Aku
merasa seperti terbenam dalam sebuah simfoni Om Yan. Dalam salah satu albumnya,
simfoni ini mengisi track 6 dan dijuduli nama jalan yang sedang kutapaki ini.
Simfoni
tersebut selalu menimbulkan bayangan jalan menuju rumahku dan rumah-rumah lain
yang juga kuanggap rumahku: Rumah Uwak Tata; Rumah Tante As… Aku tahu apa judul
sejati simfoni tersebut: jalanan rumah.
Namun
jalan yang ini tidak sempit seperti jalan menuju rumahku, tidak
berlubang-lubang kecil dan bertaburan kerikil seperti jalan di depan rumah Uwak
Tata, maupun terlampau lebar seperti jalanan di kompleks perumahan Tante As.
Jalan
ini cukup memuat dua mobil ukuran sedang. Garis-garis kabel tiang listrik di
kanan kiri menembus rimbun pepohonan di halaman rumah-rumah milik kalangan
menengah ke atas.
Bentang
langit putih keabuan. Sejuk membekap lengan. Hitam aspal menguar sisa hujan.
Suasana ini dan simfoni itu yang mengalun dalam kepalaku seolah jadi penuntun
untuk menemukan jalan.
Naik
ojek mungkin akan lebih cepat. Tapi keuanganku sedang rawan.
Rumah
yang kucari berada di pertemuan dua jalan. Sebuah bangunan putih besar dengan
jarak dari dasar ke langit-langit yang sepertinya cukup tinggi. Dua lantai.
Separuh bagian bawah rumah dilapisi ubin kelabu bertekstur yang melatari koloni
rumput teki terpangkas rapi. Halamannya yang berbentuk huruf L ditumbuhi
rumpun-rumpun bunga dengan berbagai rupa dan warna. Dari celah-celah pagar besi
yang senada dengan dinding rumah, aku melihat seorang wanita dibingkai
kuntum-kuntum ungu muda.
Tunik
pastel bermotif payet sederhana tampak serasi dengan penutup rambut yang
mencirikan kemuslimahannya. Mungkin ia sudah pantas dipanggil “nenek”. Namun ia
begitu seindah bunga-bunga di halamannya. Aku seperti melihat lukisan. Juga
sekilas wajah Om Yan di wajahnya.
Senyumnya
memecah keterpukauanku. Ia menurunkan lagi pandangannya, seakan aku kembali
tidak ada di balik pagarnya yang lebih tinggi dari tubuh kami, lalu melangkah
ke pesona jenis bunga lain.
“Cananga
odorata,” ucapku. Entah mengapa dadaku mulai berdebar. Ia jadi melihatku terus,
mati aku. Keanggunannya serasa menerkam. “Bagus buat pewangi sabun…” Dan aku
tidak tahu apa-apa lagi tentang bunga kenanga.
Ia
memiringkan kepala. Tersenyum lagi seraya pandangannya pindah pada rumpun bunga
yang ia siram—aku tidak lihat ia bawa wadah air sebelumnya. “Mencari Yan?”
Lanjutan ucapannya menimpa jawabanku yang malu-malu. “Masuk saja…”
Aku
tegakkan kepala, mencari jalan masuk. Ada sebuah pintu dorong beberapa meter di
samping kiriku. Aku memasukinya. Wanita itu sudah berdiri di teras. Tubuhnya
lebih tinggi dariku—tidak heran Om Yan begitu menjulang. Kurengkuh tangan
tuanya yang dingin, lembut, dan wangi ke keningku. Aku nyaris tersedak ludah
sendiri saat memperkenalkan diri.
Tubuh
semampainya melenggang ke dalam rumah. “Masuklah,” katanya. Sosoknya menghilang
setelah melewati batas ruangan berlangit-langit melengkung. Barulah aku sadar
kalau Om Yan sedang mengamatiku dari meja makan.
Senyum
ramahnya merekahkan rasa nyaman. “Ayo, duduk sini, Bibe…” Ia berdiri dan
menarikkanku sebuah kursi. Dengan rikuh aku duduk di sana. Ia kembali duduk di
tempat semula.
Biasanya
aku melihatnya tampil elegan dalam setelan kasual. Auranya mampu mengoyak hawa
rumah sakit yang suram dan sumpek. Sekarang aku melihatnya seperti cowok
seumuranku dengan kaos MU dan celana pendek yang menampilkan lebat bulu-bulu di
betisnya yang jenjang. Ikal rambut kecokelatannya mencuat ke mana-mana. Kukira
ia belum bercukur.
“Nyasar
enggak tadi?” tanyanya lembut.
Sebetulnya
aku bisa saja menempuh rute yang lebih dekat. Tapi aku anggap saja tadi itu
jalan-jalan dan bukannya kesasar.
Aku
menggeleng dan tanpa sadar menunduk. Mungkin karena ia memerhatikanku terus.
Ketika memainkan ponsel Mama, aku
iseng membuka buku telepon dan mencari kontak Om Yan di sana.
Meski
sudah beberapa kali menghabiskan waktu bersama Om Yan, aku belum pernah
bertukar kontak dengannya. Janji pertemuan selanjutnya ditetapkan pada
pertemuan sebelumnya.
Namun
pada pertemuan terakhir kami, janji itu tidak tertoreh. Entah berapa lama waktu
yang berlalu hingga aku rindu untuk ditraktir om menawan itu lagi.
Rapat
para sukarelawan BMC tidak lagi dilangsungkan bersamaan dengan rapat para
penggagas acara, jadi kami makin jarang bersua.
Setelahnya
aku tahu kalau ia tetap punya kesibukan, meski konon sedang cuit panjang.
Misalnya, baru-baru ini ia diundang tampil di Jogja. Berita tentangnya juga
mulai masuk beberapa media nasional.
Dari
kontak Om Yan di buku telepon Mama, aku menemukan akun Om Yan di salah satu
media sosial. Akhirnya kami bisa mengobrol on line. Setelah panjang obrolan
kami, Om Yan mengajakku main ke rumahnya. Ia bilang ibunya akan senang sekali
kalau aku mau. Aku tipe orang yang susah menolak kalau diajak. Jadi aku iyakan
saja. Aku berinisiatif mencari rumahnya sendiri. Ia tidak perlu menjemputku,
cukup memberi alamat yang bukan “Alamat Palsu” saja. Karena kekukuhanku, ia pun
memberikannya dengan tambahan kalau aku tersasar aku harus meneleponnya.
Tambahan lagi, ia suka Ayu Ting Ting karena berwajah ramah. Aduh si om.
Wanita itu datang dengan aroma mint
menyambangi udara. Refleks aku menarik nafas dalam-dalam. Aku membantu wanita
itu meletakkan gelas dan tatakannya untuk diriku sendiri. Aku menatap bening
teh yang tak biasa ini. Seperti di kafe.
Toples-toples
dibuka. “Ayo, dicicipi,” ujar wanita itu. Aku berpaling dan menanggapinya
dengan senyum. “Bawa pulang saja nanti.”
“Ibu
senangnya masak, tapi yang disuruh ngabisin orang lain,” terang Om Yan sembari
kerlingan matanya pada sang ibu yang tak menggubris. “Nginap saja di sini,
Bibe, nanti Ibu masak spesial buat kamu.”
Senyum
wanita itu simpul saja. “Bawa pulang yah, nanti?” Aku melirik ke keranjang di
samping deretan toples. Ada potongan bolu juga di sana dan tumpukan piring
kertas.
Ketika
mengobrol dengannya, sesekali aku mencermati wajahnya sembari menikmati lumeran
kue kering buatannya menggelitik lidahku. Aku membayangkan akan jadi seperti
apa wajah halus itu jika jejak-jejak waktu tersingkir dari sana.
Rasa
kudapan-kudapan buatannya mengagumkan, menonjolkan kekuatan setiap rempah yang
jadi bahan pencampurnya, sehingga obrolan kami jadi banyak mengarah ke sana.
Aku jadi dapat tips gratisan deh. Mungkin Uwak Tata bisa membikinkanku kudapan
serupa atau aku sendiri yang akan mencoba.
Meskipun
pembawaannya sempat membikinku segan, namun perlakuannya padaku menujukkan
perhatiannya. Sikapnya amat terjaga—searistokratis kesan yang diuarkan
rumahnya. Om Yan sendiri tidak banyak bicara.
Ketika
akhirnya wanita itu meninggalkan kami, masuk ke dalam ruangan yang kemudian
tertutup pintu putih, Om Yan berucap pelan padaku, “Sekarang Ibu gampang
capek.”
“Beliau
sakit, Om?”
“Enggak,”
Om Yan memperbaiki posisinya bersila di atas kursi. “Ibu sehat kok. Tapi ya
namanya orang sudah berumur, ya, Bibe?” Ia tersenyum. Aku mengangguk. Tidak
terhitung berapa kali kami melakukan adegan ini dari tadi, aku jadi geli
sendiri.
Ia
mengajakku pindah duduk ke sofa, tepat di seberang TV yang menyala. Tapi kami
tidak menontonnya. “Sebentar ya Bibe,” katanya. Ia menuju sisi lain ruangan
lalu menaiki tangga yang ada di balik sebuah piano putih.
Di
bawah meja di hadapanku, aku melihat semacam scrapbook. Aku mengambilnya.
Kukira scrapbook ini disusun dari potongan-potongan kain kanvas untuk melukis.
Tali dari serabut kayu jadi penjalin sisi. Tiap halaman ditempeli mozaik dari
ragam bahan—terutama foto—yang dihiasi goresan cat minyak. Agak amburadul,
memang, namun isinya membuatku terpana.
Aku
ingat pada tiga wajah yang pernah Om Yan perlihatkan padaku. Aku bertemu mereka
lagi dalam scrapbook ini. Kali ini mereka ditemani oleh kedua orangtua mereka.
Yang perempuan mestilah adik Om Yan. Kulitnya putih, rambutnya terang. Suaminya
berambut cepak, kulitnya cenderung kuning.
Di
halaman depan, ada tulisan dengan gaya kekanak-kanakkan, “buat Om Yan
tersayang, lebih garang dari Bang Toyib” berikut nama tiap personil keluarga.
Halaman-halaman
berikutnya diisi oleh foto, baik utuh maupun potongan, tiap personil keluarga,
baik sendiri maupun barengan. Ada potongan foto Om Yan juga, hanya kepala,
sebab bagian bawahnya digambari badan robot. “suppeeeΓΓΓΓ!!!!”, begitu tulisan
di samping robot berkepala manusia tersebut, mengarah ke atas, semakin ke kanan
semakin besar ukurannya. Aneh dan unik. Lucu sekali keluarga ini dan Om Yan
sangat mengasihi mereka.
“Ha
ha itu bikinan adik saya,” kata Om Yan ketika aku menunjukkan scrapbook itu
padanya. Ia kembali dengan membawa komputer tabletnya. “Bibe suka bayi kan? Ini
ada film bagus…”
“Aaah…
Aku udah pernah nonton ini!” seruku dengan antusias begitu isi film tersebut
berjalan.
“Udah
pernah nonton ya?”
“Enggak
apa-apa Om. Aku seneng bisa nonton ini lagi.”
Pertama
dan terakhir kali aku menonton “Babies” adalah di PVJ. Aku sudah lupa kapan.
Polah para bayi dalam film tersebut membuatku gemas sepanjang film. Benakku
dipenuhi pengandaian kapan dan bagaimana agar aku bisa memiliki mereka semua.
Aku
menoleh pada Om Yan, berbisik, “Look, those babies… I always want to have all
of them.”
“Really?
I wonder if I could give you one.”
Tadinya
aku ingin membalas, “When will you marry, then?” tapi tidak jadi. Aku mulai
merasa percakapan barusan aneh. Ketika aku bilang aku ingin punya bayi pada
teman-temanku, tidak jarang mereka menyangkaku ingin segera menikah. Padahal
bukan itu maksudku. Semoga Om Yan juga tidak menyangkaku macam-macam.
Aku
sudah belajar tentang reproduksi di sekolah. Dengan usiaku yang sekarang, aku
masih merasa jengah dengan itu. Tapi itu adalah proses yang harus dilalui
sepasang manusia agar bisa menghasilkan bayi.
“Gimana
kalau sore ini kita nonton di bioskop saja Bibe? Kita belum pernah kan, nonton
bareng?”
“Iya,
kita piknik terus deh…” Lantas aku mengangguk-angguk.
Kami
mengecek koran—koran mamaku—untuk menentukan film yang menarik ditonton. “Habis
itu Om antar Bibe pulang, gimana?”
Sembari
menunggunya berganti pakaian, aku berjalan-jalan di sekitar tempat duduk kami
tadi. Sebelumnya aku menaruh beberapa potong kue dari beberapa toples ke atas
piring kertas untuk kubawa serta.
Baru
kusadari kalau langit-langit rumah ini memang tinggi—sebagaimana tipikal rumah
zaman lampau. Betapa lega. Perabotannya klasik. Sofa-sofa dilapisi kain
sulaman. Beberapa bingkai lukisan kruistik tampak hidup dibanding latarnya yang
sepucat kulit vampir. Mataku seperti dilapisi lensa yang membuat segala yang kupandang
jadi sephia bernuansa kelabu.
Pindaianku
berhenti pada piano di bawah pegangan tangga. Di atasnya terpajang
potret-potret dengan tingkat kezadulan bervariasi. Ada potret hitam putih pria
bule bersanding dengan wanita pribumi berkebaya yang sepertinya diambil di
zaman pemerintah kolonial. Ada beberapa wajah indo. Ada wajah yang mirip sekali
dengan wajah Om Yan dan di sampingnya kulihat ada Om Yan sendiri. Kupikir jauh
lebih tampan Om Yan yang sekarang, hihihi… Ada juga beberapa foto keluarga yang
diambil pada zaman sekarang tapi tidak pernah ada Om Yan di sana.
Om
Yan yang telah menuruni tangga memanggil seorang pembantu. Disuruhnya
membungkuskan kue-kue untukku. “Mau semuanya, Bibe?” Sebetulnya aku mau. “Eh,
enggak usah repot-repot, Om…”
“Enggak
apa-apa. Di sini juga belum tentu ada yang ngabisin, Bibe.”
Aku
masih terpana mengamati foto-foto ketika kusadari Om Yan sedang mengeluarkan
mobil. Pembantunya masih membungkuskan kue-kue. “Aduh, banyak banget…” kataku.
Tapi aku bantu juga wanita paruh baya itu mengerjakan tugasnya.
“Om,
aku belum pamit sama ibunya Om…” ucapku ketika Om Yan kembali untuk melihat
apakah kami sudah selesai atau belum.
“Nanti
saya pamitkan aja Bibe…”
Mama
pasti senang sekali aku pulang ke rumah dengan membawa seplastik besar kue.
Di
dalam mobil yang beraroma hutan pinus, aku duduk di samping sang pengemudi. Aku
belum pernah melihatnya pakai turtleneck rajutan, jadi sesekali aku curi
pandang ke arahnya. Juga pada sepasang lengannya yang mengendalikan kemudi
dengan lembut namun cekatan. Dan pada arloji emasnya yang kelihatan mewah.
Rambutnya sudah disisir rapi ke belakang dan tampak halus bergelombang. Matanya
menangkapku. “Hayo, ngeliatin apa?”
Aduh.
“Jalanan di sebelah kanan,” jawabku santai. “Tadi ada ibu-ibu pake baju,
warnanya serasi banget sama warna dinding rumahnya.” Semoga ia tidak curiga. Ia
tertawa.
“O
ya, di dashboard ada coklat, Bibe. Ambil aja.”
Makanan
lagi? Aku bahagia. Di antara barang-barang terserak dalam dashboard aku
menemukan sebatang cokelat pedas produksi Amerika. Tanggal kedaluwarsanya masih
tahun depan. Ia cerita kalau sebenarnya ia bawa banyak sekali cokelat ke
Indonesia tapi sebagian besar sudah ludes diraup para keponakan kecilnya. Aku
tersenyum membayangkan anak-anak mungil lucu itu.
“Bibe
diet-dietan juga enggak nih?”
“Aku
kan lagi dalam masa pertumbuhan, Om…” Cokelat itu menimpa bungkusan-bungkusan
kue dalam tas plastik di atas pangkuanku. “Makasih, Om.”
“Sama-sama,
Bibe.” Setiap kali membalas ucapanku, ia selalu menoleh sedikit agar wajahnya
sekilas menghadap wajahku.
Sore
yang indah. Seandainya Om Yan dua puluh tahun lebih muda, perasaanku mungkin
akan makin tidak karuan.
Setelah
menonton, aku menunggui Om Yan solat maghrib. Lalu ia membawaku ke tempat yang
tidak mungkin papaku akan mengajakku makan malam di sana. Dengan rasa yang
relatif sama, kami bisa mendapatkan satu menu dengan harga belasan ribu lebih
murah. Belum lagi minumnya. Tapi tentu saja aku tidak akan bilang pada Om Yan,
sebagaimana ini biasa disinggung dalam keluargaku, kalau yang kita tebus lebih
tinggi adalah harga pelayanan, bukan harga makanannya.
Ketika
Om Yan bilang bahwa ia akan mengantarkanku pulang, itu juga berarti ia memarkir
mobilnya di tepi jalan, membantuku menyeberang, dan menemaniku menyusuri gang
sempit menuju rumahku yang belum memancarkan cahayanya sendiri—hanya dari rumah
kanan-kiri. Akhirnya ia tahu juga rumahku yang sebenarnya seperti apa.
“Oh,
Papa sama Mama belum pulang, ya, Bibe?”
“Biasanya
emang tengah malam, Om.”
“Bibe
enggak apa-apa, kan?”
Aku
menggeleng. Ini adalah kehidupanku selama belasan tahun ini.
Pria
yang hampir seusia mamaku itu terlihat berat hendak meninggalkanku. Tapi
akhirnya langkahnya menjauh juga setelah aku menyalakan lampu-lampu dan
meyakinkannya kalau aku akan baik-baik saja. “Sampai ketemu lagi, Bibe,”
kata-kata terakhirnya. Kami telah menentukan rencana pertemuan berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar