Selasa, 01 November 2011

Menari di Tegallega

            Mari kita memasuki sebuah gang.  Setelah jalan beberapa meter, kita belok kiri. Sepanjang jalan mulus karena disemen. Tapi jangan menggambar di atasnya. Tidak rata.

            Di sebelah kiri ada dinding tembok yang tinggi. Memang ini rumah besar. Tidak usah heran karena rumah ini memang menghadap ke jalan. Ia seperti benteng bagi rumah-rumah kecil di belakangnya.

            Salah satunya, yang berpagar cokelat itu, mari kita ke sana. Dari muka pagar, ada jalan berbatu menuju pintu depan rumah. Tidak banyak yang bisa dinikmati dari pemandangan di kanan-kiri jalan. Pemilik rumah ini meletakkan pot-pot tanaman itu hanya supaya halaman rumahnya tidak terlihat kosong saja. Dan berharap agar hujan mau bekerja sama—menjaga kelangsungan hidup mereka untukknya. Tapi hujan tak selalu mau kompromi, jadi kadang aku ambil alih.

            Di teras berubin dengan corak-corak krem itu, tidak usah lepas sepatu tidak apa-apa. Memang dipasang untuk memberi para penghuni rumah kerjaan: menyapu. Ada beberapa kursi dan sebuah meja di sini. Di tepiannya, berjajar beberapa pot. Kunci rumah ada di bawah pot tanaman berduri.

            Mari kita masuk rumah.

            Bukan hanya ketika mendung, tapi memang suasana rumah ini menguarkan kesan teduh—atau suram. Sepertinya karena cahaya matahari terhalang dari bangunan di depan tadi. Tapi kalau senja ia akan merembes lewat celah apapun di bagian belakang rumah.

            Sudah cukup melihat ke depan. Kalau mau, silahkan turunkan pandangan ke bawah. Ada satu set sofa di ruangan depan ini. Kamu bisa tiduran dengan menyelonjorkan kakimu, sepanjang apapun, di sisi kanan. Memang sengaja ditumpuk pakaian-pakaian itu di sana untuk membuat area tersebut semakin nyaman direbahi. Perhatikan, ada jejak tubuh di situ. Padahal mereka sudah siap setrika.

            Tadinya aku membayangkan ruangan ini masih diceceri bungkus cemilan, tumpukan piring kotor, gelas-gelas bekas pakai, juga buku-buku terkulai.

            Ruang depan: lewat.

            Ada dua pintu di sisi kiri ruangan ini. Pintu pertama menuju ke kamarku sedang pintu berikutnya adalah pintu kamar orangtuaku. Tapi mereka lebih suka rebutan lahan di sofa. Selain sebagai ruang kerja dan ruang tidur orangtuaku, ruang depan ini juga berfungsi sebagai garasi kalau malam. Ruang tamu? Apa gunanya kursi-kursi dan meja di teras tadi?

            Jadi ini adalah rumahku. Sebuah rumah kecil yang sesekali penghuninya menyadari bahwa rumah ini begitu “penuh”. Tapi tidak tahu apa yang harus disingkirkan.

            Mari kita belok kanan sedikit. Ada meja makan di sana. Tapi kursi-kursi yang berdiam di bawahnya itu jarang ditarik pada waktu makan. Beberapa piring yang masing-masing berisi tumisan dan gorengan bisa dipastikan selalu ada di bawah tudung saji. Aku selalu memastikannya.

            Selanjutnya kita belok kiri. Hanya sebuah dapur dengan tangga menuju tempat jemuran dan kamar mandi di ujungnya. Bak cuci piring tampak kosong. Bahkan kotoran tokek di dekat tangga pun sudah raib. Baguslah! Padahal aku ingin jadi anak berbakti hari ini. Tapi aku bukan orang yang mudah putus asa.

Tante As telah sering berpesan padaku agar aku rajin membersihkan rumahku sendiri. Lagipula aku memang terinspirasi oleh kerajinannya bersih-bersih rumah. Tante As ogah ke mari lagi karena lokasi rumah ini yang berada di gang sempit, kurang pencahayaan, dan biasanya berantakan.

            Di dalam mesin cuci, aku menemukan setumpuk pakaian di yang tampaknya belum diguyur air dan detergen. Pakaian renangku dan Papa menyembul di balik kemeja. Pikirku melayang pada Papa, apakah ia masih di Bandung? Apakah perutnya masih sakit? Kalau ia di Bandung, ia suka mengajakku berenang kapan pun kami sempat. Kami biasa pakai kolam renang UPI. Kami juga sering berkompetisi. Dua hari lalu, saking berambisinya mengalahkan Papa, aku tidak memerhatikan arah luncuranku dan tahu-tahu aku menyeruduk perut Papa.

            Setelah menyetel mesin cuci agar memutar pakaian selama 15 menit, aku nyalakan radio tape besar di pojok ruang meja-makan. Aku mencari kaset mana yang merupakan kaset dari album kompilasi lagi-lagu era 80-an favoritku. Mamaku tidak tahu kalau aku juga suka. Maka saat begini adalah sangat aku nikmati. Mama tidak ada jadi aku bisa menyalakan musik keras-keras tanpa ia tahu kalau kami sebetulnya bisa berbagi selera. Sebagai anak generasi 80 akhir – 90 awal, pada eranya mamaku rajin mengikuti perkembangan musik. Memang koleksi kasetnya masih kalah banyak dengan koleksi novelnya, tapi banyak tetap banyak. Mamaku tidak mau menyia-nyiakan uang yang dulu telah ia habiskan untuk memenuhi koleksinya tersebut. Maka mp3 tidak berjaya di rumah ini.

Di antara ruang depan dengan ruang meja-makan, ada satu ruangan lagi. Setelah tanteku pindah ke rumah yang jauh lebih lega dan mewah, papaku memindahkan koleksi bukunya dan Mama ke sini. Sebelumnya koleksi tersebut dititipkan di rumah paman dan adiknya. Selama itu pula Papa khawatir pamannya mengambili sedikit demi sedikit koleksi tersebut untuk dijajakan di kiosnya di Palasari. Pintu ruangan selalu terbuka supaya buku-buku itu lebih banyak kena cahaya dan udara.

Kita akan melihat sepenggal miniatur metropolis dengan tata ruang wilayah yang buruk di dalam ruangan itu. Buku-buku ditumpuk hingga tinggi, tapi ada juga yang rendah. Kesenjangan di antara tumpukan satu dengan tumpukan lain begitu nyata. Aku akan merapikan ketidakberesan ini demi kehidupan masyarakat buku yang lebih baik.

             Solusi paling oke menurutku adalah membangun rak buku tinggi, dari dasar hingga mendekati langit-langit, di sepanjang dinding ruangan ini. Tapi karena aku tidak punya sortimen-sortimen kayu, paku, palu, dan keterampilan pertukangan, maka aku akan membuat ruangan ini terasa lega. Setidaknya aku ingin membuat meja dan kursi di bawah jendela sana bisa terlihat dari pintu. Kalau papaku sedang di rumah, ia bisa berkutat di sana semalaman.

            Salah satu sisi ruangan ini dilapisi semacam dinding batu karena pernah diserang jamur. Tanteku yang berinisiatif akan hal itu karena ini dulu ruangannya. Jadi aku akan manata tumpukan buku yang di dekat dinding terlebih dulu dalam deretan yang rapi. Setelah itu aku akan memindahkan tumpukan buku yang di tengah ke sana juga. Aku akan membuat tumpukan-tumpukan ini relatif sama tinggi. Kalau perlu, tiap tumpukan mewakili genre tertentu.

            Aku sudah punya bayangan mengenai genre-genre yang bakal kutemukan nanti. Aku sudah ratusan kali melihat buku-buku orangtuaku. Aku akan mengumpulkan buku-buku jurnalistik Papa dan novel-novel Mama dalam tumpukan tersendiri. Dulu papaku kuliah di Komunikasi sedang Mama di Sastra. Tapi mereka juga punya buku-buku dengan bermacam genre lain untuk menyokong tulisan yang sedang mereka kerjakan. Jumlah per genre mungkin tidak terlalu banyak. Kalau aku membuat tumpukan sendiri untuk masing-masing genre, itu akan makan tempat. Jadi beberapa genre yang ranahnya berdekatan akan aku letakkan dalam satu tumpukan.

            Bibe si pustakawati.

            Menarik rasanya mengetahui orangtuamu punya buku tentang apa saja. Meski aku sudah pernah membaca suatu judul, ketika membacanya lagi aku jadi kian tertarik untuk membacanya kapan-kapan. Aku juga jadi tahu kecenderungan orangtuaku pada sesuatu. Misalnya saja, Papa ternyata memiliki cukup banyak buku-buku tentang keislaman, mulai dari “Sejarah Muhammad”-nya Muhammad Husain Haykal hingga “Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam”-nya Muhammad Iqbal.

            Aku melempar sebuah buku seakan aku telah memegang seekor kecoak secara tak sengaja. Aku langsung berpikir buku itu adalah pengungkap misteri mengapa kedua orangtuaku hanya punya satu anak sampai sekarang. Judul buku itu “How to Enhance Your Sex Life Passionately”. Iyuh.

            Iba melihat kondisi buku yang sudah macam-macam. Warna kertas bergadrasi dari putih ke kuning. Motif bercak jamur pun bervariasi. Beberapa buku sudah ada yang bolong-bolong. Sesekali aku menjerit ketika menemukan serangga kecil melintas dari dalam buku. Penggila buku tak mesti tahu cara merawat buku dengan baik ternyata. Bulir-bulir debu terhempas ketika aku meletakkan satu buku di atas buku-buku lain lalu menggesernya dekat ke tepi. Aku harus menyapu dan mengepel ruangan ini juga.

            Ketika mengangkat sebagian tumpukan novel Mama, aku menemukan sebuah album foto. Foto pertama yang menyambutku ketika aku membuka sampulnya adalah foto sekumpulan anak muda. Semuanya tampak ceria kecuali satu yang terlihat malu-malu—sama sekali bukan Mama. Kusadari kemudian kalau mereka adalah para sepupu Mama, ditambah Mama, dan seorang cowok ceking pucat yang tidak kukenal. Potongan rambutnya seperti Boy tapi mukanya tidak begitu pribumi. Berbeda dengan muka Mama dan para sepupunya yang kesan kepribumiannya kental. Kukenali sofa yang mereka duduki sebagai sofa yang ada di rumah Kakek Burhan—orangtuanya para sepupu Mama itu. Dari pihak papanya, Mama hanya punya sepupu dari Kakek Burhan— yang merupakan satu-satunya saudara kandung kakekku itu. Namun hubungan Mama dengan para sepupunya itu sudah seperti saudara kandung saja.

            Aku buka lagi lembar berikut. Sangat tidak penting. Isinya hanya gambar-gambar tidak utuh dari muka papaku yang masih muda. Mungkin usianya sekitar 20-an tahun. Jauh sebelum anak-anak gaul masa kini menjadikannya tren, papaku sudah memakai kacamata dengan ukuran bingkai besar berwarna hitam. Semakin ke masa kini ukuran bingkainya justru mengecil. Beberapa foto menunjukkan tampang usil Mama di belakang kepala Papa. Karena keduanya pakai helm, kuduga Mama mengambil gambar-gambar ini saat ia sedang berboncengan motor dengan Papa. Terdengar dalam benakku suara kasar papaku menghardik Mama, “Filmnya jangan dihabisin dong!”          

            Meski demikian aku tahu Papa mesti menikmati momen putar-putar kota bareng Mama semacam ini.

            Riang hatiku, badan bertuah, punya teman yang comel dan manja, berjanji akan selalu bersama, menemaniku sepanjang masa.

            Aku hidup serba sederhana. Tiada harta tiada rupa. Hanya yang ada budi bahasa, harta sekadar basikal tua…

            Orang biasa, basikal tua…

            Walau ke mana ia meminta, kubawa dengan hati yang bangga. Senang melihat ia tertawa, duduk di pelang basikal tua.

            Biarpun aku hidup begini, berbasikal pada tiap hari, namun hatiku riang selalu. Tiada hutang datang menganggu.

Angan-anganku di suatu masa, basikal kan kutukar kereta. Tapi kekasihku tak setuju, mungkinkah dia rasa cemburu.        

            Sekarang basikal (motor) tua Papa dipakai Mama. Mama mempertahankan motor kuno itu bukan supaya terkesan antik, melainkan lebih karena alasan keamanan. Mama takut memakai model terkini karena ukurannya lebih besar, membuat Mama merasa lebih rawan untuk jatuh, kendati tarikannya lebih kencang. Kalau bukan karena tuntutan pekerjaan, Mama mungkin tak akan belajar mengendarai sepeda motor.

            Aku sudah berpikir untuk meletakkan album berisi foto-foto tidak jelas ini namun kemudian tanganku membuka lembar yang menampilkan gambar Papa secara utuh. Dia sedang berjongkok di sebelah tukang bandros. Melihat Monumen Bandung Lautan Api mengisi latar di belakangnya, sudah pasti foto ini diambil di Taman Tegallega.

            Papa juga rupanya mengambil potret Mama. Hasil jepretan Papa jelas lebih fokus. Mama sedang mengulum es lilin. Tampak monumen Bandung Lautan Api juga berjarak dari kepalanya.

            Selain ke kolam renang, papaku juga suka ajak putar-putar kota dengan motor. Kadang aku diajak bertemu teman-temannya. Kadang ia menunjukkan suatu tempat, misalnya bekas bioskop Kiara atau Palaguna, dan bilang, “Dulu Papa sama Mama pernah cobain main dingdong di situ.” Ih aku merinding.

            Dan di Taman Tegallega itulah, cerita papaku, mereka berdua suka menghabiskan waktu bersama sebelum menikah. Jajan sambil mengomentari orang-orang yang joging. Dan menyanyi dan membuat para pengunjung taman menari mengiringi mereka. Oke, mari kita masuk ke dalam suasana foto ini. Kita dengarkan mereka berduet menyanyikan “Sinaran” dari Sheila Majid. Sementara itu, kita membentuk formasi bersama para pengunjung taman sambil bergoyang dalam gerakan nan kompak. Yang penting, perhatikan gerakan kakimu supaya tidak menabrak orang di dekatmu. Gerakan tangan bisa menyesuaikan. Musik lagu ini tidak menuntut gerakan cepat kok, yang penting kelihatan energik.

Oke, mamaku muda mulai bernyanyi. Ia biasa menyanyi asal-asalan, tapi barangkali saja kali ini suaranya merdu.

Teringat ku di masa lalu, bersenda di taman yang indah. Sungguh riangnya di hatiku. Karna kini kita berjaya. Citaku tercapai, punyai kebebasan, dan dikau berjaya, telah berjaya…

Sudah sampai reff.

Sinaran, mentari menyinari,

 Angkat lenganmu tinggi-tinggi ke atas, turunkan, sambil kakimu juga melangkah ke kanan.

Menusuk ke jiwaku, ketika bersamamu…

Satu, dua, satu, dua, angkat dan turunkan lenganmu berkali-kali.

Masanya bila kita berdua, bagai mahligai yang indah yang tumpah di muka dunia…

Lalu ganti anggota tubuhmu yang kiri. Setelah bagian itu, lipat lengan kananmu dan tusuk udara dengan sikumu. Ganti yang kiri. Yak, bagus. Perhatikan terus gerakan kaki orang di depanmu.

Papaku sebenarnya tidak terlalu mengerti musik. Aku juga jarang dengar ia menyanyi—pernah tidak ya? Tapi kali ini papaku muda yang ganti bernyanyi. Meski suaranya terdengar kasar, namun ia bisa saja mengubahnya jadi halus dan lembut kalau ia mau.

Ikatan telah dijalinkan. Hatiku terima pelukan. Segala rasanya di jiwa, kemesraan terjalin cinta. Citaku tercapai, punyai kebebasan. Dan dikau berjaya, telah berjaya

Kita kembali lagi ke reff. Gerakannya sama seperti sebelumnya kok. Mari kita ulangi.

Sinaran, menyinari, menusuk ke jiwaku, ketika bersamamu… Masanya, bila kita berdua bagai mahligai indah yang tumpah di muka dunia…

Ritme bagian berikutnya agak melambat. Kali ini gerakannya berbeda sendiri dari gerakan-gerakan sebelumnya yang cenderung diulang-ulang. Kamu sudah bisa memusatkan perhatian pada gerakan lenganmu karena kakimu diam saja di tempat. Sekarang giliran mamaku.

Oh, perihnya rasa, pabila, di kala tiada. Bagai kenangan yang tiba mewujud cahaya sedang menyinar… Ohohoooo…

Oke. Mari kembali energik. Sudah hapal kan gerakan kakinya? Nikmati saja. Tapi bagian ini hanya sebentar kok. Papaku akan segera memperdengarkan suaranya lagi.

Citaku tercapai, punyai kebebasan. Dan dikau berjaya, telah berjaya…

Kali ini mereka akan menyanyi bergantian. Mamaku dulu,

Sinaran, mentari pun menyinar, pabila dikau pulang, bersama ku semula…

Lalu papaku,

Masanya, bila kita berdua, bagai mahligai indah yang tumpah di muka dunia…

Oke. Terima kasih sudah ber-SKJ bersama kami.        Ini membuatku lupa pada nyeri yang mulai merambat di bagian bawah perutku. Sekarang sih sudah tidak begitu kerasa. Mari kita kembali ke tumpukan buku yang membuatku berpeluh kesah ini.

            Di sisi kiri beberapa tumpukan buku sudah rapi berderet sepanjang dinding. Rapi juga barisan di depannya. Di sisi kanan, masih acak-acakan. Oranye sudah menyelimuti atmosfer di sekitarku. Tidak sangka, membereskan buku saja akan menghabiskan waktu cukup lama. Padahal aku mengosongkan sisa hari ini kan untuk sedikit saja meminimalisir berantaknya isi rumah lantas membereskan tumpukan PR dan bukannya tumpukan buku.

            Aku juga melupakan pakaian dalam mesin cuci dan para tanaman dalam pot yang kehausan.

Tenang saja, namaku kan juga berarti si Biang Beres!

Lepas magrib, aku sudah menjemur semua pakaian, memandikan tanaman dan diriku sendiri, serta membersihkan debu dari ruang buku. Aku tengah mengeringkan bagian dalam daun telingaku dengan handuk ketika mendengar pintu pagar dibuka. Dari suara-suara khas yang kudengar berikutnya, aku tahu itu Papa. Ia sengaja menaruh kursi di dekat pintu depan supaya ia bisa langsung meletakkan tas di situ begitu memasuki rumah. Itulah yang pertama kali ia lakukan setelah membuka pintu. Kalau setelah itu ia mendapatiku, ia akan memanggilku dengan intonasi seakan-akan aku seekor burung.

Menurutku, postur Papa cukup tinggi meski tinggi badannya hanya 170-an cm. Mungkin itu karena ia kurus.

Langkahnya terburu-buru. Aku duga ia langsung ke ruang buku. Lalu sibuk mencari sesuatu di sana. “Bibe!” teriaknya. Sesuatu di dalam dadaku mencelat. Aku menghampiri ambang kosen. Ia berdiri di tengah ruangan sambil berkacak pinggang. “Siapa yang acak-acak buku di sini?!”

“Enggak ada yang ngacak-ngacak, adanya juga yang beres-beres,” jawabku tenang. Namun ia terlihat makin gusar.

“Siapa yang suruh beres-beres?! Papa kemarin taruh buku di sini,” ia menunjuk salah satu ubin, “mana sekarang itu buku?!” Ia mondar-mandir. Salah satu tumpukan buku sudah tidak rapi lagi. Ia mulai menghancurkan susunan lainnya.

            “Buku apa sih?” Aku berjongkok dekatnya. Kutahan perasaan tak terima karena kerja kerasku yang jadi sia-sia.

            “Bukunya Haryoto Kunto itu, ‘Semerbak Bunga di Bandung Raya’.”

            “Bukunya tentang apa?” Aku tidak begitu dengar apa yang Papa katakan barusan karena campur-aduknya emosi dalam diriku gara-gara sentakan Papa.

            “Makanya bacaannya jangan novel ringan doang!”

            “Yeee!” Sungguh Papa bikin aku berang. Tapi aku jadi merasa bertanggungjawab karena kegusarannya itu. Coba kalau tadi aku tidak kelepasan pakai tanya buku tentang apa itu. Aku samar-samar tahu buku yang dimaksud Papa. Kukira sampul buku tebal tersebut berlatar hijau. Halamannya sudah menguning dengan sedikit bercak coklat muda. Buku itu mengkaji Bandung sebagai sebuah kota taman dan merupakan pedoman Mama dalam membuat tulisan tentang Bandung dari sudut pandang lingkungan hidup.

            “Ayo cepat, Papa ditunggu teman!” sentak papaku lagi. “Buku legendaris itu, udah enggak ada yang jual lagi.”

            “Haah!”

            Sebetulnya tidak terlalu sukar menemukan buku tersebut seandainya Papa tidak bersikap seperti itu. Dirundung gumulan emosi, mataku ligat mencari buku dengan ciri-ciri yang sudah kuungkap tadi sementara Papa mengobrak-abrik tumpukan buku di belakangku—untung bagian situ tidak termasuk yang kubereskan tadi, kalau tidak aku tambah senewen.

            Dengan hati-hati, aku mengambil buku yang letaknya agak di bawah itu. “Ini Pa!”

            “Alhamdulillah…” desah papaku. Ia lekas mengambil buku tersebut dan kembali ke ruang depan. Baru saja aku mau membereskan keporak-porandaan yang sudah dibuatnya, terdengar lagi, “Bibe! Bibe!” Seperti membentak, tapi itu hanya karena mentang-mentang ia keturunan Batak.

            Aku mendekatinya dengan enggan. Aku bisa membacanya.. Ini adalah saatnya ia merengkuh kepalaku dan menciumiku lekat-lekat dengan gemas. “Jangan cemberut gitu…” Tapi aku malah semakin memancarkan kedongkolan. Aku malas tanya ia akan pergi ke mana lagi kali ini.

Bagian bawah perutku mulai terasa sakit lagi. Aku meronta-ronta dalam dekapannya. “Udah ah, mau makan nih, udah perih.”

            Ia melepasku. Mengucap salam. Pergi menembus gelap diiriingi titik-titik cahaya. Kututup pintu. Terbungkuk-bungkuk, aku masuk kamar. Kubenamkan kepala ke bantal. Aku berusaha lekas terlelap supaya nyeri itu tidak terasa.

            Entah sudah berapa lama aku tidur ketika aku mendengar pintu depan dibuka. Itu pasti Mama. Aku malas bangun tapi berapa lama kemudian aku malas lengket terus di kasur. Aku ke luar dari kamar ketika Mama sedang mengambil nasi dari magic jar. Ia sudah tidak memakai jaket dan jilbabnya lagi. Aku menarik kursi dari bawah meja lalu duduk di sana.

            “Hayo, Bibe habis nangis ya?”

            “Enggak,” sanggahku. Aku tidak tahu kalau wajahku terlihat sembap. Mungkin gara-gara kelamaan terbenam di bantal. Atau mungkin aku sempat menangis tadi saking nyerinya.

            “Tadi Papa jadi ke sini?”

            “Iya…”

            “Ngapain?”

            “Tau…”

            Mama duduk di hadapanku. “Udah makan belum?” Terus menatapku, ia memencet-mencet ponselnya lalu mengaktifkan loudspeaker. Terdengar nada sambung.

            “Hayo Papa, tadi ngapain Bibe?” seru Mama begitu Papa menjawab panggilan dengan salam.

            “Kenapa Bibe?”

            “Nangis, Papa.”

            “Aku enggak nangis!” Aku menyalak supaya Papa juga bisa dengar.

            “Iya tadi memang sempat saya bentak. Buru-buru tadi. Ada Bibe juga, Ma?”

            “Iya, loudspeaker nih. Tuh Bibe di depan,” Mama menyuap mulutnya.

            “Hei Bibe, masak digituin sama Papa aja nangis?” kata Papa padaku.

            “Enak aja, ngapain aku nangis gara-gara Papa? Mama ngerjain tuh.”

            “Mama ngerjain?” ulang Papa. Mama mengerling inosen. “Ma, tahu enggak, tadi Bibe beresin buku-buku yang ada di ruang depan itu.”

            “Hmm… Lo bagus kan, diberesin.”

            “Papa kan jadi bingung nyarinya.”

            Gejolak kejemuan membungkusku. Aku mendesah berkali-kali.

            “Besok kalau ada buku penting yang lagi dibaca jangan ditaruh situ dulu Ma, nanti Bibe sia-sia ngeberesinnya.” Mama tersenyum padaku. “Bibe, entar diberesin lagi ya.”

            Salam kenal dariku dan kedua orangtuaku… ☺

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain