Andai saja Manda punya tante yang
mengidap gejala hamil, dan mendatangi apotek G siang itu untuk membelikan test
pack, maka ia akan bertemu Ardian Hayyra. Tapi ia adalah Om Yan bagiku.
Siang itu sudah masuk Ramadhan.
Lokasi sekolahku agak jauh dari kantor Papa, namun aku sengaja mampir ke sana
selepas bel pulang. Selain karena Papa suka ditengok—meski acap itu mengganggu
pekerjaannya, aku juga mau minta tambahan uang untuk beli test pack. Aku baru
kepikiran kalau aku harus segera membelikan test pack untuk Tante As pagi tadi,
saat sudah di sekolah. Pas benar apotek G bersebelahan dengan kantor Papa.
Seiring langkahku menginjak lantai
apotek, sebuah suara memanggil namaku. Aku mengangkat wajah pada pria yang baru
saja berpapasan denganku itu. meski sudah beberapa kali melihatnya secara
langsung. aku masih tercengang saja mendapati tinggi tubuhnya yang di atas
rata-rata orang Indonesia—sedikit lebih rendah dari Om Pir dan sedikit lebih
tinggi dari papaku mungkin. Apalagi ketika ia bersanding tepat di sampingku
begini. Tinggi tubuhku hanya sampai bagian bawah lehernya.
“Bibe?”
Dia bertanya lagi. Sekujur tubuhku berasa dilumuri sejuta planaria yang kompak
mengayunkan rambut getarnya.
Aku
ingat pakaiannya yang selalu necis. Pada wajah putihnya yang bercahaya dan
senyum ramahnya yang menghidupkan. Potongan rambutnya tampak lebih pendek dari
yang terakhir kali kulihat. Ia juga terlihat lebih berisi.
“Om
Yan?” Degup jantungku jadi tak terkendali. Mendadak indera perabaku jadi amat
peka pada hangatnya terik matahari.
Setelah
mengetahui bahwa ia adalah “sesuatu”, entah mengapa responsku jadi beda begini
dengan yang sebelumnya.
“Senang
lihat Bibe udah bisa jalan-jalan lagi,” ucapnya. Kurasakan senyumku mengembang
tapi kata-kata malah menyusut di sudut otak. Sejenak kami hanya saling
memandang. Sebetulnya aku malu mengatakannya, tapi memang ketampanannya masih membiusku.
Padahal usianya hanya setahun di bawah mamaku!
Aku
menelan ludah. Ingat untuk kembali bersikap wajar. Sebelum aku sempat
melontarkan kata-kata untuk menetralisir euforia, dia sudah berucap duluan,
“Mau beli apa, Bibe?”
Haruskah
aku bilang?
“Om
habis beli apa?” tukasku lekas.
Ia
mengangkat plastik di tangan kanannya. “Vitamin.” Senyum selalu terulas di
bibirnya.
Senyumku
juga harus terpasang selalu. “Mmm… Saya masuk dulu ya, Om.”
Sekejap
perasaanku jadi biasa-biasa lagi. Aku berbalik lagi dan meneruskan langkahku.
Tanpa kusadari, di wajahku ada senyum lagi. Aku jadi aneh dengan diriku
sendiri.
Di
balik meja kaca, aku menjaga volume suaraku serendah mungkin namun tetap
terdengar oleh penjaga apotek yang kuhadapi, “Test pack-nya satu, Mbak.”
Aku
menangkap gerakan mata sipit mbak berkulit putih tersebut menyusuri seragam
putih-abu yang kukenakan. Sorotnya memendam prasangka.
“Ini
buat tante saya.”
Melangkah
keluar dari ruang apotek, aku menemukannya masih menantang cahaya matahari di
pelataran. Begitu terang cokelat matanya.
“Beli apa, Bibe?” tanyanya sembari
mengeluarkan tombol kunci mobil. Samar suara kunci terbuka muncul dari mobil di
balik rumpun tanaman di halaman apotek. Ini mobil yang berbeda dengan mobil
yang ia gunakan saat mengantarku ke rumah sakit dulu. Ukurannya lebih besar dan
panjang.
“Buat
tante saya,” ucapku.
Melihat
langkahku malah menjauhi mobilnya, Om Yan menegur, “Mau ke mana Bibe? Saya
antar aja.”
Aku
terperangah. Mengingat hubungannya dengan Mama cukup baik, aku putuskan untuk
percaya saja padanya. Tidak etis menolak maksud baik seseorang, bukan?
“Gimana
kabar Mama?” Angin sejuk menghambur dari celah-celah di depanku. Menyusupkan
wangi hutan cemara ke dalam indra penciumanku. Aku duduk di samping Om Yan yang
sudah menyalakan gas.
“Alhamdulillah,
Om.”
“Masih
jadi wartawan?”
“Iya.”
Aku mengangguk antusias.
“Kalau
Papa?”
“Sama
juga, Om.”
Sepasang
mata besarnya yang simpatik berganti-ganti menyoroti antara aku dengan jalanan.
Mobil telah melaju beberapa puluh meter jauhnya dari apotek.
“Kalau
kabar Bibe sendiri, gimana?”
“Baik,
Om.”
“Eh,
sekarang Bibe udah … masuk kuliah ya? Eh, tapi masih pakai seragam deng…”
Sekilas kebingungan menerpa wajahnya.
“I…ya…
Saya kan memperdalam Om.”
Tanda
tanya menempel di mukanya yang menoleh sedikit padaku.
“Saya
kurang serius belajar pas kelas X,” tambahku.
“Oh.”
Ia terpana lantas tersenyum lagi. Senyum simpatik sekaligus positif. “Iya,
ngapain sekolah cepet-cepet tapi ilmunya enggak dalam? Ya?” Ia terkekeh.
Aku
mengangguk sambil menyengir. Betapa pengertiannya orang ini. Andai saja
orangtuaku seperti dia.
“Masih
aktif ikut… apa itu kata Mama, karate? Bibe katanya sibuk banget kan, ya?”
“Ah.
Sekarang mah udah enggak aktif di mana-mana lagi. Tapi… Lagi kepikiran aja sama
EO.”
“EO?”
“Ya.
Event organizer. Kayaknya seru aja buat nyari-nyari pengalaman gitu.”
“Hm…”
“Dari
kapan Om di Bandung?”
“Udah
sekitar… berapa lama ya… sebulananlah. Maaf ya, belum sempat mampir ke Bibe
lagi....” Ia menoleh padaku dengan
senyum yang tak hanya bersinar dari bibirnya, tapi juga matanya. Senyum
favoritku. “Dateng-dateng udah ada yang ngajakin proyekan aja, ha ha…”
Suaranya
yang lembut agak serak menggelitik indera pendengaranku. Aku tersenyum
mengingat betapa pria di sampingku ini sangat suka bercerita.
“Eh,
Bibe mau ikut?”
“Ikut
apa, Om?”
“Ini,
ada beberapa kawan ingin Bandung jadi kota musikal… Ada rencana mau meramaikan
Rumentang Siang lagi juga… Banyaklah. Katanya sih, untuk pelaksanaannya entar
pingin ada dari masyarakat juga, terutama dari anak mudanya, biar masyarakat
juga ada partisipasi. Jadi dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat,
kayak jargon korannya Mama Bibe ya? Tapi lebih ke organisasinya, kalau
performing-nya belum tahu. Jadi mau pakai sistem sukarelawan gitu. Bibe mau
bantu?”
Aku
tersenyum. Sebenarnya bunyi yang tepat
dari jargon tersebut adalah “dari warga, oleh warga, untuk warga”, nama
korannya saja “Pikiran Warga”.
Sambungnya,
“Tapi ini sukarela lo, Bibe. Siapa tahu Bibe tertarik cari pengalaman di sini
juga?” lanjutnya disertai menyebutkan sederet nama musisi-musisi Bandung. Aku
tahu beberapa nama yang cukup terkenal dalam ranah lokal dari koran Mama yang
memang berskala regional.
“Kayaknya
menarik.” Aku manggut-manggut.
Om
Yan tampak senang melihat aku menunjukkan cukup minat. “Oke… Nanti saya kabari
lagi.” Pandangan ramahnya kembali mengarah ke depan.
“Eh,
ngomong-ngomong saya antar ke mana nih?”
Ke
rumah Tante As, tentu saja. Test pack ini kan untuknya.
“Gimana Bibe, usus buntunya? Udah
enggak ada masalah lagi kan?”
Aku menggeleng.
“Kirain masih kenapa-kenapa, jadi
beli obat lagi gitu…”
Aku menggeleng lagi. “Enggak. Aku
beli test pack buat tanteku.” Aku kelepasan merujuk diriku dengan ‘aku’,
bukannya ‘saya’. Kukira ini karena aku sudah merasa nyaman dan akrab dengannya.
“Oh gitu… Wah jangan-jangan emang
hamil. Selamat ya, Bibe mau punya adik.” Ia menoleh padaku. Aku balas dengan
senyum lebar. “Pasti seneng banget ya Bibe?”
“Iya Om. Semoga aja positif.”
“Amiin…”
Setelah diam sejenak, aku berkata
lagi padanya, “Om, aku tahu lo.”
“Apa?” Ia menoleh sedikit.
“Kemarin aku nonton Om di CCF.”
“Wah…” Mukanya jadi berseri-seri.
“Terima kasih ya Bibe. Menurut Bibe gimana kemarin? Maaf ya kalau misalnya ada
yang kurang memuaskan.”
“Enggak kok Om. Kemarin bagus
banget!”—paruh terakhir pertunjukan. “Aku enggak tahu lo kalau Om juga bisa
nyanyi.”
Ia tertawa keras. “Gimana?”
“Bagus kok. Outstanding!” Aku
mengacungkan dua jempol.
“Itu latihannya tiga bulan lo, Be.”
“Oh ya?”
“Iya, kalau disuruh nyanyi lagu
lainnya saya enggak akan bisa. Itu juga saya mau enggak mau, soalnya dipaksa
teman-teman. Kata mereka, kalau balik lagi harus nampil di Bandung, harus
nyanyi. Yah, buat seru-seruan aja…”
“Oh…” Jangan-jangan gerombolan
ibu-ibu kemarin itu yang Om Yan maksud sebagai teman-temannya? Aku lalu
menceritakannya segala persepsiku terhadap pertunjukan tersebut. Aku ungkapkan
juga daya apresiasiku yang terbatas karena jenis musik yang Om Yan usung bukan
jenis yang biasa aku konsumsi. Sesekali aku masih suka mengalihkan frekuensi
radio ke KLCBS, namun tetap aku belum bisa memahami jazz—tapi yang terakhir ini
aku tahan saja. “Paling ini Om, kemarin kok yang muncul ‘Keong Racun’, sekarang
kan udah zamannya ‘Alamat Palsu’.”
“Enggak tahu. Itu kesepakatan
teman-teman yang di Bandung. Saya sama Reynauld ikutan aja. ‘Alamat Palsu’ itu
dangdut juga, Bibe?”
Jangan minta aku menyanyikannya.
Rumah
Tante As terletak di Bandung selatan, sementara tadi kami melaju dari sekitar
pusat kota. Makan waktu lumayan. Ia bilang itu tidak masalah. “Udah lama enggak
di Bandung. Sekarang pas balik lagi juga belum lama, jadi sekalian sambil
ngapal-ngapalin jalan,” katanya. Sesekali ia bertanya padaku mengenai arah yang
ia harus ambil. Kadang pandangannya beredar mengamati bangunan di kanan-kiri
jalan, namun tetap ingat untuk awas pada lalu lintas.
“Kalau sekarang Om mau tinggal di
Bandung sampai kapan?”
“Mmm…” Senyumnya terkulum, melirikku
sebentar. “Pokoknya lama. Alhamdulillah akhirnya bisa ambil cuti panjang.”
“Wah… Asyik dong.” Dalam bayanganku,
aktivitasnya kini hanya berlibur. Ia kan tidak punya keluarga inti untuk
diurusi—belum kan? Waktu luangnya pasti melimpah.
“Kenapa cuti, Om?”
“Mau nostalgia aja, ha ha ha…”
“Ah masak itu doang sih.”
“Yah ada proyek-proyek juga… Sama
main sama Bibe deh kalau boleh.”
“Boleh kok.” Aku mengangguk-angguk.
Kami bercakap terus sepanjang
perjalanan. Ia masih orang yang mengasyikkan seperti sebelumnya. Kusadari bahwa
gayanya memang flamboyan, tapi tidak ada kesan kebarat-baratan yang ia
tonjolkan meski selama ini ia lama di sana. Bahasa Indonesianya fasih, bahkan
logat Sundanya terasa. Ketika aku ungkapkan keherananku padanya, ia bilang,
“Kan sering ketemu orang Indonesia di mana-mana juga, Bibe. Tiap kali ketemu ya
ngomongnya pakai bahasa Indonesia. Apalagi kalau kebeneran orang Sunda, ya
pakai bahasa Sunda aja. Kalau telepon-teleponan sama keluarga juga selalu pakai
bahasa Indonesia.” Aku merasa betapa ia selalu cinta negeri ini meski lahir dan
hidup lama di luar negeri.
Akhirnya kami memasuki kompleks
perumahan Tante As. Jalanan di sini cukup lebar untuk laju dua mobil berpapasan
tanpa salah satunya harus berhenti. Rata-rata pemukim di sini memasang pagar
rumah setinggi minimal satu meter.
“Yang itu Om…” Aku menunjuk sebuah
rumah yang bagian depannya melebar.
“Yah, sayang udah nyampe ya Be.” Ia
menarik rem tangan tepat di depan pagar rumah tanteku.
“Iya. Kan kapan-kapan kita bisa
ketemu lagi Om. Mainnya jadi kan?” godaku.
“Oke deh… Salam buat Tante ya.”
“Sip. Makasih ya Om.” Aku menyalami
tangannya seperti hendak pamit dengan orangtuaku sendiri.
Ketika aku hendak menutup pagar,
barulah ia menjalankan mobilnya lagi. Kami saling melambaikan tangan.
***
Ada
gempita marching band di dalam dadaku. Bunyinya semarak sekali. Kalau Tante As
mendengarnya, ia akan marah-marah. Air mukanya bakal semakin menunjukkan
kesusahan hati.
Memang
belakangan ini Tante As selalu mengeluhkan badannya yang terasa tidak enak,
terutama di pagi hari. Sudah berapa kali puasanya batal karena tidak bisa
menahan muntah.
Tapi
aku tidak bisa menahan gembira! Apalagi ketika aku menceritakan ini pada Mama
kemarin. Dan Mama mengungkapkan padaku suatu fakta!
“Sama
siapa kamu datang ke sini tadi?” sambut Tante As padaku yang baru sampai di
ambang pintu. Belum lama lalu deru halus mobil Om Yan meninggalkan jalanan
depan rumahnya.
“Om
Yan.” Aku cengar-cengir. “Dapet salam lo.”
“Kenal
juga enggak.” Tante As membalas tatapanku dengan tanpa gairah. Ia masuk ke
dalam studionya, duduk di atas kursi putar dan menghadap meja. Kukira ia hendak
melanjutkan pekerjaannya membuat sketsa. Hawa teramat dingin menyembur dari
dalam ruang tidurnya.
“Tante,
entar bilang yah, kalau mau kencing…” Ia meraih keresek putih dalam
genggamanku. Dikeluarkannya kotak test pack lalu diamat-amatinya dengan jeli.
“Kamu
beli ini sama dia, tadi?”
“Iya…”
Jelasku lagi, “Tadi pas di apotek aku ketemu Om Yan. Terus sekalian aja kita
pulangnya bareng. “
Kepala
Tante As menimpa sebelah lengan. Nafasnya terdengar berat. Mungkin terisak.
“Pokoknya entar Tante bilang yah, kalau mau kencing.”
Tante
As mendesah kesal. Aku berusaha agar tidak kelihatan begitu antusias.
“Tante
belum mau kencing, Bibe…” begitu kata Tante sejak tadi. Aku tidak bisa
melenyapkan senyum barang sekejap saja. Setiap penderitaan Tante seakan menjadi
pembenaran akan kebahagiaan yang mungkin akan segera aku dapatkan.
“Kalau
mau ke kamar mandi bilang ya, Tante!”
Tante
As tak mengacuhkanku. Jadi aku beranjak dari tepi mejanya dan beralih ke sisi
lain.
Aku
menyalakan komputer. Hanya Om Pir dan aku yang Tante As ikhlaskan mengutak-atik
benda itu. Jemariku mengetuk-ngetuk meja, lalu menarik-ulur tali tirai untuk
bermain dengan terik matahari sore. Lirikan Tante As berarti isyarat agar aku
membuat sedikit mungkin suara.
Aku
membuka Word. Mungkin aku akan memulai memoarku dari peristiwa ini—meski aku
belum pasti akan kebenarannya. Sesuatu yang baru akan datang dalam hidupku, aku
memiliki perasaan yang kuat akan hal ini. Aku sudah bisa mendengar tangis bayi
memenuhi penjuru rumah. Aku jadi tidak bisa memusatkan konsentrasi untuk
mengeluarkan satu kata pun.
Aku
mengetik beberapa paragraf. Aku membacanya ulang. Aku menyimpannya dengan nama
Document1. Aku membuka blank document lagi. Aku mengetik beberapa paragraf. Aku
membacanya ulang. Aku menghembuskan nafas. Aku menyimpannya dengan nama
Document2. Begitu terus sampai Document5.
Sesekali
aku mengerling pada Tante As, sesekali pula ia bersandar sambil merogoh keripik
kentang dari kantong. Matanya menerawang ke arah jendela. Setelah beberapa
kriuk, ia melap tangannya bersih-bersih dengan tisu lalu kembali mengamati
pekerjaannya. Jelas ia tak bisa konsentrasi. Sebagai oran g yang resik, kukira mengudap sesuatu
yang berminyak sambil bekerja adalah hal terlarang bagi Tante As.
Ketika
aku sedang mengetik di Document6, ekor mataku menangkap gerakan Tante As. Aku
cepat-cepat berdiri. Aku hampir saja lupa dengan keresek putih di samping
komputer.
“Tante!”
Aku berhasil memegang lengannya. Tante As menoleh dengan tampang terganggu. Aku
mengeluarkan sesuatu dari dalam keresek putih itu. Aku menyodorkannya pada
Tante As seraya tersenyum lebar. Aku mengiringi masuknya Tante As ke kamar
mandi dengan cengiran yang tidak bisa aku hentikan. Aku duduk di undakan ubin
dengan perasaan tak menentu.
Tante
As keluar dengan lesu. Aku mendekatinya. Mataku tertuju pada benda di
tangannya. Aku menahan deru nafas saat perlahan sebatang garis merah muncul
pada benda di tangan Tante As. Aku memekik.
“Nanti,
Bibe. Tunggu sampai garisnya dua.”
“Oh—“
Aku menutup mulut dengan kedua belah tanganku. Air muka Tante As juga terlihat
tidak pasti.
Mamaku sendiri tidak pernah kenalan
langsung dengan test pack. Ia pernah bilang kalau dulu ia hamil kebo.
“Bukannya hamil Bibe?” Kontan aku
merasa tersinggung.
“Maksudnya, Mama enggak ngerasain
kalau lagi hamil, tahu-tahu aja perut Mama udah gede. Terus Mama disuruh
periksa ke dokter sama neneknya Bibe.”
Nenekku, ibunya Papa, mengasuhku
sampai usiaku 4 tahun. Lalu ia tiada.
Aku jadi ingat. Seorang teman Mama
pernah cerita padaku kalau mamaku masih lari-lari mengejar narasumber saat ia
hamil tua. Pasti bercanda, mana boleh wanita hamil lari-lari.
Garis
merah kedua muncul.
Tante
As masih tafakur menatap hasil test pack. Kosong malah pandangannya. Sesaat ia
terperangah. Tangannya menyibak poni. Tampang gusar khasnya mengarah padaku.
“Kenapa aku bisa lupa, ya?”
“Apa,
Tante, apa?” Aku masih bersorak-sorai.
“Minum
pil. Makin pikun aja nih otak!” Ia menghindar dariku. Masuk ke kamarnya lagi.
Aku mengikutinya. Suatu perasaan buruk mendadak menyesap. Tante As kan tidak
pernah ingin punya anak.
“Tante
nikah bukan karena pingin punya anak, Bibe,” pernah suatu kali Tante
memperingatkanku. Lagipula Om Pir sudah punya dua anak dari pernikahan yang
sebelumnya.
“Terus
buat apa, Tante?”
“Nikah
kan enggak mesti punya anak,” jawab Tante As. Ia merasa tidak akan punya cukup
waktu untuk mengganti popok, menyusui, apalagi mengantar anaknya ke sana ke
mari. Baginya, memiliki aku sebagai satu-satunya keponakan saja sudah cukup.
“Tante
enggak pingin ngasih aku adik?” desakku lagi.
“Minta
aja sama mama kamu.”
Sejak
itu aku tidak pernah mendesaknya lagi untuk punya anak.
Ia
berusaha memusatkan perhatiannya lagi pada pekerjaan. Kuduga ia sudah mengira
sebelumnya kalau ia hamil. Barulah kepastian dengan test pack meledakkannya
seperti tadi. Sepanjang sore ia sudah tiga kali menyeduh mi gelas.
Menjelang
maghrib, Tante As memasukkan beberapa barang ke dalam tas merahnya. Beberapa
ruas rambutnya terlihat kemerahan disorot garis-garis matahari yang menembus
celah-celah tirai. Ia berputar sejenak seperti kebingungan. Ia mencampakkan
tasnya lagi dan meraup handuk dari gantungan. Aku duduk di kursi dan merengut.
“Tante
mau pergi?” Ia tidak menjawab. Ia tengah memilah pakaian di lemarinya. “Ke
mana?”
Di
lengannya sudah tersampir sepotong blus dan celana panjang. Aku membayangkannya berkata, “ke dokter,”
lalu aku merengek-rengek, “Tante… Jangan bilang Tante mau…” Aku berat untuk
mengucapkannya. Aborsi. Padahal Allah sudah menjawab doaku. Tante As akhirnya
lupa minum pil.
Tante
As menatapku dengan dahi berkerut. “Tante cuman mau ke tempat Tante Naning aja
kok. Sekalian Bibe Tante antar pulang,” tegasnya. Ia tidak ingin aku temani.
Aku
memegang perutku. Mataku mengikutinya wira-wiri lagi. “Tapi Tante enggak bakal
ngapa-ngapain adikku kan?”
Bagaimana
kalau ia masih tetap tidak menginginkannya?
***
Kehidupan
mulai berdenyut. Kepala, dada, serta perutnya mulai terbentuk. Lekukan-lekukan
muncul. Jemari tangan dan jemari kaki akan tumbuh di situ. Sebentuk makhluk
yang indah, adikku. Ia membuat mamanya sesekali memijat kepala atau menarik
nafas dalam-dalam, susah payah menahan gejolak dari dalam tubuh agar puasa hari
itu bisa tunai.
Meski
perut Tante As belum terlihat membuncit, namun aku suka memandangnya lama-lama
dari dekat. Aku bayangkan sesuatu di balik kain itu membesar, semakin besar,
hingga Tante As tidak bisa menolakku untuk meraba. Begitu aku meletakkan
tanganku di sana, ia akan lekas menyapa.
Ia
seperti magnet bagiku. Ia menambahkan satu alasanku pada Papa mengapa aku ke
tempat Tante As.
“Memangnya
sudah segede apa sih?” tanya Papa penasaran.
Aku
tidak akan bilang kalau perut Tante As masih terlihat rata.
“Belakangan
ini aku sering merasa mual dan vertigo. Beberapa kali aku tanya dokterku,
ternyata aku baik-baik saja. Ternyata itu hanya karena istriku mengandung
anakku,” kata Om Pir lembut suatu ketika. Ia sebetulnya belum fasih berbahasa
Indonesia, jadi aku terjemahkan langsung ucapannya supaya lebih mudah.
Sambungnya ketika Tante As mengeluhkan mual yang mendera tiappagi, “Kamu sudah
konsultasi ke dokter, Sayang? Mungkin kamu bisa minta obat antimual yang aman?”
“Jangan!”
kataku. “Aku tahu cara-cara buat mengatasi mual.”
Suatu kali, aku teruskan membereskan
ruang buku sekalian mencari buku-buku tentang kehamilan. Sebagai seorang kutu
buku sepanjang umurnya, seharusnya Mama punya buku-buku macam demikian. Aku
ingin bisa memberikan banyak masukan pada Tante As yang sepertinya belum jua
mengindahkan kehamilannya itu. Seharusnya ia mulai membeli buku-buku kehamilan
dengan banyak gambar. Seharusnya ia berhenti lama di bagian perlengkapan bayi
saat belanja di swalayan. Selain foto-foto Papa saat sedang meliput di berbagai
lokasi, tak dinyana aku menemukan buku harian yang merangkum kehidupan Mama di
paruh pertama dekade 90-an. Sebetulnya aku malas membacanya kendati ini bisa
jadi sumber berharga untuk memulai memoarku. Tak dinyana lagi, aku membaca
sebuah kalimat, “Malam-malam menyusahkan itu akhirnya menghasilkan sesuatu.”
Mataku memicing. Iyuh. Aku
merinding. Aku tidak mau berinterpretasi apapun terhadap kalimat itu.
Bagaimanapun
juga, aku ingin menjaga adikku sejak hari pertama aku tahu ia ada. Ia tidak
boleh bergantung pada obat kecuali mendesak—seperti mamaku yang tidak pernah
mengindahkan batuk serta pilek dan hanya minum obat kalau diare.
Bagaimanapun
pendapat mamanya. “Nanti tambah gemuk,” sergah Tante As ketika aku bilang kalau
ia harus banyak mengonsumsi makanan yang berkarbohidrat tinggi.
Aku
membawakannya beberapa toples berisi kue kering—buatanku sendiri dengan
bimbingan Uwak Tata. Mual terjadi karena kadar gula rendah. Ketika bangun
tidur, sebelum mengangkat kepala ia sebaiknya makan roti atau biskuit.
Begitupun saat menjelang tidur. Tapi sebetulnya tidak hanya di kedua waktu
tersebut saja.
“Makannya
sedikit-sedikit aja Tante, tapi sering. “Aku meletakkan dua toples di atas
bufet samping tempat tidurnya, sisanya aku taruh di ruang tengah dan meja
pantri. “Yang penting lambung Tante enggak kosong.”
Aku
juga melarang Tante As mengudap keju utuh-utuh sebagai camilan. “Pokoknya
kurangin makanan berlemak Tante. Susu murni juga jangan.”
Selain
itu, aku sudah mengecek kalau ia pakai pasta gigi berasa mint agar mualnya
berkurang. “Tante, kalau kumur pakai air hangat aja, jangan pakai air dingin,”
tambahku. “Ngisep permen jahe juga bisa ngurangin mual lo, Tan. Mau aku
beliin?” Favoritku yang angka 69.
Tante
As tidak suka permen jahe. “Enggak enak,” katanya.
Konon
wanita hamil sensitif dengan ruang sesak, panas, serta bau-bauan menyengat.
Jadi aku berusaha selalu dalam keadaan segar, bersih, dan wangi ketika berada
dekat Tante As.
Sebetulnya
aku tidak bisa memastikan bagaimana Tante As terhadap makhluk mungil di dalam
perutnya. Mengingat tabiat Tante As, aku hanya tidak ingin ia mengganggap
makhluk mungil di dalam perutnya menyusahkannya. Naluri keibuannya akan segera
muncul, aku meyakinkan diri. Ia tidak akan mengapa-apakan janinnya.
Kendati
berbagai gejala hamil melanda, sejauh ini sikapnya masih biasa—sebiasa ketika
ia tidak hamil. Mungkin ia lebih suka menganggap dirinya tidak hamil. Perutmu
akan segera membesar, Tante, mama calon adikku. Saat itu tiba, Tante tidak akan
bisa memungkirinya lagi.
“Tante,
Tante enggak akan ngapa-ngapain adikku kan?” tanyaku hat-hati pada suatu
ketika.
Tante
As hanya sekilas mengalihkan tatapannya dari TV ke arahku. Matanya sesuntuk
biasa karena telah bekerja keras selama tujuh jam hari itu.
“Entahlah,”
kata Tante.
“Tante
udah ke dokter?”
“Entar
aja kalau kenapa-kenapa.”
“Enggak
boleh gitu. Tante harus rajin kontrol ke dokter, seenggaknya sebulan sekali!”
desakku sebagaimana Om Pir sudah mengingatkan Tante As.
“Iya
Bibe, nanti.”
Ia
menyisir rambutnya berkali-kali. Ketidakpuasan menggenang di wajahnya. Pada
akhirnya ia mencepol rambutnya seperti biasa. Aku bilang padanya ke mana mamaku
dulu mengontrol kehamilan, tapi ia sudah mendapat rekomendasi dari beberapa
temannya.
Malam
itu aku melihat calon adikku untuk pertama kali. Panjangnya baru sekitar 1
inchi. Kata dokter yang tampak senior itu, semua organ bagian dalam sudah pada
tempatnya. Pundak dan pinggulnya terlihat jelas. Akan jadi pundak dan pinggul
yang cantik.
Umurnya
baru delapan minggu. Aku punya adik berumur delapan minggu dalam kandungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar