Kamis, 24 November 2011

Bertemu Ibunda

Aku merasa seperti terbenam dalam sebuah simfoni Om Yan. Dalam salah satu albumnya, simfoni ini mengisi track 6 dan dijuduli nama jalan yang sedang kutapaki ini.

Simfoni tersebut selalu menimbulkan bayangan jalan menuju rumahku dan rumah-rumah lain yang juga kuanggap rumahku: Rumah Uwak Tata; Rumah Tante As… Aku tahu apa judul sejati simfoni tersebut: jalanan rumah.

Namun jalan yang ini tidak sempit seperti jalan menuju rumahku, tidak berlubang-lubang kecil dan bertaburan kerikil seperti jalan di depan rumah Uwak Tata, maupun terlampau lebar seperti jalanan di kompleks perumahan Tante As.

Jalan ini cukup memuat dua mobil ukuran sedang. Garis-garis kabel tiang listrik di kanan kiri menembus rimbun pepohonan di halaman rumah-rumah milik kalangan menengah ke atas.

Bentang langit putih keabuan. Sejuk membekap lengan. Hitam aspal menguar sisa hujan. Suasana ini dan simfoni itu yang mengalun dalam kepalaku seolah jadi penuntun untuk menemukan jalan.

Naik ojek mungkin akan lebih cepat. Tapi keuanganku sedang rawan.

Rumah yang kucari berada di pertemuan dua jalan. Sebuah bangunan putih besar dengan jarak dari dasar ke langit-langit yang sepertinya cukup tinggi. Dua lantai. Separuh bagian bawah rumah dilapisi ubin kelabu bertekstur yang melatari koloni rumput teki terpangkas rapi. Halamannya yang berbentuk huruf L ditumbuhi rumpun-rumpun bunga dengan berbagai rupa dan warna. Dari celah-celah pagar besi yang senada dengan dinding rumah, aku melihat seorang wanita dibingkai kuntum-kuntum ungu muda.

Tunik pastel bermotif payet sederhana tampak serasi dengan penutup rambut yang mencirikan kemuslimahannya. Mungkin ia sudah pantas dipanggil “nenek”. Namun ia begitu seindah bunga-bunga di halamannya. Aku seperti melihat lukisan. Juga sekilas wajah Om Yan di wajahnya.

Senyumnya memecah keterpukauanku. Ia menurunkan lagi pandangannya, seakan aku kembali tidak ada di balik pagarnya yang lebih tinggi dari tubuh kami, lalu melangkah ke pesona jenis bunga lain.

“Cananga odorata,” ucapku. Entah mengapa dadaku mulai berdebar. Ia jadi melihatku terus, mati aku. Keanggunannya serasa menerkam. “Bagus buat pewangi sabun…” Dan aku tidak tahu apa-apa lagi tentang bunga kenanga.

Ia memiringkan kepala. Tersenyum lagi seraya pandangannya pindah pada rumpun bunga yang ia siram—aku tidak lihat ia bawa wadah air sebelumnya. “Mencari Yan?” Lanjutan ucapannya menimpa jawabanku yang malu-malu. “Masuk saja…”

Aku tegakkan kepala, mencari jalan masuk. Ada sebuah pintu dorong beberapa meter di samping kiriku. Aku memasukinya. Wanita itu sudah berdiri di teras. Tubuhnya lebih tinggi dariku—tidak heran Om Yan begitu menjulang. Kurengkuh tangan tuanya yang dingin, lembut, dan wangi ke keningku. Aku nyaris tersedak ludah sendiri saat memperkenalkan diri.

Tubuh semampainya melenggang ke dalam rumah. “Masuklah,” katanya. Sosoknya menghilang setelah melewati batas ruangan berlangit-langit melengkung. Barulah aku sadar kalau Om Yan sedang mengamatiku dari meja makan.

Senyum ramahnya merekahkan rasa nyaman. “Ayo, duduk sini, Bibe…” Ia berdiri dan menarikkanku sebuah kursi. Dengan rikuh aku duduk di sana. Ia kembali duduk di tempat semula.

Biasanya aku melihatnya tampil elegan dalam setelan kasual. Auranya mampu mengoyak hawa rumah sakit yang suram dan sumpek. Sekarang aku melihatnya seperti cowok seumuranku dengan kaos MU dan celana pendek yang menampilkan lebat bulu-bulu di betisnya yang jenjang. Ikal rambut kecokelatannya mencuat ke mana-mana. Kukira ia belum bercukur.

“Nyasar enggak tadi?” tanyanya lembut.

Sebetulnya aku bisa saja menempuh rute yang lebih dekat. Tapi aku anggap saja tadi itu jalan-jalan dan bukannya kesasar.

Aku menggeleng dan tanpa sadar menunduk. Mungkin karena ia memerhatikanku terus.

            Ketika memainkan ponsel Mama, aku iseng membuka buku telepon dan mencari kontak Om Yan di sana.

Meski sudah beberapa kali menghabiskan waktu bersama Om Yan, aku belum pernah bertukar kontak dengannya. Janji pertemuan selanjutnya ditetapkan pada pertemuan sebelumnya.

Namun pada pertemuan terakhir kami, janji itu tidak tertoreh. Entah berapa lama waktu yang berlalu hingga aku rindu untuk ditraktir om menawan itu lagi.

Rapat para sukarelawan BMC tidak lagi dilangsungkan bersamaan dengan rapat para penggagas acara, jadi kami makin jarang bersua.

Setelahnya aku tahu kalau ia tetap punya kesibukan, meski konon sedang cuit panjang. Misalnya, baru-baru ini ia diundang tampil di Jogja. Berita tentangnya juga mulai masuk beberapa media nasional.

Dari kontak Om Yan di buku telepon Mama, aku menemukan akun Om Yan di salah satu media sosial. Akhirnya kami bisa mengobrol on line. Setelah panjang obrolan kami, Om Yan mengajakku main ke rumahnya. Ia bilang ibunya akan senang sekali kalau aku mau. Aku tipe orang yang susah menolak kalau diajak. Jadi aku iyakan saja. Aku berinisiatif mencari rumahnya sendiri. Ia tidak perlu menjemputku, cukup memberi alamat yang bukan “Alamat Palsu” saja. Karena kekukuhanku, ia pun memberikannya dengan tambahan kalau aku tersasar aku harus meneleponnya. Tambahan lagi, ia suka Ayu Ting Ting karena berwajah ramah. Aduh si om.

            Wanita itu datang dengan aroma mint menyambangi udara. Refleks aku menarik nafas dalam-dalam. Aku membantu wanita itu meletakkan gelas dan tatakannya untuk diriku sendiri. Aku menatap bening teh yang tak biasa ini. Seperti di kafe.

Toples-toples dibuka. “Ayo, dicicipi,” ujar wanita itu. Aku berpaling dan menanggapinya dengan senyum. “Bawa pulang saja nanti.”

“Ibu senangnya masak, tapi yang disuruh ngabisin orang lain,” terang Om Yan sembari kerlingan matanya pada sang ibu yang tak menggubris. “Nginap saja di sini, Bibe, nanti Ibu masak spesial buat kamu.”

Senyum wanita itu simpul saja. “Bawa pulang yah, nanti?” Aku melirik ke keranjang di samping deretan toples. Ada potongan bolu juga di sana dan tumpukan piring kertas.

Ketika mengobrol dengannya, sesekali aku mencermati wajahnya sembari menikmati lumeran kue kering buatannya menggelitik lidahku. Aku membayangkan akan jadi seperti apa wajah halus itu jika jejak-jejak waktu tersingkir dari sana.

Rasa kudapan-kudapan buatannya mengagumkan, menonjolkan kekuatan setiap rempah yang jadi bahan pencampurnya, sehingga obrolan kami jadi banyak mengarah ke sana. Aku jadi dapat tips gratisan deh. Mungkin Uwak Tata bisa membikinkanku kudapan serupa atau aku sendiri yang akan mencoba.

Meskipun pembawaannya sempat membikinku segan, namun perlakuannya padaku menujukkan perhatiannya. Sikapnya amat terjaga—searistokratis kesan yang diuarkan rumahnya. Om Yan sendiri tidak banyak bicara.

Ketika akhirnya wanita itu meninggalkan kami, masuk ke dalam ruangan yang kemudian tertutup pintu putih, Om Yan berucap pelan padaku, “Sekarang Ibu gampang capek.”

“Beliau sakit, Om?”

“Enggak,” Om Yan memperbaiki posisinya bersila di atas kursi. “Ibu sehat kok. Tapi ya namanya orang sudah berumur, ya, Bibe?” Ia tersenyum. Aku mengangguk. Tidak terhitung berapa kali kami melakukan adegan ini dari tadi, aku jadi geli sendiri.

Ia mengajakku pindah duduk ke sofa, tepat di seberang TV yang menyala. Tapi kami tidak menontonnya. “Sebentar ya Bibe,” katanya. Ia menuju sisi lain ruangan lalu menaiki tangga yang ada di balik sebuah piano putih.

Di bawah meja di hadapanku, aku melihat semacam scrapbook. Aku mengambilnya. Kukira scrapbook ini disusun dari potongan-potongan kain kanvas untuk melukis. Tali dari serabut kayu jadi penjalin sisi. Tiap halaman ditempeli mozaik dari ragam bahan—terutama foto—yang dihiasi goresan cat minyak. Agak amburadul, memang, namun isinya membuatku terpana.

Aku ingat pada tiga wajah yang pernah Om Yan perlihatkan padaku. Aku bertemu mereka lagi dalam scrapbook ini. Kali ini mereka ditemani oleh kedua orangtua mereka. Yang perempuan mestilah adik Om Yan. Kulitnya putih, rambutnya terang. Suaminya berambut cepak, kulitnya cenderung kuning.

Di halaman depan, ada tulisan dengan gaya kekanak-kanakkan, “buat Om Yan tersayang, lebih garang dari Bang Toyib” berikut nama tiap personil keluarga.

Halaman-halaman berikutnya diisi oleh foto, baik utuh maupun potongan, tiap personil keluarga, baik sendiri maupun barengan. Ada potongan foto Om Yan juga, hanya kepala, sebab bagian bawahnya digambari badan robot. “suppeeeΓΓΓΓ!!!!”, begitu tulisan di samping robot berkepala manusia tersebut, mengarah ke atas, semakin ke kanan semakin besar ukurannya. Aneh dan unik. Lucu sekali keluarga ini dan Om Yan sangat mengasihi mereka.

“Ha ha itu bikinan adik saya,” kata Om Yan ketika aku menunjukkan scrapbook itu padanya. Ia kembali dengan membawa komputer tabletnya. “Bibe suka bayi kan? Ini ada film bagus…”

“Aaah… Aku udah pernah nonton ini!” seruku dengan antusias begitu isi film tersebut berjalan.

“Udah pernah nonton ya?”

“Enggak apa-apa Om. Aku seneng bisa nonton ini lagi.”

Pertama dan terakhir kali aku menonton “Babies” adalah di PVJ. Aku sudah lupa kapan. Polah para bayi dalam film tersebut membuatku gemas sepanjang film. Benakku dipenuhi pengandaian kapan dan bagaimana agar aku bisa memiliki mereka semua.

Aku menoleh pada Om Yan, berbisik, “Look, those babies… I always want to have all of them.”

“Really? I wonder if I could give you one.”

Tadinya aku ingin membalas, “When will you marry, then?” tapi tidak jadi. Aku mulai merasa percakapan barusan aneh. Ketika aku bilang aku ingin punya bayi pada teman-temanku, tidak jarang mereka menyangkaku ingin segera menikah. Padahal bukan itu maksudku. Semoga Om Yan juga tidak menyangkaku macam-macam.

Aku sudah belajar tentang reproduksi di sekolah. Dengan usiaku yang sekarang, aku masih merasa jengah dengan itu. Tapi itu adalah proses yang harus dilalui sepasang manusia agar bisa menghasilkan bayi.

“Gimana kalau sore ini kita nonton di bioskop saja Bibe? Kita belum pernah kan, nonton bareng?”

“Iya, kita piknik terus deh…” Lantas aku mengangguk-angguk.

Kami mengecek koran—koran mamaku—untuk menentukan film yang menarik ditonton. “Habis itu Om antar Bibe pulang, gimana?”

Sembari menunggunya berganti pakaian, aku berjalan-jalan di sekitar tempat duduk kami tadi. Sebelumnya aku menaruh beberapa potong kue dari beberapa toples ke atas piring kertas untuk kubawa serta.

Baru kusadari kalau langit-langit rumah ini memang tinggi—sebagaimana tipikal rumah zaman lampau. Betapa lega. Perabotannya klasik. Sofa-sofa dilapisi kain sulaman. Beberapa bingkai lukisan kruistik tampak hidup dibanding latarnya yang sepucat kulit vampir. Mataku seperti dilapisi lensa yang membuat segala yang kupandang jadi sephia bernuansa kelabu.

Pindaianku berhenti pada piano di bawah pegangan tangga. Di atasnya terpajang potret-potret dengan tingkat kezadulan bervariasi. Ada potret hitam putih pria bule bersanding dengan wanita pribumi berkebaya yang sepertinya diambil di zaman pemerintah kolonial. Ada beberapa wajah indo. Ada wajah yang mirip sekali dengan wajah Om Yan dan di sampingnya kulihat ada Om Yan sendiri. Kupikir jauh lebih tampan Om Yan yang sekarang, hihihi… Ada juga beberapa foto keluarga yang diambil pada zaman sekarang tapi tidak pernah ada Om Yan di sana.

Om Yan yang telah menuruni tangga memanggil seorang pembantu. Disuruhnya membungkuskan kue-kue untukku. “Mau semuanya, Bibe?” Sebetulnya aku mau. “Eh, enggak usah repot-repot, Om…”

“Enggak apa-apa. Di sini juga belum tentu ada yang ngabisin, Bibe.”

Aku masih terpana mengamati foto-foto ketika kusadari Om Yan sedang mengeluarkan mobil. Pembantunya masih membungkuskan kue-kue. “Aduh, banyak banget…” kataku. Tapi aku bantu juga wanita paruh baya itu mengerjakan tugasnya.

“Om, aku belum pamit sama ibunya Om…” ucapku ketika Om Yan kembali untuk melihat apakah kami sudah selesai atau belum.

“Nanti saya pamitkan aja Bibe…”

Mama pasti senang sekali aku pulang ke rumah dengan membawa seplastik besar kue.

Di dalam mobil yang beraroma hutan pinus, aku duduk di samping sang pengemudi. Aku belum pernah melihatnya pakai turtleneck rajutan, jadi sesekali aku curi pandang ke arahnya. Juga pada sepasang lengannya yang mengendalikan kemudi dengan lembut namun cekatan. Dan pada arloji emasnya yang kelihatan mewah. Rambutnya sudah disisir rapi ke belakang dan tampak halus bergelombang. Matanya menangkapku. “Hayo, ngeliatin apa?”

Aduh. “Jalanan di sebelah kanan,” jawabku santai. “Tadi ada ibu-ibu pake baju, warnanya serasi banget sama warna dinding rumahnya.” Semoga ia tidak curiga. Ia tertawa.

“O ya, di dashboard ada coklat, Bibe. Ambil aja.”

Makanan lagi? Aku bahagia. Di antara barang-barang terserak dalam dashboard aku menemukan sebatang cokelat pedas produksi Amerika. Tanggal kedaluwarsanya masih tahun depan. Ia cerita kalau sebenarnya ia bawa banyak sekali cokelat ke Indonesia tapi sebagian besar sudah ludes diraup para keponakan kecilnya. Aku tersenyum membayangkan anak-anak mungil lucu itu.

“Bibe diet-dietan juga enggak nih?”

“Aku kan lagi dalam masa pertumbuhan, Om…” Cokelat itu menimpa bungkusan-bungkusan kue dalam tas plastik di atas pangkuanku. “Makasih, Om.”

“Sama-sama, Bibe.” Setiap kali membalas ucapanku, ia selalu menoleh sedikit agar wajahnya sekilas menghadap wajahku.

Sore yang indah. Seandainya Om Yan dua puluh tahun lebih muda, perasaanku mungkin akan makin tidak karuan.

Setelah menonton, aku menunggui Om Yan solat maghrib. Lalu ia membawaku ke tempat yang tidak mungkin papaku akan mengajakku makan malam di sana. Dengan rasa yang relatif sama, kami bisa mendapatkan satu menu dengan harga belasan ribu lebih murah. Belum lagi minumnya. Tapi tentu saja aku tidak akan bilang pada Om Yan, sebagaimana ini biasa disinggung dalam keluargaku, kalau yang kita tebus lebih tinggi adalah harga pelayanan, bukan harga makanannya.

Ketika Om Yan bilang bahwa ia akan mengantarkanku pulang, itu juga berarti ia memarkir mobilnya di tepi jalan, membantuku menyeberang, dan menemaniku menyusuri gang sempit menuju rumahku yang belum memancarkan cahayanya sendiri—hanya dari rumah kanan-kiri. Akhirnya ia tahu juga rumahku yang sebenarnya seperti apa.

“Oh, Papa sama Mama belum pulang, ya, Bibe?”

“Biasanya emang tengah malam, Om.”

“Bibe enggak apa-apa, kan?”

Aku menggeleng. Ini adalah kehidupanku selama belasan tahun ini. 

Pria yang hampir seusia mamaku itu terlihat berat hendak meninggalkanku. Tapi akhirnya langkahnya menjauh juga setelah aku menyalakan lampu-lampu dan meyakinkannya kalau aku akan baik-baik saja. “Sampai ketemu lagi, Bibe,” kata-kata terakhirnya. Kami telah menentukan rencana pertemuan berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain