Rabu, 16 November 2011

Menunggu

Mulut, hidung, dan lengannya sudah kelihatan. Begitu mungil. Begitu rapuh. Begitu pun dengan jemari di tangan dan kakinya, meski masih tersambung selaput. Lalu kelopak di matanya muncul, dihiasi helai-helai rambut di tepinya. Kuku-kuku jarinya tampak. Lihat, sepertinya ia sudah bisa menghisap ibu jarinya!

Aku sudah mewanti-wanti Tante As agar selalu mengajakku saat ia memeriksakan kehamilannya. Aku suka melihat para ibu yang tersenyum dengan harap-harap cemas. Ukuran perut mereka bervariasi. Para janin itu mungkin dapat melihat satu sama lain lalu saling bercakap. Tidak ada penghalang berupa dinding rahim maupun dinding perut ibu. Ada janin yang masih tak berbentuk, janin yang sudah berbentuk manusia tapi masih begitu kecil, janin berbentuk manusia yang sudah aktif bergerak, hingga calon bayi yang sudah tak sabar menunggu untuk diterjunkan ke alam berikutnya. Selain itu, aku juga suka melihat para calon kakak yang bermain di bawah naungan sinar bulan, dengan tanpa beban menunggui sang ibu memeriksakan calon adik mereka. Para ayah—baik yang sudah maupun calon, para suami, mengisi waktu dengan berbagai cara di teras, entah menguap, main sudoku, mengobrol, atau membaca buku.

Tante As sudah menyingkirkan toples-toples dari bufet ruang tidurnya. Ia masih suka memuntahkan sesuatu di wastafel atau bak cuci, tapi frekuensinya tampak berkurang. Ia malah punya kebiasaan baru—sedikit-sedikit beranjak untuk meludah. Ia lebih suka menyeruput sari asem dalam kemasan untuk mengurangi mual ketimbang mengaplikasikan salah satu saranku. Aku malah agak bersyukur jadinya setelah aku tahu dari suatu forum dunia maya kalau ibu hamil sebaiknya tidak sering-sering makan cemilan yang mengandung tepung. Katanya, janin belum bisa mencerna gluten yang ada di tepung.

Belum lama ini ia membeli berapa bra baru.  Ia juga jadi lebih sering memakai baju tanpa lengan. Kalau pakaiannya bukan berupa terusan, ia akan memadukan atasan tanpa lengan atau lengan pendeknnya dengan celana pendek. Tidak ada yang berubah dalam pemilihan warna, ia tetap menyukai warna cerah dan tidak mencolok.

Kalau tidak begitu, ia menyetel AC pada suhu terendah sampai aku merasa harus pakai jaket saat di dalam ruangannya.

Setelah membaca artikel tentang pentingnya gizi bagi ibu hamil, aku jadi ingin menginspeksi isi pantri Tante As. Aku ingin menyingkirkan segala mi dalam gelas styrofoam, daging olahan dalam kaleng, kriuk-kriuk dalam plastik, maupun segala produk lain yang mengandung aspartam, acesulfam potassium, sakarin, siklamat… Ia seharusnya tidak lagi mengingat-ingat nomor telepon layanan pesan antar dari berbagai merek junk food. Ia seharusnya menyetop tukang belanjaan tiap pagi dan membeli sayuran segar. Ia seharusnya memenuhi keranjangnya dengan warna-warni buah saat belanja di swalayan. Ia seharusnya mengganti susu rendah lemaknya dengan susu khusus untuk ibu hamil.

“Yang hamil tuh siapa?” tegur Papa ketika melihat aku sedang menyimak obrolan para bunda di forum ibu hamil, bayi, dan balita di internet.

Papaku ini, meski kini aku sudah berselancar pakai laptopku sendiri, tetap saja ia masih suka main intip.

“Sini modemnya, Papa mau ngirim kerjaan.”

“Entaaaar…!” sahutku.

“Kayaknya Mama Bibe pas hamil selera makannya biasa-biasa aja tuh,” kenang Papa. Aku malah yakin mamaku tidak pernah merasakan apapun sampai tahu-tahu aku mendesak ingin segera dikeluarkan.

Sebelum trisemester pertama berlalu, aku membuatkan Tante As sajian khusus. Aku campurkan butiran jagung, bergenggam-genggam daun bayam, brokoli, potongan tempe, dan kacang ke dalam panci dengan bumbu sayur bening. Kurebus mereka dengan suhu terjaga karena suhu tinggi akan merusak nutrisi yang dikandung bahan-bahan sumber asam folat tersebut. Beberapa bahan kuiris dalam ukuran sedang karena ukuran terlalu kecil akan meningkakan risiko kerusakan.

Saat organ-organ janin mulai terbentuk, asam folat atau vitamin B9 merupakan nutrisi wajib bagi ibu hamil. Kekurangan asam folat dapat mengakibatkan cacat pada janin, meningkatkan risiko kelahiran bayi prematur, hingga anemia bagi sang ibu.

Karena Tante As bilang kalau masakan Mama masih lebih enak daripada buatanku—meski ia sendiri tidak pernah memuji Mama, aku coba mencari alternatif lain. Aku menyarankannya untuk banyak mengonsumsi hati, kerang, roti, kuning telur, dan buah-buahan—selain bahan-bahan dalam sayur beningku tadi. Kalau ia hendak menanak nasi, sebaiknya ia mengganti warna berasnya jadi merah. Tiap melintasi suatu swalayan, aku usahakan untuk mampir. Hanya ingin mengecek apa di sana tersedia susu yang mengandung asam folat atau tidak.

Ia juga seharusnya mampir ke toko buku dan membeli buku-buku tentang kehamilan.

Saat Om Pir menelepon Tante As, aku berusaha menginterupsi pembicaraan mereka hanya untuk mengatakan pada Om Pir, “She’ll be fine if she obeys me, you must tell her, Mister!” Ia calon ibu yang bandel, harus ditindak!

Tampak pinggangnya melebar dan lengkungan di perutnya jadi nyata. Jelas bukan lemak, Tante As tidak akan membiarkan lemak menetap lama di tubuhnya.

Suatu kali ia menonton TV. Tiba-tiba kepalanya tegak. Matanya lepas dari layar. Mungkin ia teringat atau kepikiran sesuatu—sangat mungkin sekali merasakan sesuatu. Ia memegang perutnya yang mulai cembung. Kepalanya turun. Pandangannya mengarah ke sana.

Aku menanti-nanti Tante memberitahuku apa yang telah terjadi.

“Enggak ada apa-apa Bibe.”

Kepalanya terangkat lalu mengarah kembali ke TV. Namun tangannya tetap. Ia menunggu. Aku menunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain