Judul
: Chocolat
Pengarang
: Joanne Haris
Penerbit
: Penerbit Bentang, Yogyakarta, 2007
Kata
“konflik” berasal dari bahasa Latin “configere” yang berarti “saling memukul”.
Dalam pengertian sosialogis, konflik dapat dipahami sebagai suatu “proses
sosial” di mana dua orang atau dua kelompok orang berusaha menyingkirkan pihak
lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Lebih lanjut lagi
menurut Sugeng (tanpa tahun), fokus perhatian masing-masing pihak terarah pada
dua hal yaitu adanya lawan yang
menghalangi serta adanya nilai lain
yang hendak dicapai.
Para
teoretisi konflik memandang suatu masyarakat sebagai terikat bersama karena
kekuatan dari kelompok atau kelas yang dominan. “Nilai-nilai bersama” yang
dilihat oleh para fungsionalis sebagai suatu ikatan pemersatu tidaklah
benar-benar suatu konsensus yang benar; sebaliknya konsensus tersebut adalah
ciptaan kelompok atau kelas yang dominan untuk memaksakan nilai-nilai serta
peraturan mereka terhadap semua orang (Horton dan Hunt, 1987).
Konflik
dapat bersifat fungsional secara positif maupun negatif menurut Coser (Sugeng,
tanpa tahun). Fungsional secara positif apabila konflik tersebut berdampak
memperkuat kelompok, bersifat negatif apabila bergerak melawan struktur. Dalam
kaitannya dengan sistem nilai yang ada dalam masyarakat, konflik bersifat
fungsional negatif apabila menyerang suatu nilai inti.
Dalam
novel "Chocolat", kita dapat menyaksikan bagaimana warga Lansquenet-sous-Tannes terbagi
menjadi dua kelompok yang bertentangan sejak kedatangan Vianne Rocher dan anak
perempuannya, Anouk. Duduk perkaranya ialah Vianne Rocher mendirikan toko
cokelat sekitar 1,5 bulan menjelang Minggu Paskah. Dengan keramahan dan gaya
simpatiknya, Vianne Rocher berhasil memikat para pelanggan setia sejak mula. Ia
juga suka memberikan cokelat gratis.
La
Celeste Praline menjadi tempat yang nyaman bagi Guillaume Duplessis (pria tua
kesepian), Narcisse (ahli kebun perengut), Armande Voizin (nenek dengan tingkah
“agak” liar yang melarikan diri dari anaknya), Josephine Muscat (istri yang
tidak bahagia), Luc (anak laki-laki gagap yang ditekan ibunya), hingga
orang-orang gipsi nantinya, namun merupakan ancaman bagi Francis Reynaud
(pastor paroki setempat) dan para pengikutnya yang berasal dari kalangan lebih
mapan seperti Paul-Marie Muscat (pemilik kafe yang lebih dulu ada), Caroline
Clairmont (anggota Dewan Masyarakat), dan Joline Drou (guru sekolah judes).
Tidak
sekadar menggelitik iman warga, Vianne Rocher juga tidak ke gereja, memercayai
takhayul serta ramalan, dan entah siapa ayah dari putrinya. Ia tidak
mengindahkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Ia hanya
mengurus dirinya sendiri.
“Kurasa masyarakat seharusnya mengurusi urusan mereka sendiri,” kataku dengan masam. “Bukan hakku—atau orang lain—untuk memutuskan bagaimana orang-orang harus menjalani hidup mereka.” (halaman 108)
Pembaca
dari umat Katolik mungkin bisa lebih memahami konteks yang diangkat novel ini,
tapi saya—sebagai pembaca muslim—tidak. Yang saya tangkap, umat Katolik
semestinya berpuasa sekitar sebulan menjelang Minggu Paskah. Puasa yang
dilakukan tidak seperti yang disyariatkan dalam Islam. Mereka tidak mengenal
sahur apalagi waktu berbuka saat Maghrib. Sepertinya puasa yang dilakukan
adalah puasa terhadap makanan dan minuman yang disukai. Minggu Paskah mungkin
bisa diibaratkan sebagai Idul Fitri, di mana anjuran puasa sudah tuntas.
Dan
siapa sih yang bisa menghindari cokelat? Bahkan Armande Voizin yang mengidap
diabetes pun tidak.
Melalui
khotbahnya tiap Minggu, Francis Reynaud terus menghimbau warga agar tidak
mendatangi toko cokelat Vianne Rocher. Ada yang patuh, ada juga yang tidak
peduli. Francis Reynaud memang tak selalu berhati mulia. Ia tidak setuju
Guillame memelihara anjing. Ia acap mengeluhkan tabiat orang-orang yang
melakukan pengakuan dosa padanya. Semakin hari semakin ia menahan diri,
berlawanan dengan sikap warga yang semakin terbuka terhadap kenikmatan cokelat
yang ditawarkan Vianne Rocher.
Pertentangan
terus terjadi. Sementara sebagian warga tidak menyukai kedatangan kaum gipsi,
Vianne Rocher malah menerima mereka dengan tangan terbuka. Buntutnya, perahu
salah seorang dari kaum gipsi, Michel Roux, dibakar oknum yang hanya Reynaud
dan Muscat ketahui. Dari yang mulanya diam-diam, perwakilan warga semakin
menentang Vianne Rocher dengan mengedarkan selebaran agar memboikot perayaan
cokelat yang akan Vianne Rocher cs selenggarakan pada Minggu Paskah.
Akankah
Francis Reynaud berhasil menahan godaan hingga Minggu Paskah tiba? Akankah
perayaan cokelat yang sudah dipersiapkan sungguh-sungguh oleh Vianne Rocher cs
berlangsung sukses? Akankah Vianne Rocher menjadi pahlawan PAD bagi
Lansquenet-sous-Tannes?
Dari
lima cara yang lazim dipakai dalam penyelesaian konflik—konsiliasi, mediasi,
arbitrasi, koersi, dan détente—cara yang digunakan dalam novel ini tampaknya
adalah koersi. Pertikaian diakhiri dengan paksaan psikologis. Pihak satu
merangsang pihak lain dengan berbagai produk cokelat yang menggiurkan secara
terus-menerus. Eh, ini analisis, bukan spoiler.
Saya
mengerti mengapa The Scotsman—dari halaman endorsement—menyebut novel ini
“nakal”. Sebuah perlawanan halus terhadap tradisi agama. Baca saja akhir cerita
ini dan dapati siapa yang kalah. Mengapa toko cokelat nan menggoda ini harus dihadapkan
dengan gereja— mengapa tidak dengan sekumpulan penduduk obesitas dan diabetes
saja?
Gaya
bertutur dalam novel ini menghadirkan nuansa gelap dalam benak. Segelap
cokelat, namun tersusun oleh berbagai deskripsi cantik. Ada dua penutur dalam
novel ini yaitu Vianne Rocher dan Francis Reynaud. Silih berganti, namun porsi
Vianne lebih banyak, satu sama lain membawakan cerita dengan karakter khas
masing-masing. Setiap bab dijuduli oleh nama hari dan tanggal tapi tanpa tahun,
mulai dari “11 Februari, Selasa Sebelum Rabu Abu” hingga “Senin, 31 Maret, Senin Paskah”.Hanya dalam rentang waktu demikian, serangkaian kejadian dapat
membentuk alur nan padu.
Font
enak dibaca dengan ukuran pas. Agar pembaca non Katolik dapat lebih memahami
konteks cerita, penjelasan mengenai tradisi Paskah sebaiknya diberikan. Selain
itu, saya penasaran bagaimana membaca “Lansquenet-sous-Tannes”. Dalam novel
“Snow” karya Orhan Pamuk yang diterbitkan Serambi (saya tidak memerhatikan
tahun terbitnya), pada halaman depan terdapat petunjuk dalam melafalkan istilah
berbahasa Turki.
Disebut-sebut
sebagai “novel sastra yang mewah dan memanjakan” oleh Mirror—sekali lagi dari
halaman endorsement—keindahan novel ini kiranya terletak pada kesubtilannya
dalam menyampaikan gagasan yang menyinggung salah satu huruf dalam “SARA”.
Hati-hati ya.
sumber bacaan:
1. Sugeng, B. Tanpa tahun. Penanganan Konflik Sosial. (diunduh melalui Google, 8/11/11, tapi enggak merhatiin situsnya hehe)
2. -Untuk sumber dari Horton dan Hunt, nanti saya cek lagi. Yang jelas, 1987. Sosiologi jilid 1. Erlangga.-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar