyak bocah sepantarannya saling
berangkulan. Mereka semua memakai seragam olahraga dengan dominasi hijau muda
lalu sedikit biru tua, kuning, putih. Mereka tampak sehijau lapangan berumput
yang jadi latar mereka. Kemudian aku tahu kalau mereka adalah para bocah dari
sebuah sekolah sepak bola di Jakarta. Ari adalah salah satu dari mereka. Ia
merangkul seorang temannya dengan ekspresi yang rada bikin aku tercengang.
Senyumnya sangat lebar. Deretan gigi depannya terlihat cemerlang. Begitupun
sinar matanya yang turun ke bawah.
Sebelumnya
yang kutahu tentang dia adalah bahwa ia anak yang pendiam, cuek, dingin, tidak
suka senyum, penyendiri, tertutup, dan hampir tidak pernah lepas dari gadget.
Oh ya, aneh.
Foto
ini ganjil. Betul-betul ganjil.
Mukanya
seperti badut padahal ia terlihat amat cakep dengan tampang bad mood.
Jumlah
temannya tidak sampai 200, tapi aku bisa maklum. Seluas apa sih jejaring sosial
yang dipunyai anak SMP yang berusia lebih muda dari seharusnya? Ia bahkan tidak
seharusnya punya Facebook kan? Atau Facebook sudah tidak menetapkan batas usia
minimum lagi, hm?
Aku
sempat membaca satu pesan di dindingnya. “Luk, look there!” dari Dido Ben10.
“asyem,” begitu komentar Lukito. Rentetan pesan di dindingnya tidak panjang,
tapi sepertinya tiap anak yang pernah mengirim sesuatu di situ punya nama
panggilan khusus untuknya. Luki. Jo. Bejo. John. Apalah.
Ia
punya sebuah blog dengan alamat lukirain.word*****.com. Desainnya sangat biasa.
Di pojok kiri ada sebuah tulisan hitam besar tanpa huruf kapital, “lucky,
tho?!”
Jumlah
entrinya bisa dihitung dengan satu tangan saja. Entri terakhir dikirim dua
bulan lalu. Aku memindai tulisan-tulisan pendeknya. Menurutku ia memiliki
kemampuan berbahasa yang baik. Kontennya adalah cerita-cerita dari lapangan
sepak bola. Ia menceritakan semua tanpa sekali pun memasukkan dirinya sendiri.
Cerita-ceritanya bernada laporan dengan kesan subjektif yang minim.
Sebagai
contoh, seorang anak menendang bola. Bola tak kena, yang terbang malah
sepatunya hingga mengenai kepala kiper yang tengah berjaga. “Adegan ini
ternyata bukan rekayasa film komedi semata, melainkan sungguh dapat terjadi di
dunia nyata,” begitu ia mengakhiri cerita.
Cerita
lain, dua orang anak bertabrakan ketika hendak mengejar bola. Saking kerasnya,
gigi salah satu anak sampai copot. Ia tidak dapat menemukan giginya meski
beberapa teman dan pelatih sudah bantu mencari. Ketika hendak pulang, ia
menemukan selembar uang berwarna biru di bawah ranselnya. “Itu balasan dari
peri gigi!” kata seseorang.
Aku
menemukan lebih banyak nama panggilan untuknya di shoutbox. Seruan paling atas
berbunyi, “oi luki hujan!”
Luki
hujan. Luki rain. Lu kirain.
Kembali
ke Facebook. Saatnya mengintip koleksi fotonya yang mesti tidak kalah sedikit.
Ada
beberapa fotonya di tengah beberapa orang berpakaian serba putih—mulai dari
peci hingga baju. Foto itu diambil dari samping. Beberapa orang menabuh rebana
sedang ia sendiri, dengan mulut terbuka, duduk di depan mikrofon berpenyangga
rendah. Melihat ekspresinya, aku percaya ia memang. Sekali lagi, integritas
Vira terbukti.
Foto-foto
lain sepertinya diambil dalam acara-acara yang aku tidak mengerti—itu juga foto
orang lain dan ia ditambahkan oleh orang lain lagi yang relatif itu-itu saja—
hingga
momen liburan. Aku perhatikan, Ari memang bukan orang yang suka tersenyum.
Senyum mahalnya hanya bisa ditebus oleh kegembiraan yang membuncah.
Tentu
saja ia tersenyum ketika ia dan adiknya duduk diapit kedua orangtua mereka.
Akhirnya aku bisa melihat sosok bertubuh tegap itu. Jika Ari mewarisi
kebeningan dan kemolekan mamanya, maka sepasang mata mungil, rambut ikal kecil
kecokelatan, kulit putih merona, bentuk hidung, hingga bentuk wajah didapatkan
Vira dari sang papa. Namun kesan ramah dan lembut yang Vira pancarkan, kalau
tidak sedang murung, berasal dari sang mama. Seperti kata Bik Mirah, raut wajah
sang papa serius dengan senyum tipis saja. Foto ini diunggah sekitar dua tahun
lalu, tapi pengambilannya mungkin lebih lama dari itu. Tampang Ari dan Vira di
sana jauh lebih polos dari yang sekarang. Anak-anak yang berbahagia.
Ia
baru ulang tahun ke-13 tahun pada awal bulan April tahun depan. Dan pada tahun
itu juga ia akan lulus SMP. Membuat remaja dewasa berusia 18 tahun menguntit
kehidupannya: bocah ini memang luar biasa. Dasar anak aksel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar