Mulut,
hidung, dan lengannya sudah kelihatan. Begitu mungil. Begitu rapuh. Begitu pun
dengan jemari di tangan dan kakinya, meski masih tersambung selaput. Lalu
kelopak di matanya muncul, dihiasi helai-helai rambut di tepinya. Kuku-kuku
jarinya tampak. Lihat, sepertinya ia sudah bisa menghisap ibu jarinya!
Aku
sudah mewanti-wanti Tante As agar selalu mengajakku saat ia memeriksakan
kehamilannya. Aku suka melihat para ibu yang tersenyum dengan harap-harap
cemas. Ukuran perut mereka bervariasi. Para janin itu mungkin dapat melihat
satu sama lain lalu saling bercakap. Tidak ada penghalang berupa dinding rahim
maupun dinding perut ibu. Ada janin yang masih tak berbentuk, janin yang sudah
berbentuk manusia tapi masih begitu kecil, janin berbentuk manusia yang sudah
aktif bergerak, hingga calon bayi yang sudah tak sabar menunggu untuk
diterjunkan ke alam berikutnya. Selain itu, aku juga suka melihat para calon
kakak yang bermain di bawah naungan sinar bulan, dengan tanpa beban menunggui
sang ibu memeriksakan calon adik mereka. Para ayah—baik yang sudah maupun
calon, para suami, mengisi waktu dengan berbagai cara di teras, entah menguap,
main sudoku, mengobrol, atau membaca buku.
Tante
As sudah menyingkirkan toples-toples dari bufet ruang tidurnya. Ia masih suka
memuntahkan sesuatu di wastafel atau bak cuci, tapi frekuensinya tampak
berkurang. Ia malah punya kebiasaan baru—sedikit-sedikit beranjak untuk
meludah. Ia lebih suka menyeruput sari asem dalam kemasan untuk mengurangi mual
ketimbang mengaplikasikan salah satu saranku. Aku malah agak bersyukur jadinya
setelah aku tahu dari suatu forum dunia maya kalau ibu hamil sebaiknya tidak
sering-sering makan cemilan yang mengandung tepung. Katanya, janin belum bisa
mencerna gluten yang ada di tepung.
Belum
lama ini ia membeli berapa bra baru. Ia
juga jadi lebih sering memakai baju tanpa lengan. Kalau pakaiannya bukan berupa
terusan, ia akan memadukan atasan tanpa lengan atau lengan pendeknnya dengan
celana pendek. Tidak ada yang berubah dalam pemilihan warna, ia tetap menyukai
warna cerah dan tidak mencolok.
Kalau
tidak begitu, ia menyetel AC pada suhu terendah sampai aku merasa harus pakai
jaket saat di dalam ruangannya.
Setelah
membaca artikel tentang pentingnya gizi bagi ibu hamil, aku jadi ingin
menginspeksi isi pantri Tante As. Aku ingin menyingkirkan segala mi dalam gelas
styrofoam, daging olahan dalam kaleng, kriuk-kriuk dalam plastik, maupun segala
produk lain yang mengandung aspartam, acesulfam potassium, sakarin, siklamat…
Ia seharusnya tidak lagi mengingat-ingat nomor telepon layanan pesan antar dari
berbagai merek junk food. Ia seharusnya menyetop tukang belanjaan tiap pagi dan
membeli sayuran segar. Ia seharusnya memenuhi keranjangnya dengan warna-warni
buah saat belanja di swalayan. Ia seharusnya mengganti susu rendah lemaknya
dengan susu khusus untuk ibu hamil.
“Yang
hamil tuh siapa?” tegur Papa ketika melihat aku sedang menyimak obrolan para
bunda di forum ibu hamil, bayi, dan balita di internet.
Papaku
ini, meski kini aku sudah berselancar pakai laptopku sendiri, tetap saja ia
masih suka main intip.
“Sini
modemnya, Papa mau ngirim kerjaan.”
“Entaaaar…!”
sahutku.
“Kayaknya
Mama Bibe pas hamil selera makannya biasa-biasa aja tuh,” kenang Papa. Aku malah
yakin mamaku tidak pernah merasakan apapun sampai tahu-tahu aku mendesak ingin
segera dikeluarkan.
Sebelum
trisemester pertama berlalu, aku membuatkan Tante As sajian khusus. Aku
campurkan butiran jagung, bergenggam-genggam daun bayam, brokoli, potongan tempe,
dan kacang ke dalam panci dengan bumbu sayur bening. Kurebus mereka dengan suhu
terjaga karena suhu tinggi akan merusak nutrisi yang dikandung bahan-bahan
sumber asam folat tersebut. Beberapa bahan kuiris dalam ukuran sedang karena
ukuran terlalu kecil akan meningkakan risiko kerusakan.
Saat
organ-organ janin mulai terbentuk, asam folat atau vitamin B9 merupakan nutrisi
wajib bagi ibu hamil. Kekurangan asam folat dapat mengakibatkan cacat pada
janin, meningkatkan risiko kelahiran bayi prematur, hingga anemia bagi sang
ibu.
Karena
Tante As bilang kalau masakan Mama masih lebih enak daripada buatanku—meski ia
sendiri tidak pernah memuji Mama, aku coba mencari alternatif lain. Aku
menyarankannya untuk banyak mengonsumsi hati, kerang, roti, kuning telur, dan
buah-buahan—selain bahan-bahan dalam sayur beningku tadi. Kalau ia hendak
menanak nasi, sebaiknya ia mengganti warna berasnya jadi merah. Tiap melintasi
suatu swalayan, aku usahakan untuk mampir. Hanya ingin mengecek apa di sana
tersedia susu yang mengandung asam folat atau tidak.
Ia
juga seharusnya mampir ke toko buku dan membeli buku-buku tentang kehamilan.
Saat
Om Pir menelepon Tante As, aku berusaha menginterupsi pembicaraan mereka hanya
untuk mengatakan pada Om Pir, “She’ll be fine if she obeys me, you must tell
her, Mister!” Ia calon ibu yang bandel, harus ditindak!
Tampak
pinggangnya melebar dan lengkungan di perutnya jadi nyata. Jelas bukan lemak,
Tante As tidak akan membiarkan lemak menetap lama di tubuhnya.
Suatu
kali ia menonton TV. Tiba-tiba kepalanya tegak. Matanya lepas dari layar.
Mungkin ia teringat atau kepikiran sesuatu—sangat mungkin sekali merasakan sesuatu. Ia memegang perutnya
yang mulai cembung. Kepalanya turun. Pandangannya mengarah ke sana.
Aku
menanti-nanti Tante memberitahuku apa yang telah terjadi.
“Enggak
ada apa-apa Bibe.”
Kepalanya
terangkat lalu mengarah kembali ke TV. Namun tangannya tetap. Ia menunggu. Aku
menunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar