Kamis, 10 November 2011

Tanteku Hamil

            Andai saja Manda punya tante yang mengidap gejala hamil, dan mendatangi apotek G siang itu untuk membelikan test pack, maka ia akan bertemu Ardian Hayyra. Tapi ia adalah Om Yan bagiku.

            Siang itu sudah masuk Ramadhan. Lokasi sekolahku agak jauh dari kantor Papa, namun aku sengaja mampir ke sana selepas bel pulang. Selain karena Papa suka ditengok—meski acap itu mengganggu pekerjaannya, aku juga mau minta tambahan uang untuk beli test pack. Aku baru kepikiran kalau aku harus segera membelikan test pack untuk Tante As pagi tadi, saat sudah di sekolah. Pas benar apotek G bersebelahan dengan kantor Papa.

            Seiring langkahku menginjak lantai apotek, sebuah suara memanggil namaku. Aku mengangkat wajah pada pria yang baru saja berpapasan denganku itu. meski sudah beberapa kali melihatnya secara langsung. aku masih tercengang saja mendapati tinggi tubuhnya yang di atas rata-rata orang Indonesia—sedikit lebih rendah dari Om Pir dan sedikit lebih tinggi dari papaku mungkin. Apalagi ketika ia bersanding tepat di sampingku begini. Tinggi tubuhku hanya sampai bagian bawah lehernya.

“Bibe?” Dia bertanya lagi. Sekujur tubuhku berasa dilumuri sejuta planaria yang kompak mengayunkan rambut getarnya.

Aku ingat pakaiannya yang selalu necis. Pada wajah putihnya yang bercahaya dan senyum ramahnya yang menghidupkan. Potongan rambutnya tampak lebih pendek dari yang terakhir kali kulihat. Ia juga terlihat lebih berisi.

“Om Yan?” Degup jantungku jadi tak terkendali. Mendadak indera perabaku jadi amat peka pada hangatnya terik matahari.

Setelah mengetahui bahwa ia adalah “sesuatu”, entah mengapa responsku jadi beda begini dengan yang sebelumnya.

“Senang lihat Bibe udah bisa jalan-jalan lagi,” ucapnya. Kurasakan senyumku mengembang tapi kata-kata malah menyusut di sudut otak. Sejenak kami hanya saling memandang. Sebetulnya aku malu mengatakannya, tapi memang ketampanannya masih membiusku. Padahal usianya hanya setahun di bawah mamaku!

Aku menelan ludah. Ingat untuk kembali bersikap wajar. Sebelum aku sempat melontarkan kata-kata untuk menetralisir euforia, dia sudah berucap duluan, “Mau beli apa, Bibe?”

Haruskah aku bilang?

“Om habis beli apa?” tukasku lekas.

Ia mengangkat plastik di tangan kanannya. “Vitamin.” Senyum selalu terulas di bibirnya.

Senyumku juga harus terpasang selalu. “Mmm… Saya masuk dulu ya, Om.”

Sekejap perasaanku jadi biasa-biasa lagi. Aku berbalik lagi dan meneruskan langkahku. Tanpa kusadari, di wajahku ada senyum lagi. Aku jadi aneh dengan diriku sendiri.

Di balik meja kaca, aku menjaga volume suaraku serendah mungkin namun tetap terdengar oleh penjaga apotek yang kuhadapi, “Test pack-nya satu, Mbak.”

Aku menangkap gerakan mata sipit mbak berkulit putih tersebut menyusuri seragam putih-abu yang kukenakan. Sorotnya memendam prasangka.

“Ini buat tante saya.”

Melangkah keluar dari ruang apotek, aku menemukannya masih menantang cahaya matahari di pelataran. Begitu terang cokelat matanya.

“Beli apa, Bibe?” tanyanya sembari mengeluarkan tombol kunci mobil. Samar suara kunci terbuka muncul dari mobil di balik rumpun tanaman di halaman apotek. Ini mobil yang berbeda dengan mobil yang ia gunakan saat mengantarku ke rumah sakit dulu. Ukurannya lebih besar dan panjang.

“Buat tante saya,” ucapku.

Melihat langkahku malah menjauhi mobilnya, Om Yan menegur, “Mau ke mana Bibe? Saya antar aja.”

Aku terperangah. Mengingat hubungannya dengan Mama cukup baik, aku putuskan untuk percaya saja padanya. Tidak etis menolak maksud baik seseorang, bukan?

“Gimana kabar Mama?” Angin sejuk menghambur dari celah-celah di depanku. Menyusupkan wangi hutan cemara ke dalam indra penciumanku. Aku duduk di samping Om Yan yang sudah menyalakan gas.

“Alhamdulillah, Om.”

“Masih jadi wartawan?”

“Iya.” Aku mengangguk antusias.

“Kalau Papa?”

“Sama juga, Om.”

Sepasang mata besarnya yang simpatik berganti-ganti menyoroti antara aku dengan jalanan. Mobil telah melaju beberapa puluh meter jauhnya dari apotek.

“Kalau kabar Bibe sendiri, gimana?”

“Baik, Om.”

“Eh, sekarang Bibe udah … masuk kuliah ya? Eh, tapi masih pakai seragam deng…” Sekilas kebingungan menerpa wajahnya.

“I…ya… Saya kan memperdalam Om.”

Tanda tanya menempel di mukanya yang menoleh sedikit padaku.

“Saya kurang serius belajar pas kelas X,” tambahku.

“Oh.” Ia terpana lantas tersenyum lagi. Senyum simpatik sekaligus positif. “Iya, ngapain sekolah cepet-cepet tapi ilmunya enggak dalam? Ya?” Ia terkekeh.

Aku mengangguk sambil menyengir. Betapa pengertiannya orang ini. Andai saja orangtuaku seperti dia.

“Masih aktif ikut… apa itu kata Mama, karate? Bibe katanya sibuk banget kan, ya?”

“Ah. Sekarang mah udah enggak aktif di mana-mana lagi. Tapi… Lagi kepikiran aja sama EO.”

“EO?”

“Ya. Event organizer. Kayaknya seru aja buat nyari-nyari pengalaman gitu.”

“Hm…”

“Dari kapan Om di Bandung?”

“Udah sekitar… berapa lama ya… sebulananlah. Maaf ya, belum sempat mampir ke Bibe lagi....”    Ia menoleh padaku dengan senyum yang tak hanya bersinar dari bibirnya, tapi juga matanya. Senyum favoritku. “Dateng-dateng udah ada yang ngajakin proyekan aja, ha ha…”

Suaranya yang lembut agak serak menggelitik indera pendengaranku. Aku tersenyum mengingat betapa pria di sampingku ini sangat suka bercerita.

“Eh, Bibe mau ikut?”

“Ikut apa, Om?”

“Ini, ada beberapa kawan ingin Bandung jadi kota musikal… Ada rencana mau meramaikan Rumentang Siang lagi juga… Banyaklah. Katanya sih, untuk pelaksanaannya entar pingin ada dari masyarakat juga, terutama dari anak mudanya, biar masyarakat juga ada partisipasi. Jadi dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat, kayak jargon korannya Mama Bibe ya? Tapi lebih ke organisasinya, kalau performing-nya belum tahu. Jadi mau pakai sistem sukarelawan gitu. Bibe mau bantu?”

Aku tersenyum.  Sebenarnya bunyi yang tepat dari jargon tersebut adalah “dari warga, oleh warga, untuk warga”, nama korannya saja “Pikiran Warga”.

Sambungnya, “Tapi ini sukarela lo, Bibe. Siapa tahu Bibe tertarik cari pengalaman di sini juga?” lanjutnya disertai menyebutkan sederet nama musisi-musisi Bandung. Aku tahu beberapa nama yang cukup terkenal dalam ranah lokal dari koran Mama yang memang berskala regional.

“Kayaknya menarik.” Aku manggut-manggut.

Om Yan tampak senang melihat aku menunjukkan cukup minat. “Oke… Nanti saya kabari lagi.” Pandangan ramahnya kembali mengarah ke depan.

“Eh, ngomong-ngomong saya antar ke mana nih?”

Ke rumah Tante As, tentu saja. Test pack ini kan untuknya.

            “Gimana Bibe, usus buntunya? Udah enggak ada masalah lagi kan?”

            Aku menggeleng.

            “Kirain masih kenapa-kenapa, jadi beli obat lagi gitu…”        

            Aku menggeleng lagi. “Enggak. Aku beli test pack buat tanteku.” Aku kelepasan merujuk diriku dengan ‘aku’, bukannya ‘saya’. Kukira ini karena aku sudah merasa nyaman dan akrab dengannya.

            “Oh gitu… Wah jangan-jangan emang hamil. Selamat ya, Bibe mau punya adik.” Ia menoleh padaku. Aku balas dengan senyum lebar. “Pasti seneng banget ya Bibe?”

            “Iya Om. Semoga aja positif.”

            “Amiin…”

            Setelah diam sejenak, aku berkata lagi padanya, “Om, aku tahu lo.”

            “Apa?” Ia menoleh sedikit.

            “Kemarin aku nonton Om di CCF.”

            “Wah…” Mukanya jadi berseri-seri. “Terima kasih ya Bibe. Menurut Bibe gimana kemarin? Maaf ya kalau misalnya ada yang kurang memuaskan.”

            “Enggak kok Om. Kemarin bagus banget!”—paruh terakhir pertunjukan. “Aku enggak tahu lo kalau Om juga bisa nyanyi.”

            Ia tertawa keras. “Gimana?”

            “Bagus kok. Outstanding!” Aku mengacungkan dua jempol.

            “Itu latihannya tiga bulan lo, Be.”

            “Oh ya?”

            “Iya, kalau disuruh nyanyi lagu lainnya saya enggak akan bisa. Itu juga saya mau enggak mau, soalnya dipaksa teman-teman. Kata mereka, kalau balik lagi harus nampil di Bandung, harus nyanyi. Yah, buat seru-seruan aja…”

            “Oh…” Jangan-jangan gerombolan ibu-ibu kemarin itu yang Om Yan maksud sebagai teman-temannya? Aku lalu menceritakannya segala persepsiku terhadap pertunjukan tersebut. Aku ungkapkan juga daya apresiasiku yang terbatas karena jenis musik yang Om Yan usung bukan jenis yang biasa aku konsumsi. Sesekali aku masih suka mengalihkan frekuensi radio ke KLCBS, namun tetap aku belum bisa memahami jazz—tapi yang terakhir ini aku tahan saja. “Paling ini Om, kemarin kok yang muncul ‘Keong Racun’, sekarang kan udah zamannya ‘Alamat Palsu’.”

            “Enggak tahu. Itu kesepakatan teman-teman yang di Bandung. Saya sama Reynauld ikutan aja. ‘Alamat Palsu’ itu dangdut juga, Bibe?”

            Jangan minta aku menyanyikannya.   

Rumah Tante As terletak di Bandung selatan, sementara tadi kami melaju dari sekitar pusat kota. Makan waktu lumayan. Ia bilang itu tidak masalah. “Udah lama enggak di Bandung. Sekarang pas balik lagi juga belum lama, jadi sekalian sambil ngapal-ngapalin jalan,” katanya. Sesekali ia bertanya padaku mengenai arah yang ia harus ambil. Kadang pandangannya beredar mengamati bangunan di kanan-kiri jalan, namun tetap ingat untuk awas pada lalu lintas.

            “Kalau sekarang Om mau tinggal di Bandung sampai kapan?”

            “Mmm…” Senyumnya terkulum, melirikku sebentar. “Pokoknya lama. Alhamdulillah akhirnya bisa ambil cuti panjang.”

            “Wah… Asyik dong.” Dalam bayanganku, aktivitasnya kini hanya berlibur. Ia kan tidak punya keluarga inti untuk diurusi—belum kan? Waktu luangnya pasti melimpah.

            “Kenapa cuti, Om?”

            “Mau nostalgia aja, ha ha ha…”

            “Ah masak itu doang sih.”

            “Yah ada proyek-proyek juga… Sama main sama Bibe deh kalau boleh.”

            “Boleh kok.” Aku mengangguk-angguk.

            Kami bercakap terus sepanjang perjalanan. Ia masih orang yang mengasyikkan seperti sebelumnya. Kusadari bahwa gayanya memang flamboyan, tapi tidak ada kesan kebarat-baratan yang ia tonjolkan meski selama ini ia lama di sana. Bahasa Indonesianya fasih, bahkan logat Sundanya terasa. Ketika aku ungkapkan keherananku padanya, ia bilang, “Kan sering ketemu orang Indonesia di mana-mana juga, Bibe. Tiap kali ketemu ya ngomongnya pakai bahasa Indonesia. Apalagi kalau kebeneran orang Sunda, ya pakai bahasa Sunda aja. Kalau telepon-teleponan sama keluarga juga selalu pakai bahasa Indonesia.” Aku merasa betapa ia selalu cinta negeri ini meski lahir dan hidup lama di luar negeri.

            Akhirnya kami memasuki kompleks perumahan Tante As. Jalanan di sini cukup lebar untuk laju dua mobil berpapasan tanpa salah satunya harus berhenti. Rata-rata pemukim di sini memasang pagar rumah setinggi minimal satu meter.

            “Yang itu Om…” Aku menunjuk sebuah rumah yang bagian depannya melebar.

            “Yah, sayang udah nyampe ya Be.” Ia menarik rem tangan tepat di depan pagar rumah tanteku.

            “Iya. Kan kapan-kapan kita bisa ketemu lagi Om. Mainnya jadi kan?” godaku.

            “Oke deh… Salam buat Tante ya.”

            “Sip. Makasih ya Om.” Aku menyalami tangannya seperti hendak pamit dengan orangtuaku sendiri.

            Ketika aku hendak menutup pagar, barulah ia menjalankan mobilnya lagi. Kami saling melambaikan tangan.

***

Ada gempita marching band di dalam dadaku. Bunyinya semarak sekali. Kalau Tante As mendengarnya, ia akan marah-marah. Air mukanya bakal semakin menunjukkan kesusahan hati.

Memang belakangan ini Tante As selalu mengeluhkan badannya yang terasa tidak enak, terutama di pagi hari. Sudah berapa kali puasanya batal karena tidak bisa menahan muntah.

Tapi aku tidak bisa menahan gembira! Apalagi ketika aku menceritakan ini pada Mama kemarin. Dan Mama mengungkapkan padaku suatu fakta!

“Sama siapa kamu datang ke sini tadi?” sambut Tante As padaku yang baru sampai di ambang pintu. Belum lama lalu deru halus mobil Om Yan meninggalkan jalanan depan rumahnya.

“Om Yan.” Aku cengar-cengir. “Dapet salam lo.”

“Kenal juga enggak.” Tante As membalas tatapanku dengan tanpa gairah. Ia masuk ke dalam studionya, duduk di atas kursi putar dan menghadap meja. Kukira ia hendak melanjutkan pekerjaannya membuat sketsa. Hawa teramat dingin menyembur dari dalam ruang tidurnya.

“Tante, entar bilang yah, kalau mau kencing…” Ia meraih keresek putih dalam genggamanku. Dikeluarkannya kotak test pack lalu diamat-amatinya dengan jeli.

“Kamu beli ini sama dia, tadi?”

“Iya…” Jelasku lagi, “Tadi pas di apotek aku ketemu Om Yan. Terus sekalian aja kita pulangnya bareng. “

Kepala Tante As menimpa sebelah lengan. Nafasnya terdengar berat. Mungkin terisak. “Pokoknya entar Tante bilang yah, kalau mau kencing.”

Tante As mendesah kesal. Aku berusaha agar tidak kelihatan begitu antusias.

“Tante belum mau kencing, Bibe…” begitu kata Tante sejak tadi. Aku tidak bisa melenyapkan senyum barang sekejap saja. Setiap penderitaan Tante seakan menjadi pembenaran akan kebahagiaan yang mungkin akan segera aku dapatkan.

“Kalau mau ke kamar mandi bilang ya, Tante!”

Tante As tak mengacuhkanku. Jadi aku beranjak dari tepi mejanya dan beralih ke sisi lain.

Aku menyalakan komputer. Hanya Om Pir dan aku yang Tante As ikhlaskan mengutak-atik benda itu. Jemariku mengetuk-ngetuk meja, lalu menarik-ulur tali tirai untuk bermain dengan terik matahari sore. Lirikan Tante As berarti isyarat agar aku membuat sedikit mungkin suara.

Aku membuka Word. Mungkin aku akan memulai memoarku dari peristiwa ini—meski aku belum pasti akan kebenarannya. Sesuatu yang baru akan datang dalam hidupku, aku memiliki perasaan yang kuat akan hal ini. Aku sudah bisa mendengar tangis bayi memenuhi penjuru rumah. Aku jadi tidak bisa memusatkan konsentrasi untuk mengeluarkan satu kata pun.

Aku mengetik beberapa paragraf. Aku membacanya ulang. Aku menyimpannya dengan nama Document1. Aku membuka blank document lagi. Aku mengetik beberapa paragraf. Aku membacanya ulang. Aku menghembuskan nafas. Aku menyimpannya dengan nama Document2. Begitu terus sampai Document5.

Sesekali aku mengerling pada Tante As, sesekali pula ia bersandar sambil merogoh keripik kentang dari kantong. Matanya menerawang ke arah jendela. Setelah beberapa kriuk, ia melap tangannya bersih-bersih dengan tisu lalu kembali mengamati pekerjaannya. Jelas ia tak bisa konsentrasi. Sebagai  oran g yang resik, kukira mengudap sesuatu yang berminyak sambil bekerja adalah hal terlarang bagi Tante As.

Ketika aku sedang mengetik di Document6, ekor mataku menangkap gerakan Tante As. Aku cepat-cepat berdiri. Aku hampir saja lupa dengan keresek putih di samping komputer.

“Tante!” Aku berhasil memegang lengannya. Tante As menoleh dengan tampang terganggu. Aku mengeluarkan sesuatu dari dalam keresek putih itu. Aku menyodorkannya pada Tante As seraya tersenyum lebar. Aku mengiringi masuknya Tante As ke kamar mandi dengan cengiran yang tidak bisa aku hentikan. Aku duduk di undakan ubin dengan perasaan tak menentu.

Tante As keluar dengan lesu. Aku mendekatinya. Mataku tertuju pada benda di tangannya. Aku menahan deru nafas saat perlahan sebatang garis merah muncul pada benda di tangan Tante As. Aku memekik.

            “Nanti, Bibe. Tunggu sampai garisnya dua.”

“Oh—“ Aku menutup mulut dengan kedua belah tanganku. Air muka Tante As juga terlihat tidak pasti.

            Mamaku sendiri tidak pernah kenalan langsung dengan test pack. Ia pernah bilang kalau dulu ia hamil kebo.

            “Bukannya hamil Bibe?” Kontan aku merasa tersinggung.

            “Maksudnya, Mama enggak ngerasain kalau lagi hamil, tahu-tahu aja perut Mama udah gede. Terus Mama disuruh periksa ke dokter sama neneknya Bibe.”

            Nenekku, ibunya Papa, mengasuhku sampai usiaku 4 tahun. Lalu ia tiada.

            Aku jadi ingat. Seorang teman Mama pernah cerita padaku kalau mamaku masih lari-lari mengejar narasumber saat ia hamil tua. Pasti bercanda, mana boleh wanita hamil lari-lari.

Garis merah kedua muncul.

Tante As masih tafakur menatap hasil test pack. Kosong malah pandangannya. Sesaat ia terperangah. Tangannya menyibak poni. Tampang gusar khasnya mengarah padaku. “Kenapa aku bisa lupa, ya?”

“Apa, Tante, apa?” Aku masih bersorak-sorai.

“Minum pil. Makin pikun aja nih otak!” Ia menghindar dariku. Masuk ke kamarnya lagi. Aku mengikutinya. Suatu perasaan buruk mendadak menyesap. Tante As kan tidak pernah ingin punya anak.

“Tante nikah bukan karena pingin punya anak, Bibe,” pernah suatu kali Tante memperingatkanku. Lagipula Om Pir sudah punya dua anak dari pernikahan yang sebelumnya.

“Terus buat apa, Tante?”

“Nikah kan enggak mesti punya anak,” jawab Tante As. Ia merasa tidak akan punya cukup waktu untuk mengganti popok, menyusui, apalagi mengantar anaknya ke sana ke mari. Baginya, memiliki aku sebagai satu-satunya keponakan saja sudah cukup.

“Tante enggak pingin ngasih aku adik?” desakku lagi.

“Minta aja sama mama kamu.”

Sejak itu aku tidak pernah mendesaknya lagi untuk punya anak.

Ia berusaha memusatkan perhatiannya lagi pada pekerjaan. Kuduga ia sudah mengira sebelumnya kalau ia hamil. Barulah kepastian dengan test pack meledakkannya seperti tadi. Sepanjang sore ia sudah tiga kali menyeduh mi gelas.

Menjelang maghrib, Tante As memasukkan beberapa barang ke dalam tas merahnya. Beberapa ruas rambutnya terlihat kemerahan disorot garis-garis matahari yang menembus celah-celah tirai. Ia berputar sejenak seperti kebingungan. Ia mencampakkan tasnya lagi dan meraup handuk dari gantungan. Aku duduk di kursi dan merengut.

“Tante mau pergi?” Ia tidak menjawab. Ia tengah memilah pakaian di lemarinya. “Ke mana?”

Di lengannya sudah tersampir sepotong blus dan celana panjang.  Aku membayangkannya berkata, “ke dokter,” lalu aku merengek-rengek, “Tante… Jangan bilang Tante mau…” Aku berat untuk mengucapkannya. Aborsi. Padahal Allah sudah menjawab doaku. Tante As akhirnya lupa minum pil.

Tante As menatapku dengan dahi berkerut. “Tante cuman mau ke tempat Tante Naning aja kok. Sekalian Bibe Tante antar pulang,” tegasnya. Ia tidak ingin aku temani.

Aku memegang perutku. Mataku mengikutinya wira-wiri lagi. “Tapi Tante enggak bakal ngapa-ngapain adikku kan?”

Bagaimana kalau ia masih tetap tidak menginginkannya?

***

Kehidupan mulai berdenyut. Kepala, dada, serta perutnya mulai terbentuk. Lekukan-lekukan muncul. Jemari tangan dan jemari kaki akan tumbuh di situ. Sebentuk makhluk yang indah, adikku. Ia membuat mamanya sesekali memijat kepala atau menarik nafas dalam-dalam, susah payah menahan gejolak dari dalam tubuh agar puasa hari itu bisa tunai.

Meski perut Tante As belum terlihat membuncit, namun aku suka memandangnya lama-lama dari dekat. Aku bayangkan sesuatu di balik kain itu membesar, semakin besar, hingga Tante As tidak bisa menolakku untuk meraba. Begitu aku meletakkan tanganku di sana, ia akan lekas menyapa.

Ia seperti magnet bagiku. Ia menambahkan satu alasanku pada Papa mengapa aku ke tempat Tante As.

“Memangnya sudah segede apa sih?” tanya Papa penasaran.

Aku tidak akan bilang kalau perut Tante As masih terlihat rata.

“Belakangan ini aku sering merasa mual dan vertigo. Beberapa kali aku tanya dokterku, ternyata aku baik-baik saja. Ternyata itu hanya karena istriku mengandung anakku,” kata Om Pir lembut suatu ketika. Ia sebetulnya belum fasih berbahasa Indonesia, jadi aku terjemahkan langsung ucapannya supaya lebih mudah. Sambungnya ketika Tante As mengeluhkan mual yang mendera tiappagi, “Kamu sudah konsultasi ke dokter, Sayang? Mungkin kamu bisa minta obat antimual yang aman?”

“Jangan!” kataku. “Aku tahu cara-cara buat mengatasi mual.”

            Suatu kali, aku teruskan membereskan ruang buku sekalian mencari buku-buku tentang kehamilan. Sebagai seorang kutu buku sepanjang umurnya, seharusnya Mama punya buku-buku macam demikian. Aku ingin bisa memberikan banyak masukan pada Tante As yang sepertinya belum jua mengindahkan kehamilannya itu. Seharusnya ia mulai membeli buku-buku kehamilan dengan banyak gambar. Seharusnya ia berhenti lama di bagian perlengkapan bayi saat belanja di swalayan. Selain foto-foto Papa saat sedang meliput di berbagai lokasi, tak dinyana aku menemukan buku harian yang merangkum kehidupan Mama di paruh pertama dekade 90-an. Sebetulnya aku malas membacanya kendati ini bisa jadi sumber berharga untuk memulai memoarku. Tak dinyana lagi, aku membaca sebuah kalimat, “Malam-malam menyusahkan itu akhirnya menghasilkan sesuatu.”

            Mataku memicing. Iyuh. Aku merinding. Aku tidak mau berinterpretasi apapun terhadap kalimat itu.

Bagaimanapun juga, aku ingin menjaga adikku sejak hari pertama aku tahu ia ada. Ia tidak boleh bergantung pada obat kecuali mendesak—seperti mamaku yang tidak pernah mengindahkan batuk serta pilek dan hanya minum obat kalau diare.

Bagaimanapun pendapat mamanya. “Nanti tambah gemuk,” sergah Tante As ketika aku bilang kalau ia harus banyak mengonsumsi makanan yang berkarbohidrat tinggi.

Aku membawakannya beberapa toples berisi kue kering—buatanku sendiri dengan bimbingan Uwak Tata. Mual terjadi karena kadar gula rendah. Ketika bangun tidur, sebelum mengangkat kepala ia sebaiknya makan roti atau biskuit. Begitupun saat menjelang tidur. Tapi sebetulnya tidak hanya di kedua waktu tersebut saja.

“Makannya sedikit-sedikit aja Tante, tapi sering. “Aku meletakkan dua toples di atas bufet samping tempat tidurnya, sisanya aku taruh di ruang tengah dan meja pantri. “Yang penting lambung Tante enggak kosong.”

Aku juga melarang Tante As mengudap keju utuh-utuh sebagai camilan. “Pokoknya kurangin makanan berlemak Tante. Susu murni juga jangan.”

Selain itu, aku sudah mengecek kalau ia pakai pasta gigi berasa mint agar mualnya berkurang. “Tante, kalau kumur pakai air hangat aja, jangan pakai air dingin,” tambahku. “Ngisep permen jahe juga bisa ngurangin mual lo, Tan. Mau aku beliin?” Favoritku yang angka 69.

Tante As tidak suka permen jahe. “Enggak enak,” katanya.

Konon wanita hamil sensitif dengan ruang sesak, panas, serta bau-bauan menyengat. Jadi aku berusaha selalu dalam keadaan segar, bersih, dan wangi ketika berada dekat Tante As.

Sebetulnya aku tidak bisa memastikan bagaimana Tante As terhadap makhluk mungil di dalam perutnya. Mengingat tabiat Tante As, aku hanya tidak ingin ia mengganggap makhluk mungil di dalam perutnya menyusahkannya. Naluri keibuannya akan segera muncul, aku meyakinkan diri. Ia tidak akan mengapa-apakan janinnya.

Kendati berbagai gejala hamil melanda, sejauh ini sikapnya masih biasa—sebiasa ketika ia tidak hamil. Mungkin ia lebih suka menganggap dirinya tidak hamil. Perutmu akan segera membesar, Tante, mama calon adikku. Saat itu tiba, Tante tidak akan bisa memungkirinya lagi.

“Tante, Tante enggak akan ngapa-ngapain adikku kan?” tanyaku hat-hati pada suatu ketika.

Tante As hanya sekilas mengalihkan tatapannya dari TV ke arahku. Matanya sesuntuk biasa karena telah bekerja keras selama tujuh jam hari itu.

“Entahlah,” kata Tante.

“Tante udah ke dokter?”

“Entar aja kalau kenapa-kenapa.”

“Enggak boleh gitu. Tante harus rajin kontrol ke dokter, seenggaknya sebulan sekali!” desakku sebagaimana Om Pir sudah mengingatkan Tante As.

“Iya Bibe, nanti.”

Ia menyisir rambutnya berkali-kali. Ketidakpuasan menggenang di wajahnya. Pada akhirnya ia mencepol rambutnya seperti biasa. Aku bilang padanya ke mana mamaku dulu mengontrol kehamilan, tapi ia sudah mendapat rekomendasi dari beberapa temannya.

Malam itu aku melihat calon adikku untuk pertama kali. Panjangnya baru sekitar 1 inchi. Kata dokter yang tampak senior itu, semua organ bagian dalam sudah pada tempatnya. Pundak dan pinggulnya terlihat jelas. Akan jadi pundak dan pinggul yang cantik.

Umurnya baru delapan minggu. Aku punya adik berumur delapan minggu dalam kandungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain