Rabu, 02 November 2011

Usus Buntu

            Sesuatu mencengkeram bagian bawah perutku. Memuntirnya. Ini sejenis sakit yang akhir-akhir ini biasa kurasa. Tidak mungkin maag sesering ini, apalagi aku sudah berusaha makan teratur. Semakin tidak wajar ketika aku sampai ingin muntah karenanya.

            Sewaktu-waktu aku bisa saja mengotori meja dan menyebarkan bau menyengat ke seantero kelas. Jadi aku minta izin ke toilet pada guru.

            Udara di luar ruang pada jam sebelum istirahat ini masih segar. Aku sedikit lega. Tapi kian mendekat ke kamar mandi tubuhku kian membungkuk. Entah berapa menit telah berselang, Fani mendapatiku berjongkok di bawah pinggir bak sambil menangis. Sepertinya aku sudah mengeluarkan seluruh isi perut sampai tinggal cairan bening saja yang menetes dari mulutku. Ketika Fani datang, aku sudah mengguyur sebagian.

            Ia menuntunku ke UKS dan mengatakan kalau wajahku pucat. Ia juga meraba dahi serta pipiku. Katanya aku demam sedang aku merasa tubuhku begitu lembap. Ketika aku rebah ke kasur, rasa itu mereda tapi lalu muncul lagi jadi aku meringkuk saja. Aku memejamkan mata. Beberapa saat kemudian, aku lihat Fani membawakanku segelas teh hangat dan guru yang tadi sedang mengajar di kelasku.

            “Masih sakit, Bibe?”

            Rasanya mau mati saja.

            Fani mengelus bagian atas kepalaku yang berkeringat. Sang guru yang tampak khawatir bilang kalau aku istirahat di sini saja sampai sakitku reda. Ia juga bertanya apa aku lupa makan atau masuk angin. Aku menggeleng. “Sakitnya udah dari kemarin-kemarin…”

            “Lagi dapet?”

            “Kayaknya bukan. Baru seminggu kemarin dapetnya…”

            Aku menggigit bibir dan memejamkan mata erat-erat ketika rasa itu datang lagi. Kubenamkan muka ke bantal. Rada bau apak. Nyaring dering bel istirahat menggelitik pendengaranku. Beberapa lama kemudian, jumlah teman di ruangan ini bertambah. Sayangnya kepedulian mereka tidak membuat lemasku pudar. Lenganku masih saja bersidekap erat di perut, seakan itu bisa mengurangi sakit.           

            Di sela-sela menjawab perhatian mereka, ponselku bergetar. Ketika aku terima panggilan itu, mereka berbicara satu sama lain. Beberapa menjauh.

            “Perutku sakit…” isakku pada Mama. Bisa kurasakan keceriaannya menyurut.

            “Kenapa? Salah makan? Aduuh…” Pendar panik dalam nadanya. “Mama kan tadi enggak masak macem-macem…”

            “Enggak tahu…Udah dari kemarin-kemarin da…” Aku mengusap mata. Aliran air mataku sepertinya hendak menderas lagi.

            “Aduh, Mama jemput ke sekolah sekarang atuh ya…”

            Usai telepon dari mamaku, aku bilang pada guruku yang menengok lagi kalau aku akan segera dijemput. Teman-temanku mendesah lega, berharap aku cepat baikan, lalu tinggal Fani dan Erin yang masih setia menungguiku. Tapi aku ingin tidur saja sembari menunggu kedatangan mamaku.

            Terasa lama. Bel masuk sudah lalu. Aku sudah hampir lelap meski masih cukup sadar untuk mengetahui seseorang telah membawakan ranselku ke sini. Rasa itu menyentakku hingga aku kembali terjaga. Teman-temanku sudah ada. Aku menatap langit-langit UKS berdebu ini dengan lara. Mamaku terlihat di ambang pintu dalam gesa. Ujung jilbab serta tas cangklongnya yang besar melambai. Tapi adalah hal biasa melihat wajahnya berkeringat.

            Ia mengusap-usap wajahku dan jadi terpana ketika menyadari suhu tubuhku naik. “Periksa dokter ya?” Aku hanya mengerang pelan. Kami sama-sama melirik ketika seseorang muncul lagi di ambang pintu.

            Aku belum pernah melihat pria itu sebelumnya. Rambut ikalnya agak kecokelatan. Sepertinya ia sangat jangkung. Pakaiannya necis. Mungkin ia beberapa tahun lebih muda dari Mama.

            Ia memandangiku lalu mamaku. “Mau langsung ke rumah sakit aja?” tanyanya pada Mama.

            ”Iya… Biar jelas sakitnya kenapa…” kata Mama cemas. Tubuhku meringkuk lagi diiringi suara menahan sakit dari mulutku. Mama mengusap-usap pahaku. “Sakit banget, Bibe?”

            “Iya, Mama..” Aku mulai menangis lagi. Wajah Mama makin muram.

            “Gimana… Mau pergi sekarang?”

            Aku mengangguk.Ketika rasa itu agak mereda, aku berusaha bangkit. Aku mengusap muka dengan lengan. Kehadiran pria yang entah siapanya mamaku itu membuatku malu dengan keadaan muka yang bersimbah air mata. Ketika aku menjejakkan kaki ke lantai, rasa itu muncul lagi. Aku berjongkok sambil memegangi perut. Mama memegang pundakku. “Kuat jalan enggak?”

Aku berdiri lagi dan jalan tertatih-tatih. Lalu membungkuk lagi.

            “Masih sakit ya?” Mama ikut membungkuk agar bisa melihat wajahku. Aku mengangguk.

            “Apa saya gendong aja?” tanya pria itu. Aku baru menyadari suaranya begitu lembut.

            “Bibe digendong Om Yan aja ya?”

            Aku tidak tahu. Gagasan digendong seorang pria tak dikenal agak bikin aku keder. Tapi kalau aku jalan sendiri, aku tidak tahu akan makan waktu berapa lama hingga kami mencapai gerbang. Akhirnya aku mengangguk dengan ragu.

            Pria itu merengkuh tubuhku. Terhempas harum tubuhnya. “Maaf ya Bibe, hup…” Sebelum kedua tanganku menutup muka, aku masih bisa lihat Mama memerhatikanku.

            “Lo, Bibe, ngapain tutup muka?” tanya Mama. Pria itu tertawa pelan. Pegangannya agak goyah namun segera mengokoh lagi.  Aku mengintip wajah putih pria itu dari sela-sela jariku. Entah mengapa rasanya aku malu saja. Mama menggendong ranselku. “Mama mau izin dulu ya…”

            “Oke. Kami langsung ke mobil aja ya,” kata om itu.

            “Jangan dijatuhin!” kata Mama.

            Om itu tertawa lagi dengan lebih renyah.

            Ketika rasa itu menyerang lagi, kali ini sangat hebat, tubuhku refleks menggeliat. Kalau ke kiri, bisa-bisa pegangan si om goyah dan aku jatuh. Mau tak mau aku berguling ke kanan. Lengan om itu mendekapku makin kuat. Semerbak tubuhnya agak bikin aku lupa sesaat akan derita di bagian bawah perutku. “Sakit banget ya?” tanyanya.

            “Iya,” kataku lemas. Ketika aku menoleh sedikit, aku lihat bajunya basah kena mukaku. Semoga ia tidak menyadarinya.

***

            Kata dokter, “Untung cepat ketahuan… Kalau terlambat, bisa pecah. Operasi besar.”

            Tidak ada gunanya aku belajar Biologi selama ini. Muara sakitku di perut kanan bawah. Selama ini aku sama sekali tidak ingat kalau itu tempatnya usus buntu, tolong.

            Aku diantar dengan mobil Om Yan sampai ke rumah sakit ini. Ia duduk sendiri di depan, menyetir, sementara kepalaku lunglai di pangkuan mamaku di jok belakang. Pertukaran kata di antara mereka cukup kontinyu namun aku menangkap nuansa kecanggungan. Mungkin karena mereka sudah lama tidak bertemu. Mama memperkenalkan Om Yan sebagai teman gilanya saat SMA.

            Jadi Mama sudah gila sejak SMA, aku paham. Tapi Om Yan tidak mau mengakui dirinya juga gila. Mereka suka mengadakan “konser” di halaman rumah Tante Zahra. Lalu Om Yan yang minta maaf sama tetangga akibat keributan mereka. Aku tidak mengerti apa hubungannya Tante Zahra dengan ulah mereka berdua. Setahuku Tante Zahra kalem dan tidak mungkin ikut sinting di tepi jalan. Tante Zahra itu satu dari sepupu Mama.             Lepas SMA, Om Yan melanjutkan pendidikan di Amerika Serikat dan jarang kembali ke Indonesia. “Bet naha logatna Sunda keneh? Pikaaneheun,” komentar Mama.

            Aku baru dengar ada kata dalam Bahasa Sunda: pikaaneheun.

            “Iya kan, saya tidak lupa juga sama akar budaya, Mama Bibe…” jawab Om Yan halus.

            Ketika aku masuk UGD, di-USG, dan  divonis harus operasi usus buntu, pria itu masih menemani kami. Sepertinya ia juga bantu mengurus administrasi. Sebelum pergi, aku sempat dengar Mama bicara padanya dengan nada tidak terima, “A—apa ini?”

            “Udah, beres. Tinggal tidur di sana,” kata si om.

            “Ah, enggak. Enggak beres. Rekeningmu berapa?”

            “Eh, enggak usah… Sudah ya, saya harus jemput ibu saya nih.”

            Mamaku mendecak dan kembali padaku dengan raut malu.

Aku harus menunggu beberapa jam, dihitung sejak waktu terakhir aku makan, sebelum bisa dioperasi. Selama itu aku tidak boleh makan dan minum.

            “Mama enggak cari berita?” tanyaku ketika menyadari Mama anteng saja menungguiku.

            “Oh iya ya.” Lagak Mama seakan ia telah melupakan sesuatu yang penting, tapi ia bergeming saja di kursi. Lanjut membaca buku.

            “Aku sendiri bisa kok,” desakku. “Nanti dimarahin Pak Usep lagi lo.” Pak Usep itu, katakanlah, atasan Mama. Beberapa kali aku pernah dengar Mama cerita sama Papa kalau ia habis dipetuahi macam-macam oleh yang bersangkutan, lagi. Tapi Mama tampak cuek saja saat menceritakannya.

            “Biasa kok.”

            Gara-gara teringat Papa… “Ma, tadi kok bisa sama si om itu sih? Hayo, ngapain?”

            “Emang tadi lagi ketemuan. Sebetulnya kan Om Yan mau ketemunya sama Tante Zahra, tapi terus tantenya minta ditemenin Mama.”

            “Emang Om Yan sama Tante Zahra kenapa, Ma?”

            “Ya kan dulu temen satu sekolah—satu kelas malah. Deket banget. Mama kenal sama Om Yan juga kan pas lagi main ke rumah Tante Zahra.”

            “Oh, terus Tante Zahranya ke mana, Ma?”

            “Belum sempet ketemuan… Tadi tuh di tempat janjiannya Mama baru ketemu sama Om Yan aja. Ya udah Mama telponin Bibe dulu kan, enggak tahunya Bibe kenapa-napa. Mama cerita sama Om Yan. Ya udah sekalian aja bareng ke sininya, barangkali entar Bibe butuh tumpangan… Untung bareng, ternyata Bibe emang butuh diantar pakai mobil kan? Enggak jadi ketemu sama Tante Zahra deh.”Tatapan Mama lekat padaku sejenak. “Tuh kan Mama jadi lupa tadi udah ninggalin motor di sekolah Bibe.”

            “Tuh kan!”

            Jadi Mama benar-benar pergi untuk mengambil motornya. Mama meninggalkanku bacaan supaya aku tidak bosan, tapi itu hanya berupa harian tempatnya biasa menyuplai tulisan. Aku fokuskan sasaranku pada berita-berita kriminal yang kian marak belakangan.

            Ketika waktunya operasi tiba, aku dibawa menuju ruang bedah. Aku harus mengganti seragam putih-abuku dengan pakaian bedah. Obat bius total disuntik lewat infus. Kepalaku terasa berat hingga aku terlelap.

            Entah berapa jam aku dioperasi. Ketika sadar, aku masih agak sulit bernafas. Tapi setelah beberapa kali disuruh tarik nafas oleh dokter, pernafasanku kembali lancar. Aku pun 100% sadar.

            Aku dibawa ke ruang rawat inap berkapasitas dua orang. Nuansa krem pastel memenuhi ruangan sejuk tersebut. Ada sebuah TV 14 inch di antara dua bilik. Tidak ada seorang pun di bilik sebelah. Tirai lipit putihnya terbuka lebar, begitupun tirai jendela di seberang, sehingga aku bisa melihat langit menghitam.

            Aku sudah berbaring nyaman di tempat tidur ketika Mama memasuki ruangan bersama Tante As. Wajah tanteku itu terlihat masam. “Aku bilang juga apa, lantai dua,” masih tersisa omelannya.

Mama menafikan. Ia duduk di tepi tempat tidurku. Menepuk-nepuk kakiku. “Bibe, makanya besok kalau makan pilih-pilih dulu ya. Jangan yang terlalu asin atau pedas. Jangan kebanyakan makan snack yang pakai pecin. Kalau makan buah jangan sama bijinya.”

Aku mengerling pada Tante As yang masih menatap Mama dengan tajam. Tapi lalu ia memalingkan kepala seraya mendesah. Lengan bersidekap rapat di depan dadanya. Ia memakai blus senada warna dinding kamar ini sedang tas tangannya tampak kompak dengan celana selututnya. Rambut ikalnya disumpit, seperti biasa.

Opnameku menjadikan malam itu sebagai malam kumpul keluarga. Dua dari kakak-beradik sepupu Mama, Pakde Di dan Tante Zahra, datang bersama keluarga masing-masing.  Mereka membawakanku makanan manis dan buah namun masih cairan infus yang hanya diperbolehkan memasuki tubuhku.

Pakde Di adalah kakak Tante Zahra yang nomor dua. Dulu aku mengiranya bernama Dedi, menuliskannya sebagai “Pak Dedi” di pohon keluarga, padahal nama lengkapnya Ardian Yogaswara. Ia sebaya Mama, menikahi sahabat Mama, dan menghadirkan tiga bocah badung luar biasa ke dunia. Alif, Faldi, dan Rifky menaiki tempat tidurku dan saling memukuli satu sama lain di sana. Aku khawatir kalau mereka sampai menimpa bekas jahitanku yang masih terasa linu.

Kontras dengan dua anak perempuan Tante Zahra yang duduk saja di sofa seakan tak tahu harus berbuat apa. Aku lihat Tante Zahra mengobrol dengan Mama, mungkin membicarakan pertemuan dengan Om Yan yang tadi tidak jadi. Uwak Tata sibuk menertibkan anak-anaknya, Pakde Di membaca koran, suami Tante Zahra smsan, sedang Tante As malah hilang.

Malam itu Mama tidur di sofa samping tempat tidurku. Dering ponsel di samping kepala membangunkannya. Dengan suara parau dan malas ia menjawab panggilan. Kepalanya menoleh padaku yang masih tegak bermain game di ponsel dalam kegelapan. “Masih…” katanya. Tersuruk langkahnya saat melangkah ke tempat tidurku.

“Bibe… Kok belum tidur?” tegur Papa saat aku menyapanya.

“Belum ngantuk, Pa.”

Lalu aku menceritakan kronologi kasus opname usus buntuku ini sesuai pintanya. “Papa lagi ngapain?” tutupku.

“Lagi ngopi-ngopi nih…” Derai tawa yang jadi latar jadi menjelaskan segalanya. “Di Aceh banyak warung kopi lo, Be.”

“Seneng Papa.”

Papa tertawa. “Mau ikut ke Lhokseumawe enggak, Be?”

“Enggak ah.”

“Kenapaa?”

“Masih sakitlah perutnya… Jangan kebanyakan ngopi ah Pa.”

“Hahahaha, iya Nona.”

“Entar habis dari sana terusan ke selatan Pa, jangan langsung balik ke Jawa.”

“Ke selatan itu ke mana?”

“Untuk menemukan kembali akar budaya Papa yang hilang lah Pa. Buktikan kalau nenek moyang Papa memang enggak makan orang.”

“Ah kamu.”

Setelah bicara sekian hal tak penting lainnya dalam momen yang sebetulnya penting ini, percakapan disudahi. Aku serahkan lagi ponsel ke Mama.

“Dari dulu tiap kali ngehubungin Mama pasti yang ditanyain Bibe aja,” kata Mama seraya memasukkan ponsel ke kantung jaketnya. Sepertinya kantuknya sudah loncat ke aku. Mari menguap lebar-lebar.

“Cemburu yaa…” Telunjukku menuding pada Mama. Ia tidak terusik.

“Bibe kan mirip Mama. Papa malu soalnya kalau nanyain Mama langsung, jadi diwakilin sama Bibe aja,” jawab Mama penuh percaya diri.

“Bibe enggak mirip kok sama Mama,” sangkalku. “Aku enggak suka ‘The Catcher in the Rye’. Mama enggak suka ‘Little Women’. Ya kan? Ya kan?”

“Ah Mama mah segala novel doyan kok.”

“Kalau di ‘Little Women’, aku ini Margaret March, Mama itu Josephine March.”

“Ah Mama enggak ngerti.”

“Iya da Mama mah tahunya cuman Holden Caufield.”

“Iya Mama kan sukanya yang apa adanya, enggak terlalu normatif.”

“Tapi itu kan kasar. ‘Little Women’ juga enggak memotivasi buat bunuh orang.”

“Mama tahu, Bibe suka dengerin lagu-lagu Mama juga kan…?” Ganti Mama menudingku dengan telunjuk.

Aku menepis angin dengan sebelah tangan. “Rock mah udah ketinggalan zaman. Sekarang saatnya anak muda melestarikan keroncong, Ma.”

“Hah, musiknya mbah-mbah itu!”

“Sekarang kan zamannya back to retro, Ma. Makin retro makin gaul.”

“O jadi sekarang Bibe sukanya keroncong?”

“Iya. Aku mau download lagu-lagu keroncong yang baru makanya, pinjem laptopnya ya Ma?”

“Tidur ya, Nak.”

Yah.

***

            Panjang ususku yang dipotong 5 cm tapi saat bengkak jadi 12 cm. Dokter menawarkan apakah aku mau membawanya pulang sebagai kenang-kenangan. Begitu dibawakan, aku jijik melihatnya. Terlihat seperti sesuatu di dalam cairan jamban yang belum disiram. Ia mendekam dalam cairan formalin. Benda itu harus lekas disingkirkan. Mama memintanya untuk disimpan dulu. Tapi aku tidak ingin mereka yang membesukku melihatnya.

            Pagi pertama, aku mulai kelaparan. Tapi aku masih harus puasa. Aku baru boleh makan kalau sudah kentut. Mana aku ingat selama tidur semalam aku sudah kentut apa belum. Aku jadi merasa tambah hina deh. Ketika akhirnya aku kentut, aku hanya boleh minum sedikit-sedikit tiap setengah jam. Baru beberapa jam kemudian aku boleh makan.

            Aku sudah tidak ditunggui mamaku lagi. Aku bilang pada beberapa teman yang menanyakan kabarku kalau aku sudah boleh dibesuk. Merekalah yang lalu mendampingiku dalam ceria. Sebagian besar teman sekelas plus wali kelasku datang. Lalu para warga sekolah lainnya dari OSIS dan Paskibra.

Keinginan mereka untuk membesukku amat menggugahku untuk bernyanyi.

Sejenak hatiku meragu. Suara hatiku membisu. Tampak hati yang terasa, akan sesuatu tlah tiada.

Mereka tak membiarkanku jemu dalam ketakberdayaan yang membuatku harus banyak berbaring ini.

Kurindukan suasana baru. Harapan mengubah hidupku. Mengisi kehampaan diri. Tuk mengganti yang telah pergi.

 Mereka datang lewat pintu, lewat jendela. Membawa bunga, membawa buah,  juga cerita dan tawa. Mengecup pipiku dan melontar canda di sekitar tempat tidurku.

Kau datang seketika, mengejutkan jiwa. Sehingga ku terlena, sekejap ku merasa… Kau datang, demi kebahagiaanku yang kucari.

Semenjak kau dalam hidupku, kau berikan semua dirimu. Ku seolah tlah dihanyutkan di dalam arus kesepian. Kau datang seketika, mengejutkan jiwa. Sehingga ku terlena, walau tuk sementara… 

Nuansa jadi agak jomplang ketika beberapa teman mamaku yang datang. “Bibe, mau masuk berita enggak?’ goda mereka seakan aku orang penting yang mana aku beli baju saja bisa jadi berita. Mereka juga sudah lihat mendiang ususku. Tapi aku harus tetap bersikap santun sama mereka.

Seharusnya aku bisa pulang dalam tiga hari. Namun yang sudah membesukku ternyata tidak datang lagi untuk dua kali.

Tante As duduk di sampingku setelah magrib. Buku sketsa dan pensilnya jadi pihak ketiga di antara kami. Sepertinya dunia rumah sakit mengilhaminya berbagai “penglihatan”. Dan  ia tidak bisa tidur di sofa. Begitu Mama datang, ia undur diri. Paling juga, Papa menyempatkan diri untuk menemaniku dalam waktu tak tentu.

Aku meminjam laptop Mama, selain untuk menengok beberapa media sosialku, juga untuk mengunduh lagu “Bengawan Solo”—membuktikan perkataanku sungguh-sungguh. Hanya itu lagu keroncong yang aku tahu.

Aku menyanyikan lagu itu di depan Mama untuk menggodanya. Ia tampak tak terusik, sial.

Hiburan lainku adalah ponsel Mama. Setidaknya ponsel itu bisa digunakan untuk memantau linimasa di Twitter, main Angry Birds, merekam suara berdurasi lama dan gambar berkualitas lumayan, serta mendengarkan serangkaian lagu-lagu lawas pilihan—semua yang tidak bisa aku dapatkan di ponselku. Karena sudah beberapa kali aku membuat ponselku rusak atau kecopetan, ponselku kini termasuk termurah di pasaran.

Baru pada pagi keempat aku diberitahu kalau aku sudah boleh pulang setelah pemeriksaan terakhir menjelang siang nanti—untuk memastikan kalau kondisiku memang sudah oke.

Tadinya Mama mau memanggil taksi untuk membawaku pulang. Aku katakan padanya kalau Tante As ingin menjemputku. Tapi hari itu ia punya acara yang tidak bisa ditangguhkan. Baru sore ia bisa datang. Aku lebih memilih untuk dijemput Tante As daripada dengan taksi. Kalau dengan Tante As, aku bisa langsung ke rumahnya. Kalau aku harus bedrest, aku lebih memilih di sana ketimbang di rumahku sendiri. Lagipula ia bekerja di rumah, jadi ia sambil bisa merawatku.

“Ya udah kalau Bibe maunya gitu,” kata mamaku. Hari itu Minggu. Aku memutar lagu-lagu keroncong selain Bengawan Solo untuk mengakrabkan pendengaranku dengan irama musik satu ini. Aku berharap Mama terganggu. Tapi ia serius saja membaca korannya sendiri sambil tiduran di sofa.

Masih pagi ketika aku didatangi teman-temanku yang mulanya berniat jalan di car free day, tapi tak jadi. Sayang sekali mereka tidak bisa menemaniku sampai waktunya aku pulang. Begitu aku akan diperiksa, mereka pamit. Dokter mengatakan kalau aku sudah boleh pulang (aku bilang padanya aku akan dijemput sore oleh tanteku) dan masih harus bedrest seminggu.

Sebelum waktu makan siang, aku masih kedatangan pembesuk. Mama lekas berdiri begitu mereka masuk. Aku terpana melihat keduanya. Tampak begitu serasi dan sama bergaya, sekaligus ada jarak yang berusaha mereka jaga.

Aku belum pernah melihat wanita berkulit bening itu sebelumnya. Rambut panjangnya halus mengikal di bawah. Tingginya sedang, mungkin sedikit di atas 160 cm.

Pria yang menutupkan pintu—sedikit di belakangnya—adalah om flamboyan yang beberapa hari lalu membereskan urusanku dengan rumah sakit. Aku pikir aku naksir arloji peraknya.

Tangan Om Yan mengarah pada wanita itu dengan sopan. “Masih inget, Teh? Dulu seangkatan saya juga…”

“Inget, inget…” tukas Mama antusias. Wanita itu menyebutkan namanya saat menjabat tangan Mama. Kini aku bisa memanggilnya Tante Ri. Ekor mataku menangkap Om Yan menaruh keranjang buah berukuran sedang di atas sofa di belakang Mama. Indahnya rangkaian berbagai buah dalam keranjang tersebut bikin sayang untuk memakannya—bahkan menyobek plastik pembungkusnya.

Ketika pria itu tepat berada di dekat Mama, kusadari lagi betapa tingginya ia. Mungkin tingginya di atas 180 cm. Mamaku tidak sampai 160 cm sih. Semerbak tubuhnya yang khas memanjakan penciumanku lagi saat ia kembali menuju samping Tante Ri.

“Sakit apa, Sayang?” tanya Tante Ri.   Kucium punggung tangannya yang terasa dingin. “Usus buntu, Tante.”

“Masih sakit?” tanyanya lembut.

Aku menggeleng seraya tersenyum tipis. “Udah enggak, Tante.”

“Diobatin sama keroncong,” celetuk Mama.

“Oh, doyan keroncong?” Binar di mata Tante Ri malah menyiratkan ketertarikan.

“Dari kemarin ngunduhin lagu keroncong melulu.”

Aku yakin, para anak muda umumnya setuju bahwa keroncong adalah musik yang paling pas untuk dijadikan pengantar tidur. Sudah berlaku padaku, sekali ini dalam pengalamanku opname di rumah sakit.

“Sama kayak Vira dong, suka keroncong?” Ganti Om Yan menyeletuk. Dengan tampang serius mengalihkan pandangannya dari kakiku ke wajah wanita di sebelahnya.

Tante Ri terdiam sesaat, senyumnya mengembang lagi, lalu berkata padaku, “Iya, anak Tante juga doyan banget sama keroncong.”

“Padahal masih tujuh tahun… Ya?” Kedua tangan pria itu masuk ke dalam saku celana. Ia menoleh lagi pada Tante Ri. Ketika mereka bertukar senyum, entah mengapa aku jadi tersipu sendiri. Aku melirik Mama yang ternyata juga sedang menatap mereka dengan sorot ingin tahu. Aku mengalihkan pandang lagi pada sejoli itu. “Suka nyanyi di mana dia teh?” Wah logat Sunda om itu ke luar lagi.

“Namanya Kedai Keroncong.” Tante Ri menyebut alamat tempat makan tersebut. “Di plangnya ada gambar buaya.”

“Buaya?” Heran Mama sekaligus geli.

 Melihat senyumnya, wanita itu tampaknya jadi tertular. Sambungnya, “Tiap kali ke Bandung, diajak terus sama eyangnya, mau-mau aja.” Tante Ri memandangku dengan sungguh-sungguh. “Padahal jarang anak muda zaman sekarang kan, yang suka keroncong. Katanya enggak ada anak seumurannya yang suka ke sana juga.”

“Iya, yang tua juga belum tentu senang,” kata mamaku—yang memang tidak senang.

“Ya enggak apa-apa, buat hobi aja.” Sebagai makhluk paling tinggi di sini, kepalanya tampak menunduk terus.

Aku perhatikan, mereka memang selalu bertukar pandang tiap satu sama lain saling menimpali.

“Iya buat hobi aja enggak apa-apa… Kalau Bibe suka juga, ke sana aja, entar kenalan sama Vira ya?”

Padahal aku tadi belum menyebutkan namaku padanya. Mungkin Om Yan sudah kasih tahu di perjalanan mereka ke sini. “Insya Allah Tante, kalau udah baikan ininya, hehe…” Aku mengangguk sopan sambil mengusap selimut di atas bekas operasiku.

“Iya, cepet sembuh ya.” Aku suka melihat senyum wanita itu.

            Mereka tidak lama-lama membesukku. Setelah mamaku tanya pada Om Yan apakah aku berat saat digendong, Om Yan tertawa, Tante Ri memandanginya penasaran, sementara aku memberi isyarat tak suka pada mamaku, mengalir obrolan basa-basi beberapa lama. Sejoli itu saling berpandangan lagi. “Yuk?” tanya Om Yan pada wanita itu yang menyambutnya dengan anggukan.

            “Eh kok cuman sebentar?” kata mamaku.

            “Ini mau balik ke Jakarta.” Om Yan menyentuh lengan Tante Ri saat mengucapkan itu.

            “Iya, anak-anak belum pada ngerjain PR.” Tante Ri mengelus kulitnya yang tadi disentuh.

            “Oh, kirain teh rumahnya di Bandung…” kata mamaku.

            Setelah itu aku tidak begitu memerhatikan percakapan mereka karena perhatianku terpusat pada gestur pasangan tersebut. Mama mengantar mereka sampai ke pintu.

            Dalam penglihatanku, aku terkesan dengan pasangan dewasa yang kompak wangi, gaya, dan mesra seperti itu. Kedua orangtuaku juga kompak kucelnya sih.

Wartawan memang tidak mesti berpenampilan kucel, tapi begitulah orangtuaku. Aku tidak pernah bisa percaya kalau Papa dulu pernah ganteng.

Mama pernah menunjukkan foto Papa waktu masih SMA. “Tuh, ganteng kan?” katanya.

Masih imut, ya… tapi, “Ma, yang kayak gini tuh kalau jaman sekarang namanya cupu!”

Kembali ke masa kini,

            “Ma, padahal anaknya dibawa sekalian ya Ma. Kan asik kalau ternyata aku bisa nyambung ngomongin keroncong sama dia,” kataku sok.

            Mama telah kembali berdiri di tepi tempat tidurku. Tubuhnya berbalik dengan sebelah lengan berkacak pinggang. “Hah? Anaknya siapa?”

            “Anaknya Om Yan sama Tante Ri.”

            “Om Yan tuh belum nikah.”

            “Wow. Masak sih?!” Begitu ya, risiko orang ganteng. “Tahu dari mana?”

            “Ya omnya sendiri yang bilang ke Mama kok. Pas ketemu kemarin itu kan Om Yan tanya sama Mama, anak udah berapa. Kata Mama, ‘Satu aja cukup. Yan sendiri?’ Terus Om Yan jawab, ‘Belum. Istri juga belum’.”

            “Terus?”

            “Terus, ya kata Mama, ‘Aih, masih bujang!’”—lengkap dengan gestur. Mamaku tampak sangat ibu-ibu sekali saat begitu.

“Terus tantenya tadi…?”

            “Enggak tahu.” Mama menggeleng.

            “Tapi tadi bukannya Mama kayaknya kenal sama Tante Ri?” Dahiku berkernyit.

“Iya, dulu kan Om Yan sama Tante Ri sama-sama adik kelas Mama pas SMA. Nah, Om Yan sama Tante Ri itu dulu pacaran juga. Kembang sekolah lo dulu, Tante Ri itu…” Mama mengacungkan jempol.

“Ooh…” Tante Ri tadi bilang kalau ia punya anak kan, berarti semestinya ia sudah punya suami. Dan suaminya bukan Om Yan karena Om Yan belum menikah. Sementara itu, dua orang telah jadi saksi bahwa sepertinya ada sesuatu di antara pasangan tersebut. Kataku setengah berbisik dengan sorot mata penuh hasrat selidik, “Affair ya, Ma?” Kedua telapak tanganku saling mengusap.

Kalau di kalangan teman-teman sekolahku, tiap cewek dan cowok yang terlihat jalan berdekatan biasanya diteriaki, “Pasti ada apa-apanya! Pasti ada apa-apanya!” Meski sebenarnya masing-masing sedang jalan dengan koloninya dan kebetulan saja tujuan mereka searah dengan jarak berdekatan.

Mama agak kaget mendengar ucapanku. “Eh, Bibe, jangan mulai jadi wartawan gosip ya?”

“Aku enggak wartawan gosip, aku wartawan investigasi—investigasi rumah tangga orang.”

“Hah!” Mama sepertinya ingin ketawa mendengar kata-kataku.

“Dulu emang pacarannya hangat sekali, Be.” Mamaku mengacungkan jempol lagi. “Kalau ngeliatin mereka, yang enggak pacaran jadi ingin pacaran, yang udah punya pacar jadi memikirkan hubungan dengan pacarnya.”

Sepertinya mamaku jenis yang pertama—dan selalu yang pertama sejak puber hingga menikah.

“Tapi Mama cuman bisa lihat mereka pacaran setahun.”

“Hah, kenapa Ma? Udah putus lagi?”

“Kan tahun berikutnya Mama lulus, jadi enggak bisa lihat mereka saling menghangatkan lagi.”

“Ah Mama mah. Terus kenapa mereka akhirnya enggak jadi Ma?”

Mama mengangkat bahu. “Enggak tahu. Om Yannya ke Amerika. Habis itu Mama enggak tahu lagi kabarnya. Katanya sih emang jarang balik.”

“Oh. Long distance relationship. Lo, Mama bukannya deket sama Om Yan dulu? Masak enggak tahu?”

“Om Yan tuh sama siapa aja deket, Bibe. Kalau mau tanya, tanyalah sama yang paling deket.”

“Yaah…” Aku mendesah. Pura-pura kecewa.

Sidang gosip ditutup karena makan siangku datang. Meski rasa laparku datang pada waktu yang normal, tapi sejak operasi makan beberapa suap saja sudah cukup bagiku untuk menumpas rasa itu. Sepertinya nafsu makanku berkurang. Makanan dalam baki masih sisa banyak. Mama tak bisa memaksaku.

Aku pinjam ponsel Mama lagi untuk menembakkan burung-burung ke babi-babi. Mama mengemas barang-barangku untuk dibawa pulang nanti. Sebelumnya, kami sudah diberitahu kalau menjelang sore nanti beberapa petugas akan datang untuk membantu kami membereskan sisanya.

Mama mengangkat sebuah amplop putih besar. “Lo, punya siapa ini, Be?” Ia mengamat-amati amplop tersebut. “Kayaknya bukan punya kita deh…”

“Tadi Om Yan yang naruh keranjang di situ, barengannya itu kali,” kataku.

“Iya kali ya… Entar Mama sms deh. Eh, aduh… Udah jam dua aja… Bibe, Mama harus pergi nih.” Mamaku mempercepat gerakannya. Sekarang ia membereskan barang-barang yang akan ia bawa pergi. Termasuk ponselnya yang dalam genggamanku.

“Laptopnya ditinggal ya?” rengekku. Laptop Mama—sebenarnya lebih tepat disebut notebook sih—mini, ringan, dan muat menampung belasan judul drama Korea dan Jepang.

“Enggak. Mama butuh,” kata Mama tegas. Aku pun menyerahkannya dengan kurang rela.

“Terus aku main apaa?”

“Main sama temen-temen khayalan.”

Aku mengerang.

Mama cepat-cepat menukas, “Itu kan Mama udah tinggalin bacaan. Bukan buat pajangan doang itu. Entar Mama langsung ke tempat Tante As aja ya. Barangnya yang ketinggalan itu dijagain ya Be, bisi yang punya nyari.”

“Oke.”

Mama merengkuh kepalaku, berusaha untuk menciumi pipiku dengan segenap gemas, dan seperti biasa aku mengelak dengan segala daya.

***

            Aku kembali menyanyikan “Kau Datang” dari Krakatau sambil tiduran. Lenganku menggapai-gapai udara sebagai improvisasi penampilan. Waktu aku masih suka ikut lomba menyanyi dulu, guru vokalku acap mengingatkan agar memaknai setiap kata dalam lirik dengan gerakan.

            Terdengar suara pintu dibuka. Kontan aku menurunkan lengan dan membungkam mulut. Sebuah kepala lonjong melongok.

            “Hai Bibe,” sapanya, tersenyum.

            Kubalas dengan senyuman juga. Semoga aku terlihat cukup manis. “Iya, Om. Mau ngambil amplop ya, Om?”

            Ia mendekat lalu menumpu sepasang telapak tangannya di kaki tempat tidurku. Pandangannya beredar ke sekeliling ruangan. “Iya.”

            “Tuh, di sofa Om,” kataku seiring gerakannya mengambil benda yang dicari. Kepuasan di wajahnya seolah ia akhirnya berhasil mendapatkan emas setelah menggali sedalam puluhan meter. Tanyaku basa-basi, “Punyanya Om?”

            “Iya, titipan ibu saya. Ke mana Mama?”

            “Udah pergi.”

            “Sendirian aja?”

            “Iya.”

            “Enggak ada yang nungguin lagi? Tante? Siapa?”

            Aku menggeleng. “Entar sore udah juga udah balik kok, Om,” kataku untuk memupuskan iba yang mulai tergurat di wajahnya.

            “Oh ya? Bagus dong. Siapa yang jemput?”

            “Tante.”

            “Oh, adiknya Mama bukan?”

            Aku mengangguk.

            Katanya lagi, “Padahal dulu saya sering main sama mamanya Bibe, sering main sama sepupu-sepupunya mamanya Bibe juga, Tante Zahra… Om Mayong… Kenal?” Aku mengangguk lagi. Aku jadi merasa lebih dekat dengan pria ini. Kukira ia sebetulnya orang yang senang bicara dan mudah akrab. “Tapi belum pernah sekali pun ketemu sama adiknya mamanya Bibe.”

            “Kalau gitu, Om harus tunggu sampai sore biar bisa ngeliat Tante, hehehe…”

            Ia tertawa. Matanya juga tersenyum saat bibirnya tersenyum. Ini baru yang namanya benar-benar senyum. Aku menyukainya. “Iya, semoga kapan-kapan Om bisa kenal juga sama tantenya Bibe,” ucapnya. “Besok Om udah balik Bibe. Harus segera kerja lagi.”

            “Kerja di mana, Om?” tanyaku dengan nada sopan.

            “Di mana-mana.”

            “Di mana?” Mendadak aku jadi ingin menyanyikan lagunya Ayu Ting Ting.

            “Jauh banget tempatnya Bibe… Kadang pindah-pindah.”

            Mungkin ia kerja di perusahaan internasional yang cabangnya terserak di berbagai belahan dunia—seperti Om Pir, suaminya Tante As.

            “Di mana? Di Antartika?” tanyaku iseng.

            “Bukan, di Planet Mars.”

            “Wow. Om astronot ya?”

            “Iya.”

            “Terus ngapain aja Om di planet?”

            “Om pemain musik, Bibe.”

            “Iya? Astronot juga main musik?”

            “Iya. Sekarang astronot juga mengenalkan musik bumi ke planet-planet lain. Semacam studi banding gitu.”

            “O, jadi kayak duta budaya gitu ya, Om?”

            “Betul sekali Bibe. Tiap planet punya musik khasnya sendiri, seperti kalau di Sunda kita punya calung atau tarling. Jadi kita kenalkan musik kita ke mereka, mereka kenalkan musik kita ke mereka, lalu kitacoba mencampur musik kita sama musik mereka.”

            Sesaat aku menganggapnya serius. “Om pernah ke planet mana aja?”

            “Macem-macem Bibe. Dari yang deket matahari, sampai yang jauh sekalian Om pernah. Makanya Om udah lama enggak pulang ke bumi.”

            “Terus gimana Om kesan-kesannya pas pulang ke bumi lagi?”

            “Mm… Panas. Banyak sampah…”

            “Hahaha… Itu mah Bandung banget, Om…”

            Aku hanyut dalam keasikan mengobrol dengannya. Satu topik bersambung topik lain meski durasi pembahasan tiap topik pendek saja. Topik lalu meloncat makanan siangku yang belum habis.

            “Udah dimakan tadi kok Om, dua sendok.”

            “Kenapa enggak dihabisin?”

            “Abis operasi enggak gitu nafsu makan.”       

            “Kenapa? Rasanya?”

            “Enggak, Om. Enggak pingin makan aja.”

            “Enggak takut kurus?”

            “Enggak. Cewek seumuran aku mah kayaknya enggak ada yang enggak pingin kurus malah Om…”

            Ia tersenyum. “Mau makan lagi?”

            “Enggak ah.”

            “Mau disuapin?”

            “Eh…”

            “Kalau Om yang nyuapin rasa makanannya jadi manis lo, Be.”

            “Masak?”

            Ia mengambil baki makanan siangku, menyendok nasi dan potongan lauk, lalu menyuapkannya padaku. “Aaa…”

            Aku jadi merasa seperti anak kecil.

            “Bener kan?”

            Sebenarnya rasanya tetap hambar. Mungkin yang terpenting bukan rasa makanannya, tapi rasa yang ada dalam diri kita ketika kita sedang makan. Toh makanan apapun akan terasa nikmat kalau kita benar-benar merasa lapar bukan? Seperti kehangatan nan nyaman yang sontak menyelubungiku ini.

            Aku terbatuk. Ia menyodorkanku air. “Jadi ngerasa kayak anak kecil, Om,” kataku setelah beberapa teguk dan tenang.

            “Enggak apa-apa Bibe,” katanya lembut. “Kalau memungkinkan setiap orang mungkin enggak bakal nolak kalau dikasih kesempatan buat jadi anak kecil lagi. Ya enggak?” Ia memberiku tisu.

            Tapi pada akhirnya aku tetap tidak menandaskan isi baki tersebut. Selain sungkan karena disuapi, aku benar-benar tidak berhasrat makan lebih banyak.

            Jadi kami mengobrol lagi. Salah satu topiknya adalah koran mamaku. Itu salah satu bacaan yang sengaja Mama tinggal untuk menghiburku meski aku sama sekali tidak terhibur membaca itu. “Mana tulisannya Mama?” tanya Om Yan seraya membuka halaman demi halaman koran berskala regional tersebut.

            Biasanya tulisan mamaku muncul di hari Minggu. Spesialisasinya ada di softnews dan koran Minggu kan memberi ruang lebih untuk itu. Tapi hari itu tulisannya tidak ada. “Mamaku malesan sih orangnya, haha…” kataku. Ia hanya wartawan biasa yang kerjanya jalan-jalan, menulis laporan, dikasih teguran, mengedit, lalu dapat duit. Ia tidak seambisius Papa.

***

            Sedang asik membicarakan ranah-ranah yang biasa jadi topik tulisan mamaku, pintu terbuka. Seraut wajah yang muncul mendinginkan tengkukku. Dulu rambut di kepala, atas mata, dan bawah hidungnya tampak kontras dengan warna kulitnya. Namun kini dilabur uban jua. Selain itu, bagian tengah dahinya menghitam. Selebihnya sama seperti dulu, selalu: mulut terkatup dan mata mendelik.

            Jangan pergi… Jangan pergi… batinku untuk Om Yan yang seketika berdiri. Om Yan melipat koran lalu menyalami.

            “Siapa?” nada suara pria berumur tersebut seperti menyelidik.

            “Saya teman mamanya Bibe, Pak.”

            Tangan yang saling berjabat itu naik turun lalu lepas. Dan lepas pulalah Om Yan dari penglihatanku setelah sebelumnya melempar pamit yang sangat membuatku kehilangan.

            “Jangan lupa amplopnya Om…”

            ...jangan biarkan aku berdua saja dengan monster tua ini…

            Waktu masih kecil, aku selalu jadi gelisah kalau ia mendekat. Ketika ia coba menggendongku, aku menangis sambil meronta-ronta. Setelah diturunkan, aku cepat-cepat menyusup ke dalam pelukan Mama agar tidak usah melihat rupa pria itu.

            Meski amat keder padanya, ketika akhirnya ia benar-benar pergi aku malah jadi suka menanyakannya pada Mama. Mama pun bercerita. Tiap kali aku bertanya, ceritanya bertambah panjang.

            Setelah pensiun, ia mengasingkan diri ke pelosok Jawa Timur. Ia membeli sebuah kebun lalu mengolahnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Untuk menghalau kesendiriannya, ia memelihara perkutut.

Suatu hari, perkututnya hilang. Peristiwa ini berdampak serius baginya. Ia merasa ada bagian dari dirinya yang hilang pula.Sejak itulah ia mendapatkan makna dari kebebasannya. Ia belajar menjadi seorang mubalig.

Karena tak beristri, ibu-ibu di sana jadi berani menyukainya. Namun ia tak mengacuhkan. Ia mengabdi pada masyarakatdengan coba memecahkan permasalahan daerah tersebut pada musim kemarau.

            Belum lama ini aku membaca sebuah novel dari koleksi Mama: “Kooong”-nya Iwan Simatupang. Novel ini bercerita tentang seorang pria yang hidup menyendiri dan memelihara perkutut. Menurut seorang kritikus, cerita ini beraliran filsafat eksistensialisme—apapun itu. Aku juga baca “Kemarau”-nya A. A. Navis. Setelah membaca keduanya, aku jadi sadar kalau seharusnya aku membaca banyak novel sastra Indonesia sejak aku masih kecil. Jadi aku bisa segera tahu kalau Mama hanya mengganti tokoh utama dari novel-novel tersebut dengan Kakek.

            Jadi entah benar apa tidak kalau Kakek memelihara perkutut dan sampai menganggap perkutut itu sebagai bagian dari dirinya, atau bahkan jadi mubaligh. Tapi sepertinya benar kalau ia jadi rajin solat.

            Ia berkaos polo, bercelana bahan, dan menenteng plastik hitam ukuran sedang. Plastik itu bertonjolan seperti penuh buah di dalamnya. “Sudah makan belum?” Ia mencari-cari tempat untuk meletakkan bawaannya.

            “Udah,” jawabku pelan.

Ia tidak melihatku. Ia mengambil sebuah mangga dari dalam plastik yang akhirnya ia letakkan berdempetan dengan baki makan siangku. Ia membawa pisau sendiri juga rupanya. Apakah ia mengupas mangga dalam bis yang membawanya ke sini? Di mana ia membuang kulit dan biji yang sudah digerogotinya? Ia masuk ke dalam kamar bandi dengan mangga dan pisau itu. Ketika ia kembali, tetes-tetes air berjatuhan dari benda-benda dalam genggamannya yang juga basah itu.

Dari dalam plastik yang sama, ia mengeluarkan sebuah plastik kecil lagi. Mulut plastik itu menganga. Aku bisa melihat kupasan kulit manggadi dalamnya. Ia menjatuhkan plastik itu dekat kakinya lalu mulai mengupas.

Mangga tersebut tampak tak begitu berair. Warnanya juga tidak begitu oranye, cenderung kuning. Ia menyodorkan sebuah potongan langsung ke dekat mulutku. Aku meraupnya dengan terpaksa.

Setelah momen langka ini berlalu, ia membaca koran sambil tiduran di sofa lalu tertidur. Aku berharap Tante As lekas datang untuk mengakhiri saat-saat mendebarkan ini. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku sangat takut pada papanya Mama dan tanteku ini.

***

Kakek menginap semalam di rumah Tante As. Ia tidur di sofa sementara aku tergeletak di satu-satunya kamar tidur di rumah itu selain kamar tidur Tante As. Kakek kembali ke pengasingannya dengan bis malam. Sisa hari bedrest-ku setelahnya kuhabiskan dengan kegiatan yang nyaris sama dengan yang kulakukan sewaktu opname. Aku terutama membaca ulang novel Iwan Simatupang dan A. A. Navis lalu mengontekstualisasikannya dengan sosok Kakek yang sudah lama tidak aku jumpai itu. Bedanya dengan di rumah sakit, aku tidak bisa membiarkan seorang pun menjengukku ke sini.

Tante As mengizinkan orang-orang tertentu saja untuk main atau tinggal sejenak di rumahnya, sebut saja aku, jadi mama-papaku termasuk, sahabat-sahabatnya, papanya, dan tentu saja suaminya.

            Karena pekerjaannya, suami Tante As hanya sempat mengunjungi istrinya beberapa kali dalam setahun—paling banter sebulan sekali. Atau kalau suatu proyeknya sudah tuntas, Tante As yang mengunjungi Om Pir di entah negara mana yang sedang ditinggali, sekalian berlibur. Seperti sudah kusebutkan sebelumnya, hidup Om Pir nomaden berkat kariernya di perusahaan internasional.

Namun Tante As sudah lama mengidamkan hunian dengan studio permanen dan privasi tinggi di dalamnya. Setelah rujuk dengan Om Pir, suaminya yang penuh cinta dan kasih itu melimpahinya dengan berbagai materi, antara lain: sebuah rumah lega dengan desain luar dalam sesuai impian dan kebutuhan tanteku, sebuah mobil mungil nan nyaman, sebuah kartu yang jika digesek pada alat yang tepat akan menunjukkan kesaktiannya, serta persediaan makanan-minuman kemasan selama berbulan-bulan.

Pekerjaan Tante As berkaitan dengan bidang grafis. Paling sering kutahu, ia tengah mengerjakan ilustrasi untuk buku anak-anak. Sesekali ia ke luar dari dunianya untuk menemui klien secara langsung, meriset, belanja, atau bersosialisasi.

Hanya aku dan Om Pir yang diikhlaskan masuk ke dalam studionya yang luas itu. Ada lemari panjang berisi semata pakaian, jejeran rak-rak untuk memuat beragam file dan bukunya yang rata-rata bergambar apik, kulkas ukuran sedang dengan cemilan-cemilan menyegarkan di dalamnya, lalu mejanya—peralatan gambarnya yang lengkap tertata rapi di situ, disertai sebuah PC dengan layar besar yang mampu menampilkan kekayaan warna, ditambah pula perangkat elektronik lain yang memfasilitasinya dalam membenahi gambar di komputer—menghadap jendela yang mengarahkan indra penglihatanmu pada lanskap taman yang meneduhkan. Beberapa hasil karyanya mengisi sisi-sisi dinding putih. Ada juga yang berbaris menyandar begitu saja di atas lantai kayu.

Meski ia bisa saja membuat waktu kerjanya fleksibel, tanteku senang bekerja ala PNS. Ia bahkan punya pakaian sendiri untuk itu—blus dengan warna-warna pastel serta celana pendek yang seperti potongan celana lapangan. Lima hari dalam seminggu—Senin hingga Jumat, ia duduk di kursi putarnya yang besar, empuk, dan ergonomis mulai jam delapan pagi, ke luar dari studionya jam dua belas siang, kembali lagi jam satu siang, dan meregangkan tubuh jam empat sore. Ia tidak selalu menaati jadwalnya dan itu hanya terjadi kalau ia punya janji bertemu dengan orang lain atau ada keperluan yang harus dipenuhi segera.

Setelah itu, ia akan menghabiskan waktu di luar studio dengan leyeh-leyeh di sofa ruang tengah atau beraktivitas santai lainnya. Ia akan masuk lagi ke balik pintu keramat itu jam sembilan malam.

Di pojok studionya ada sebuah ruang tidur. Benar-benar ruang tidur karena di dalamnya hanya ada double bed, rak pendek, AC, lampu berdiri, serta nuansa warna kalem yang sangat kondusif bagi mata untuk beristirahat.

Ia bangun pukul setengah enam pagi lalu masuk kamar mandi, solat, meneguk susu langsung dari kardusnya sembari menata barang-barang, menonton berita pagi sambil ngemil sereal, berolahraga raga ringan dengan panduan video, mandi, dan bekerja.

Di luar studionya, ia punya ruang tengah yang luas. Ada deretan sofa berwarna cokelat lembut—tempat ia dan para sahabatnya biasa bercengkerama. Agak jauh di seberang, dipisahkan meja dan ruang gerak yang cukup untuk melakukan yoga atau senam ringan, adalah sebuah TV besar. Ini hanya salah satu alasan lain mengapa aku lebih suka rumah Tante As ketimbang rumahku sendiri: TV-nya bersambungan kabel.

Ruangan ini dibatasi oleh dinding studio; dinding kaca yang berbatasan dengan sepetak halaman berumput dan dinding hitam yang kasar; pintu-pintu menuju ruangan lain; serta akses menuju ruang tamu dengan luas sewajarnya.

Selain ruang-ruang yang sudah kusebutkan tadi, hanya ada sebuah kamar mandi dan sebuah kamar tidur lagi di rumah ini. Area cuci-jemur berada di samping rumah namun tidak terlihat dari halaman depan yang luas. Halaman tersebut berdampingan dengan carport. Setelah carport terdapat garasi bersambungan lantai paving block yang muat dua mobil. Meski hanya ada sedikit ruangan dalam rumah ini, tapi tiap ruangan menimbulkan kesan lega. Rumah ini memakan tanah yang cukup luas.

 Tante As tidak mau ada lantai dua dan tidak merasa butuh pembantu. Ia merapikan dan membersihkan sendiri isi rumahnya di akhir minggu. Pakaiannya lebih licin dari hasil setrikaan binatu.

Terakhir, Tante As punya pantri yang menampung persediaan makanan-minuman kemasannya selama… Yang jelas aku kira ia tidak pernah kehabisan semua itu di pantrinya. Tanteku tidak bisa masak. Jadi dalam hal ini ia suka yang praktis. Ia berusaha mengimbangi asupan gizi dengan membiasakan diri makan buah. Kulkasnya selalu terisi beragam buah dan bahan lain yang tidak butuh diolah secara macam-macam. Tapi kalau aku perhatikan, ia masih lebih banyak mengonsumsi produk kemasan ketimbang buah.

Aku pikir kehadiranku di rumahnya memperbaiki gizinya juga untuknya—lewat mamaku. Kalau tahu aku sedang di rumah Tante As, Mama pasti pulang ke sana juga dengan membawa beberapa bungkus makanan rumahan—sayur terutama. Mama juga yang menanakkan nasi. Tanpa banyak komentar, Tante As yang kemudian membereskan semuanya. Ia memakan apa yang Mama bawa seakan tidak ada pilihan lain.

Kendati tidak handal dalam perkara perut, Tante As adalah konsultan penampilan terbaik yang kupunya. Selama ini ia yang membelikanku pakaian, luar maupun dalam. Kalau bukan ia yang belikan, ia bakal komentar macam-macam Menurutnya, mamaku tidak punya selera.

Tante As tidak suka melihatku pakai atasan tanpa lengan atau bawahan yang memperlihatkan paha. Saat aku begitu, ia akan mencubit bagian tubuhku yang terbuka. “Pamer-pamer lemak, malu ah!”

Setelah lulus S1, Tante As mendapat beasiswa belajar di Amerika Serikat. Menurut Mama, sebelum pergi ke sana tanteku terlihat berisi—tidak selangsing setelah ia kembali. Mama curiga sewaktu di AS tanteku melakukan sedot lemak.

Tante As yang mendandaniku tiap kali aku ada penampilan, misalnya saat aku masih suka mengikuti lomba peragaan busana atau menyanyi saat SD dulu, atau saat aku berpartisipasi dalam pertunjukan tari. Mulai SMA, aku sudah tidak pernah ikut macam begitu lagi. Namun kerewelan Tante As dalam hal ini tetap ada, apalagi ketika aku menjawab tidak saat ia bertanya apakah aku dandan dulu sebelum pergi dengan teman-temanku.

Ketika aku berjerawat, ia puas kalau itu akibat aku tidak menuruti petuahnya untuk rajin cuci muka.

Ia juga yang mengenalkanku dengan luluran. Pertama kali ia melulurku adalah sewaktu aku masih SMP awal. “Jangan kayak mama kamu, kulitnya enggak pernah kena lulur,” aku masih ingat kata-katanya waktu itu. Menurutnya, kulitku yang sudah kusam jadi makin kusam karena aku banyak aktivitas di luar ruangan. Setelah itu ia menyuruhku rajin melulur tubuhku sendiri. “Jangan sampai ditelanjangi dua kali,” ancamnya.

Ia tahu dirinya tidak rupawan. Tapi menurutnya, asal kita tahu cara menata penampilan, kita tetap bisa tampil menawan.

Dengan kulit gelap dan tulang besar yang membuat tubuh kelihatan berisi, sebenarnya aku lebih mirip Tante As ketimbang Mama. Perawakan Mama lebih kecil, kulitnya terang, dan parasnya lumayan seandainya ia selalu sadar untuk kontrol ekspresi. Meski demikian, ciri fisikku yang demikian mungkin sebenarnya warisan Papa.

Kalau aku berada di rumah Tante As pada akhir minggu, dan Tante As sendiri tidak sedang acara di luar rumah, kami suka maskeran bersama. Adalah kegiatan favoritku untuk bereksperimen meramu masker untuk berbagai hasil—hal yang kalau aku lakukan di rumah saat sedang ada Papa, pasti aku diprotesnya, “Sayang itu, mending buat dimakan aja!”

Saat aku berada di rumahnya tiap hari begini, kami coba membuat masker harian. Kami campur merata 3 sendok teh cokelat, 2 sendok teh madu, dan tiga sendok teh bubuk oatmeal hingga jadi krem pekat. Setelah itu, kami mengoleskannya pada wajah secara merata. Kami harus menunggu hingga 10-15 menit sebelum membilasnya dengan air hangat.

Sebelumnya, kami sudah pernah coba mencampur oatmeal dan telur jadi pasta untuk mengatasi kulit berminyak. Kata Tante As, kulit gelap yang tidak dirawat akan jadi lebih berminyak dan terlihat kusam.

Kami juga pernah mencoba masker agar wajah halus dan lembut. Tapi kami membutuhkan gandum, madu, yoghurt, dan almond. Semua itu relatif mahal. Kami belum mencobanya lagi.

Saat mengaduk cokelat, madu, dan oatmel dalam mangkok kecil itulah aku ingat pada sepenggal percakapanku dengan Mama-Papa di suatu kesempatan. Waktu itu aku bergidik dengar Mama panggil aku pakai “sayang”, lantas Papa tertular menyebutku “cinta”. Aku pun protes pada mereka.

Jawab Mama, “Dengerin Bib, mamanya mamamu ini enggak pernah manggil anak-anaknya dengan ‘sayang’, ‘cinta’, atau ‘beibeh’ sekalipun. Jadi sekarang Mama belajar buat enggak segan-segan nunjukkin sayang sama anaknya…”

Mamanya mamaku meninggal saat Mama dan adiknya masih SMP.

“Papa juga enggak pernah sekalipun dipanggil ‘cinta’ sama papanya Papa,” tambah Papa.

Papanya Papa hilang tanpa petunjuk saat Papa masih SD. Begitulah nasib wartawan Orde Baru, begitulah aku acap diberitahu.

“Masak anak laki-laki dipanggil ‘cinta’?!”—sama papanya pula. Aku tambah merasa aneh.

“Cara mendidik anak itu harus beda sama cara orangtua kita mendidik dulu ya?” jadi aku bertanya begitu pada Tante As yang sedang mengelap mukanya dengan handuk. Poni yang biasa melengkung di dahinya tak tampak lagi berkat bando kain.

“Enggak tahu ya. Aku kan enggak punya anak,” jawab Tante As.

“Tante enggak nganggep aku anak Tante?”

“Kamu mau jadi anakku, atau keponakanku?”

“Mmmm…” Aku mencibir.

Ia tiba-tiba mencubit hidungku dengan gemas. Sontak aku mengaduh. Cubitannya terasa kasar. Rupanya jari-jarinya sudah mencelup adonan masker. “Biar mancung!” ucapnya. Memang hidungku pesek.

“Sini, Tante maskerin.” Ia berjalan menuju sofa kulit di tepi dinding kaca. Mangkok kecil isi adonan masker sudah ditopang sebelah tangannya. Ada tanaman tinggi dalam pot di belakang sofa tersebut. Sepertinya akan terasa sangat damai sekali kalau tiduran di sofa itu, sambil dimaskeri, sambil mendengarkan lagu-lagu lembut. Aku mengambil ponselku, sudah kutancapkan headset ke salah satu lubangnya, dan memosisikan tubuhku senyaman mungkin di atas sofa yang sepertinya memang didesain untuk tiduran. Bagian kepalanya meninggi.

Tante sudah keburu menguasai mukaku sebelum aku sempat memilih-milih frekuensi radio. Ketika aku hendak bicara, ia menekan kedua belah pipiku sehingga mulutku jadi monyong dan tidak bisa berkata-kata. Jadi aku mau tak mau diam sampai ia selesai. Saat ia belum beranjak dari dekatku, akhirnya aku bisa melontarkan ini juga, “Tante, Tante enggak mau punya anak?”

“Tante enggak mau kalau entar punya anak, anaknya kayak Bibe,” kata tanteku berlambat-lambat.

“Ya kan mamanya anaknya tante kan bukan mamanya Bibe, jadi anaknya enggak bakal kayak aku dong.”

“Terus kayak siapa?”

“Kayak mamanya dong.”

“Emang entar Bibe pingin punya keponakan kayak Tante?”

“Enggak apa-apa sih, asal enggak jutek aja.”

“Wah, enggak bakal jadi  dong.”

“Jadi dooong… Kalau Tante As udah enggak jutek lagi.”

“Hm… Bisa enggak ya?”

“Bisaaa…!”

Dari beberapa sahabat Tante As yang kuketahui, ada juga yang belum punya anak—bahkan belum menikah. Mungkin selamanya ia tidak akan menikah. Ia seorang perempuan dengan rambut pendek, berkacamata, bermobil bagus, dan suka merokok di balik dinding kaca—Tante As tidak senang kalau rumahnya kotor, apalagi dengan abu rokok.

Entah mengapa aku suka punya pandangan lain terhadap orang yang tidak menikah. Aku tidak mengerti mana alasan yang lebih tepat: apakah jodoh sesulit itu atau karier semenarik itu? Atau ada alasan lain yang sebaiknya aku tidak tahu?

Tante As telah menjauh. Kulihat ia mulai memaskeri mukanya sendiri. Aku menancapkan earphone ke lubang telingaku lalu memilih-milih frekuensi radio.

Aku ingat. Temanku bilang ada radio yang suka memutar lagu-lagu bagus dengan sedikit iklan. Ia bilang begitu sambil menunjuk stiker dengan logo radio tersebut di kaca belakang mobil samping angkot kami. Lampu merah sedang menghadang. 

Kalau tidak salah, frekuensi radio tersebut 100.4 FM. Iseng kusetel ke sana. Sebuah lagu menusuk pendengaranku dengan lirik berbahasa Indonesia dan nada menggoda. Suara si pelantun terdengar agak serak dan renyah namun lembut dan nyaman di telinga.

Kepalaku bergoyang-goyang karena larutnya menghikmati. Kulipat kaki. Kuangkat sedikit kaos untuk mengintip bekas jahitan di bagian bawah perut yang mulai mengering.

Terik mentari siang nan sengit yang mengintip dari jendela di seberangku makin menguatkan kegalauan terpendam yang kutangkap dari lagu tersebut. Tapi kemudian senyumku melebar karena akhir lirik lagu tersebut cukup membahagiakan.

Sesudahnya, penyiar wanita bersuara rendah dan berat—yang kemudian aku tahu kalau itu adalah ciri khas radio tersebut—menerangkan kepadaku ihwal pembawa lagu tersebut—adalah sebuah grup jazz dari Boston, AS, yang dibentuk para mahasiswa Berklee College of Music asal Indonesia.

Aku menangkap satu nama yang dikatakan sebagai personil paling menonjol dalam grup tersebut. Prestasi individualnya dalam bermusik amat terkenal di kancah internasional. Ia telah memenangi berbagai kompetisi, mencipta banyak komposisi, acap berkolaborasi serta mengiringi para musisi jazz yang sepertinya terkenal—tapi aku tidak kenal—dan punya grup-grup lain di samping grupnya yang satu itu. Ia pianis. Namanya Ardian Hayyra. Belum lama ia memenangkan penghargaan untuk nominasi Pianist of the Year dari Jazz Journalist Association. Ia juga salah satu penampil di Java Jazz kemarin—sekitar satu-dua minggu lalu.

Aku tidak pernah mendengar lagu itu sebelumnya. Nadanya mengiang-ngiang dalam benakku sampai lama. Kegalauannya masih membekas saja meski aku tidak ingat persis liriknya. Aku bangkit. “Tante, aku mau internetan yah…” Serpihan masker berjatuhan di pangkuanku. Sepertinya aku harus membersihkan mukaku dulu.

Akhirnya aku berhadapan juga dengan kotak pencarian Google. Kuketik nama itu. Google bertanya, do you mean ardian hayyra? Ternyata huruf y-nya dua. Hasil pencarian terbaru pun muncul. Aku mengklik link teratas yang merupakan pemberitaan terbaru dari sebuah media berita Indonesia.

“Akhirnya diundang main di Indonesia,” begitu tajuk berita entertainment tersebut. Di samping kolom berita terdapat foto sang pianis. Senyumnya begitu lebar dengan sorot mata yang berseri-seri. Aku mengenalinya, ia om astronot.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain