Mari kita memasuki sebuah gang. Setelah jalan beberapa meter, kita belok
kiri. Sepanjang jalan mulus karena disemen. Tapi jangan menggambar di atasnya.
Tidak rata.
Di sebelah kiri ada dinding tembok
yang tinggi. Memang ini rumah besar. Tidak usah heran karena rumah ini memang
menghadap ke jalan. Ia seperti benteng bagi rumah-rumah kecil di belakangnya.
Salah satunya, yang berpagar cokelat
itu, mari kita ke sana. Dari muka pagar, ada jalan berbatu menuju pintu depan rumah.
Tidak banyak yang bisa dinikmati dari pemandangan di kanan-kiri jalan. Pemilik
rumah ini meletakkan pot-pot tanaman itu hanya supaya halaman rumahnya tidak
terlihat kosong saja. Dan berharap agar hujan mau bekerja sama—menjaga
kelangsungan hidup mereka untukknya. Tapi hujan tak selalu mau kompromi, jadi
kadang aku ambil alih.
Di teras berubin dengan corak-corak
krem itu, tidak usah lepas sepatu tidak apa-apa. Memang dipasang untuk memberi
para penghuni rumah kerjaan: menyapu. Ada beberapa kursi dan sebuah meja di
sini. Di tepiannya, berjajar beberapa pot. Kunci rumah ada di bawah pot tanaman
berduri.
Mari kita masuk rumah.
Bukan hanya ketika mendung, tapi
memang suasana rumah ini menguarkan kesan teduh—atau suram. Sepertinya karena
cahaya matahari terhalang dari bangunan di depan tadi. Tapi kalau senja ia akan
merembes lewat celah apapun di bagian belakang rumah.
Sudah cukup melihat ke depan. Kalau
mau, silahkan turunkan pandangan ke bawah. Ada satu set sofa di ruangan depan
ini. Kamu bisa tiduran dengan menyelonjorkan kakimu, sepanjang apapun, di sisi
kanan. Memang sengaja ditumpuk pakaian-pakaian itu di sana untuk membuat area
tersebut semakin nyaman direbahi. Perhatikan, ada jejak tubuh di situ. Padahal
mereka sudah siap setrika.
Tadinya aku membayangkan ruangan ini
masih diceceri bungkus cemilan, tumpukan piring kotor, gelas-gelas bekas pakai,
juga buku-buku terkulai.
Ruang depan: lewat.
Ada dua pintu di sisi kiri ruangan
ini. Pintu pertama menuju ke kamarku sedang pintu berikutnya adalah pintu kamar
orangtuaku. Tapi mereka lebih suka rebutan lahan di sofa. Selain sebagai ruang
kerja dan ruang tidur orangtuaku, ruang depan ini juga berfungsi sebagai garasi
kalau malam. Ruang tamu? Apa gunanya kursi-kursi dan meja di teras tadi?
Jadi ini adalah rumahku. Sebuah
rumah kecil yang sesekali penghuninya menyadari bahwa rumah ini begitu “penuh”.
Tapi tidak tahu apa yang harus disingkirkan.
Mari kita belok kanan sedikit. Ada
meja makan di sana. Tapi kursi-kursi yang berdiam di bawahnya itu jarang
ditarik pada waktu makan. Beberapa piring yang masing-masing berisi tumisan dan
gorengan bisa dipastikan selalu ada di bawah tudung saji. Aku selalu
memastikannya.
Selanjutnya kita belok kiri. Hanya
sebuah dapur dengan tangga menuju tempat jemuran dan kamar mandi di ujungnya.
Bak cuci piring tampak kosong. Bahkan kotoran tokek di dekat tangga pun sudah
raib. Baguslah! Padahal aku ingin jadi anak berbakti hari ini. Tapi aku bukan
orang yang mudah putus asa.
Tante
As telah sering berpesan padaku agar aku rajin membersihkan rumahku sendiri.
Lagipula aku memang terinspirasi oleh kerajinannya bersih-bersih rumah. Tante
As ogah ke mari lagi karena lokasi rumah ini yang berada di gang sempit, kurang
pencahayaan, dan biasanya berantakan.
Di dalam mesin cuci, aku menemukan
setumpuk pakaian di yang tampaknya belum diguyur air dan detergen. Pakaian
renangku dan Papa menyembul di balik kemeja. Pikirku melayang pada Papa, apakah
ia masih di Bandung? Apakah perutnya masih sakit? Kalau ia di Bandung, ia suka
mengajakku berenang kapan pun kami sempat. Kami biasa pakai kolam renang UPI.
Kami juga sering berkompetisi. Dua hari lalu, saking berambisinya mengalahkan
Papa, aku tidak memerhatikan arah luncuranku dan tahu-tahu aku menyeruduk perut
Papa.
Setelah menyetel mesin cuci agar
memutar pakaian selama 15 menit, aku nyalakan radio tape besar di pojok ruang
meja-makan. Aku mencari kaset mana yang merupakan kaset dari album kompilasi
lagi-lagu era 80-an favoritku. Mamaku tidak tahu kalau aku juga suka. Maka saat
begini adalah sangat aku nikmati. Mama tidak ada jadi aku bisa menyalakan musik
keras-keras tanpa ia tahu kalau kami sebetulnya bisa berbagi selera. Sebagai
anak generasi 80 akhir – 90 awal, pada eranya mamaku rajin mengikuti
perkembangan musik. Memang koleksi kasetnya masih kalah banyak dengan koleksi
novelnya, tapi banyak tetap banyak. Mamaku tidak mau menyia-nyiakan uang yang
dulu telah ia habiskan untuk memenuhi koleksinya tersebut. Maka mp3 tidak
berjaya di rumah ini.
Di
antara ruang depan dengan ruang meja-makan, ada satu ruangan lagi. Setelah
tanteku pindah ke rumah yang jauh lebih lega dan mewah, papaku memindahkan
koleksi bukunya dan Mama ke sini. Sebelumnya koleksi tersebut dititipkan di
rumah paman dan adiknya. Selama itu pula Papa khawatir pamannya mengambili
sedikit demi sedikit koleksi tersebut untuk dijajakan di kiosnya di Palasari.
Pintu ruangan selalu terbuka supaya buku-buku itu lebih banyak kena cahaya dan
udara.
Kita
akan melihat sepenggal miniatur metropolis dengan tata ruang wilayah yang buruk
di dalam ruangan itu. Buku-buku ditumpuk hingga tinggi, tapi ada juga yang
rendah. Kesenjangan di antara tumpukan satu dengan tumpukan lain begitu nyata.
Aku akan merapikan ketidakberesan ini demi kehidupan masyarakat buku yang lebih
baik.
Solusi paling oke menurutku adalah membangun
rak buku tinggi, dari dasar hingga mendekati langit-langit, di sepanjang
dinding ruangan ini. Tapi karena aku tidak punya sortimen-sortimen kayu, paku,
palu, dan keterampilan pertukangan, maka aku akan membuat ruangan ini terasa
lega. Setidaknya aku ingin membuat meja dan kursi di bawah jendela sana bisa
terlihat dari pintu. Kalau papaku sedang di rumah, ia bisa berkutat di sana
semalaman.
Salah satu sisi ruangan ini dilapisi
semacam dinding batu karena pernah diserang jamur. Tanteku yang berinisiatif
akan hal itu karena ini dulu ruangannya. Jadi aku akan manata tumpukan buku
yang di dekat dinding terlebih dulu dalam deretan yang rapi. Setelah itu aku
akan memindahkan tumpukan buku yang di tengah ke sana juga. Aku akan membuat tumpukan-tumpukan
ini relatif sama tinggi. Kalau perlu, tiap tumpukan mewakili genre tertentu.
Aku sudah punya bayangan mengenai
genre-genre yang bakal kutemukan nanti. Aku sudah ratusan kali melihat
buku-buku orangtuaku. Aku akan mengumpulkan buku-buku jurnalistik Papa dan
novel-novel Mama dalam tumpukan tersendiri. Dulu papaku kuliah di Komunikasi
sedang Mama di Sastra. Tapi mereka juga punya buku-buku dengan bermacam genre
lain untuk menyokong tulisan yang sedang mereka kerjakan. Jumlah per genre mungkin
tidak terlalu banyak. Kalau aku membuat tumpukan sendiri untuk masing-masing
genre, itu akan makan tempat. Jadi beberapa genre yang ranahnya berdekatan akan
aku letakkan dalam satu tumpukan.
Bibe si pustakawati.
Menarik rasanya mengetahui
orangtuamu punya buku tentang apa saja. Meski aku sudah pernah membaca suatu
judul, ketika membacanya lagi aku jadi kian tertarik untuk membacanya
kapan-kapan. Aku juga jadi tahu kecenderungan orangtuaku pada sesuatu. Misalnya
saja, Papa ternyata memiliki cukup banyak buku-buku tentang keislaman, mulai
dari “Sejarah Muhammad”-nya Muhammad Husain Haykal hingga “Rekonstruksi
Pemikiran Agama dalam Islam”-nya Muhammad Iqbal.
Aku melempar sebuah buku seakan aku
telah memegang seekor kecoak secara tak sengaja. Aku langsung berpikir buku itu
adalah pengungkap misteri mengapa kedua orangtuaku hanya punya satu anak sampai
sekarang. Judul buku itu “How to Enhance Your Sex Life Passionately”. Iyuh.
Iba melihat kondisi buku yang sudah
macam-macam. Warna kertas bergadrasi dari putih ke kuning. Motif bercak jamur
pun bervariasi. Beberapa buku sudah ada yang bolong-bolong. Sesekali aku
menjerit ketika menemukan serangga kecil melintas dari dalam buku. Penggila
buku tak mesti tahu cara merawat buku dengan baik ternyata. Bulir-bulir debu
terhempas ketika aku meletakkan satu buku di atas buku-buku lain lalu
menggesernya dekat ke tepi. Aku harus menyapu dan mengepel ruangan ini juga.
Ketika mengangkat sebagian tumpukan
novel Mama, aku menemukan sebuah album foto. Foto pertama yang menyambutku
ketika aku membuka sampulnya adalah foto sekumpulan anak muda. Semuanya tampak
ceria kecuali satu yang terlihat malu-malu—sama sekali bukan Mama. Kusadari
kemudian kalau mereka adalah para sepupu Mama, ditambah Mama, dan seorang cowok
ceking pucat yang tidak kukenal. Potongan rambutnya seperti Boy tapi mukanya
tidak begitu pribumi. Berbeda dengan muka Mama dan para sepupunya yang kesan
kepribumiannya kental. Kukenali sofa yang mereka duduki sebagai sofa yang ada
di rumah Kakek Burhan—orangtuanya para sepupu Mama itu. Dari pihak papanya,
Mama hanya punya sepupu dari Kakek Burhan— yang merupakan satu-satunya saudara
kandung kakekku itu. Namun hubungan Mama dengan para sepupunya itu sudah
seperti saudara kandung saja.
Aku buka lagi lembar berikut. Sangat
tidak penting. Isinya hanya gambar-gambar tidak utuh dari muka papaku yang
masih muda. Mungkin usianya sekitar 20-an tahun. Jauh sebelum anak-anak gaul
masa kini menjadikannya tren, papaku sudah memakai kacamata dengan ukuran
bingkai besar berwarna hitam. Semakin ke masa kini ukuran bingkainya justru
mengecil. Beberapa foto menunjukkan tampang usil Mama di belakang kepala Papa.
Karena keduanya pakai helm, kuduga Mama mengambil gambar-gambar ini saat ia
sedang berboncengan motor dengan Papa. Terdengar dalam benakku suara kasar
papaku menghardik Mama, “Filmnya jangan dihabisin dong!”
Meski demikian aku tahu Papa mesti
menikmati momen putar-putar kota bareng Mama semacam ini.
Riang
hatiku, badan bertuah, punya teman yang comel dan manja, berjanji akan selalu
bersama, menemaniku sepanjang masa.
Aku hidup serba sederhana. Tiada harta tiada rupa. Hanya
yang ada budi bahasa, harta sekadar basikal tua…
Orang biasa, basikal tua…
Walau ke mana ia meminta, kubawa dengan hati yang bangga.
Senang melihat ia tertawa, duduk di pelang basikal tua.
Biarpun aku hidup begini, berbasikal pada tiap hari,
namun hatiku riang selalu. Tiada hutang datang menganggu.
Angan-anganku di suatu masa,
basikal kan kutukar kereta. Tapi kekasihku tak setuju, mungkinkah dia rasa
cemburu.
Sekarang basikal (motor) tua Papa
dipakai Mama. Mama mempertahankan motor kuno itu bukan supaya terkesan antik,
melainkan lebih karena alasan keamanan. Mama takut memakai model terkini karena
ukurannya lebih besar, membuat Mama merasa lebih rawan untuk jatuh, kendati
tarikannya lebih kencang. Kalau bukan karena tuntutan pekerjaan, Mama mungkin
tak akan belajar mengendarai sepeda motor.
Aku sudah berpikir untuk meletakkan
album berisi foto-foto tidak jelas ini namun kemudian tanganku membuka lembar
yang menampilkan gambar Papa secara utuh. Dia sedang berjongkok di sebelah
tukang bandros. Melihat Monumen Bandung Lautan Api mengisi latar di
belakangnya, sudah pasti foto ini diambil di Taman Tegallega.
Papa juga rupanya mengambil potret
Mama. Hasil jepretan Papa jelas lebih fokus. Mama sedang mengulum es lilin.
Tampak monumen Bandung Lautan Api juga berjarak dari kepalanya.
Selain ke kolam renang, papaku juga
suka ajak putar-putar kota dengan motor. Kadang aku diajak bertemu
teman-temannya. Kadang ia menunjukkan suatu tempat, misalnya bekas bioskop
Kiara atau Palaguna, dan bilang, “Dulu Papa sama Mama pernah cobain main
dingdong di situ.” Ih aku merinding.
Dan di Taman Tegallega itulah,
cerita papaku, mereka berdua suka menghabiskan waktu bersama sebelum menikah.
Jajan sambil mengomentari orang-orang yang joging. Dan menyanyi dan membuat
para pengunjung taman menari mengiringi mereka. Oke, mari kita masuk ke dalam
suasana foto ini. Kita dengarkan mereka berduet menyanyikan “Sinaran” dari
Sheila Majid. Sementara itu, kita membentuk formasi bersama para pengunjung
taman sambil bergoyang dalam gerakan nan kompak. Yang penting, perhatikan
gerakan kakimu supaya tidak menabrak orang di dekatmu. Gerakan tangan bisa
menyesuaikan. Musik lagu ini tidak menuntut gerakan cepat kok, yang penting
kelihatan energik.
Oke,
mamaku muda mulai bernyanyi. Ia biasa menyanyi asal-asalan, tapi barangkali
saja kali ini suaranya merdu.
Teringat ku di masa lalu,
bersenda di taman yang indah. Sungguh riangnya di hatiku. Karna kini kita
berjaya. Citaku tercapai, punyai kebebasan, dan dikau berjaya, telah berjaya…
Sudah
sampai reff.
Sinaran, mentari menyinari,
Angkat lenganmu tinggi-tinggi ke atas,
turunkan, sambil kakimu juga melangkah ke kanan.
Menusuk ke jiwaku, ketika
bersamamu…
Satu,
dua, satu, dua, angkat dan turunkan lenganmu berkali-kali.
Masanya bila kita berdua,
bagai mahligai yang indah yang tumpah di muka dunia…
Lalu
ganti anggota tubuhmu yang kiri. Setelah bagian itu, lipat lengan kananmu dan
tusuk udara dengan sikumu. Ganti yang kiri. Yak, bagus. Perhatikan terus
gerakan kaki orang di depanmu.
Papaku
sebenarnya tidak terlalu mengerti musik. Aku juga jarang dengar ia
menyanyi—pernah tidak ya? Tapi kali ini papaku muda yang ganti bernyanyi. Meski
suaranya terdengar kasar, namun ia bisa saja mengubahnya jadi halus dan lembut
kalau ia mau.
Ikatan telah dijalinkan.
Hatiku terima pelukan. Segala rasanya di jiwa, kemesraan terjalin cinta. Citaku
tercapai, punyai kebebasan. Dan dikau berjaya, telah berjaya
Kita
kembali lagi ke reff. Gerakannya sama seperti sebelumnya kok. Mari kita ulangi.
Sinaran, menyinari, menusuk ke
jiwaku, ketika bersamamu… Masanya, bila kita berdua bagai mahligai indah yang
tumpah di muka dunia…
Ritme
bagian berikutnya agak melambat. Kali ini gerakannya berbeda sendiri dari
gerakan-gerakan sebelumnya yang cenderung diulang-ulang. Kamu sudah bisa
memusatkan perhatian pada gerakan lenganmu karena kakimu diam saja di tempat.
Sekarang giliran mamaku.
Oh, perihnya rasa, pabila, di
kala tiada. Bagai kenangan yang tiba mewujud cahaya sedang menyinar… Ohohoooo…
Oke.
Mari kembali energik. Sudah hapal kan gerakan kakinya? Nikmati saja. Tapi
bagian ini hanya sebentar kok. Papaku akan segera memperdengarkan suaranya
lagi.
Citaku tercapai, punyai
kebebasan. Dan dikau berjaya, telah berjaya…
Kali
ini mereka akan menyanyi bergantian. Mamaku dulu,
Sinaran, mentari pun menyinar,
pabila dikau pulang, bersama ku semula…
Lalu
papaku,
Masanya, bila kita berdua,
bagai mahligai indah yang tumpah di muka dunia…
Oke.
Terima kasih sudah ber-SKJ bersama kami. Ini
membuatku lupa pada nyeri yang mulai merambat di bagian bawah perutku. Sekarang
sih sudah tidak begitu kerasa. Mari kita kembali ke tumpukan buku yang
membuatku berpeluh kesah ini.
Di sisi kiri beberapa tumpukan buku
sudah rapi berderet sepanjang dinding. Rapi juga barisan di depannya. Di sisi
kanan, masih acak-acakan. Oranye sudah menyelimuti atmosfer di sekitarku. Tidak
sangka, membereskan buku saja akan menghabiskan waktu cukup lama. Padahal aku
mengosongkan sisa hari ini kan untuk sedikit saja meminimalisir berantaknya isi
rumah lantas membereskan tumpukan PR dan bukannya tumpukan buku.
Aku juga melupakan pakaian dalam
mesin cuci dan para tanaman dalam pot yang kehausan.
Tenang
saja, namaku kan juga berarti si Biang Beres!
Lepas
magrib, aku sudah menjemur semua pakaian, memandikan tanaman dan diriku
sendiri, serta membersihkan debu dari ruang buku. Aku tengah mengeringkan
bagian dalam daun telingaku dengan handuk ketika mendengar pintu pagar dibuka.
Dari suara-suara khas yang kudengar berikutnya, aku tahu itu Papa. Ia sengaja
menaruh kursi di dekat pintu depan supaya ia bisa langsung meletakkan tas di
situ begitu memasuki rumah. Itulah yang pertama kali ia lakukan setelah membuka
pintu. Kalau setelah itu ia mendapatiku, ia akan memanggilku dengan intonasi
seakan-akan aku seekor burung.
Menurutku,
postur Papa cukup tinggi meski tinggi badannya hanya 170-an cm. Mungkin itu
karena ia kurus.
Langkahnya
terburu-buru. Aku duga ia langsung ke ruang buku. Lalu sibuk mencari sesuatu di
sana. “Bibe!” teriaknya. Sesuatu di dalam dadaku mencelat. Aku menghampiri
ambang kosen. Ia berdiri di tengah ruangan sambil berkacak pinggang. “Siapa
yang acak-acak buku di sini?!”
“Enggak
ada yang ngacak-ngacak, adanya juga yang beres-beres,” jawabku tenang. Namun ia
terlihat makin gusar.
“Siapa
yang suruh beres-beres?! Papa kemarin taruh buku di sini,” ia menunjuk salah
satu ubin, “mana sekarang itu buku?!” Ia mondar-mandir. Salah satu tumpukan
buku sudah tidak rapi lagi. Ia mulai menghancurkan susunan lainnya.
“Buku apa sih?” Aku berjongkok
dekatnya. Kutahan perasaan tak terima karena kerja kerasku yang jadi sia-sia.
“Bukunya Haryoto Kunto itu,
‘Semerbak Bunga di Bandung Raya’.”
“Bukunya tentang apa?” Aku tidak
begitu dengar apa yang Papa katakan barusan karena campur-aduknya emosi dalam
diriku gara-gara sentakan Papa.
“Makanya bacaannya jangan novel
ringan doang!”
“Yeee!” Sungguh Papa bikin aku
berang. Tapi aku jadi merasa bertanggungjawab karena kegusarannya itu. Coba
kalau tadi aku tidak kelepasan pakai tanya buku tentang apa itu. Aku
samar-samar tahu buku yang dimaksud Papa. Kukira sampul buku tebal tersebut
berlatar hijau. Halamannya sudah menguning dengan sedikit bercak coklat muda.
Buku itu mengkaji Bandung sebagai sebuah kota taman dan merupakan pedoman Mama
dalam membuat tulisan tentang Bandung dari sudut pandang lingkungan hidup.
“Ayo cepat, Papa ditunggu teman!”
sentak papaku lagi. “Buku legendaris itu, udah enggak ada yang jual lagi.”
“Haah!”
Sebetulnya tidak terlalu sukar
menemukan buku tersebut seandainya Papa tidak bersikap seperti itu. Dirundung
gumulan emosi, mataku ligat mencari buku dengan ciri-ciri yang sudah kuungkap
tadi sementara Papa mengobrak-abrik tumpukan buku di belakangku—untung bagian
situ tidak termasuk yang kubereskan tadi, kalau tidak aku tambah senewen.
Dengan hati-hati, aku mengambil buku
yang letaknya agak di bawah itu. “Ini Pa!”
“Alhamdulillah…” desah papaku. Ia
lekas mengambil buku tersebut dan kembali ke ruang depan. Baru saja aku mau
membereskan keporak-porandaan yang sudah dibuatnya, terdengar lagi, “Bibe!
Bibe!” Seperti membentak, tapi itu hanya karena mentang-mentang ia keturunan
Batak.
Aku mendekatinya dengan enggan. Aku
bisa membacanya.. Ini adalah saatnya ia merengkuh kepalaku dan menciumiku
lekat-lekat dengan gemas. “Jangan cemberut gitu…” Tapi aku malah semakin
memancarkan kedongkolan. Aku malas tanya ia akan pergi ke mana lagi kali ini.
Bagian
bawah perutku mulai terasa sakit lagi. Aku meronta-ronta dalam dekapannya.
“Udah ah, mau makan nih, udah perih.”
Ia melepasku. Mengucap salam. Pergi
menembus gelap diiriingi titik-titik cahaya. Kututup pintu. Terbungkuk-bungkuk,
aku masuk kamar. Kubenamkan kepala ke bantal. Aku berusaha lekas terlelap
supaya nyeri itu tidak terasa.
Entah sudah berapa lama aku tidur
ketika aku mendengar pintu depan dibuka. Itu pasti Mama. Aku malas bangun tapi
berapa lama kemudian aku malas lengket terus di kasur. Aku ke luar dari kamar ketika
Mama sedang mengambil nasi dari magic jar. Ia sudah tidak memakai jaket dan
jilbabnya lagi. Aku menarik kursi dari bawah meja lalu duduk di sana.
“Hayo, Bibe habis nangis ya?”
“Enggak,” sanggahku. Aku tidak tahu kalau
wajahku terlihat sembap. Mungkin gara-gara kelamaan terbenam di bantal. Atau
mungkin aku sempat menangis tadi saking nyerinya.
“Tadi Papa jadi ke sini?”
“Iya…”
“Ngapain?”
“Tau…”
Mama duduk di hadapanku. “Udah makan
belum?” Terus menatapku, ia memencet-mencet ponselnya lalu mengaktifkan
loudspeaker. Terdengar nada sambung.
“Hayo Papa, tadi ngapain Bibe?” seru
Mama begitu Papa menjawab panggilan dengan salam.
“Kenapa Bibe?”
“Nangis, Papa.”
“Aku enggak nangis!” Aku menyalak
supaya Papa juga bisa dengar.
“Iya tadi memang sempat saya bentak.
Buru-buru tadi. Ada Bibe juga, Ma?”
“Iya, loudspeaker nih. Tuh Bibe di
depan,” Mama menyuap mulutnya.
“Hei Bibe, masak digituin sama Papa
aja nangis?” kata Papa padaku.
“Enak aja, ngapain aku nangis gara-gara
Papa? Mama ngerjain tuh.”
“Mama ngerjain?” ulang Papa. Mama
mengerling inosen. “Ma, tahu enggak, tadi Bibe beresin buku-buku yang ada di
ruang depan itu.”
“Hmm… Lo bagus kan, diberesin.”
“Papa kan jadi bingung nyarinya.”
Gejolak kejemuan membungkusku. Aku
mendesah berkali-kali.
“Besok kalau ada buku penting yang
lagi dibaca jangan ditaruh situ dulu Ma, nanti Bibe sia-sia ngeberesinnya.”
Mama tersenyum padaku. “Bibe, entar diberesin lagi ya.”
Salam kenal dariku dan kedua orangtuaku… ☺
Tidak ada komentar:
Posting Komentar