Sesuatu mencengkeram bagian bawah
perutku. Memuntirnya. Ini sejenis sakit yang akhir-akhir ini biasa kurasa.
Tidak mungkin maag sesering ini, apalagi aku sudah berusaha makan teratur.
Semakin tidak wajar ketika aku sampai ingin muntah karenanya.
Sewaktu-waktu aku bisa saja
mengotori meja dan menyebarkan bau menyengat ke seantero kelas. Jadi aku minta
izin ke toilet pada guru.
Udara di luar ruang pada jam sebelum
istirahat ini masih segar. Aku sedikit lega. Tapi kian mendekat ke kamar mandi
tubuhku kian membungkuk. Entah berapa menit telah berselang, Fani mendapatiku
berjongkok di bawah pinggir bak sambil menangis. Sepertinya aku sudah
mengeluarkan seluruh isi perut sampai tinggal cairan bening saja yang menetes
dari mulutku. Ketika Fani datang, aku sudah mengguyur sebagian.
Ia menuntunku ke UKS dan mengatakan
kalau wajahku pucat. Ia juga meraba dahi serta pipiku. Katanya aku demam sedang
aku merasa tubuhku begitu lembap. Ketika aku rebah ke kasur, rasa itu mereda
tapi lalu muncul lagi jadi aku meringkuk saja. Aku memejamkan mata. Beberapa
saat kemudian, aku lihat Fani membawakanku segelas teh hangat dan guru yang
tadi sedang mengajar di kelasku.
“Masih sakit, Bibe?”
Rasanya mau mati saja.
Fani mengelus bagian atas kepalaku
yang berkeringat. Sang guru yang tampak khawatir bilang kalau aku istirahat di
sini saja sampai sakitku reda. Ia juga bertanya apa aku lupa makan atau masuk
angin. Aku menggeleng. “Sakitnya udah dari kemarin-kemarin…”
“Lagi dapet?”
“Kayaknya bukan. Baru seminggu
kemarin dapetnya…”
Aku menggigit bibir dan memejamkan
mata erat-erat ketika rasa itu datang lagi. Kubenamkan muka ke bantal. Rada bau
apak. Nyaring dering bel istirahat menggelitik pendengaranku. Beberapa lama
kemudian, jumlah teman di ruangan ini bertambah. Sayangnya kepedulian mereka
tidak membuat lemasku pudar. Lenganku masih saja bersidekap erat di perut,
seakan itu bisa mengurangi sakit.
Di sela-sela menjawab perhatian
mereka, ponselku bergetar. Ketika aku terima panggilan itu, mereka berbicara
satu sama lain. Beberapa menjauh.
“Perutku sakit…” isakku pada Mama.
Bisa kurasakan keceriaannya menyurut.
“Kenapa? Salah makan? Aduuh…” Pendar
panik dalam nadanya. “Mama kan tadi enggak masak macem-macem…”
“Enggak tahu…Udah dari
kemarin-kemarin da…” Aku mengusap mata. Aliran air mataku sepertinya hendak
menderas lagi.
“Aduh, Mama jemput ke sekolah
sekarang atuh ya…”
Usai telepon dari mamaku, aku bilang
pada guruku yang menengok lagi kalau aku akan segera dijemput. Teman-temanku
mendesah lega, berharap aku cepat baikan, lalu tinggal Fani dan Erin yang masih
setia menungguiku. Tapi aku ingin tidur saja sembari menunggu kedatangan
mamaku.
Terasa lama. Bel masuk sudah lalu.
Aku sudah hampir lelap meski masih cukup sadar untuk mengetahui seseorang telah
membawakan ranselku ke sini. Rasa itu menyentakku hingga aku kembali terjaga.
Teman-temanku sudah ada. Aku menatap langit-langit UKS berdebu ini dengan lara.
Mamaku terlihat di ambang pintu dalam gesa. Ujung jilbab serta tas cangklongnya
yang besar melambai. Tapi adalah hal biasa melihat wajahnya berkeringat.
Ia mengusap-usap wajahku dan jadi
terpana ketika menyadari suhu tubuhku naik. “Periksa dokter ya?” Aku hanya
mengerang pelan. Kami sama-sama melirik ketika seseorang muncul lagi di ambang
pintu.
Aku belum pernah melihat pria itu
sebelumnya. Rambut ikalnya agak kecokelatan. Sepertinya ia sangat jangkung.
Pakaiannya necis. Mungkin ia beberapa tahun lebih muda dari Mama.
Ia memandangiku lalu mamaku. “Mau
langsung ke rumah sakit aja?” tanyanya pada Mama.
”Iya… Biar jelas sakitnya kenapa…”
kata Mama cemas. Tubuhku meringkuk lagi diiringi suara menahan sakit dari
mulutku. Mama mengusap-usap pahaku. “Sakit banget, Bibe?”
“Iya, Mama..” Aku mulai menangis
lagi. Wajah Mama makin muram.
“Gimana… Mau pergi sekarang?”
Aku mengangguk.Ketika rasa itu agak
mereda, aku berusaha bangkit. Aku mengusap muka dengan lengan. Kehadiran pria
yang entah siapanya mamaku itu membuatku malu dengan keadaan muka yang
bersimbah air mata. Ketika aku menjejakkan kaki ke lantai, rasa itu muncul
lagi. Aku berjongkok sambil memegangi perut. Mama memegang pundakku. “Kuat
jalan enggak?”
Aku
berdiri lagi dan jalan tertatih-tatih. Lalu membungkuk lagi.
“Masih sakit ya?” Mama ikut
membungkuk agar bisa melihat wajahku. Aku mengangguk.
“Apa saya gendong aja?” tanya pria
itu. Aku baru menyadari suaranya begitu lembut.
“Bibe digendong Om Yan aja ya?”
Aku tidak tahu. Gagasan digendong
seorang pria tak dikenal agak bikin aku keder. Tapi kalau aku jalan sendiri, aku
tidak tahu akan makan waktu berapa lama hingga kami mencapai gerbang. Akhirnya
aku mengangguk dengan ragu.
Pria itu merengkuh tubuhku.
Terhempas harum tubuhnya. “Maaf ya Bibe, hup…” Sebelum kedua tanganku menutup
muka, aku masih bisa lihat Mama memerhatikanku.
“Lo, Bibe, ngapain tutup muka?”
tanya Mama. Pria itu tertawa pelan. Pegangannya agak goyah namun segera
mengokoh lagi. Aku mengintip wajah putih
pria itu dari sela-sela jariku. Entah mengapa rasanya aku malu saja. Mama
menggendong ranselku. “Mama mau izin dulu ya…”
“Oke. Kami langsung ke mobil aja
ya,” kata om itu.
“Jangan dijatuhin!” kata Mama.
Om itu tertawa lagi dengan lebih
renyah.
Ketika rasa itu menyerang lagi, kali
ini sangat hebat, tubuhku refleks menggeliat. Kalau ke kiri, bisa-bisa pegangan
si om goyah dan aku jatuh. Mau tak mau aku berguling ke kanan. Lengan om itu
mendekapku makin kuat. Semerbak tubuhnya agak bikin aku lupa sesaat akan derita
di bagian bawah perutku. “Sakit banget ya?” tanyanya.
“Iya,” kataku lemas. Ketika aku menoleh
sedikit, aku lihat bajunya basah kena mukaku. Semoga ia tidak menyadarinya.
***
Kata dokter, “Untung cepat ketahuan…
Kalau terlambat, bisa pecah. Operasi besar.”
Tidak ada gunanya aku belajar
Biologi selama ini. Muara sakitku di perut kanan bawah. Selama ini aku sama
sekali tidak ingat kalau itu tempatnya usus buntu, tolong.
Aku diantar dengan mobil Om Yan
sampai ke rumah sakit ini. Ia duduk sendiri di depan, menyetir, sementara
kepalaku lunglai di pangkuan mamaku di jok belakang. Pertukaran kata di antara
mereka cukup kontinyu namun aku menangkap nuansa kecanggungan. Mungkin karena
mereka sudah lama tidak bertemu. Mama memperkenalkan Om Yan sebagai teman
gilanya saat SMA.
Jadi Mama sudah gila sejak SMA, aku
paham. Tapi Om Yan tidak mau mengakui dirinya juga gila. Mereka suka mengadakan
“konser” di halaman rumah Tante Zahra. Lalu Om Yan yang minta maaf sama
tetangga akibat keributan mereka. Aku tidak mengerti apa hubungannya Tante
Zahra dengan ulah mereka berdua. Setahuku Tante Zahra kalem dan tidak mungkin
ikut sinting di tepi jalan. Tante Zahra itu satu dari sepupu Mama. Lepas SMA, Om Yan melanjutkan
pendidikan di Amerika Serikat dan jarang kembali ke Indonesia. “Bet naha
logatna Sunda keneh? Pikaaneheun,” komentar Mama.
Aku baru dengar ada kata dalam
Bahasa Sunda: pikaaneheun.
“Iya kan, saya tidak lupa juga sama
akar budaya, Mama Bibe…” jawab Om Yan halus.
Ketika aku masuk UGD, di-USG,
dan divonis harus operasi usus buntu,
pria itu masih menemani kami. Sepertinya ia juga bantu mengurus administrasi.
Sebelum pergi, aku sempat dengar Mama bicara padanya dengan nada tidak terima,
“A—apa ini?”
“Udah, beres. Tinggal tidur di
sana,” kata si om.
“Ah, enggak. Enggak beres.
Rekeningmu berapa?”
“Eh, enggak usah… Sudah ya, saya
harus jemput ibu saya nih.”
Mamaku mendecak dan kembali padaku
dengan raut malu.
Aku
harus menunggu beberapa jam, dihitung sejak waktu terakhir aku makan, sebelum
bisa dioperasi. Selama itu aku tidak boleh makan dan minum.
“Mama enggak cari berita?” tanyaku
ketika menyadari Mama anteng saja menungguiku.
“Oh iya ya.” Lagak Mama seakan ia
telah melupakan sesuatu yang penting, tapi ia bergeming saja di kursi. Lanjut
membaca buku.
“Aku sendiri bisa kok,” desakku.
“Nanti dimarahin Pak Usep lagi lo.” Pak Usep itu, katakanlah, atasan Mama.
Beberapa kali aku pernah dengar Mama cerita sama Papa kalau ia habis dipetuahi
macam-macam oleh yang bersangkutan, lagi. Tapi Mama tampak cuek saja saat
menceritakannya.
“Biasa kok.”
Gara-gara teringat Papa… “Ma, tadi kok
bisa sama si om itu sih? Hayo, ngapain?”
“Emang tadi lagi ketemuan.
Sebetulnya kan Om Yan mau ketemunya sama Tante Zahra, tapi terus tantenya minta
ditemenin Mama.”
“Emang Om Yan sama Tante Zahra
kenapa, Ma?”
“Ya kan dulu temen satu sekolah—satu
kelas malah. Deket banget. Mama kenal sama Om Yan juga kan pas lagi main ke
rumah Tante Zahra.”
“Oh, terus Tante Zahranya ke mana,
Ma?”
“Belum sempet ketemuan… Tadi tuh di
tempat janjiannya Mama baru ketemu sama Om Yan aja. Ya udah Mama telponin Bibe
dulu kan, enggak tahunya Bibe kenapa-napa. Mama cerita sama Om Yan. Ya udah
sekalian aja bareng ke sininya, barangkali entar Bibe butuh tumpangan… Untung
bareng, ternyata Bibe emang butuh diantar pakai mobil kan? Enggak jadi ketemu
sama Tante Zahra deh.”Tatapan Mama lekat padaku sejenak. “Tuh kan Mama jadi
lupa tadi udah ninggalin motor di sekolah Bibe.”
“Tuh kan!”
Jadi Mama benar-benar pergi untuk
mengambil motornya. Mama meninggalkanku bacaan supaya aku tidak bosan, tapi itu
hanya berupa harian tempatnya biasa menyuplai tulisan. Aku fokuskan sasaranku
pada berita-berita kriminal yang kian marak belakangan.
Ketika waktunya operasi tiba, aku
dibawa menuju ruang bedah. Aku harus mengganti seragam putih-abuku dengan
pakaian bedah. Obat bius total disuntik lewat infus. Kepalaku terasa berat
hingga aku terlelap.
Entah berapa jam aku dioperasi.
Ketika sadar, aku masih agak sulit bernafas. Tapi setelah beberapa kali disuruh
tarik nafas oleh dokter, pernafasanku kembali lancar. Aku pun 100% sadar.
Aku dibawa ke ruang rawat inap
berkapasitas dua orang. Nuansa krem pastel memenuhi ruangan sejuk tersebut. Ada
sebuah TV 14 inch di antara dua bilik. Tidak ada seorang pun di bilik sebelah.
Tirai lipit putihnya terbuka lebar, begitupun tirai jendela di seberang,
sehingga aku bisa melihat langit menghitam.
Aku sudah berbaring nyaman di tempat
tidur ketika Mama memasuki ruangan bersama Tante As. Wajah tanteku itu terlihat
masam. “Aku bilang juga apa, lantai dua,” masih tersisa omelannya.
Mama
menafikan. Ia duduk di tepi tempat tidurku. Menepuk-nepuk kakiku. “Bibe,
makanya besok kalau makan pilih-pilih dulu ya. Jangan yang terlalu asin atau
pedas. Jangan kebanyakan makan snack yang pakai pecin. Kalau makan buah jangan
sama bijinya.”
Aku
mengerling pada Tante As yang masih menatap Mama dengan tajam. Tapi lalu ia
memalingkan kepala seraya mendesah. Lengan bersidekap rapat di depan dadanya.
Ia memakai blus senada warna dinding kamar ini sedang tas tangannya tampak
kompak dengan celana selututnya. Rambut ikalnya disumpit, seperti biasa.
Opnameku
menjadikan malam itu sebagai malam kumpul keluarga. Dua dari kakak-beradik
sepupu Mama, Pakde Di dan Tante Zahra, datang bersama keluarga
masing-masing. Mereka membawakanku
makanan manis dan buah namun masih cairan infus yang hanya diperbolehkan
memasuki tubuhku.
Pakde
Di adalah kakak Tante Zahra yang nomor dua. Dulu aku mengiranya bernama Dedi,
menuliskannya sebagai “Pak Dedi” di pohon keluarga, padahal nama lengkapnya
Ardian Yogaswara. Ia sebaya Mama, menikahi sahabat Mama, dan menghadirkan tiga
bocah badung luar biasa ke dunia. Alif, Faldi, dan Rifky menaiki tempat tidurku
dan saling memukuli satu sama lain di sana. Aku khawatir kalau mereka sampai
menimpa bekas jahitanku yang masih terasa linu.
Kontras
dengan dua anak perempuan Tante Zahra yang duduk saja di sofa seakan tak tahu
harus berbuat apa. Aku lihat Tante Zahra mengobrol dengan Mama, mungkin
membicarakan pertemuan dengan Om Yan yang tadi tidak jadi. Uwak Tata sibuk
menertibkan anak-anaknya, Pakde Di membaca koran, suami Tante Zahra smsan,
sedang Tante As malah hilang.
Malam
itu Mama tidur di sofa samping tempat tidurku. Dering ponsel di samping kepala
membangunkannya. Dengan suara parau dan malas ia menjawab panggilan. Kepalanya
menoleh padaku yang masih tegak bermain game di ponsel dalam kegelapan.
“Masih…” katanya. Tersuruk langkahnya saat melangkah ke tempat tidurku.
“Bibe…
Kok belum tidur?” tegur Papa saat aku menyapanya.
“Belum
ngantuk, Pa.”
Lalu
aku menceritakan kronologi kasus opname usus buntuku ini sesuai pintanya. “Papa
lagi ngapain?” tutupku.
“Lagi
ngopi-ngopi nih…” Derai tawa yang jadi latar jadi menjelaskan segalanya. “Di
Aceh banyak warung kopi lo, Be.”
“Seneng
Papa.”
Papa
tertawa. “Mau ikut ke Lhokseumawe enggak, Be?”
“Enggak
ah.”
“Kenapaa?”
“Masih
sakitlah perutnya… Jangan kebanyakan ngopi ah Pa.”
“Hahahaha,
iya Nona.”
“Entar
habis dari sana terusan ke selatan Pa, jangan langsung balik ke Jawa.”
“Ke
selatan itu ke mana?”
“Untuk
menemukan kembali akar budaya Papa yang hilang lah Pa. Buktikan kalau nenek
moyang Papa memang enggak makan orang.”
“Ah
kamu.”
Setelah
bicara sekian hal tak penting lainnya dalam momen yang sebetulnya penting ini,
percakapan disudahi. Aku serahkan lagi ponsel ke Mama.
“Dari
dulu tiap kali ngehubungin Mama pasti yang ditanyain Bibe aja,” kata Mama
seraya memasukkan ponsel ke kantung jaketnya. Sepertinya kantuknya sudah loncat
ke aku. Mari menguap lebar-lebar.
“Cemburu
yaa…” Telunjukku menuding pada Mama. Ia tidak terusik.
“Bibe
kan mirip Mama. Papa malu soalnya kalau nanyain Mama langsung, jadi diwakilin
sama Bibe aja,” jawab Mama penuh percaya diri.
“Bibe
enggak mirip kok sama Mama,” sangkalku. “Aku enggak suka ‘The Catcher in the
Rye’. Mama enggak suka ‘Little Women’. Ya kan? Ya kan?”
“Ah
Mama mah segala novel doyan kok.”
“Kalau
di ‘Little Women’, aku ini Margaret March, Mama itu Josephine March.”
“Ah
Mama enggak ngerti.”
“Iya
da Mama mah tahunya cuman Holden Caufield.”
“Iya
Mama kan sukanya yang apa adanya, enggak terlalu normatif.”
“Tapi
itu kan kasar. ‘Little Women’ juga enggak memotivasi buat bunuh orang.”
“Mama
tahu, Bibe suka dengerin lagu-lagu Mama juga kan…?” Ganti Mama menudingku
dengan telunjuk.
Aku
menepis angin dengan sebelah tangan. “Rock mah udah ketinggalan zaman. Sekarang
saatnya anak muda melestarikan keroncong, Ma.”
“Hah,
musiknya mbah-mbah itu!”
“Sekarang
kan zamannya back to retro, Ma. Makin retro makin gaul.”
“O
jadi sekarang Bibe sukanya keroncong?”
“Iya.
Aku mau download lagu-lagu keroncong yang baru makanya, pinjem laptopnya ya
Ma?”
“Tidur
ya, Nak.”
Yah.
***
Panjang ususku yang dipotong 5 cm
tapi saat bengkak jadi 12 cm. Dokter menawarkan apakah aku mau membawanya
pulang sebagai kenang-kenangan. Begitu dibawakan, aku jijik melihatnya.
Terlihat seperti sesuatu di dalam cairan jamban yang belum disiram. Ia mendekam
dalam cairan formalin. Benda itu harus lekas disingkirkan. Mama memintanya
untuk disimpan dulu. Tapi aku tidak ingin mereka yang membesukku melihatnya.
Pagi pertama, aku mulai kelaparan.
Tapi aku masih harus puasa. Aku baru boleh makan kalau sudah kentut. Mana aku
ingat selama tidur semalam aku sudah kentut apa belum. Aku jadi merasa tambah
hina deh. Ketika akhirnya aku kentut, aku hanya boleh minum sedikit-sedikit
tiap setengah jam. Baru beberapa jam kemudian aku boleh makan.
Aku sudah tidak ditunggui mamaku
lagi. Aku bilang pada beberapa teman yang menanyakan kabarku kalau aku sudah
boleh dibesuk. Merekalah yang lalu mendampingiku dalam ceria. Sebagian besar
teman sekelas plus wali kelasku datang. Lalu para warga sekolah lainnya dari
OSIS dan Paskibra.
Keinginan
mereka untuk membesukku amat menggugahku untuk bernyanyi.
Sejenak hatiku meragu. Suara
hatiku membisu. Tampak hati yang terasa, akan sesuatu tlah tiada.
Mereka
tak membiarkanku jemu dalam ketakberdayaan yang membuatku harus banyak
berbaring ini.
Kurindukan suasana baru.
Harapan mengubah hidupku. Mengisi kehampaan diri. Tuk mengganti yang telah
pergi.
Mereka datang lewat pintu, lewat jendela.
Membawa bunga, membawa buah, juga cerita
dan tawa. Mengecup pipiku dan
melontar canda di sekitar tempat tidurku.
Kau datang seketika,
mengejutkan jiwa. Sehingga ku terlena, sekejap ku merasa… Kau datang, demi
kebahagiaanku yang kucari.
Semenjak kau dalam hidupku,
kau berikan semua dirimu. Ku seolah tlah dihanyutkan di dalam arus kesepian.
Kau datang seketika, mengejutkan jiwa. Sehingga ku terlena, walau tuk
sementara…
Nuansa
jadi agak jomplang ketika beberapa teman mamaku yang datang. “Bibe, mau masuk
berita enggak?’ goda mereka seakan aku orang penting yang mana aku beli baju
saja bisa jadi berita. Mereka juga sudah lihat mendiang ususku. Tapi aku harus
tetap bersikap santun sama mereka.
Seharusnya
aku bisa pulang dalam tiga hari. Namun yang sudah membesukku ternyata tidak
datang lagi untuk dua kali.
Tante
As duduk di sampingku setelah magrib. Buku sketsa dan pensilnya jadi pihak
ketiga di antara kami. Sepertinya dunia rumah sakit mengilhaminya berbagai
“penglihatan”. Dan ia tidak bisa tidur
di sofa. Begitu Mama datang, ia undur diri. Paling juga, Papa menyempatkan diri
untuk menemaniku dalam waktu tak tentu.
Aku
meminjam laptop Mama, selain untuk menengok beberapa media sosialku, juga untuk
mengunduh lagu “Bengawan Solo”—membuktikan perkataanku sungguh-sungguh. Hanya
itu lagu keroncong yang aku tahu.
Aku
menyanyikan lagu itu di depan Mama untuk menggodanya. Ia tampak tak terusik,
sial.
Hiburan
lainku adalah ponsel Mama. Setidaknya ponsel itu bisa digunakan untuk memantau
linimasa di Twitter, main Angry Birds, merekam suara berdurasi lama dan gambar
berkualitas lumayan, serta mendengarkan serangkaian lagu-lagu lawas
pilihan—semua yang tidak bisa aku dapatkan di ponselku. Karena sudah beberapa
kali aku membuat ponselku rusak atau kecopetan, ponselku kini termasuk termurah
di pasaran.
Baru
pada pagi keempat aku diberitahu kalau aku sudah boleh pulang setelah
pemeriksaan terakhir menjelang siang nanti—untuk memastikan kalau kondisiku
memang sudah oke.
Tadinya
Mama mau memanggil taksi untuk membawaku pulang. Aku katakan padanya kalau
Tante As ingin menjemputku. Tapi hari itu ia punya acara yang tidak bisa
ditangguhkan. Baru sore ia bisa datang. Aku lebih memilih untuk dijemput Tante
As daripada dengan taksi. Kalau dengan Tante As, aku bisa langsung ke rumahnya.
Kalau aku harus bedrest, aku lebih memilih di sana ketimbang di rumahku
sendiri. Lagipula ia bekerja di rumah, jadi ia sambil bisa merawatku.
“Ya
udah kalau Bibe maunya gitu,” kata mamaku. Hari itu Minggu. Aku memutar
lagu-lagu keroncong selain Bengawan Solo untuk mengakrabkan pendengaranku
dengan irama musik satu ini. Aku berharap Mama terganggu. Tapi ia serius saja
membaca korannya sendiri sambil tiduran di sofa.
Masih
pagi ketika aku didatangi teman-temanku yang mulanya berniat jalan di car free
day, tapi tak jadi. Sayang sekali mereka tidak bisa menemaniku sampai waktunya
aku pulang. Begitu aku akan diperiksa, mereka pamit. Dokter mengatakan kalau
aku sudah boleh pulang (aku bilang padanya aku akan dijemput sore oleh tanteku)
dan masih harus bedrest seminggu.
Sebelum
waktu makan siang, aku masih kedatangan pembesuk. Mama lekas berdiri begitu
mereka masuk. Aku terpana melihat keduanya. Tampak begitu serasi dan sama
bergaya, sekaligus ada jarak yang berusaha mereka jaga.
Aku
belum pernah melihat wanita berkulit bening itu sebelumnya. Rambut panjangnya
halus mengikal di bawah. Tingginya sedang, mungkin sedikit di atas 160 cm.
Pria
yang menutupkan pintu—sedikit di belakangnya—adalah om flamboyan yang beberapa
hari lalu membereskan urusanku dengan rumah sakit. Aku pikir aku naksir arloji
peraknya.
Tangan
Om Yan mengarah pada wanita itu dengan sopan. “Masih inget, Teh? Dulu
seangkatan saya juga…”
“Inget,
inget…” tukas Mama antusias. Wanita itu menyebutkan namanya saat menjabat
tangan Mama. Kini aku bisa memanggilnya Tante Ri. Ekor mataku menangkap Om Yan
menaruh keranjang buah berukuran sedang di atas sofa di belakang Mama. Indahnya
rangkaian berbagai buah dalam keranjang tersebut bikin sayang untuk
memakannya—bahkan menyobek plastik pembungkusnya.
Ketika
pria itu tepat berada di dekat Mama, kusadari lagi betapa tingginya ia. Mungkin
tingginya di atas 180 cm. Mamaku tidak sampai 160 cm sih. Semerbak tubuhnya
yang khas memanjakan penciumanku lagi saat ia kembali menuju samping Tante Ri.
“Sakit
apa, Sayang?” tanya Tante Ri. Kucium
punggung tangannya yang terasa dingin. “Usus buntu, Tante.”
“Masih
sakit?” tanyanya lembut.
Aku
menggeleng seraya tersenyum tipis. “Udah enggak, Tante.”
“Diobatin
sama keroncong,” celetuk Mama.
“Oh,
doyan keroncong?” Binar di mata Tante Ri malah menyiratkan ketertarikan.
“Dari
kemarin ngunduhin lagu keroncong melulu.”
Aku
yakin, para anak muda umumnya setuju bahwa keroncong adalah musik yang paling
pas untuk dijadikan pengantar tidur. Sudah berlaku padaku, sekali ini dalam
pengalamanku opname di rumah sakit.
“Sama
kayak Vira dong, suka keroncong?” Ganti Om Yan menyeletuk. Dengan tampang
serius mengalihkan pandangannya dari kakiku ke wajah wanita di sebelahnya.
Tante
Ri terdiam sesaat, senyumnya mengembang lagi, lalu berkata padaku, “Iya, anak
Tante juga doyan banget sama keroncong.”
“Padahal
masih tujuh tahun… Ya?” Kedua tangan pria itu masuk ke dalam saku celana. Ia
menoleh lagi pada Tante Ri. Ketika mereka bertukar senyum, entah mengapa aku
jadi tersipu sendiri. Aku melirik Mama yang ternyata juga sedang menatap mereka
dengan sorot ingin tahu. Aku mengalihkan pandang lagi pada sejoli itu. “Suka
nyanyi di mana dia teh?” Wah logat Sunda om itu ke luar lagi.
“Namanya
Kedai Keroncong.” Tante Ri menyebut alamat tempat makan tersebut. “Di plangnya
ada gambar buaya.”
“Buaya?”
Heran Mama sekaligus geli.
Melihat senyumnya, wanita itu tampaknya jadi
tertular. Sambungnya, “Tiap kali ke Bandung, diajak terus sama eyangnya,
mau-mau aja.” Tante Ri memandangku dengan sungguh-sungguh. “Padahal jarang anak
muda zaman sekarang kan, yang suka keroncong. Katanya enggak ada anak
seumurannya yang suka ke sana juga.”
“Iya,
yang tua juga belum tentu senang,” kata mamaku—yang memang tidak senang.
“Ya
enggak apa-apa, buat hobi aja.” Sebagai makhluk paling tinggi di sini,
kepalanya tampak menunduk terus.
Aku
perhatikan, mereka memang selalu bertukar pandang tiap satu sama lain saling
menimpali.
“Iya
buat hobi aja enggak apa-apa… Kalau Bibe suka juga, ke sana aja, entar kenalan
sama Vira ya?”
Padahal
aku tadi belum menyebutkan namaku padanya. Mungkin Om Yan sudah kasih tahu di
perjalanan mereka ke sini. “Insya Allah Tante, kalau udah baikan ininya, hehe…”
Aku mengangguk sopan sambil mengusap selimut di atas bekas operasiku.
“Iya,
cepet sembuh ya.” Aku suka melihat senyum wanita itu.
Mereka tidak lama-lama membesukku.
Setelah mamaku tanya pada Om Yan apakah aku berat saat digendong, Om Yan
tertawa, Tante Ri memandanginya penasaran, sementara aku memberi isyarat tak
suka pada mamaku, mengalir obrolan basa-basi beberapa lama. Sejoli itu saling
berpandangan lagi. “Yuk?” tanya Om Yan pada wanita itu yang menyambutnya dengan
anggukan.
“Eh kok cuman sebentar?” kata
mamaku.
“Ini mau balik ke Jakarta.” Om Yan
menyentuh lengan Tante Ri saat mengucapkan itu.
“Iya, anak-anak belum pada ngerjain
PR.” Tante Ri mengelus kulitnya yang tadi disentuh.
“Oh, kirain teh rumahnya di
Bandung…” kata mamaku.
Setelah itu aku tidak begitu
memerhatikan percakapan mereka karena perhatianku terpusat pada gestur pasangan
tersebut. Mama mengantar mereka sampai ke pintu.
Dalam penglihatanku, aku terkesan
dengan pasangan dewasa yang kompak wangi, gaya, dan mesra seperti itu. Kedua
orangtuaku juga kompak kucelnya sih.
Wartawan memang tidak mesti
berpenampilan kucel, tapi begitulah orangtuaku. Aku tidak pernah bisa percaya
kalau Papa dulu pernah ganteng.
Mama pernah menunjukkan foto
Papa waktu masih SMA. “Tuh, ganteng kan?” katanya.
Masih imut, ya… tapi, “Ma,
yang kayak gini tuh kalau jaman sekarang namanya cupu!”
Kembali ke masa kini,
“Ma, padahal anaknya dibawa sekalian
ya Ma. Kan asik kalau ternyata aku bisa nyambung ngomongin keroncong sama dia,”
kataku sok.
Mama telah kembali berdiri di tepi
tempat tidurku. Tubuhnya berbalik dengan sebelah lengan berkacak pinggang.
“Hah? Anaknya siapa?”
“Anaknya Om Yan sama Tante Ri.”
“Om Yan tuh belum nikah.”
“Wow. Masak sih?!” Begitu ya, risiko
orang ganteng. “Tahu dari mana?”
“Ya omnya sendiri yang bilang ke
Mama kok. Pas ketemu kemarin itu kan Om Yan tanya sama Mama, anak udah berapa.
Kata Mama, ‘Satu aja cukup. Yan sendiri?’ Terus Om Yan jawab, ‘Belum. Istri
juga belum’.”
“Terus?”
“Terus, ya kata Mama, ‘Aih, masih
bujang!’”—lengkap dengan gestur. Mamaku tampak sangat ibu-ibu sekali saat
begitu.
“Terus
tantenya tadi…?”
“Enggak tahu.” Mama menggeleng.
“Tapi tadi bukannya Mama kayaknya
kenal sama Tante Ri?” Dahiku berkernyit.
“Iya,
dulu kan Om Yan sama Tante Ri sama-sama adik kelas Mama pas SMA. Nah, Om Yan
sama Tante Ri itu dulu pacaran juga. Kembang sekolah lo dulu, Tante Ri itu…”
Mama mengacungkan jempol.
“Ooh…”
Tante Ri tadi bilang kalau ia punya anak kan, berarti semestinya ia sudah punya
suami. Dan suaminya bukan Om Yan karena Om Yan belum menikah. Sementara itu,
dua orang telah jadi saksi bahwa sepertinya ada sesuatu di antara pasangan
tersebut. Kataku setengah berbisik dengan sorot mata penuh hasrat selidik,
“Affair ya, Ma?” Kedua telapak tanganku saling mengusap.
Kalau
di kalangan teman-teman sekolahku, tiap cewek dan cowok yang terlihat jalan
berdekatan biasanya diteriaki, “Pasti ada apa-apanya! Pasti ada apa-apanya!”
Meski sebenarnya masing-masing sedang jalan dengan koloninya dan kebetulan saja
tujuan mereka searah dengan jarak berdekatan.
Mama
agak kaget mendengar ucapanku. “Eh, Bibe, jangan mulai jadi wartawan gosip ya?”
“Aku
enggak wartawan gosip, aku wartawan investigasi—investigasi rumah tangga
orang.”
“Hah!”
Mama sepertinya ingin ketawa mendengar kata-kataku.
“Dulu
emang pacarannya hangat sekali, Be.” Mamaku mengacungkan jempol lagi. “Kalau
ngeliatin mereka, yang enggak pacaran jadi ingin pacaran, yang udah punya pacar
jadi memikirkan hubungan dengan pacarnya.”
Sepertinya
mamaku jenis yang pertama—dan selalu yang pertama sejak puber hingga menikah.
“Tapi
Mama cuman bisa lihat mereka pacaran setahun.”
“Hah,
kenapa Ma? Udah putus lagi?”
“Kan
tahun berikutnya Mama lulus, jadi enggak bisa lihat mereka saling menghangatkan
lagi.”
“Ah
Mama mah. Terus kenapa mereka akhirnya enggak jadi Ma?”
Mama
mengangkat bahu. “Enggak tahu. Om Yannya ke Amerika. Habis itu Mama enggak tahu
lagi kabarnya. Katanya sih emang jarang balik.”
“Oh.
Long distance relationship. Lo, Mama bukannya deket sama Om Yan dulu? Masak
enggak tahu?”
“Om
Yan tuh sama siapa aja deket, Bibe. Kalau mau tanya, tanyalah sama yang paling
deket.”
“Yaah…”
Aku mendesah. Pura-pura kecewa.
Sidang
gosip ditutup karena makan siangku datang. Meski rasa laparku datang pada waktu
yang normal, tapi sejak operasi makan beberapa suap saja sudah cukup bagiku
untuk menumpas rasa itu. Sepertinya nafsu makanku berkurang. Makanan dalam baki
masih sisa banyak. Mama tak bisa memaksaku.
Aku
pinjam ponsel Mama lagi untuk menembakkan burung-burung ke babi-babi. Mama
mengemas barang-barangku untuk dibawa pulang nanti. Sebelumnya, kami sudah
diberitahu kalau menjelang sore nanti beberapa petugas akan datang untuk
membantu kami membereskan sisanya.
Mama
mengangkat sebuah amplop putih besar. “Lo, punya siapa ini, Be?” Ia
mengamat-amati amplop tersebut. “Kayaknya bukan punya kita deh…”
“Tadi
Om Yan yang naruh keranjang di situ, barengannya itu kali,” kataku.
“Iya
kali ya… Entar Mama sms deh. Eh, aduh… Udah jam dua aja… Bibe, Mama harus pergi
nih.” Mamaku mempercepat gerakannya. Sekarang ia membereskan barang-barang yang
akan ia bawa pergi. Termasuk ponselnya yang dalam genggamanku.
“Laptopnya
ditinggal ya?” rengekku. Laptop Mama—sebenarnya lebih tepat disebut notebook
sih—mini, ringan, dan muat menampung belasan judul drama Korea dan Jepang.
“Enggak.
Mama butuh,” kata Mama tegas. Aku pun menyerahkannya dengan kurang rela.
“Terus
aku main apaa?”
“Main
sama temen-temen khayalan.”
Aku
mengerang.
Mama
cepat-cepat menukas, “Itu kan Mama udah tinggalin bacaan. Bukan buat pajangan
doang itu. Entar Mama langsung ke tempat Tante As aja ya. Barangnya yang
ketinggalan itu dijagain ya Be, bisi yang punya nyari.”
“Oke.”
Mama
merengkuh kepalaku, berusaha untuk menciumi pipiku dengan segenap gemas, dan
seperti biasa aku mengelak dengan segala daya.
***
Aku kembali menyanyikan “Kau Datang”
dari Krakatau sambil tiduran. Lenganku menggapai-gapai udara sebagai
improvisasi penampilan. Waktu aku masih suka ikut lomba menyanyi dulu, guru
vokalku acap mengingatkan agar memaknai setiap kata dalam lirik dengan gerakan.
Terdengar suara pintu dibuka. Kontan
aku menurunkan lengan dan membungkam mulut. Sebuah kepala lonjong melongok.
“Hai Bibe,” sapanya, tersenyum.
Kubalas dengan senyuman juga. Semoga
aku terlihat cukup manis. “Iya, Om. Mau ngambil amplop ya, Om?”
Ia mendekat lalu menumpu sepasang
telapak tangannya di kaki tempat tidurku. Pandangannya beredar ke sekeliling
ruangan. “Iya.”
“Tuh, di sofa Om,” kataku seiring
gerakannya mengambil benda yang dicari. Kepuasan di wajahnya seolah ia akhirnya
berhasil mendapatkan emas setelah menggali sedalam puluhan meter. Tanyaku
basa-basi, “Punyanya Om?”
“Iya, titipan ibu saya. Ke mana
Mama?”
“Udah pergi.”
“Sendirian aja?”
“Iya.”
“Enggak ada yang nungguin lagi?
Tante? Siapa?”
Aku menggeleng. “Entar sore udah juga
udah balik kok, Om,” kataku untuk memupuskan iba yang mulai tergurat di
wajahnya.
“Oh ya? Bagus dong. Siapa yang
jemput?”
“Tante.”
“Oh, adiknya Mama bukan?”
Aku mengangguk.
Katanya lagi, “Padahal dulu saya
sering main sama mamanya Bibe, sering main sama sepupu-sepupunya mamanya Bibe
juga, Tante Zahra… Om Mayong… Kenal?” Aku mengangguk lagi. Aku jadi merasa
lebih dekat dengan pria ini. Kukira ia sebetulnya orang yang senang bicara dan
mudah akrab. “Tapi belum pernah sekali pun ketemu sama adiknya mamanya Bibe.”
“Kalau gitu, Om harus tunggu sampai
sore biar bisa ngeliat Tante, hehehe…”
Ia tertawa. Matanya juga tersenyum
saat bibirnya tersenyum. Ini baru yang namanya benar-benar senyum. Aku
menyukainya. “Iya, semoga kapan-kapan Om bisa kenal juga sama tantenya Bibe,”
ucapnya. “Besok Om udah balik Bibe. Harus segera kerja lagi.”
“Kerja di mana, Om?” tanyaku dengan
nada sopan.
“Di mana-mana.”
“Di mana?” Mendadak aku jadi ingin
menyanyikan lagunya Ayu Ting Ting.
“Jauh banget tempatnya Bibe… Kadang
pindah-pindah.”
Mungkin ia kerja di perusahaan
internasional yang cabangnya terserak di berbagai belahan dunia—seperti Om Pir,
suaminya Tante As.
“Di mana? Di Antartika?” tanyaku
iseng.
“Bukan, di Planet Mars.”
“Wow. Om astronot ya?”
“Iya.”
“Terus ngapain aja Om di planet?”
“Om pemain musik, Bibe.”
“Iya? Astronot juga main musik?”
“Iya. Sekarang astronot juga
mengenalkan musik bumi ke planet-planet lain. Semacam studi banding gitu.”
“O, jadi kayak duta budaya gitu ya,
Om?”
“Betul sekali Bibe. Tiap planet
punya musik khasnya sendiri, seperti kalau di Sunda kita punya calung atau
tarling. Jadi kita kenalkan musik kita ke mereka, mereka kenalkan musik kita ke
mereka, lalu kitacoba mencampur musik kita sama musik mereka.”
Sesaat aku menganggapnya serius. “Om
pernah ke planet mana aja?”
“Macem-macem Bibe. Dari yang deket
matahari, sampai yang jauh sekalian Om pernah. Makanya Om udah lama enggak
pulang ke bumi.”
“Terus gimana Om kesan-kesannya pas
pulang ke bumi lagi?”
“Mm… Panas. Banyak sampah…”
“Hahaha… Itu mah Bandung banget,
Om…”
Aku hanyut dalam keasikan mengobrol
dengannya. Satu topik bersambung topik lain meski durasi pembahasan tiap topik
pendek saja. Topik lalu meloncat makanan siangku yang belum habis.
“Udah dimakan tadi kok Om, dua sendok.”
“Kenapa enggak dihabisin?”
“Abis operasi enggak gitu nafsu
makan.”
“Kenapa? Rasanya?”
“Enggak, Om. Enggak pingin makan
aja.”
“Enggak takut kurus?”
“Enggak. Cewek seumuran aku mah
kayaknya enggak ada yang enggak pingin kurus malah Om…”
Ia tersenyum. “Mau makan lagi?”
“Enggak ah.”
“Mau disuapin?”
“Eh…”
“Kalau Om yang nyuapin rasa
makanannya jadi manis lo, Be.”
“Masak?”
Ia mengambil baki makanan siangku,
menyendok nasi dan potongan lauk, lalu menyuapkannya padaku. “Aaa…”
Aku jadi merasa seperti anak kecil.
“Bener kan?”
Sebenarnya rasanya tetap hambar.
Mungkin yang terpenting bukan rasa makanannya, tapi rasa yang ada dalam diri
kita ketika kita sedang makan. Toh makanan apapun akan terasa nikmat kalau kita
benar-benar merasa lapar bukan? Seperti kehangatan nan nyaman yang sontak
menyelubungiku ini.
Aku terbatuk. Ia menyodorkanku air.
“Jadi ngerasa kayak anak kecil, Om,” kataku setelah beberapa teguk dan tenang.
“Enggak apa-apa Bibe,” katanya
lembut. “Kalau memungkinkan setiap orang mungkin enggak bakal nolak kalau
dikasih kesempatan buat jadi anak kecil lagi. Ya enggak?” Ia memberiku tisu.
Tapi pada akhirnya aku tetap tidak
menandaskan isi baki tersebut. Selain sungkan karena disuapi, aku benar-benar
tidak berhasrat makan lebih banyak.
Jadi kami mengobrol lagi. Salah satu
topiknya adalah koran mamaku. Itu salah satu bacaan yang sengaja Mama tinggal
untuk menghiburku meski aku sama sekali tidak terhibur membaca itu. “Mana
tulisannya Mama?” tanya Om Yan seraya membuka halaman demi halaman koran
berskala regional tersebut.
Biasanya tulisan mamaku muncul di
hari Minggu. Spesialisasinya ada di softnews dan koran Minggu kan memberi ruang
lebih untuk itu. Tapi hari itu tulisannya tidak ada. “Mamaku malesan sih
orangnya, haha…” kataku. Ia hanya wartawan biasa yang kerjanya jalan-jalan,
menulis laporan, dikasih teguran, mengedit, lalu dapat duit. Ia tidak
seambisius Papa.
***
Sedang asik membicarakan ranah-ranah
yang biasa jadi topik tulisan mamaku, pintu terbuka. Seraut wajah yang muncul
mendinginkan tengkukku. Dulu rambut di kepala, atas mata, dan bawah hidungnya
tampak kontras dengan warna kulitnya. Namun kini dilabur uban jua. Selain itu,
bagian tengah dahinya menghitam. Selebihnya sama seperti dulu, selalu: mulut
terkatup dan mata mendelik.
Jangan pergi… Jangan pergi… batinku
untuk Om Yan yang seketika berdiri. Om Yan melipat koran lalu menyalami.
“Siapa?” nada suara pria berumur
tersebut seperti menyelidik.
“Saya teman mamanya Bibe, Pak.”
Tangan yang saling berjabat itu naik
turun lalu lepas. Dan lepas pulalah Om Yan dari penglihatanku setelah
sebelumnya melempar pamit yang sangat membuatku kehilangan.
“Jangan lupa amplopnya Om…”
...jangan biarkan aku berdua saja
dengan monster tua ini…
Waktu masih kecil, aku selalu jadi
gelisah kalau ia mendekat. Ketika ia coba menggendongku, aku menangis sambil
meronta-ronta. Setelah diturunkan, aku cepat-cepat menyusup ke dalam pelukan
Mama agar tidak usah melihat rupa pria itu.
Meski amat keder padanya, ketika
akhirnya ia benar-benar pergi aku malah jadi suka menanyakannya pada Mama. Mama
pun bercerita. Tiap kali aku bertanya, ceritanya bertambah panjang.
Setelah pensiun, ia mengasingkan
diri ke pelosok Jawa Timur. Ia membeli sebuah kebun lalu mengolahnya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Untuk menghalau kesendiriannya, ia
memelihara perkutut.
Suatu
hari, perkututnya hilang. Peristiwa ini berdampak serius baginya. Ia merasa ada
bagian dari dirinya yang hilang pula.Sejak itulah ia mendapatkan makna dari
kebebasannya. Ia belajar menjadi seorang mubalig.
Karena
tak beristri, ibu-ibu di sana jadi berani menyukainya. Namun ia tak
mengacuhkan. Ia mengabdi pada masyarakatdengan coba memecahkan permasalahan
daerah tersebut pada musim kemarau.
Belum lama ini aku membaca sebuah
novel dari koleksi Mama: “Kooong”-nya Iwan Simatupang. Novel ini bercerita
tentang seorang pria yang hidup menyendiri dan memelihara perkutut. Menurut
seorang kritikus, cerita ini beraliran filsafat eksistensialisme—apapun itu.
Aku juga baca “Kemarau”-nya A. A. Navis. Setelah membaca keduanya, aku jadi
sadar kalau seharusnya aku membaca banyak novel sastra Indonesia sejak aku
masih kecil. Jadi aku bisa segera tahu kalau Mama hanya mengganti tokoh utama
dari novel-novel tersebut dengan Kakek.
Jadi entah benar apa tidak kalau
Kakek memelihara perkutut dan sampai menganggap perkutut itu sebagai bagian
dari dirinya, atau bahkan jadi mubaligh. Tapi sepertinya benar kalau ia jadi
rajin solat.
Ia berkaos polo, bercelana bahan,
dan menenteng plastik hitam ukuran sedang. Plastik itu bertonjolan seperti
penuh buah di dalamnya. “Sudah makan belum?” Ia mencari-cari tempat untuk
meletakkan bawaannya.
“Udah,” jawabku pelan.
Ia
tidak melihatku. Ia mengambil sebuah mangga dari dalam plastik yang akhirnya ia
letakkan berdempetan dengan baki makan siangku. Ia membawa pisau sendiri juga
rupanya. Apakah ia mengupas mangga dalam bis yang membawanya ke sini? Di mana
ia membuang kulit dan biji yang sudah digerogotinya? Ia masuk ke dalam kamar
bandi dengan mangga dan pisau itu. Ketika ia kembali, tetes-tetes air
berjatuhan dari benda-benda dalam genggamannya yang juga basah itu.
Dari
dalam plastik yang sama, ia mengeluarkan sebuah plastik kecil lagi. Mulut
plastik itu menganga. Aku bisa melihat kupasan kulit manggadi dalamnya. Ia menjatuhkan
plastik itu dekat kakinya lalu mulai mengupas.
Mangga
tersebut tampak tak begitu berair. Warnanya juga tidak begitu oranye, cenderung
kuning. Ia menyodorkan sebuah potongan langsung ke dekat mulutku. Aku meraupnya
dengan terpaksa.
Setelah
momen langka ini berlalu, ia membaca koran sambil tiduran di sofa lalu
tertidur. Aku berharap Tante As lekas datang untuk mengakhiri saat-saat
mendebarkan ini. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku sangat takut pada
papanya Mama dan tanteku ini.
***
Kakek
menginap semalam di rumah Tante As. Ia tidur di sofa sementara aku tergeletak
di satu-satunya kamar tidur di rumah itu selain kamar tidur Tante As. Kakek
kembali ke pengasingannya dengan bis malam. Sisa hari bedrest-ku setelahnya
kuhabiskan dengan kegiatan yang nyaris sama dengan yang kulakukan sewaktu
opname. Aku terutama membaca ulang novel Iwan Simatupang dan A. A. Navis lalu
mengontekstualisasikannya dengan sosok Kakek yang sudah lama tidak aku jumpai
itu. Bedanya dengan di rumah sakit, aku tidak bisa membiarkan seorang pun
menjengukku ke sini.
Tante
As mengizinkan orang-orang tertentu saja untuk main atau tinggal sejenak di
rumahnya, sebut saja aku, jadi mama-papaku termasuk, sahabat-sahabatnya,
papanya, dan tentu saja suaminya.
Karena pekerjaannya, suami Tante As
hanya sempat mengunjungi istrinya beberapa kali dalam setahun—paling banter
sebulan sekali. Atau kalau suatu proyeknya sudah tuntas, Tante As yang
mengunjungi Om Pir di entah negara mana yang sedang ditinggali, sekalian
berlibur. Seperti sudah kusebutkan sebelumnya, hidup Om Pir nomaden berkat
kariernya di perusahaan internasional.
Namun
Tante As sudah lama mengidamkan hunian dengan studio permanen dan privasi
tinggi di dalamnya. Setelah rujuk dengan Om Pir, suaminya yang penuh cinta dan
kasih itu melimpahinya dengan berbagai materi, antara lain: sebuah rumah lega
dengan desain luar dalam sesuai impian dan kebutuhan tanteku, sebuah mobil
mungil nan nyaman, sebuah kartu yang jika digesek pada alat yang tepat akan
menunjukkan kesaktiannya, serta persediaan makanan-minuman kemasan selama
berbulan-bulan.
Pekerjaan
Tante As berkaitan dengan bidang grafis. Paling sering kutahu, ia tengah
mengerjakan ilustrasi untuk buku anak-anak. Sesekali ia ke luar dari dunianya
untuk menemui klien secara langsung, meriset, belanja, atau bersosialisasi.
Hanya
aku dan Om Pir yang diikhlaskan masuk ke dalam studionya yang luas itu. Ada
lemari panjang berisi semata pakaian, jejeran rak-rak untuk memuat beragam file
dan bukunya yang rata-rata bergambar apik, kulkas ukuran sedang dengan
cemilan-cemilan menyegarkan di dalamnya, lalu mejanya—peralatan gambarnya yang
lengkap tertata rapi di situ, disertai sebuah PC dengan layar besar yang mampu
menampilkan kekayaan warna, ditambah pula perangkat elektronik lain yang memfasilitasinya
dalam membenahi gambar di komputer—menghadap jendela yang mengarahkan indra
penglihatanmu pada lanskap taman yang meneduhkan. Beberapa hasil karyanya
mengisi sisi-sisi dinding putih. Ada juga yang berbaris menyandar begitu saja
di atas lantai kayu.
Meski
ia bisa saja membuat waktu kerjanya fleksibel, tanteku senang bekerja ala PNS.
Ia bahkan punya pakaian sendiri untuk itu—blus dengan warna-warna pastel serta
celana pendek yang seperti potongan celana lapangan. Lima hari dalam
seminggu—Senin hingga Jumat, ia duduk di kursi putarnya yang besar, empuk, dan
ergonomis mulai jam delapan pagi, ke luar dari studionya jam dua belas siang,
kembali lagi jam satu siang, dan meregangkan tubuh jam empat sore. Ia tidak
selalu menaati jadwalnya dan itu hanya terjadi kalau ia punya janji bertemu
dengan orang lain atau ada keperluan yang harus dipenuhi segera.
Setelah
itu, ia akan menghabiskan waktu di luar studio dengan leyeh-leyeh di sofa ruang
tengah atau beraktivitas santai lainnya. Ia akan masuk lagi ke balik pintu
keramat itu jam sembilan malam.
Di
pojok studionya ada sebuah ruang tidur. Benar-benar ruang tidur karena di
dalamnya hanya ada double bed, rak pendek, AC, lampu berdiri, serta nuansa
warna kalem yang sangat kondusif bagi mata untuk beristirahat.
Ia
bangun pukul setengah enam pagi lalu masuk kamar mandi, solat, meneguk susu
langsung dari kardusnya sembari menata barang-barang, menonton berita pagi
sambil ngemil sereal, berolahraga raga ringan dengan panduan video, mandi, dan
bekerja.
Di
luar studionya, ia punya ruang tengah yang luas. Ada deretan sofa berwarna
cokelat lembut—tempat ia dan para sahabatnya biasa bercengkerama. Agak jauh di
seberang, dipisahkan meja dan ruang gerak yang cukup untuk melakukan yoga atau
senam ringan, adalah sebuah TV besar. Ini hanya salah satu alasan lain mengapa
aku lebih suka rumah Tante As ketimbang rumahku sendiri: TV-nya bersambungan
kabel.
Ruangan
ini dibatasi oleh dinding studio; dinding kaca yang berbatasan dengan sepetak
halaman berumput dan dinding hitam yang kasar; pintu-pintu menuju ruangan lain;
serta akses menuju ruang tamu dengan luas sewajarnya.
Selain
ruang-ruang yang sudah kusebutkan tadi, hanya ada sebuah kamar mandi dan sebuah
kamar tidur lagi di rumah ini. Area cuci-jemur berada di samping rumah namun
tidak terlihat dari halaman depan yang luas. Halaman tersebut berdampingan
dengan carport. Setelah carport terdapat garasi bersambungan lantai paving
block yang muat dua mobil. Meski hanya ada sedikit ruangan dalam rumah ini,
tapi tiap ruangan menimbulkan kesan lega. Rumah ini memakan tanah yang cukup
luas.
Tante As tidak mau ada lantai dua dan tidak
merasa butuh pembantu. Ia merapikan dan membersihkan sendiri isi rumahnya di
akhir minggu. Pakaiannya lebih licin dari hasil setrikaan binatu.
Terakhir,
Tante As punya pantri yang menampung persediaan makanan-minuman kemasannya
selama… Yang jelas aku kira ia tidak pernah kehabisan semua itu di pantrinya.
Tanteku tidak bisa masak. Jadi dalam hal ini ia suka yang praktis. Ia berusaha
mengimbangi asupan gizi dengan membiasakan diri makan buah. Kulkasnya selalu
terisi beragam buah dan bahan lain yang tidak butuh diolah secara macam-macam.
Tapi kalau aku perhatikan, ia masih lebih banyak mengonsumsi produk kemasan
ketimbang buah.
Aku
pikir kehadiranku di rumahnya memperbaiki gizinya juga untuknya—lewat mamaku.
Kalau tahu aku sedang di rumah Tante As, Mama pasti pulang ke sana juga dengan
membawa beberapa bungkus makanan rumahan—sayur terutama. Mama juga yang
menanakkan nasi. Tanpa banyak komentar, Tante As yang kemudian membereskan
semuanya. Ia memakan apa yang Mama bawa seakan tidak ada pilihan lain.
Kendati
tidak handal dalam perkara perut, Tante As adalah konsultan penampilan terbaik
yang kupunya. Selama ini ia yang membelikanku pakaian, luar maupun dalam. Kalau
bukan ia yang belikan, ia bakal komentar macam-macam Menurutnya, mamaku tidak
punya selera.
Tante
As tidak suka melihatku pakai atasan tanpa lengan atau bawahan yang
memperlihatkan paha. Saat aku begitu, ia akan mencubit bagian tubuhku yang
terbuka. “Pamer-pamer lemak, malu ah!”
Setelah
lulus S1, Tante As mendapat beasiswa belajar di Amerika Serikat. Menurut Mama,
sebelum pergi ke sana tanteku terlihat berisi—tidak selangsing setelah ia
kembali. Mama curiga sewaktu di AS tanteku melakukan sedot lemak.
Tante
As yang mendandaniku tiap kali aku ada penampilan, misalnya saat aku masih suka
mengikuti lomba peragaan busana atau menyanyi saat SD dulu, atau saat aku
berpartisipasi dalam pertunjukan tari. Mulai SMA, aku sudah tidak pernah ikut
macam begitu lagi. Namun kerewelan Tante As dalam hal ini tetap ada, apalagi
ketika aku menjawab tidak saat ia bertanya apakah aku dandan dulu sebelum pergi
dengan teman-temanku.
Ketika
aku berjerawat, ia puas kalau itu akibat aku tidak menuruti petuahnya untuk
rajin cuci muka.
Ia
juga yang mengenalkanku dengan luluran. Pertama kali ia melulurku adalah
sewaktu aku masih SMP awal. “Jangan kayak mama kamu, kulitnya enggak pernah
kena lulur,” aku masih ingat kata-katanya waktu itu. Menurutnya, kulitku yang
sudah kusam jadi makin kusam karena aku banyak aktivitas di luar ruangan.
Setelah itu ia menyuruhku rajin melulur tubuhku sendiri. “Jangan sampai
ditelanjangi dua kali,” ancamnya.
Ia
tahu dirinya tidak rupawan. Tapi menurutnya, asal kita tahu cara menata
penampilan, kita tetap bisa tampil menawan.
Dengan
kulit gelap dan tulang besar yang membuat tubuh kelihatan berisi, sebenarnya
aku lebih mirip Tante As ketimbang Mama. Perawakan Mama lebih kecil, kulitnya
terang, dan parasnya lumayan seandainya ia selalu sadar untuk kontrol ekspresi.
Meski demikian, ciri fisikku yang demikian mungkin sebenarnya warisan Papa.
Kalau
aku berada di rumah Tante As pada akhir minggu, dan Tante As sendiri tidak
sedang acara di luar rumah, kami suka maskeran bersama. Adalah kegiatan
favoritku untuk bereksperimen meramu masker untuk berbagai hasil—hal yang kalau
aku lakukan di rumah saat sedang ada Papa, pasti aku diprotesnya, “Sayang itu,
mending buat dimakan aja!”
Saat
aku berada di rumahnya tiap hari begini, kami coba membuat masker harian. Kami
campur merata 3 sendok teh cokelat, 2 sendok teh madu, dan tiga sendok teh
bubuk oatmeal hingga jadi krem pekat. Setelah itu, kami mengoleskannya pada
wajah secara merata. Kami harus menunggu hingga 10-15 menit sebelum membilasnya
dengan air hangat.
Sebelumnya,
kami sudah pernah coba mencampur oatmeal dan telur jadi pasta untuk mengatasi
kulit berminyak. Kata Tante As, kulit gelap yang tidak dirawat akan jadi lebih
berminyak dan terlihat kusam.
Kami
juga pernah mencoba masker agar wajah halus dan lembut. Tapi kami membutuhkan
gandum, madu, yoghurt, dan almond. Semua itu relatif mahal. Kami belum
mencobanya lagi.
Saat
mengaduk cokelat, madu, dan oatmel dalam mangkok kecil itulah aku ingat pada
sepenggal percakapanku dengan Mama-Papa di suatu kesempatan. Waktu itu aku
bergidik dengar Mama panggil aku pakai “sayang”, lantas Papa tertular
menyebutku “cinta”. Aku pun protes pada mereka.
Jawab
Mama, “Dengerin Bib, mamanya mamamu ini enggak pernah manggil anak-anaknya
dengan ‘sayang’, ‘cinta’, atau ‘beibeh’ sekalipun. Jadi sekarang Mama belajar
buat enggak segan-segan nunjukkin sayang sama anaknya…”
Mamanya
mamaku meninggal saat Mama dan adiknya masih SMP.
“Papa
juga enggak pernah sekalipun dipanggil ‘cinta’ sama papanya Papa,” tambah Papa.
Papanya
Papa hilang tanpa petunjuk saat Papa masih SD. Begitulah nasib wartawan Orde
Baru, begitulah aku acap diberitahu.
“Masak
anak laki-laki dipanggil ‘cinta’?!”—sama papanya pula. Aku tambah merasa aneh.
“Cara
mendidik anak itu harus beda sama cara orangtua kita mendidik dulu ya?” jadi
aku bertanya begitu pada Tante As yang sedang mengelap mukanya dengan handuk.
Poni yang biasa melengkung di dahinya tak tampak lagi berkat bando kain.
“Enggak
tahu ya. Aku kan enggak punya anak,” jawab Tante As.
“Tante
enggak nganggep aku anak Tante?”
“Kamu
mau jadi anakku, atau keponakanku?”
“Mmmm…”
Aku mencibir.
Ia
tiba-tiba mencubit hidungku dengan gemas. Sontak aku mengaduh. Cubitannya
terasa kasar. Rupanya jari-jarinya sudah mencelup adonan masker. “Biar
mancung!” ucapnya. Memang hidungku pesek.
“Sini,
Tante maskerin.” Ia berjalan menuju sofa kulit di tepi dinding kaca. Mangkok
kecil isi adonan masker sudah ditopang sebelah tangannya. Ada tanaman tinggi
dalam pot di belakang sofa tersebut. Sepertinya akan terasa sangat damai sekali
kalau tiduran di sofa itu, sambil dimaskeri, sambil mendengarkan lagu-lagu
lembut. Aku mengambil ponselku, sudah kutancapkan headset ke salah satu
lubangnya, dan memosisikan tubuhku senyaman mungkin di atas sofa yang
sepertinya memang didesain untuk tiduran. Bagian kepalanya meninggi.
Tante
sudah keburu menguasai mukaku sebelum aku sempat memilih-milih frekuensi radio.
Ketika aku hendak bicara, ia menekan kedua belah pipiku sehingga mulutku jadi
monyong dan tidak bisa berkata-kata. Jadi aku mau tak mau diam sampai ia
selesai. Saat ia belum beranjak dari dekatku, akhirnya aku bisa melontarkan ini
juga, “Tante, Tante enggak mau punya anak?”
“Tante
enggak mau kalau entar punya anak, anaknya kayak Bibe,” kata tanteku
berlambat-lambat.
“Ya
kan mamanya anaknya tante kan bukan mamanya Bibe, jadi anaknya enggak bakal
kayak aku dong.”
“Terus
kayak siapa?”
“Kayak
mamanya dong.”
“Emang
entar Bibe pingin punya keponakan kayak Tante?”
“Enggak
apa-apa sih, asal enggak jutek aja.”
“Wah,
enggak bakal jadi dong.”
“Jadi
dooong… Kalau Tante As udah enggak jutek lagi.”
“Hm…
Bisa enggak ya?”
“Bisaaa…!”
Dari
beberapa sahabat Tante As yang kuketahui, ada juga yang belum punya anak—bahkan
belum menikah. Mungkin selamanya ia tidak akan menikah. Ia seorang perempuan
dengan rambut pendek, berkacamata, bermobil bagus, dan suka merokok di balik
dinding kaca—Tante As tidak senang kalau rumahnya kotor, apalagi dengan abu
rokok.
Entah
mengapa aku suka punya pandangan lain terhadap orang yang tidak menikah. Aku
tidak mengerti mana alasan yang lebih tepat: apakah jodoh sesulit itu atau
karier semenarik itu? Atau ada alasan lain yang sebaiknya aku tidak tahu?
Tante
As telah menjauh. Kulihat ia mulai memaskeri mukanya sendiri. Aku menancapkan
earphone ke lubang telingaku lalu memilih-milih frekuensi radio.
Aku
ingat. Temanku bilang ada radio yang suka memutar lagu-lagu bagus dengan
sedikit iklan. Ia bilang begitu sambil menunjuk stiker dengan logo radio
tersebut di kaca belakang mobil samping angkot kami. Lampu merah sedang
menghadang.
Kalau
tidak salah, frekuensi radio tersebut 100.4 FM. Iseng kusetel ke sana. Sebuah
lagu menusuk pendengaranku dengan lirik berbahasa Indonesia dan nada menggoda.
Suara si pelantun terdengar agak serak dan renyah namun lembut dan nyaman di
telinga.
Kepalaku
bergoyang-goyang karena larutnya menghikmati. Kulipat kaki. Kuangkat sedikit
kaos untuk mengintip bekas jahitan di bagian bawah perut yang mulai mengering.
Terik
mentari siang nan sengit yang mengintip dari jendela di seberangku makin
menguatkan kegalauan terpendam yang kutangkap dari lagu tersebut. Tapi kemudian
senyumku melebar karena akhir lirik lagu tersebut cukup membahagiakan.
Sesudahnya,
penyiar wanita bersuara rendah dan berat—yang kemudian aku tahu kalau itu
adalah ciri khas radio tersebut—menerangkan kepadaku ihwal pembawa lagu
tersebut—adalah sebuah grup jazz dari Boston, AS, yang dibentuk para mahasiswa
Berklee College of Music asal Indonesia.
Aku
menangkap satu nama yang dikatakan sebagai personil paling menonjol dalam grup
tersebut. Prestasi individualnya dalam bermusik amat terkenal di kancah
internasional. Ia telah memenangi berbagai kompetisi, mencipta banyak
komposisi, acap berkolaborasi serta mengiringi para musisi jazz yang sepertinya
terkenal—tapi aku tidak kenal—dan punya grup-grup lain di samping grupnya yang
satu itu. Ia pianis. Namanya Ardian Hayyra. Belum lama ia memenangkan
penghargaan untuk nominasi Pianist of the Year dari Jazz Journalist
Association. Ia juga salah satu penampil di Java Jazz kemarin—sekitar satu-dua
minggu lalu.
Aku
tidak pernah mendengar lagu itu sebelumnya. Nadanya mengiang-ngiang dalam
benakku sampai lama. Kegalauannya masih membekas saja meski aku tidak ingat
persis liriknya. Aku bangkit. “Tante, aku mau internetan yah…” Serpihan masker
berjatuhan di pangkuanku. Sepertinya aku harus membersihkan mukaku dulu.
Akhirnya
aku berhadapan juga dengan kotak pencarian Google. Kuketik nama itu. Google
bertanya, do you mean ardian hayyra?
Ternyata huruf y-nya dua. Hasil pencarian terbaru pun muncul. Aku mengklik link
teratas yang merupakan pemberitaan terbaru dari sebuah media berita Indonesia.
“Akhirnya
diundang main di Indonesia,” begitu tajuk berita entertainment tersebut. Di
samping kolom berita terdapat foto sang pianis. Senyumnya begitu lebar dengan
sorot mata yang berseri-seri. Aku mengenalinya, ia om astronot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar